Rabu, 24 April 2013

Makan Apa di Festival Teluk Jailolo?



Gunung Jailolo habitat buah pala

Festival Teluk Jailolo 2013 sudah di depan mata. Dua kawan saya, @wiranurmansyah dan @kenarrox, beruntung berhasil mengantongi tiket gratis menuju pulau kecil di Halmahera Barat tersebut. Eh, bukan beruntung deng. Mereka patut menang lah ya, atas kerja keras otak mencari sudut pandang kreatif yang jarang dipikirkan orang lain saat membuat tulisan. :D

Anyway, buat kalian-kalian yang berencana kesana. Please, do two this important things: have fun and eat a lot! Itulah mengapa saya sengaja membuat postingan ini. Sekedar bernostalgia dengan masakan Bu Fao, satu-satunya pemilik homestay di Jailolo yang juga bertugas menyediakan masakan-masakan khas Maluku untuk tamu-tamu. Selama di sana, saya ngga kenal makan pagi, siang, atau malem. Asal ada makanan baru yang terhidang di meja, maka rombongan saya selalu dengan senang hati dan lapang dada untuk menyantapnya. Hehehe... 

Pisang Mulut Bebek
Mengapa dinamakan demikian? Karena kata orang sana bentuk si pisang mirip dengan lengkungan mulut bebek. Awalnya saya mengira, fungsi pisang ini sama seperti pisang di warung-warung Jawa, sebagai hidangan penutup atau sebagai camilan saja. Namun tidak di sini. Warga lokal menyantapnya sebagai pengganti nasi. Biasanya bersanding dengan menu ikan. Selain digoreng, umumnya pisang ini direbus dengan santan, yang kemudian disebut sebagai pisang santang. Nah, yang kayak gini nih sempet saya coba di homestay Bu Fao. Setelah di rebus warna pisang berubah menjadi kecoklatan dengan sisa-sisa santan yang menempel. Memang tak terlalu empuk sih, apalagi saya doyan makan pisang yang udah matang banget. Ternyata untuk membuat pisang santang memang sengaja dipilih buah yang masih muda agar tidak hancur. 


Papeda
Dari dulu saya penasaran banget dengan menu satu ini. Papeda memang tidak hanya bisa didapatkan di Maluku. Daerah dengan pangan pokok sagu biasanya juga membuat menu serupa, seperti Papua. Cara bikinnya? (Katanya) mudah kok! Tepung sagu ditaburi garam dan gula. Diaduk sembari dituangi air mendidih sampai lembut dan berwarna putih bening. Tekstur papeda yang menyerupai lem ini biasanya membuat orang asing kayak saya melongo. Rupanya perlu sepasang sumpit atau semacamnya lah untuk menuang papeda dari mangkuk besar ke piring-piring. Perlu sedikit kebiasaan untuk jago dalam hal satu ini. Seperti tepung yang lain, papeda ini pun sebenarnya terasa hambar. Karena itulah setiap ada hidangan papeda, umumnya disediakan pula sup ikan kuning yang Ya Tuhaaaaaan.... endang mbambang! Wenak tenan! Sueger, tuips! Kalau udah pake perpaduan papeda dan sup ikan kuning, ya ngga perlu ambil nasi lah ya. Dijamin kenyang!




Nasi Jaha
Nah, yang ini mirip banget rasanya sama lemper. Tapi tanpa filling daging. Nasi jaha juga terbuat dari beras ketan dan dibungkus dengan daun pisang. Makanan ini oily dan lengket banget di mulut. Nasi Jaha kabarnya juga ada di Sulawesi. Meskipun judulnya ada kata 'nasi', tapi saya anggap sebagai camilan macem lemper. Hehe...



Nasi Kembar
Ini baru nasi beneran nih. Rasanya manis ya seperti nasi-nasi lainnya. Sekilas bentuknya yang terbalut daun pisang, bikin saya ingat lontong di Jawa. Tapi teksturnya ngga selembut itu. Karena nasi ini setelah berada dalam dua selongsong daun pisang, kemudian dimasukkan dalam bambu untuk dibakar. Makanya agak-agak keras gitu. Tapi wangi banget terkena paparan daun pisang.


Ikan Dabu-Dabu Manta
Pertama kali mendengar nama menu ini, saya beneran ngga ngarep bakal makan manta (pari). Dari ribuan warung sego sambel yang berjejer di Surabaya, hanya ikan pari yang ngga saya suka. Menurut saya, baunya aneh. Terlebih mendegar kisah ikan pari dan anak-anak Jermal, yang.. eum.. udahlah. Jadi ngga laper nanti. Hehe..


Alhamdulillah, ternyata 'manta' dalam bahasa lokal berarti mentah. Dinamakan seperi itu karena masakan ini dihidangkan dengan rajangan bumbu dan sayuran segar tanpa direbus atau digoreng. Biasanya sih pake ikan jenis tongkol. 

