Selasa, 31 Mei 2011

Tik Tok!

Waktu melesat secepat Shinkansen, eh tiba-tiba besok udah masuk bulan Juni aja. Udah pertengahan tahun 2011. Uuuhh... Harus senang atau nyesel, bingung juga. Niat tahun lalu sih pengen 'ngapa-ngapain' yang lebih banyak di 2011. Sejauh ini, ya cukuplah 'yang lebih banyak' tadi bikin saya menggagalkan rencana kesini dan kesitu, lalu beralih ke rencana yang lain. Aih, pokokmen (sok) ribet dan (sok) repot... Satu keinginan terwujud, diselingi beberapa kegagalan di kanan kiri. Ya biasalah ya... Kalau kata tweet Giring Nidji kemarin, cobaan datang memang untuk dilewatin.

Hm, apalagi ya... There's so many things i gotta do sebenernya di tahun ini. Banyak mimpi, banyak yang ingin dicapai, banyak belajar. Pinginnya sih mulai membiasakan diri bikin caption foto, ngga begadang kayak petugas ronda, ngga sering-sering makan nasi sambel (ohyaowoh, salahkan Imute yang berada dekat kos saya!), rajin ngeberesin kamar kos yang kata Rika, berantakan kayak mahasiswi Esmod, dan sebagai-bagainya... Uuuuh dan ini udah lewat 6 bulan aja. Cepet banget ya! Banyak yang terjadi... yang seneng, yang ngga enak, yang ngga disangka, yang bikin jatuh, yang bikin ketawa... Yang penting dan yang ngga penting. Sliweran dalam hidup saya.

Oh sudahlah. Ocehan ini sungguh ngga mutu adanya. Tapi, tapi, kalo kalian sendiri, pencapaian apa aja yang udah didapet di pertengahan tahun ini?

*Nulis sambil nyanyi Hitomi No Junin-nya Laruku*

Selasa, 24 Mei 2011

The Old Stamp


Oke, saya memang bukan seorang filateli, tapi ketika mengunjungi Malang Tempo Doeloe VI beberapa hari yang lalu, satu-satunya yang menarik minat saya adalah sebuah kios buku bekas yang juga menjual buanyak perangko lawas. Seketika itu saya langsung naksir sebuah stamp album bekas pakai berwarna hijau kinclong. Hap! Harganya lima ribu rupiah. Beli, ah... Isinya? Tentu saja masih kosongan. Maka biar album perangko ini ada gunanya, saya beli lah beberapa lembar perangko bekas di kios itu.

Sekali lagi, saya bukan filateli. Agak mikir juga ketika dihadapkan pada sebuah kotak berisi ribuan perangko bekas. Perangko seperti apa yang saya mau? Sementara Mbak berjilbab di samping saya sangat telaten memilah-milah lembaran perangko itu. Saya sih mau saja berlama-lama di kios tersebut, tapi sudah dipastikan tiga temen saya bakal mati kebosanannungguin saya ngubek satu kios itu. Maka, atas nama ilmu peluang acak, saya comot saja beberapa tanpa tahu isinya apa. Prinsip saya yang penting semua tampak beda ajalah, haha... Cling, cling, cling, semuanya 15.000 rupiah termasuk album perangko kinclong tadi. Saya ngga pernah belanja beginian, jadi saya ngga tau itu murah atau mahal. Yo namanya juga iseng :)

Oke ini saya lampirkan gambar perangko hasil pilihan random tadi. Yuhuuu... ternyata saya sudah bisa berkeliling dunia lewat 15.000 rupiah! Haha! Perangko saya datangnya dari Filipina hingga Kanada. Ihh tapi lah kok kebanyakan Belanda sama Indonesia jaman Orde Baru ya... Haaa yasudahlah...

