Senin, 28 Maret 2011

Tentang 30 Hari yang Tidak Bisa Ditepati

Nah lho ya, ini kenapa judulnya berasa sentimentil abis? Hehe, yah sudahlah saya tidak bisa memikir kata-kata lain selain yang sudah terpampang di atas.

Alkisah, 18 Februari 2011 lalu, di atas kereta Sri Tanjung yang melaju dari Lempuyangan, saya bersama sahabat saya, Nuran Wibisono, iseng-iseng melakukan pertaruhan kecil. Ini gara-gara saya berkeluh kesah tentang ‘kebebasan’ menulis. Saya merasa tidak bisa menulis seperti dulu lagi, di mana saya bisa memasukkan ‘hahaha’ ‘hehehe’ dan segala emosi yang tercipta dalam sebuah catatan kecil untuk di-posting di sini. Beberapa bulan terakhir ini, sebenarnya saya cukup mobile kemana-mana. Biasanya sih, setelah ngapai-ngapain itu, saya selalu mencurahkan isi hati dalam sebuah tulisan. Entah itu jatuhnya bagus atau ngga. All I wanna do is making a documentation. Ya, sebenarnya sih saya tetep menulis beberapa. Tapi itu buat majalah, dan sayangnya, untuk bisa muncul di majalah saya ngga bisa sembarangan masupin berbagai emosi kan? Even cuman pengen ‘haha-hehe’. Sudah tentu dipotong sama editor. Dan parahnya lagi, saya ngga bisa mengulang menulis hal yang sama untuk versi saya sendiri.

Sementara waktu itu, Nuran mengaku bahwa tulisannya banyak yang ngga mutu. Padahal, that's so untrue, sodara-sodara. Tidak ada tulisan gombal yang tidak bisa dia kemas dalam sebuah tulisan yang cantik. Kalau kalian cewe, dan ngga kuat iman, bisa pingsan berjamaah membaca catatan-catatan cintanya. Hehe! Oiya, selain dia sudah terkenal sebagai penulis musik, saya tetap masih melihatnya sebagai bayangan sebuah roman picisan. Haha! Tak ada duanya!

Okelah berdasarkan keluh kesah kami itu, disertai bebunyian rel yang berderit (apasih!), muncul ide untuk menulis selama 30 hari penuh! Tulisan boleh aja jatuhnya ngga bagus, yang penting jadi diri sendiri, dan yang jelas tidak dihantui oleh cambuk editor, heuuu… Intinya kita bisa olah raga otak dan jari tiap hari. Waktu itu niat kami sangat mulia yaitu melatih diri untuk menghindari syndrome writer’s block.

“Mulai kapan, Ran?” tanya saya saat itu. So excited!

“Besok yo!” jawabnya.

*kriuk*

“Oke deh.” Sebenarnya sih saya bisa melakukannya sendiri, tapi mendapatkan teman yang sama-sama ‘bakal bingung mo nulis apa hari ini’ ternyata menyenangkan! Huahahaha….

Ini baru saya ketahui ketika Rina, sahabat saya yang juga menjabat sebagai pacar Nuran, bercerita tentang kegelisahan lelaki itu dikala malam menjelang siap berganti hari. Ternyata sama seperti saya, tiap jam 10 malem gitu, saya bingung banget kalau ngga nemu inspirasi apa-apa. Bahkan pernah nih, ketika seharian saya keluyuran motret, nyampe kos, saya tepar. Habis sholat Magrib, saya ketiduran, dan tiba-tiba kebangun jam 11 malem gitu karena ada bayangan Nuran melayang-layang dalam otak saya yang kira-kira ngomong gini, “Heh, kowe durung nulis opo-opo dino ikI!”

Amsyong, saya kaget dan langsung cuci muka, terus buka laptop!

Karena perjanjian ini pula, saya bela-belain bawa laptop pas harus ke Jakarta beberapa hari. Padahal saya suka males gitu ya traveling bawa laptop, mengingat ukurannya ngga sekecil netbook jaman sekarang yang cuman 10 inch. Berat, men! Tapi ya udahlah, atas nama gengsi pada diri sendiri dan pada teman saya, akhirnya saya pikul juga laptop putih itu dari Pasar Turi hingga Pasar Senen. Noh!

Melihat database dalam blog ini, terhitung saya rajin ngepost tiap hari pada minggu pertama. Lalu bolong satu, ini kejadiannya pas di Jakarta, benar-benar tidak bisa menyentuh laptop karena jadwal saya padat banget saat itu. *Ditoyor Nuran kebanyakan alesan!*

Lalu delapan tulisan berikutnya, saya posting dengan rajin setiap hari. Hingga suatu hari, saya minta izin ke Nuran buat ngga posting selama beberapa hari, karena harus dinas ke Baluran dan saya benar-benar tidak ingin membawa laptop ke hutan yang ngga ada listriknya! Waktu itu saya bilangnya, "hutang menulis yang pasti akan saya bayar."

Hingga saya pulang ke Surabaya dan nyampe kos, kamar saya ternyata KEBANJIRAN! Dan kok ya KEBETULAN laptop saya ikut main basah-basahan. Huaaaa… saya lemes bukan main. Makin lemes ketika setelah dari service centre, laptop saya dinyatakan almarhum beserta hardisk internal yang terkandung di dalamnya. Dua hari sejak itu saya linglung. Tidur masih sore, bangun masih gelap. Pagi-pagi nyari sarapan, siang makan lagi, malam ya jelas makan lagi. Kehilangan yang mendalam ini bikin saya healthy living banget.

Yang jelas hutang tulisan saya makin menggunung. Sekarang udah tanggal 28 Maret 2011, seharusnya acara 30 hari menulis itu sudah berakhir sekitar 21 Maret kemarin. Yah, saya mohon maaf kepada partner saya, karena ngga bisa menepati 30 hari itu. Untung yah, taruhan ini ngga ada embel-embelnya semacam, “Kalo ngga bisa nulis 30 hari penuh, kudu makan mie babi selama 30 hari!” Modyar guwe! Pindah agama aja sekalian!

Saya menyesal ngga bisa nulis penuh. Even my writing is just a crap. Tapi saya udah punya bayangan waktu itu, wahhh pasti bakal keren gitu kalau proyek ini berhasil. Pelajarannya adalah banyak hal yang tidak terduga yang bisa terjadi kapan saja. *Yaeyalah, Puuuttsss… Uda tau!! Ngga mutu tenan pelajaranmu!*

Namun, saya percaya dengan banyak menulis, sedikit banyak bisa menambah kekayaan diksi, membuat otak kita terlatih untuk merangkai sebuah kalimat. Semua karena terbiasa. Dan untuk membuat tulisan yang bagus, otomatis saya harus banyak membaca banyak hal. Lalu mengawinkan creativity dan knowledge di atas tuts keyboard. Ah ya, lagi-lagi ini hanya pelajaran ngawur!