Setelah dibersihkan, ikan dibakar terlebih dahulu. Namun, ajaibnya saya sama sekali tidak melihat sisa-sisa pembakaran yang menempel di badan ikan. Bersih dan matang dengan sempurna. Sepertinya ada teknik khusus yang digunakan oleh masyarakat lokal dalam membakar ikan. Selanjutnya, tomat, cabai rawit, bawang merah dipotong kasar dan ditaburkan di atas ikan yang telah dibakar. Tak lupa beberapa helai daun kemangi dan perasan jeruk nipis untuk menambah harum dan rasa segar. Luar biasa enak! Saya nambah berkali-kali. Walaupun katanya sudah banyak yang jual di Jawa tapi biarin deh, jangan-jangan saya ngga bisa balik lagi ngerasain masakan Bu Fao. Beda tangan bisa beda rasa juga.

Menu masakan ini juga bisa dimodifikasi menjadi dabu-dabu rica. Baik rica maupun manta, biasanya sih disantap dengan pisang mulut bebek santang ataupun rebusan ubi. Kalo saya tetep pake nasi. Nasi for the win! Hehehe...

Gohu Ikan
Yang ini faporit!! Primadona di hati saya pokoknya! Hehehe... Sesungguhnya gohu ikan ini masakan yang masih mentah. Tapi ngga tau kok bisa ngga anyir yah. Jadi ikan ini memang harus segar dari nelayan dan dimasak saat itu juga. Biasanya sih jenis tuna dan cakalang. Ikan yang baru ditangkap ini segera dibersihkan dan dilumuri garam, kemudian dipotong menjadi seperti dadu-dadu kecil. Berbagai rempah yang wangi dan segar juga turut dilumurkan. Ada bawang merah, perasan jeruk nipis, rajangan cabe rawit, dan pasti daun kemangi. Semua itu disiram dengan sedikit minyak panas. 


Beneran ngga kayak mentah. Tangan saya ngga bisa berhenti ngambil. Huahahaha... Orang asing yang baru bertandang ke Jailolo pasti bilang bahwa gohu ikan ini mirip sashimi. Lah, saya sih nurut aja, ngga pernah makan sashimi sih. :p Anyway, biasanya gohu ikan ini dimakan bareng pisang santang atau roti sagu yang bentuknya mirip roti tawar panggang.


Selamat makan sodara-sodara, teruslah memperkaya lidah dengan khazanah kuliner Indonesia yang beragam. Hehe. Makanan di atas kayaknya minim resiko meningkatkan kolesterol yah? Jadi kayaknya aman nih buat yang suka cenat-cenut setelah makan jerohan. Selain dari homestay Bu Fao, makanan-makanan ini juga kembali dihidangkan dalam acara Horom Sasadu, semacem upacara paska panen gitu. Makan terus 7 hari 7 malem di balai adat! Buat yang mau berencana ke Festival Jailolo bulan Mei mendatang, nitip salam buat Bu Fao yah. Makanlah sampai puas, karena Bu Fao ngga buka franchise sampai Jawa. []


Horom Sasadu saat Festival Teluk Jailolo 2012

Minggu, 21 April 2013

Dulu, Hujan Tak Pernah Semengerikan Hari Ini

Badan kami sudah letih. Setelah berputar-putar berkeliling beberapa bagian di Surabaya sedari pagi, akhirnya kami pulang ke rumah menjelang Maghrib. Baju saya basah, sedangkan Mas Dian masih mengenakan jas hujan yang hanya sepasang itu. Kami memang sempat merasakan diterpa hujan angin hingga memutuskan berhenti di tepian jalan cukup lama. Saat kondisi cukup kondusif, Mas Dian menyalakan motor butut saya lagi. Hingga terpaksa berteduh di bawah jembatan layang, saat hujan tiba-tiba kembali menggila. 

Perjalanan ke pusat kota memang menjadi sangat jauh saat saya dan suami menyewa rumah di pinggiran Surabaya Timur. Selama hampir empat bulan sebelum menikah, saya berputar-putar mencari rumah yang strategis dan terjangkau dompet. Tipikal orang Indonesia lah, maunya murah dan bagus. Tentu saja yang seperti itu mustahil didapatkan di zaman apa-apa serba mahal ini. Mau murah ya di pinggiran! 

Banyak sekali perumahan mini yang di bangun di pinggiran kota Surabaya. Saya pun akhirnya menempati salah satunya, yang masih terbilang dekat dengan pusat kota dibandingkan yang lain. Namun tetap saja, daerah tempat tinggal saya ini lebih dekat dengan tambak dan perairan Surabaya Timur daripada Stasiun Gubeng. Tapi tetap bersyukur, mendapat rumah dengan halaman ekstra. Eksta besar dan ekstra juga tenaga perawatannya. 