Ada satu yang awalnya tidak bisa saya identifikasi dari mana asalnya. Tapi atas bantuan Google ternyata si Munka Érdemrend Ezüst Fokozata sebuah perangko berwarna cokelat itu adalah produksi Hungaria... Uhuuu apakah saya sudah terlihat seperti filateli keren karena mengetahui arti Magyar Posta? Padahal saya punya satu Magyar Posta lain yang jelas-jelas sudah ada tulisannya Budapest sih, gitu kok ya masih gugling! Ahahaa.. nevermind!

Anyway jangan tanya saya apa arti Munka Érdemrend Ezüst Fokozata Percayalah, saya sudah gugling, dan tidak menemukan jawaban dengan huruf dan bahasa yang saya pahami. Sudah saya coba ke Google Translate juga lho, tapi i'm not sure itu bener artinya... Emm karena saya menemukannya di sebuah website Hungarian Armed Forces, sepertinya si Munka itu berhubungan dengan angkatan bersenjata Hungaria gitu deh. Ya, saya ngga paham juga sih :p










PS: Gambar yang terakhir cuman pengen ngebantuin yang punya kios :)

Minggu, 22 Mei 2011

The Gulali Festival












Just some random shots from Malang Tempo Doeloe VI. It was my very first impression about this event. Yes. Gulali. All around you! ;)

Rabu, 11 Mei 2011

Slow Traveling

Saya percaya bahwa setiap orang memiliki gaya traveling yang berbeda-beda. Ada yang ngaku backpacker, light traveler, flashpacker, bikepacker, koperer dan beberapa er, yang lain. Saya sendiri bingung jika harus mendefinisikan diri sendiri sebagai traveler macam apa. Bukan berarti karena saya suka nenteng ransel lalu saya dengan bangga menyebut diri sebagai backpacker. No. Saya memilih memanggul ransel ya karena lebih efektif dan efisien saja untuk jalan-jalan. Dan saya percaya, bahwa yang namanya backpacker tidak bisa hanya dinilai dari penampakan bawaannya saja. It’s more than a backpack. Apapun itu, yang namanya traveling pasti memiliki makna tersendiri bagi tiap pelakunya. Ada yang untuk having fun, tuntutan pekerjaan, cari pengalaman atau mungkin pelarian.

Beberapa minggu yang lalu, saya diajak seorang teman untuk mengunjungi Lasem, sebuah kota kecil di wilayah pesisir Pantai Utara. Sempat ragu-ragu karena saya sendiri belum pernah bepergian dengannya untuk ukuran luar kota. Apalagi dia berencana untuk menghabiskan waktu selama seminggu di sana. Ya, seminggu untuk satu kota kecil saja! Saya belum punya bayangan pasti apa yang harus dilakukan di sana untuk kurun waktu selama itu. Tapi toh akhirnya saya mengiyakan ajakannya.

Ketika sampai di Lasem, kami bertemu dengan dua orang bapak dari Jakarta dan Bogor yang kemudian saya panggil Om David dan Om Andi. Keduanya memang teman dari teman saya itu, yang kebetulan sedang berada di Lasem juga. Mereka datang beberapa hari sebelum kami sampai.

“Rencana berapa lama di Lasem, Om?” tanya saya.

“Ya… semingguan lah…,” jawab Om David santai.

Kedua lelaki ini adalah para pecinta dan pemerhati bangunan tua di Indonesia. Mereka kerap traveling dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk memenuhi hasrat sebagai penikmat kota lawas. Lasem bagaikan firdaus bagi orang-orang macam Om David dan Om Andi. Dan ini bukan kali pertama mereka bertandang kemari.

Saya berkesempatan mengelilingi beberapa sudut Lasem dengan kedua lelaki ini. Pada setiap bangunan tua, kami menghentikan langkah, mengetuk pintu lalu berkenalan dengan empunya rumah dan meminta ijin masuk ke dalam. Walau tak jarang yang menghuni hanya seorang pembantu rumah tangga beserta empat anjing galak.

“Rumah ini perpaduan Indische dan Tiongkok… Coba perhatikan terasnya, perhatikan lekuk atapnya, tapi kamu lihat di depan ada patung burung elang besar. Itu gaya kolonial,” kata Om David kepada saya ketika kami berada di depan sebuah rumah tua suram yang tak berpenghuni. Puas melihat dan mengidentifikasi, lalu kami beranjak menuju tempat lain. Begitu, berulang-ulang.