So meski 30 hari itu gagal, saya masih berharap bisa blogging sepanjang hari. Menulis apa saja yang terlintas di otak saya. Ngaplot foto-foto saya yang kampungan dengan caption seadanya. Okelah, semoga kali ini saya ngga banyak cingcong…

Cheers!

Selasa, 22 Maret 2011

Listen to The Traveltune

Nah setelah ngomongin travelmate, marilah kita menyinggung traveltune! Yeay, saya adalah pecinta musik. Everyday is my music day. Including ketika saya melakukan perjalanan. Sebuah mp3 player Creative yang jelas-jelas bukan punya saya, sudah menemani telinga saya hingga kemana-mana (haha! maksudnya ya di Jawa-Jawa situ aja sih). Ngga tau rasanya kurang afdol kalau ngga bawa benda kecil hitam itu turut serta ketika traveling.

Yang sebenarnya saya maksud traveltune di sini bukan lagu tentang perjalanan lho ya. Saya lebih suka mendefinisikan traveltune sebagai lagu yang akan mengingatkan saya pada sebuah destinasi. Ini ga harus dari playlist dalam mp3 aja sih. Kadang bisa bersumber dari pengamen yang kita temui di jalan, dari lagu-lagu absurd yang diputar oleh kondektur bus, dan sebagainya.

Em... contohnya nih, salah satu traveltune yang memorable adalah lagu band Domino yang apalah itu judulnya saya kurang tahu. Pokoknya ada lirik, "aku terperangkaaaap, di antara dua hati, mencintaimu, mencintaimu..."

Lagu ini menjadi 'berkesan' karena mengingatkan saya saat berada di atas KLM Wahyu Akbar, yang kemudian kita sebut sebagai The Rodeo Boat, saat melintas perairan Madura selama 3 jam demi mencapai sebuah pulau kecil penuh sapi bernama Sapudi.

Naik rodeo boat bukanlah pengalaman yang ingin saya ulang. Kapal kayu kecil berkapasitas 50an penumpang sedang beradu perang memecah ombak yang sedang tinggi-tingginya. Kanan kiri merapal doa. Anak kecil mabuk laut, dan seorang ibu gemuk heboh bertakbir keras-keras. Bahkan wanita dewasa di belakang saya beberapa kali tampak menangis. Saya panik dalam diam. Itu adalah tiga jam terlama dalam hidup saya. Saya sebal bukan main karena ngga bisa tidur dan harus mengatur tubuh saya yang melorot naik turun digoyang kapal, mendengar teriakan ibu gemuk tadi, melihat anak kecil muntah dan merasakan mesin kapal yang berkali-kali mati. Tidak terlihat daratan saat itu. Hanya gambaran langit dan laut biru gelap yang berganti-ganti secara kilat dari balik pintu kapal.

Di saat-saat tidak menyenangkan itu, sebuah handphone qwerty milik seorang penumpang, berdering keras memainkan lagu Domino. Suaranya pecah dan mengganggu telinga saya. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Saya sedang tidak ingin mendengar lagu apa-apa saat itu, saya cuman ingin segera keluar dari rodeo boat ini. Maka sodara, silahkan ganti lirik 'di antara dua hati' tadi menjadi 'di antara hidup mati'.

Selama ini sih saya beranggapan bahwa dengan mendengarkan traveltune tertentu bisa membantu proses penulisan sebuah catatan perjalanan. Biar emosinya itu bisa dapet gitu ya. Bikin jari kita kesurupan di atas tuts keyboard sambil mendengarkan lagu itu berulang-ulang. Err... sebenarnya ngga harus gitu juga sih, tapiii... itulah yang saya lakukan untuk memperlancar mood menulis. Siapa bilang menulis itu gampang? Apalagi untuk orang 'berbau obat' seperti saya yang dulunya cuman rajin nulis laporan praktikum di dalam berbagai laboratorium kampus.

Tapi apapun itu gunanya, bagi saya traveltune itu semacam dokumentasi juga. Sebuah melodi yang ketika didengar, mampu melemparkan imaji pada memori yang terjadi dalam perjalanan menuju sebuah destinasi. Dari satu memori, lalu menjalar mengingat peristiwa yang lain. Entah itu pada teman-teman yang baru kita kenal, makanan asing yang baru kita rasakan, suasana rumah tempat kita menumpang tidur dan mandi, daaan sebagainya.

Marilah saya ceritakan satu traveltune lagi yang masih fresh from the oven. While My Guitar Gently Weeps, lagu lawas milik The Beatles yang kemudian dinyanyikan ulang oleh Santana bareng India Arie. Lagu ini adalah traveltune saya ketika di Baluran beberapa minggu yang lalu. Sebelum ke Baluran saya belum pernah mendengarnya, meski untuk versi yang lawas sekalipun.

Maka di sebuah kantor kecil nan berantakan, yang malam itu tampak dikuasai oleh seorang petugas pengendali ekosistem hutan bernama Swiss Winasis, adalah pertama kalinya saya mendengar lagu ini diputar berrrrulang-ulang. Kala itu, saya memaksakan diri untuk tidur di sebuah sofa setelah dijejali berbagai cerita horor oleh Mas Swiss, yang tragisnya, terjadi di seputar kantor tempat saya akan menghabiskan malam. Heuhuhu... Saya sebal sekaligus merinding bukan main. Langsung memasang mp3 player di kuping dan (pura-pura) tidur. Padahal masih ada satu cerita puncak yang kepengen buanget dia ceritakan katanya. Grrrr... Ngga minat! Akhirnya dia menyerah, dan kembali pada laptop dan sebotol temulawaknya, yang semula saya kira minuman keras karena warnanya mirip, haha.. Ditemani oleh istri terbarunya, Mbak Ismi, Mas Swiss mengerjakan tugas kantor sambil terus-menerus memutar lagu Santana ini, sampai saya hapal nadanya dalam beberapa jam saja.

Yaudah jadinya sekarang kalau saya ngedengerin lagu While My Guitar Gently Weeps ini langsung keinget suasana kantor PEH Baluran dan dua teman baru saya itu. Kapan-kapan kudu nulis chapter tentang a lovely wildlife couple, Mbak Ismi dan Mas Swiss di blog ini. Yes! Semoga ngga dibaca sama mereka nanti, haha!