Maghrib itu kami tiba di rumah. Hujan deras tadi rupanya menimpa wilayah kontrakan kami pula. Berharap segera mandi dan makan malam lalu santai-santai, saya cepat-cepat membuka pintu. Seketika kaget! Rumah kami ternyata kebanjiran! Air hujan masuk dari sela pintu ruang tamu. Merembet hingga ke kamar depan. Arrrgh... 

Saya dan Mas Dian kerja bakti malam itu. Mengepel lantai, mengeluarkan barang di kardus yang dasarnya digenangi air, lalu mengepaknya kembali. Tentu saja, semua kegiatan itu dibarengi dengan rutukan tentang desain rumah kontrakan yang serba kurang perhitungan. Sebelumnya memang pemilik rumah ini juga sudah berwanti-wanti agar sabar dengan rumah ini. Dia menyalahkan tukang bangunan yang bekerja sesuka hati tak sesuai perintah.

Semenjak kejadian itu, kami memperbanyak membeli keset dan kain pel. Semua dipasang berjejeran di sela pintu ruang tamu. Setiap hujan turun, Mas Dian selalu sigap keluar rumah untuk mengecek arah angin hujan. Bila condong miring ke Timur maka siap-siap ruang tamu akan tergenang lagi. Bila condong ke Barat, kami berlari ke pintu belakang dekat dapur tempat jemuran berada. Entah ide siapa yang menaruh pipa talang buangan air dari genteng ke dalam area rumah. Ya meskipun itu hanya sepetak kecil tempat jemuran yang tak beratap, sepertinya lebih baik untuk mengalirkan pipa tersebut ke arah luar. Jangan heran bila kelak datang ke rumah saya, kalian melihat banyak tumpukan keset di depan pintu. 

Persoalan tak berhenti di situ. Di kamar kami sendiri pun sama. Selang beberapa hari diributkan oleh masuknya air dari depan dan belakang, rupanya masih ada tempat yang harus mendapat pengawasan. Rembesan air di dinding kamar yang kata pemiliknya sudah ditambal berulang-ulang itu masih saja ada. Mengalir seperti air terjun mini. Meskipun lebarnya hanya 0,5 cm, tapi kalo ada tujuh rembesan ya itu namanya persoalan. Kami pun menaruh keset di pojokan kamar. 

Sehari setelah Mas Dian kembali ke Sumba, lampu ruang tengah tiba-tiba mati. Saya lantas menggantinya dengan yang baru. Tapi tak juga menyala. Lantas lampu baru tersebut saya coba pada fitting lainnya di kamar depan dan sukses menyala dengan terang. Masih bersabar, saya pasang lagi lampu itu di tempat yang mati. Gelap. Seketika saya menelepon suami, dan tangis saya pecah. 

Kalau dipikir saat ini, saya hanya bisa geleng-geleng kepala, bagaimana sebuah bohlam lampu mampu membuat saya menangis sekencang itu. Saya pernah terombang-ambing di laut perairan Madura-Sapudi selama tiga jam. Beberapa penumpang sudah menangis dan menyebut asma Allah. Tapi saya tidak meneteskan air mata sedikit pun. Malah berusaha untuk tidur. Di Sintang, saya pernah mendaki Bukit Kelam yang ternyata memang kelam. Saya hampir pingsan karena kurang gula. Tapi tak juga merengek minta turun ke bawah. Saya tetap berjalan sembari mengunyah wafer yang diberikan seorang kawan dan terus berpikir positif agar cepat sampai di camping ground. Lantas bertahun kemudian, saya di kamar, tersedu karena sebuah bohlam lampu. 

Seiring dengan seringnya hujan turun, maka rumput-rumput liar di halaman rumah pun tumbuh subur. Sebelum kembali ke Sumba, Mas Dian sempat menyemprotnya dengan herbisida lalu memangkasnya dengan gunting ruput. Tapi seperti kata Shancai, rumput liar bisa tumbuh dimanapun dan kapanpun. Maka mereka kembali bermunculan ijo royo-royo. 

Dulu, hujan tak pernah semengerikan ini. Setiap mendung terlihat, saya selalu was-was. Meninggalkan rumah untuk keluar kota menggarap pekerjaan pun tak bisa terlalu lama. Pikiran saya selalu ke rumah. Memang sudah ada keset-keset. Tapi toh mereka butuh dicuci dan dikeringkan agar rumah tak menjadi lembab dan menjadi tempat tinggal favorit berbagai jamur dan penyakit. Ah, pokoknya...!

Hujan di tengah malam adalah hujan paling mengerikan bagi saya. Apalagi jika terlihat cahaya petir yang menyambar. Membuat tidur saya semakin tidak enak untuk dilanjutkan. Ah tapi apapun itu, semuanya harus disyukuri ya. Paling ngga, warna rupa-rupa di awal bulan sudah menghiasi kehidupan pernikahan kami. Hari ini jalan menuju bulan ketiga kami mengontrak rumah ini. Ada banyak hal yang membuat saya berubah secara drastis. Ada yang enak, ada pula yang tak nyaman. Kapan-kapan saya ceritakan. :)