“Penghuni rumah ini punya buanyak koleksi perangko lawas,” ujar Om Andi sambil menunjuk pada sebuah rumah tua dengan pohon-pohon rimbun yang sedang kami lewati. Lalu dia berhenti. “Nah, itu putranya."

"Hey, Nyo!” sapa lelaki berkacamata ini ketika melihat seorang anak kecil gemuk sedang mengangkat ember berisi air di teras rumah.

Si anak peranakan Tionghoa itu menoleh dan tersenyum. “Mau masuk, Om? Ketemu Papah? Aku bukain gemboknya.”

“Enggak deh, mau jalan-jalan ke depan,” jawab Om Andi.

Dua orang ini kerap menyapa penduduk sekitar. Ini yang bikin saya terpana. Mereka seakan telah menjelma menjadi warga Lasem, bukan sosok orang asing dari kota besar dengan dandanan kece, yang sibuk jeprat-jepret sana-sini. Saking akrabnya dengan penduduk setempat, kami bahkan sempat dijamu makan malam oleh Ibu Merry, seorang pembatik di Lasem.

Kebetulan sore tadi saya membaca sebuah artikel di Majalah Dewi tentang Slow Traveling. Dan saya meyakini bahwa orang-orang seperti Om Andi dan Om David adalah salah dua dari penikmat gaya traveling satu ini.

Mungkin tidak banyak orang yang menganut slow traveling. Ada beberapa hal yang bisa menjadi alasan. Pertama, keterbatasan cuti kerja. Kedua, tidak ada ketertarikan tertentu yang membuatnya harus tinggal berlama-lama di satu destinasi.

Majalah bergaya kosmopolitan yang saya baca ini, memberikan beberapa gambaran seperti apa seorang slow traveler itu. Katakanlah ada tiket gratis PP Jakarta – Prancis, beserta uang akomodasi untuk berlibur dua minggu di sana. Maka seorang slow traveler pecinta kuliner tidak akan menghabiskan hari-harinya dengan mengitari Paris dan daerah wisata keren lainnya. Tapi dia akan memilih menyelami Lyon, sebuah kota kelahiran dan tempat berkiprahnya seorang master chef senior, Paul Bocuse. Menghabiskan hari-harinya dengan mengeksplor culinary Prancis sembari mengikuti kelas memasak di Institute Paul Bocuse yang terletak di tengah pasar gourmet terkenal, Les Halles de Lyon.

Fiuh! Saya langsung membayangkan betapa asiknya menjadi seorang slow traveler. Tidak menguras tenaga, tidak terburu-buru harus kesana kemari, semua terasa santai dan yang terpenting, tetap enjoy.

Sementara trend yang terjadi belakangan ini adalah sebaliknya. Banyak yang berencana untuk menghabiskan masa cuti kerja dengan menginjakkan kaki di berbagai negara dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Om Teguh Sudarisman, seorang editor majalah wisata, bahkan pernah tergelitik dengan traveling macam ini dan menuliskannya dalam sebuah status Facebook.

"Merasa heran kalau ada orang yang mau 'backpackeran' dengan rute Medan - KL - Shanghai - Guangzhou - Macau - Hongkong - Medan hanya dalam waktu 6 hari. Jadi, rencananya cuma mau numpang mandi saja di kota-kota ini? :))"

In my humble opinion, slow traveling pasti akan menghasilkan sesuatu yang lebih berkualitas daripada traveling-numpang-mandi seperti status tadi. Tapi sekali lagi, orang berhak menentukan gaya traveling yang dianutnya selama dia nyaman dan senang atas pilihan tersebut. Tidak ada undang-undang yang mengatur traveler untuk menjadi A atau B. Dan selama tidak menggunakan uang orang lain, maka semua gaya traveling adalah sah hukumnya.

Cheers!