Oke deh sekian dulu tulisan saya yang ngga mutu ini, kalau terus-terusan ngomongin traveltune ya bisa panjang dan sudah pasti bakal ngebosenin. Jangan remehkan tiap nada yang Anda dengar selama perjalanan, karena itu bisa menjadi automatically reminder yang mungkin suatu hari berguna. And I believe that every journey has its own song. Yah kecuali Anda pelupa berat dan kurang peka sama bunyi-bunyian. Oke, selamat mendengarkan traveltunes favorit! Selamat bernostalgia kembali.

:)


Senin, 21 Maret 2011

Karena Naif Cuma Satu


Oh yes, saya lagi suka banget sama lagu terbarunya Naif. Liriknya sih sebenernya mengandung berbagai gombalism (yang saya suka! haha!), tapi ya lagu ini simpel banget, easy listening juga, jadi dengan mudah bisa nyantol di otak. Dan semakin naksir ketika melihat tone colour video klipnya! Dreamy abisss... Haha, yo jangan heran dan jangan bosen, saya emang gampang jatuh cinta sama gambar-gambar dreamy feel. Anw, David Naif ternyata tambah berumur tambah ganteng ya? :)

Selasa, 15 Maret 2011

What is a Travelmate to You?

Saya bukanlah tipikal alone traveler, atau solo traveler, atau apalah itu istilahnya… Saya tidak suka bepergian sendiri. Awal mula saya menggemari jalan-jalan malah kayak bawa rombongan se-RT. Saya pernah naik ke Ijen bersama lebih dari 10 orang teman. Dan hepi-hepi aja tuh... Namun, beberapa traveler yang saya kenal menganggap bepergian rame-rame itu riweh, ribet, ngga efisien. Dalam perkembangannya pun, saya agak terpengaruh juga dengan pandangan itu. Saya menemukan kemudahan-kemudahan ketika traveling dengan sedikit orang. Terutama dalam pengambilan keputusan di tengah jalan.

Sekarang pun sepertinya saya sudah jarang bepergian sekampung kayak jaman kuliah dulu. Tapi tetep lah, saya bukan penikmat solo traveling. Setidaknya, kalau jalan-jalan ke luar kota harus ada satu travelmate. Ya maksimal empat orang gitu ya… Versi saya seperti itu…

Saya bisa ngomong seperti ini, setelah merasakan ngga enaknya muter-muter sendiri dalam rangka ngerjain assignment di Bali selama seminggu. Apalagi traveling saya kala itu tergolong ‘wah’ banget, karena saya harus mereview tiga resort jetset di Kintamani, Ubud, dan Banyuwedang. Prinsip saya, bahagia itu baru beneran terasa jika bisa dibagi dengan yang lain. Apalah artinya menginap gratisan di resort mewah seharga jutaan rupiah per malam, jika hanya dilewatkan dengan laptop dan suara kodok di luar.

Ya, saat itu saya berpikir aja, bagaimana bisa traveler-traveler itu berkeliling dunia sendirian? Tidakkah ingin tertawa bersama, apes bersama, jatuh bersama, atau tertipu bersama? Well, tapi saya pernah mendengar seorang traveler yang baru saya kenal di Jakarta bernama Mbak Ulil mengatakan, “kamu harus nyoba solo traveling kapan-kapan, karena dari situ kamu bisa menemukan jati diri.” Saat itu Mbak Ulil baru saja menghabiskan 1,5 bulan traveling sendirian di negeri orang. Masalah ucapannya tadi, saya belum tau juga kebenarannya hehe… Sejauh ini saya belum kepengen bepergian sendirian.

Sebenernya sih yang paling krusial bukan masalah kuantitas. Tapi lebih pada kualitas orang yang bepergian bersama kita. Yang namanya ‘ngerepotin’, mau berjumlah satu atau sepuluh ya tetep aja judulnya ‘ngerepotin’. Saya ngomong seperti ini bukan berarti saya ngga pernah ngerepotin travelmate saya ya… Haha… I dont know, hanya mereka yang bisa menilai. Selama ini saya lebih nyaman bepergian dengan orang-orang yang sudah lama saya kenal. Saya memang tipikal orang yang susah meninggalkan comfort zone. Harusnya sih ngga gitu ya… Tapi beneran, bukannya mo pilih-pilih atau gimana, tapi keberadaan seorang travelmate itu penting demi kelancaran perjalanan kita. Ngga harus sepikiran dalam semua hal juga sih, tapi paling tidak, sama-sama mengerti kebiasaan masing-masing, lalu bersedia untuk saling bertoleransi.

Misal nih, si Anu adalah tipikal traveler yang males mandi. Dua hari sekali membersihkan diri mungkin terasa sudah berlebihan baginya. Lalu si Itu, travelmate-nya, adalah orang yang ngga suka segala sesuatu berbau jorok. Dia merasa ngga nyaman pergi kemana-mana sembari mikirin rambut si Anu ngga dikeramasin selama tiga hari lebih. Sedangkan rambut berkontribusi besar menyumbang kuman pada tubuh manusia. Saya yakin, si Itu dan si Anu ngga bakal bepergian bareng lagi. Yaa, ini contoh ngawur aja sih. Alangkah baiknya, jika Anda mengenal travelmate terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk bepergian bareng. Kasus ini mungkin lebih berlaku untuk perjalanan yang sangat jauh dan membutuhkan banyak waktu. Jangan sampai berangkat bertiga, pulang sendiri-sendiri.

Travelmate, bagi saya, semacam rumah portable yang bisa berjalan berdampingan ketika saya berada di tempat seasing apapun. Yang namanya rumah, pastilah tempat yang nyaman di mana kita bisa bebas menjadi diri sendiri. Ngga perlu sungkan minta bantuan, ngga butuh jaim, dan ngga sulit berpendapat. Ya begitulah pandangan saya terhadap seorang teman perjalanan. Tapi bukan berarti saya ngga mau jalan dengan orang baru lho ya…

Oh iya, setelah laptop putih saya dinyatakan meninggal dunia pada usia ke-5 beberapa hari yang lalu, saya menemukan kebahagiaan tersendiri sebagai 'bukan penganut solo traveling'. Beberapa foto perjalanan saya memang hilang, musnah, dilahap air. Tapi alangkah senangnya mendengar teman perjalanan saya masih menyimpan file-file foto dari kamera saya. Ahey!! Bayangin kalo saya pergi sendirian, siapa juga yang mau nampung data foto yang ngga ada hubungan dengan dia sama sekali. Haha, kalau file hilang, yowes!

