Kamis, 23 Juni 2011

A Mother and the Traveler

Saya lupa menanyakan nama wanita itu ketika perbincangan kami harus benar-benar diakhiri. Saya hanya mengetahui bahwa marga beliau adalah Liem. Entah mengapa, namun obrolan singkat bersama seorang wanita sepuh yang kerap tersenyum ramah itu begitu menghantui pikiran saya selama perjalanan pulang dari Surabaya Town Square. Dari yang saya dengar, usia beliau akan memasuki angka tujuh puluh. Keriput di wajah memang tak bisa berbohong, namun langkah tegap saat berjalanan mampu menipu perkiraan awal saya. Apalagi ketika mengetahui beliau masih aktif menyetir mobil sendiri, bahkan diving di Bunaken. Mungkin pengalaman itu pula yang membuat beliau menggoda saya dengan pertanyaan, “Sudah pernah ke Manado?”

Pertemuan ini terjadi ketika seorang teman mengajak saya untuk kopdar bersama dua orang nomadic, pasangan suami istri Indonesia-Kanada, yang kebetulan sedang pulang kampung di Surabaya beberapa minggu. Namanya Dina dan Ryan. Saat kami datang ke tempat yang ditentukan, tak disangka, ibu Mbak Dina juga berada di situ. Sedangkan Ryan masih berada di lokasi lain.

Kami berempat duduk melingkar mengelilingi sebuah meja bundar. Menit-menit pertama, saya agak canggung karena takut mengganggu acara kangen-kangenan keluarga kecil ini. Tapi dasar kami bertiga memang dilahirkan sebagai blogger cum freak traveler, maka tidak perlu basa-basi dalam waktu lama untuk membangun chemistry perbincangan. Seketika obrolan seru tentang pawang kobra Marrakesh, koteka Wamena, Barcelona, Karibia, Nikaragua, Honduras, buku travel ini, travel blog itu, muncul dan asik melayang-layang di atas meja kecil ini. Sesekali malah sang Ibu turut menimpali dan mendengarkan dengan seksama apa yang kami ributkan. Meskipun saya tidak terlalu percaya dengan teori-kebetulan, tapi ‘kebetulan’ saya dan ibu Mbak Dina memiliki latar belakang pendidikan yang sama persis, sehingga cukup mudah untuk menemukan klik perbincangan.

“Mami ngga bosen kan?” tanya Mbak Dina. Sang Ibu menggeleng sembari tersenyum membuat kerutan di beberapa garis wajahnya semakin tampak jelas.

“Ngga apa-apa, lanjutin saja…”

Sebenarnya ekor mata saya sempat menangkap raut wajah beliau yang sudah mulai mengantuk. Apalagi ketika menantunya, Ryan, akhirnya datang bergabung. Obrolan kami semakin menembus batas atlas saja sepertinya. Karena merasa tidak enak, saya mencoba untuk mengajak beliau berbincang. Apalagi kalau bukan tentang dunia pendidikan farmasi yang pernah sama-sama kami tempuh, hingga akhirnya merapat pada topik traveling juga. Menarik berbicara dengan wanita ini. She’s so open-minded.

Dua putri beliau, termasuk Mbak Dina, sejak tiga tahun lalu telah membuat keputusan besar. Menanggalkan cita-cita sebagai scientist dan beralih menjadi seorang nomadic bersama sang suami, Ryan. Nomadic yang benar-benar nomadic. Tidak memiliki rumah, dan kerap berpindah-pindah negara. Sedangkan putrinya yang lain gemar traveling sejak masih remaja, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang cukup ekstrim. Sekarang inipun dia aktif dalam sebuah komunitas hockey underwater. Olah raga yang belum lazim di Indonesia.

“Ketika putri saya meminta izin untuk mendaki gunung, entah mengapa saya tidak bisa mengatakan tidak. Saya yakin orang tuamu pun seperti itu.”