Senin, 09 Mei 2011

Change

Lagu Keane ini memang sudah lama menjadi senjata terfavorit saya untuk menunjukkan protes terhadap teman-teman terdekat yang mendadak menjadi orang yang sama sekali tidak saya kenal. Seperti yang diungkapkan band British ini, saya merasa menjadi asing ketika terjadi perubahan di sekitar. Saya merasa terganggu dengan hal-hal tertentu yang tidak semestinya mereka lakukan. Lalu saya menjadi orang yang sok tau bahwa yang seperti ini pasti bagus untuk mereka, dan sebaliknya.

Entah apa yang terjadi malam ini, yang jelas saya harus berani bilang bahwa perilaku saya yang suka ngedumel melihat ada yang melenceng sedikit adalah perbuatan yang tidak terpuji. Sepertinya saya sesosok orang yang terlalu dibiasakan melihat yang itu-itu saja. Lurus sesuai jalurnya. Padahal memang sudah seharusnya semua orang berubah dalam tiap detik hidupnya. Termasuk saya.

Saya baru sadar, bahwa setahun terakhir ini saya juga sudah nampak berubah terutama bagi orang-orang yang hidup di sekitar saya. Hingga catatan ini ditulis pun saya masih dalam rangka bertransformasi menjadi sesuatu yang lain. Sepertinya, pengalaman pribadilah yang membuat saya mulai berkeinginan menutup mulut untuk tidak berceracau panjang lebar lagi menghakimi perubahan orang lain. Entah itu berakhir buruk atau bahagia, alih-alih mencemooh, maka yang harus saya lakukan adalah belajar dari mereka.

Sebulan terakhir ini, saya bertemu dengan banyak teman lama. Teman SD, teman main, teman kuliah, atau temannya si teman yang lama tak bertemu. Satu pernyataan atau pertanyaan yang selalu mereka lontarkan adalah seputar keputusan-keputusan besar di luar jalur seharusnya yang nekad saya jalankan. Mengapa begini, mengapa harus begitu? Kalimat-kalimat yang biasanya saya lontarkan ketika melihat ada yang berbeda dari teman saya.

Baru saya tahu, beginilah rasanya terganggu. Saya bahkan hampir kehilangan jawaban ketika pertanyaan itu muncul lagi dan lagi, saking malasnya menjelaskan. Ini menjadi semacam peringatan untuk saya juga sih, seakan ada yang berteriak, “ih, rasain sendiri sekarang, Put!”

It’s been a year, dan mengapa susah sekali memahami, bahwa saya berubah hanya demi mengejar mimpi. Sementara hidup cuma sekali, maka saya pikir, tidak ada kesempatan lain lagi untuk mewujudkan apa yang ada di otak saya kecuali detik ini.

Alm. Mula Harahap pernah menulis bahwa beliau sedang membangun makam di dunia maya berupa tulisan-tulisan di blog pribadi, sehingga para keturunananya di manapun berada, kelak tidak perlu repot jika sewaktu-waktu ingin melakukan ziarah makam.

Sesuatu yang keren, yang sangat menghantui pikiran saya. Karena lagi-lagi, hidup ini cuman sekali, dan yang harus saya lakukan adalah merubahnya menjadi sesuatu yang bermakna. Alah, saya banyak cingcong rupanya. Intinya, saya tidak boleh berhenti begitu saja di sini, saya harus banyak meninggalkan jejak di dunia ini. Woho!

And yes, sekarang saya berani bilang bahwa everybody’s changing, termasuk saya, dan terbiasalah dengan pilihan saya. Tak perlu repot memikirkan bagaimana nasib keilmuan saya yang, menurut para penanya, bakal terbengkalai. Because I believe that things always happen for a reason. Biarlah saya nekad, biarlah saya menjadi yang tidak sama dengan lain. What a boring life kalau semua yang ada di dunia ini serba seragam kan? Kalau begitu, tolong jangan bertanya lagi, dan biarkan saya saja yang berbelok.

...to the place that has to be believed to be seen #U2