Sekali lagi, ini semua tergantung pada selera masing-masing traveler ya… Kalau Anda sangat nyaman bepergian sendirian, ya monggo silahkan. Kalau lebih senang rame-rame satu kantor diajak semua, ya tidak dilarang. Sekali lagi juga ini bukan masalah gaya traveling ya… Mau pake ransel, pake koper atau kresek, itu sih masalah teknis yang ngga perlu diributin.

Ok, selamat menikmati dunia dengan travelmate gila Anda! :)

Minggu, 13 Maret 2011

Disaster in My Bed Room

Well, langsung saja, kamar saya kebanjiran.

Bukan, bukan akibat hujan. Karena tidak ada jejak yang mengindikasikan hal tersebut ulah air bocor dari genteng dan sebagainya. Tapi ini semua akibat ulah bejat rembesan air dari kamar mandi yang memang posisinya berada di samping kamar saya. Ini sebenarnya berita lama. Beberapa waktu lalu, tiba-tiba ada genangan air yang berasal dari balik lemari baju saya. Siapa juga yang ‘pipis’ di sana?? Ternyata setelah saya lakukan investigasi, ada tembok yang retak di bagian bak mandi yang menyebabkan air bisa masuk ke dalamnya ‘menembus’ tembok kamar saya dan meninggalkan genangan air. Tapi, sebenernya banjir ini hanya terjadi JIKA air di bak mandi penuh dan amber, karena letak retak si tembok berada di dekat bibir bak. Bisakah Anda membayangkan? Ah, ya pokoknya gitu deh!

Waktu itu sih, saya udah laporan Pak Kos... Tapi ya, begitulah... Beliau termasuk laki-laki kurang tanggap terhadap bencana kecil. Ini memang udah biasa sih, temen saya yang kamarnya kebanjiran gara-gara bocor genteng aja ngga pernah ditanggepin. So, yang bisa saya lakukan adalah woro-woro ke teman-teman agar bak mandi jangan sampai diisi penuh karena bisa membahayakan kamar saya. Nah, entah siapa yang khilaf, ternyata seharian kemarin, ketika tiada orang di dalam kamar kos saya, kran bak mandi dihidupin tapi ngga dimatiin sampe air meluber.

Semalem itu saya baru pulang ke kos sekitar pukul 12 dini hari. Kamar kosan ini saya tinggal ke Situbondo dalam keadaan kosong (dan berantakan) sedari hari Kamis. Saya datang dalam keadaan capek, ngantuk, dan dekil. Rencana sempurna saya begitu sampai di kosan adalah mandi keramas terus tidur.

Tapi ya siapa sangka, ketika berada di depan kamar, keset saya sudah dalam keadaan basah. Perasaan udah ngga enak nih…

Begitu saya buka kunci kamar. Benar, sodara-sodara! Seluruh pojok kamar saya dilanda air bah! Buset! Ketika saya melangkah, sampai bisa menimbulkan sound effect 'kecipak-kecipuk'. Ya Tuhaaaaaaan! Saya duduk di kasur dengan lemes. Don’t know what to do.

Saya ingat, hari Kamis subuh, saya baru saja pulang dari Jember, naruh barang, packing, lalu dua jam kemudian berangkat lagi ke Situbondo. Jadi banyak barang yang masih saya lempar suka-suka di lantai. Dan merekalah yang jadi korban keganasan musibah air bak ini. Tas (beserta isinya), sajadah, mukenah, berbagai majalah dan uang kertas menggenang. Dan aaaaaaaaarrrgghhh!! Laptop!!!!! %$#$#$#@**@#@!!!

Laptop ini berada di dalam tas laptop. Dan ketika saya pegang-pegang, keseluruhan tas berwarna hitam itu saya sudah basah! Laptop saya keluarkan, dan sisi kanannya memang sudah basah. Huhuhuuhuhuuuuu…

Saya harus membersihkan banjir banding ini dulu, sebelum menyalakan listrik, daripada ada musibah kesetrum yang bisa saja terjadi kalau saya nekad. Oh iya, setrika saya basah lho. Semua bagian, sampe kabel-kabelnya. Hadeuh…

Maka saya pun memanggil bala bantuan. Tapi nasib lagi weekend ya. Banyak yang pulang. Temen saya, Rina masih keluar sama keluarganya. Si Leny pasti lagi mudik ke Malang. Satu-satunya harapan adalah pembantu kos, Mbak Rofik.

Sudah ngga usah ditanya lagi bagaimana histeria Mbak Rofik melihat kamar saya yang mirip laut. Kami berdua langsung melaksanakan kerja bakti dini hari. Mengeluarkan segala barang yang basah, mengeluarkan air-air yang menggenang, dan mengeringkan kamar. Pupus sudah harapan saya untuk mandi lalu tidur cepat.

Sekitar pukul dua pagi, setelah acara bersih-bersih itu selesai, saya langsung mandi. Completely tired. Masuk ke kamar, mulai berdoa agar laptop saya baik-baik saja. Dan yah… laptop saya memang bisa menyala, tidak ada data yang hilang, sound masih oke, tapi beberapa kali layar laptop tiba-tiba menghitam. Begitu pula ketika saya menulis catatan ini. Tiba-tiba pet! Mati, lalu hidup lagi. Ya Tuhaaan, sepertinya dia sedang sekarat. Dan saya ngga punya ruang cukup dalam hardisk eksternal untuk menampung data dalam memori internal. Hiks!

Ya udah deh, saya beneran ngga mood ngapa-ngapain. Males beres-beres barang-barang saya yang seabrek terlantar di luar kamar. Cuman pengen tidur.

PS:

Oh iya, siang ini saya mengungsi di kamar sebelah, karena (AKHIRNYA) kamar saya dan kamar mandi sinting itu diperbaiki oleh beberapa tukang.

Oh iya lagi, happy one hundred post! Agak-agak miris gimana gitu menghadapi kenyataan bahwa postinga ke-100 saya adalah tentang bencana. Tapi ya udah lah, mungkin saya harus pindah kos… Ahhhh, males sekali mikirnya…

Doain laptop saya yang jelek tapi berjasa tinggi ini bisa selamat...

Minggu, 06 Maret 2011

Arak-arakan Dewi Laut

Akhirnya, sebagai calon festival hunter professional (haha!), saya ngga perlu merogoh kocek terlalu dalam karena harus ‘dinas’ ke luar kota. Yes! Hari ini sebuah arak-arakan Dewi Laut diadakan di kota tempat saya berdomisili, Surabaya. Finally, ada acara keren di dalam kota sendiri!