Segera saya amini pernyataan itu. Lalu bayangan kemarahan Bapak saya, November tahun lalu tiba-tiba muncul begitu saja. Ketika kakak saya menggambarkan suasana makan malam di rumah bagaikan The Last Supper. Semua gara-gara saya terpilih menjadi salah satu dari dua puluh fotografer yang dikirim oleh Kementrian Budaya dan Pariwisata untuk terbang ke Flores dalam rangka kampanye Pulau Komodo. Teman-teman dekat semangat memberi ucapan selamat, sementara 200 km dari tempat saya berdiri, sebuah keluarga kecil gempar mendengarnya. Perasaan saya? Uh, jangan tanya. Campur aduk. Itu adalah hari terbahagia sekaligus terburuk bagi saya.

“Mereka tidak tahu, bahwa meski diizinkan, tapi hati kami selalu khawatir. Terutama ketika mereka sedang berada di negara yang susah dihubungi lewat telepon atau jaringan internet. Tapi entah mengapa, kami tetap tidak bisa berkata tidak. Apalagi setelah melihat foto-foto yang mereka bawa. Ketika berada di puncak gunung hingga berada di bawah laut. Duh, rasanya jantung saya ini…” Wanita ini tidak melanjutkan cerita. Hanya menepuk dada kirinya sambil menggeleng kepala. Saya jadi agak salah tingkah dan berharap tidak ada adegan derai air mata di sini.

“Tapi ini pilihan hidup. Dan mereka memilih untuk menjadi seperti sekarang,” sambungnya kemudian. Sesuatu yang mungkin belum 100% dipahami oleh orang tua saya. Dan terus terang, kadang bikin saya desperate.

Lalu sang ibu mengucap syukur mengetahui selama bertahun-tahun, tidak ada hal buruk yang terjadi pada putri-putrinya ketika sedang melakukan perjalanan. Saat berada di negara manapun dengan aktivitas segila apapun. Kutipan klasik para pejalan yaitu God will save the traveler, akhirnya keluar dari mulut saya disusul tawa renyah beliau.

“Kalian bahagia menjadi traveler? Terutama keberanian melepas semua atribut akademis?” tanyanya pelan. Satu hal persamaan saya dengan putrinya adalah kami memang akhirnya menanggalkan profesi masing-masing, dan dengan sangat keras kepala, lebih memilih apalah itu yang dinamakan panggilan hati.

Saya bahagia. Jawab saya kemudian. And I’m sure, putrinya pun akan menjawab demikian. Saya meyakini bahwa tiap pejalan hendaknya memang melepas ‘atribut’ yang menempel. Bepergian dalam keadaan ‘kosong’ semata-mata karena ingin mencari pelajaran baru yang tidak diajarkan di bangku kuliah atau sekolah. Sungguh ini bukan teori saya sendiri, tapi kejadian di lapangan memang seperti itu.

“Ya mungkin saya akan merasakan hal yang sama seperti Tante, ketika menjadi seorang ibu kelak, dan anak saya memutuskan untuk menjadi pejalan.” Bahkan saya separo tidak percaya ketika meluncurkan kata-kata tersebut. Tapi yang jelas, seandainya anak saya nanti pemalas, manja, dan suka main game di kamar, maka kemungkinan besar yang saya lakukan adalah menyetop uang jajan dan berteriak, “Go see the world, kiddo!”

Wanita ini mengangguk-angguk mendengarkan saya mengoceh. Senyum masih tak berhenti mengembang. “Tapi sejak menjadi traveler, anak-anak saya sekarang lebih mandiri. Dan entah mengapa, hubungan kekeluargaan kami semakin erat. Kalau ada masalah, segera sms atau telepon. Saya juga membaca catatan mereka di facebook lho hahaha…"

"Walaupun saya sudah kenyang sering ditanya keponakan-keponakan, sebenarnya untuk apa putri-putri saya bepergian. Apalagi mereka pikir, putri saya menghambur-hamburkan uang.”