Sebenarnya saya kurang banyak tahu tentang tradisi umat Konghucu yang satu ini. Tadi datang on the spot juga langsung motrat-motret, sambil nanya-nanya random kepada beberapa umat yang kebetulan berjalan bersampingan. Patung Makco (Dewi Laut) ini terakhir kali diarak keluar dari Klenteng Hok An Kiong di Jalan Coklat pada tahun 1964. Acara ini terlihat sangat meriah karena diikuti ratusan umat, dan sempat menjadi tontonan banyak warga di kawasan Kota Lama. Banyak yang pasang tampang heran, karena di hari Minggu pagi ini tiba-tiba jalanan dipenuhi segerombolan orang memakai ikat kepala berwarna merah, membawa beberapa ‘persenjataan’ seperti tombak serta beramai-ramai mengusung tandu. Ya maklum saja kalau banyak yang bertanya-tanya ada keramaian apa pagi itu, karena arak-arakan ini sudah tiga puluh tahun lebih menghilang dari permukaan.


Namun, untuk yang tinggak di kota seperti di Semarang dan Tuban, pasti sudah familiar dengan tradisi ini, karena dua kota tersebut sering mengadakan arak-arakan serupa yang bahkan lebih besar dari acara siang tadi. Kabarnya, umat yang ikut mengarak sebanyak ribuan orang. Wih, ngga kebayang ada ‘lautan merah’ yang memenuhi jalanan kota.

Kirab yang dilakukan hari ini mengambil rute dari altar asal Dewi Laut yaitu di klenteng Hok An Kiong Jl. Coklat menyusuri Jl.Kembang Jepun, Jl.Dukuh (Klenteng Hong Tiek Hian), Jl.Waspada hingga Jl.Slompretan untuk dikembalikan lagi di klenteng semula. Walau panas menyengat, namun sepanjang perjalanan, ratusan umat Konghucu tampak bersemangat mengantar Dewi Laut untuk menebar berkah sepanjang jalan, sembari terus-menerus merapal doa. Uniknya pada setiap perempatan atau pertigaan, arak-arakan yang mengusung tandu harus bergerak memutar hingga tiga kali. Dari yang saya dengar sih, para pengusung tandu ini juga tidak boleh sembarangan, paling tidak dia harus menjadi vegetarian tiga hari sebelum kirab dilaksanakan. Acara agak terganggu pada saat tandu berada di depan Klenteng Hong Tiek Hian. Rupanya ada dua orang yang asik menonton kirab dari lantai dua Klenteng.

“Istilahnya, ngga boleh ada manusia yang lebih tinggi dari Dewi, Mbak, makanya tadi ngga jadi masuk ke klenteng Dukuh,” kata seorang wanita yang mengira saya wartawan. Dan acara ini dengan sukses memaksa saya berolah raga jalan kaki ‘agak cepat’ mengelilingi sedikit jalanan di kawasan Pecinan. Tapi so far, mengikuti kirab ini terasa sangat seru, penuh tabuhan genderang tapi tetap terasa sakral.

PS: Nikmati juga reportase dan foto-foto super duper keren dari dua temen saya dengan klik tautan berikut.









Sabtu, 05 Maret 2011

Blogging Without Planning by Ayos Purwoaji


Pagi tadi saya menghadiri sebuah seminar tentang blogging yang diadakan BEM salah satu fakultas di ITS Surabaya. Salah satu pembicaranya adalah temen sekaligus editor saya yang sadis, Ayos Purwoaji. Maka sebagai anak didik teladan (sekaligus tukang suruh-suruh) saya merasa wajib ain gitu ya menyaksikan presentasi ‘guru’ saya sendiri. Kebetulan juga pembicara kedua adalah si Raditya Dika, yang buku-bukunya komplit selalu saya baca. Dengan riang gembira (karena dikasih gratisan), saya pun datang sembari berharap bisa foto bareng sama Raditya Dika. Haha! Katrok abis!

Selama dua jam si Ayos nyerocos masalah per-ngeblog-an yang pada akhirnya rada menyimpang nyampe travel writing. Hehe, tapi ya topik terakhir itu memang ngga bisa dihindari juga sih, karena termasuk dari bagian evolusinya si Hifatlobrain, blog yang dikelola oleh Ayos.

Inti dari ‘materi’ yang dia berikan sebenarnya simple aja sih, just start writing something, anything! Ngga usah mikir macem-macem ke depannya bakal dibawa kemana nasib blog yang Anda akan buat. Yang penting make a first step dulu, yaitu BIKIN blog.

Blogging without planning. Saya jadi ingat, awal mula terbentuknya blog saya ini. Waktu itu saya berada di Semarang, di sebuah ruangan engineer pabrik obat tempat saya magang. Seharusnya saya membuat rancangan mekanisme kerja sebuah mesin obat menggunakan Visio. Tapi entah kerasukan setan apa, saya malah (secara sembunyi-sembunyi dari SPV) membuka blogger, dan memutuskan membuat satu halaman pribadi untuk tempat mengeluarkan uneg-uneg. Semarang memang berhawa aneh. Selama di sana, saya nuliiiis melulu… Sempet heran sendiri, kenapa saat saya di Semarang jadi bisa seproduktif itu. Yang bikin note di fesbuk lah, atau sekedar disimpen di dokumen laptop. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk mulai blogging. Dan seharian itu saya ngga bikin diagram apa-apa di Visio, karena ‘sibuk’ mikirin nama yang tepat untuk blog saya. Haha! Saya memang anak magang durhaka! Yes!

Kalau The Beatles bilang All You Need is Love, maka to make a cool blog, Ayos merumuskan All You Need is Passion Writing. Ini penting , demi menjaga ke-eksis-an blog. Bukan eksis yang sok famous gitu juga sih. Tapi lebih buat melatih kualitas tulisan diri sendiri. Orang yang punya passion kuat terhadap sesuatu, biasanya suka ‘meledak-ledak’ dan susah dihalang-halangin! In positive way ya. Mereka ngga ragu untuk learn something for upgrading their knowledge continuously. Maka, sesuatu yang dinamakan ‘a cool blog’ pun pasti bisa dia ciptakan dengan passion dan niat belajar yang besar. Then money will follow. Tapi ya harus kerja keras, men, harus mau keluar modal sampai bangkrut duluan. Kudu sabar juga, karena sesuatu yang instan di dunia ini hanyalah segelas Pop Mie.

Ngomong-ngomong, performa Ayos tadi kayak Mario Teguh karena dikit-dikit bawa Tuhan dan pahala. Sebelumnya dia malah absurd ngomongin blog depresi yang isinya bunuh diri. Huahhahaha… Tinggal nambahin materi tentang surga dan neraka, maka seminar ini akan berubah menjadi dakwah terselebung. No offense, Yos! :)

Point penting yang juga harus diperjelas dalam materi Ayos adalah tentang chapter Lying is Praying. Sebenarnya bukan bohong yang kejam gitu ya. Cuman ada pepatah mengatakan, “kata-kata adalah doa.” So, jadilah professional liar, dengan mengabarkan kebohongan-kebohongan yang bersifat positif bagi Anda, agar menjadi sebuah doa, lalu terwujud di kemudian hari. Chapter ‘kebohongan’ ini memang menjadi salah satu saksi perjalanan empat tahun blog Hifatlobrain. Tapi ya, semua kembali kepada pribadi blogger masing-masing ya. Untuk yang tidak takut pahalanya berkurang, silahkan dicoba metode menarik ini.

Intinya, jangan takut ngeblog, even the first thing you write is a crap. Jangan malu-malu berbagi ide kepada sesama untuk hal sekecil apapun. Jangan ragu untuk upgrading, fokus di satu hal yang bakal bikin blog kamu menjadi lain daripada yang lain. Yeah, pokoknya be a master of something lah!

Oke, sekian review saya tentang materi blogging yang diberikan Ayos Purwoaji. Not bad, Om! Serius deh! *Minta traktir*

Dan berita gembiranya, setelah si Ayos ndagel dua jam, karena suatu hal yang urgent, saya pun diseret pulang tanpa bertemu Raditya Dika. Yes!

Happy blogging everyone! Ciao!

Blogging Without Planning


Jumat, 04 Maret 2011

Scandinavian Explorer by Asanti Astari



Buku perjalanan karya Asanti Astari ini sukses bikin saya ‘nyasar’ berkali-kali. Totally get lost! Bagaimana tidak? Jika sepanjang 202 halaman ini, otak saya dijejali dengan berbagai nama-nama asing, yang kadang susah saya bedakan lagi apakah itu nama suatu negara, kota, bandara, ataupun museum! Jangan tanya lagi betapa ribet nama-nama itu untuk diucapkan. Parahnya, sebelum membaca buku ini saya ngga tahu Scandinavia itu berada di bumi belahan mana. Geografi saya memang seadanya saja, hanya cukup untuk tabungan lulus sekolah (bertahun-tahun yang lalu). Untuk yang senasib dengan saya, maka biar saya berikan contekan bahwa Scandinavia itu adalah kawasan negara-negara yang terletak di Eropa Utara, seperti Norway, Denmark, Sweden, Finland, Iceland.

Lirik lagu I Left My Heart in Scandinavia oleh The Jonas Brother yang dijadikan chapter pembuka seakan mewakili perasaan Mbak Asanti pada saat traveling melintasi North Countries itu. Seems like she is deeply falling in love with those countries. Apalagi basic Mbak Asanti adalah mahasiswa pecinta alam ya. Seperti kucing diberi ikan asin, maka Mbak Asanti terlihat ‘rakus’ melahap berbagai panorama alam raya yang menggoda selama berada di sana. Dia menggambarkan lanskap Scandinavia seperti crayon hijau, cokelat, biru dan putih yang tumplek menjadi satu. The best thing, menurut saya, adalah fakta bahwa Aurora Borealis menjadi salah satu opera langit yang bisa dinikmati di kala musim dingin tiba di sana. Yes, that must be awesome! Something you gotta see before you die!

Aurora Borealis (sumber)

Buku ini menyediakan panduan cukup lengkap untuk para traveler yang berminat melakukan perjalanan serupa. Dari pengalaman mengurus berbagai Visa, yang jujur saja, bikin dahi saya berkerut-kerut membayangkan prosesnya, lalu transportasi, akomodasi hingga berbagai link website yang berguna untuk mendukung perjalanan menuju Scandinavia. Mbak Asanti juga memberikan rekomendasi yang bersifat umum, yang mungkin bisa saja kita sepelekan padahal cukup krusial, seperti berbagai jenis pakaian yang cocok untuk dibawa hingga kondisi cuaca Scandinavia sepanjang tahun. Jangan sampai Anda berkunjung ke Norway pada saat suhunya mencapai -30 derajat Celcius. Minus, sodara!

Jangan takut bakal merasa bosan ketika membaca travel book ini. Selain berbagai travelogue, Mbak Asanti juga berbaik hati memajang gambar-gambar perjalanannya dalam format full colour. Tentu saja itu penting, untuk menyesuaikan imajinasi pembaca dengan potret sebenarnya.

Saya rasa ini adalah buku perjalanan pertama (di Indonesia) yang mengangkat destinasi Eropa Utara. Karena kalau kita sudah membayangkan Eropa, pasti yang terlintas adalah Itali, Paris, dan teman-temannya yang lebih popular. Jadi jangan heran, kalau seusai membaca buku ini, pengetahuan Anda bakal bertambah beberapa tingkat. Saya baru tahu tentang kereta api yang bisa naik feri melintasi negara, ya setelah mengkhatamkan buku Mbak Asanti ini. Walaupun belum pernah merasakannya, tapi it is nice to know about that train :)

Mbak Asanti sendiri mengaku memiliki deep passion terhadap kuliner lokal. Jangan salahkan dia, kalau tiba-tiba perut Anda bergejolak minta diberi asupan ketika membaca chapter yang membahas detil segala macam makanan lokal yang dia lahap selama perjalanan. Saya ngga pernah tahu rasa makanan SmØrrebrØd itu seperti apa. Ah, bagaimana pula pronounce makanan itu! Tapi gosipnya, belum ke Denmark kalau belum mencoba SmØrrebrØd dengan toping ikan herring! Perhatikan juga deskripsi yang diberikan Mbak Asanti tentang berbagai buah berry. Berasa nonton acara masak-memasak di TV.

Dengan menggunakan gaya bahasa yang crunchy, beberapa kali saya merasa turut serta berada di samping penulis ketika melakukan perjalanan ini. Seperti ketika merasakan kontrasnya sudut-sudut kota di Berlin, lalu saya ikut membayangkan bagaimana enaknya hidup di Denmark yang sudah terkenal dengan predikat The Happiest Place on Earth, bersepeda sampai gempor menyusuri Copenhagen, hingga menginjakkan kaki di atas tebing-tebing Preikostolen yang so waw sekali curamnya.