Saya mengangguk semangat atas nama persamaan nasib! Lalu saya turut berbagi cerita bahwa traveling bukanlah semata-mata tentang bersenang-senang. Sedihnya, hingga sekarang tidak semua orang memahami hal itu.

“Padahal mereka tidak pernah ke luar negeri menggunakan uang saya sepeser pun. Kebanyakan orang tidak mengerti apa yang sebenarnya mereka lakukan.”

Saya setuju. Kadang ada pikiran yang terlintas dalam benak saya, “ah, sudahlah, tidak penting orang lain mengerti apa yang saya lakukan.” Tapi saya baru menyadari bahwa dampak egoisme tadi akan beralih pada keluarga. Kami hidup di lingkungan yang tidak cuek bebek seperti di kota-kota besar. Berbagai pertanyaan dan perbandingan dari kanan-kiri kerap datang. Dan hal seperti itulah yang kemungkinan besar dialami orang tua saya, termasuk Ibu Mbak Dina. Sejatinya beliau tetaplah seroang ibu yang ketika melihat gambaran keluarga besar hidup menetap berkumpul bersama anak-cucu, maka perasaan cemburu bisa datang dadakan seperti halnya sebuah serangan jantung.

“Saya kepingin sekali punya cucu. Papinya Dina tiap ditanya orang lain, selalu menjawab: cucu saya empat, tapi belum lahir semua. Hahaha…” Saya tidak bisa menahan untuk tidak ikut tertawa. Walaupun sebenarnya agak miris ketika mendengar pengakuan tersebut. Ah, maafkan saya, Tante.

“Suatu hari, putri saya yang tertua mengirim kartu pos dari luar negeri. Dia menulis: Mami, terima kasih sudah melepaskan saya. Kalau ibu saya orang lain, belum tentu saya bisa menjadi seperti sekarang.”

Lalu beliau menyambung tanpa menunggu saya yang sudah terlanjur mendadak speechless itu, “maka, kamu pun harus berterima kasih pada orang tuamu, karena tidak semua orang tua yang mengizinkan anak-anak mereka pergi jauh dari rumah.” []

6 komentar:

  1. Ah, cerita yang menyentuh.

    Semoga nanti, kalau jadi orang tua, saya juga bisa ikhlas melepaskan anak saya berpetualang keliling galaksi, menjemput mimpi dan cita-cita besarnya.

    BalasHapus
  2. membaca tulisan ini saya jadi mengerti apa makna sebenarnya jalan-jalan itu. Saya suka travelling dan selalu terngiang di kepala saya utk bisa melntasi duni tapi sya blm berani mwujudkannya. Semoga setelah ini saya akan berani.

    BalasHapus
  3. Hi Putri! Seems like I forgot to emphasize it here, that this article is very valuable for me! Thank you so much for writing this down, so beautiful. There are a lot of things that mother and daughter can't say in words, it's really touching my heart to read what she feels. Mkasih ya, sangat berharga bagiku, meskipun mamiku sempet panik masuk blog, hihihi.

    BalasHapus
  4. bagian yang paling menyentuh tentu saja "maka, kamu pun harus berterima kasih pada orang tuamu, karena tidak semua orang tua yang mengizinkan anak-anak mereka pergi jauh dari rumah"

    BalasHapus
  5. Cerita yg luar biasa put. Hfff, hampir nangis bacanya

    BalasHapus
  6. I'm in tears now, love your story so much and it's beautifully written. I just posted a post in my blog sometime ago how my father never seem ready to let me go, and how I always gonna be 'too young' for everything in his eyes, well I'm still 13 now, and understand that he has all the right reason to be worry, but some part of me telling me, for him I always gonna be too young even when I am 21 or even 30 sigh.... I will show him this post and ask him to read it, and probably he will understand...

    BalasHapus