Tebing Preikostolen (sumber)

Mungkin saking senengnya banyak merasakan petualangan baru dalam perjalanannya, Mbak Asanti juga sering membandingkan antara Scandinavia dengan kondisi Indonesia, terutama Jakarta. Yeah, bagaimanapun rumput tetangga memang lebih hijau ya…

Untuk traveler yang ingin melakukan perjalanan ke Scandinavia, saya rasa membaca buku ini sedikit banyak dapat membantu Anda menyusun itinerary. Sedangkan untuk pembaca seperti saya (traveler yang sedang ngga kemana-mana), Scandinavian Explorer bisa digunakan sebagai sumber pengetahuan baru tentang gambaran negara-negara yang berada di dekat Kutub Utara.

Happy reading!

Kamis, 03 Maret 2011

Dear Japan


Bicara tentang dokumentasi perjalanan sekarang ini rasanya kurang afdol kalau ngga menyinggung tentang travel video, yang menurut saya memang lagi nge-trend. Mungkin sudah banyak para pejalan yang selalu merekam gambar bergerak, namun akhir-akhir ini saya banyak menemukan travel video yang tidak sekedar haha-hihi narsis, pamer tempat bagus hingga pantai yang eksotis.

Mungkin ini juga berpengaruh dengan perkembangan teknologi ya. Sekarang kamera pocket yang kecilnya segitu saja sudah banyak yang dilengkapi fitur video full HD. Saya sebenarnya masih awam dan tidak banyak tahu tentang piranti keras ataupun lunak yang biasa digunakan untuk membuat sebuah video menjadi menarik. Tapi rasa memang ngga pernah bohong. Walaupun saya seorang kroco dalam hal travel video, tapi dari sisi penikmat dan penonton, saya lumayan bisa memilih sebuah karya dokumentasi perjalanan yang luar biasa bagusnya.

Mari saya perkenalkan kepada Anda, para pecinta jalan-jalan, sebuah travel video yang terus-terusan berputar dalam ingatan saya beberapa bulan terakhir. Dear Japan yang dibuat duet oleh Nathan Miller dan Matthew Brown. Sesuai dengan judulnya, video ini diambil ketika Miller sedang melakukan perjalanan ke Jepang.

Saya menemukan video ini dari website Matador Network. Untuk yang belum familiar, Matador Network ini merupakan sebuah komunitas traveler dunia. Banyak hal yang bisa didapat dari sana yang berkaitan dengan dunia per-traveling-an. Suatu hari seorang cewe bernama Lindsay membuat sebuah postingan dalam blog Matador tentang 10 travel video ter-favorit versi pribadi. Iseng-iseng, semua rekomendasi dari Mbak Lindsay ini saya tonton satu per satu. Sampai akhirnya, saya jatuh hati pada Dear Japan.

Menurut saya, video ini menjadi keren karena dua hal. Nathan Miller, si traveler, tampaknya gemar mengambil footages yang tidak biasa. Bisa terlihat dari adanya hal-hal yang ’ngga penting’ dalam rekaman ini. Kura-kura, ikan koi, langkah sepatu pejalan, hingga kabel pemancar. Kalau melihat dalam versi mentah, mungkin saya juga akan berkomentar remeh, ”Apaan sih ini? Ngapain nyuting aspal jalan...”

Tapi setelah saya pikir, bukankah hal-hal aneh itu yang sering kita cari ketika melakukan perjalanan. I mean, bukan aneh yang gimana yaa, tapi lebih pada something new. Kayak turis Inggris yang seneng sekali ngeliatin dan trekking melintasi persawahan di Ubud. Sesuatu yang aneh buat kita sebagai penduduk lokal yang sudah sehari-hari melihat sawah. Mungkin hal-hal seperti itu juga yang sedang berusaha didokumentasikan oleh Miller selama dia berada di Jepang.

Di balik ketidakjelasan itu, tampaknya Miller ini cukup beruntung karena berhasil merekam momen-momen yang tak terduga. Misalknya pada menit ke 01:06, 01:33, 02:31, dan favorit saya ada pada menit 02:54.

”Arrggh... kok bisa ada anak cewe lari-lari di situ pas banget kereta mulai jalan!” Histeria yang ngga penting ya? :D

Hal yang kedua adalah tentang si editornya, Matthew Brown. Dengan footages mentah, yang kadang ngga jelas seperti itu, saya ngga bisa membayangkan bagaimana ruwet kerja otaknya. Yang jelas dia pasti seorang yang penyabar. Karena di sini dia kudu bekerja dobel. I mean, selain mengedit puluhan atau ratusan gambar, tentu dia harus memikirkan backsound yang sesuai, dan memadupadankan kedua hal tersebut. Jujur saja, suara spooky pada detik-detik awal merupakan hal yang menarik saya untuk melihat video ini hingga habis. Si editor meminjam Empty Room karya Zack Hemsey, yang juga menggarap soundtrack untuk film Inception. Lagu ini sangat cocok untuk gaya seorang Brown, yang sering bermain kecepatan ketika mengedit sebuah video. Lihat saja karya-karyanya yang lain dengan pattern serupa.

At least, video dreamy feel ini, berhasil membuat saya pengen traveling ke Jepang someday. Sementara mengumpulkan uang, ada baiknya saya belajar dulu, how to make an interesting travel video ya... Oh iya, tolong jangan tanya sudah berapa kali saya menonton Dear Japan...

:)

To watch Dear Japan and another great job of Matthew Brown on Vimeo, please click this link.

Rabu, 02 Maret 2011

Grebeg Maulud: Berebut Berkah Gunungan

Tangan-tangan kosong itu mulai tampak terangkat di udara ketika prajurit pembawa Gunungan Lanang melewati gerbang Keraton Pakualaman. Seakan tak mau kecolongan start, petugas keamanan berusaha menertibkan kerumunan warga yang tampak tak sabaran. Suara gamelan yang sedari tadi mengiringi sudah tak terdengar lagi, digantikan dengan derap langkah warga yang terburu-buru, saling berhimpit untuk mengambil posisi sedekat mungkin dengan Gunungan yang didominasi warna hijau itu.

Empat hingga lima orang lelaki dewasa berhasil memanjat Gunungan. Mereka dengan cepat menghabiskan segala hasil bumi yang melekat pada rangkaian kayu berbentuk kerucut itu. Saat itu seakan terjadi hujan sayur mayur di sana. Kacang panjang, cabai merah, cabai hijau dan sebagainya dipreteli lalu dilempar untuk dibagikan pada masyarakat yang berdesakan di sekeliling gunungan. Tak sampai hitungan sepuluh menit, prajurit Keraton berlarian menghambur keluar dari kerumunan warga, menggotong rangka kayu bekas gunungan yang sudah habis dibagikan.

Anehnya, walau sudah berhimpit-himpitan seperti itu, saya melihat mereka masih bisa tertawa-tawa dengan santai sembari asyik memunguti apa saja yang tersisa di atas tanah. Tidak ada yang berkelahi atau berebut paksa. Semakin banyak yang digenggam, semakin lebar senyum mereka. Tapi tak jarang juga yang hanya mendapat sebatang potongan kayu yang dihiasi lilitan kacang panjang.

“Le, mbah njaluk siji yo, Le,” pinta seorang nenek yang berdiri tak jauh dari tempat saya. berada. Karena usianya yang sudah renta, saya yakin beliau hanya mampu memandang gunungan itu diperebutkan dari jauh. Seorang anak lelaki gemuk kemudian memberinya beberapa potongan kacang panjang hasil perburuan yang dia dapatkan.

Grebeg adalah salah satu tradisi berusia ratusan tahun yang selalu diadakan pihak Kraton pada peringatan Idul Fitri, Idul Adha dan Maulud Nabi. Dikeluarkannya Gunungan sebagai puncak dari rangkaian tradisi Grebeg selalu menjadi daya tarik yang tak terlewatkan bagi warga sekitar maupun wisatawan di Yogyakarta. Gunungan sendiri mengandung makna sedekah kemakmuran dari raja kepada rakyatnya, yang dipercaya akan membawa keberkahan dalam hidup. Karena alasan itulah, laki perempuan, tua muda, selalu datang menyerbu dan menghabiskan segala hasil bumi ataupun makanan tradisional yang melekat pada Gunungan, untuk dibawa pulang dan disimpan di rumah.












Selasa, 01 Maret 2011

There is a Country for Old Men

“Daripada dicereweti mantu, mending datang ke sini tiap minggu,” canda Pak Lim Oo Yen, disambut gelak tawa beberapa lansia yang berkumpul di sampingnya. Tempat itu bernama Yayasan Lima Bhakti, terletak di Jalan Bunguran yang masih termasuk dalam kawasan Pecinan Surabaya. Sejak 65 tahun yang lalu, bangunan tua ini memang didedikasikan sebagai tempat pendataan dan berkumpulnya para pemegang marga Liem khususnya di Surabaya.

Memasuki ruangan demi ruangan di sini, serasa sedang melewati distrik-distrik di Beijing. Hampir semua lansia masih fasih bercakap menggunakan bahasa Mandarin. Tempat perkumpulan ini memang lebih banyak ‘dikuasai’ oleh para lansia peranakan Tionghoa di akhir pekan. Mungkin ini sebagai salah satu cara mereka untuk melepas penat, bertemu kerabat, dan bersenang-senang dengan cara mereka sendiri.

Terlihat dari bagaimana mereka dengan tekun mempelajari kesenian Shufa, atau biasa disebut Chinese Calligraphy. Menorehkan kuas bertinta hitam, mengikuti template yang sudah tersedia pada kertas-kertas latihan sebagai dasar pelajaran kaligrafi ini. Melukis huruf termasuk kegiatan bernilai tinggi dalam sejarah kesenian China. Seorang master bahkan bisa menjual ’hasil coret-coret’ itu hingga milyaran rupiah di luar sana. Namun, alih-alih mengubahnya menjadi uang, saya rasa para lansia yang saya temui di Lima Bhakti hanya berkeinginan untuk mempelajari tradisi leluhur. Sesuatu yang hampir atau sudah dilupakan oleh generasi mudanya. Saya sih maklum, lha wong memang ini bukan ’pekerjaan’ yang mudah. Selain harus gemulai bermain dengan kuas, tebal tipis huruf pun berpengaruh, dan termasuk mengerti makna dibalik goresan yang sudah dibuat.

Pemandangan yang agak berbeda bisa dilihat ketika memasuki ruangan lain. Masih seputar kuas dan tinta. Namun ruangan yang menghadap teras belakang ini lebih menekankan pada Chinese Painting. Saya sebut berbeda, karena di antara para lansia terlihat beberapa anak kecil yang tampaknya lebih menggemari kesenian ini dibandingkan melukis kaligrafi. Menurut saya pribadi, melukis pepohonan memang jauh lebih mudah daripada mempelajari pepatah klasik Cina dalam kaligrafi. :)

Dalam perkembangannya, Yayasan Lima Bhakti tidak melulu diperuntukkan bagi marga Liem saja. Siapa saja boleh mempelajari kesenian Tionghoa di sini. ”Tidak ada perbedaan bangsa ini atau bangsa itu,” ujar Pak Lim Oo Yen. Dan semuanya gratis, sodara...

Selain kesenian melukis, Lima Bhakti juga memiliki tempat karaoke yang nyaman sekali. Ber-AC dan Anda bebas berteriak-teriak seriang mungkin di sini. Tentu saja, dalam nyanyian berbahasa Mandarin. Jangan khawatir salah ucap jika Anda termasuk yang masih newbie, akan ada tentor yang ’mengawasi’ Anda dalam bernyanyi di sana. Pemandangan yang hampir sama pernah saya lihat di Semawis, Pecinan Semarang. Setiap akhir pekan, para lansia berkumpul di pinggiran jalan, bergoyang dan bertepuk tangan, melantunkan berbagai lagu-lagu Mandarin populer.

Dalam ruangan yang lebih temaram, saya mendengar seorang wanita sedang bernyanyi sambil memetik kecapi diiringi suara seruling dari pria tua yang duduk di hadapannya. Keduanya tampak 'tenggelam', memainkan nada-nada dalam partitur yang sudah lusuh. Sekarang saya berasa nonton film-film silat jaman masih SD.

Bersebelahan dengan ruangan ini, segerombolan kakek-kakek nampak asik tak terusik bermain catur gajah atau biasa disebut Xiang Qi. Mereka melangkahkan pion-pion catur sembari berteriak seru. Tentu saja dengan bahasa yang susah saya mengerti. Katanya sih, seseorang menjadi agak susah diganggu kalau sudah ’terjebak’ dalam permainan ini. Xiang Qi termasuk olahraga yang butuh konsentrasi tinggi. Pantas saja mereka tidak terpengaruh dengan banyaknya lalu lalang orang di depan meja kecil itu.

Kalau Anda pikir, para lanjut usia tidak bisa bersenang-senang, maka sebaiknya Anda berkunjung ke tempat ini di akhir pekan dan perhatikan bagaimana mereka menghabiskan hari berkutat dengan kegiatan seru yang mereka lakukan bersama para sahabat. :)