Jumat, 09 Desember 2011

Traveler in Residence


When traveling meets drawing.

Setiap media dokumentasi perjalanan selalu memiliki cara penyampaian yang unik bagi peminatnya. Entah berupa tulisan, foto, video ataupun ilustrasi. Tak ada batasan untuk terus mengembangkan setiap bentuk dokumentasi tersebut, dan hanya kreativitas yang bisa menjadi penawar akan kejenuhan dalam proses pembuatannya. Hifatlobrain Travel Institute bersama c2o Library berusaha mengeksekusi opsi terakhir; mengawinkan traveling dengan drawing. Proyek ini bukanlah hal pertama yang pernah dilakukan di dunia. Tengok saja karya menakjubkan dari Tokyo By Foot dan They Draw and Travel, di mana impresi sebuah destinasi bisa digoreskan secara liar dalam media ilustrasi.

Kami mengundang seorang traveler untuk tinggal di Surabaya selama satu bulan dan bersama-sama mengerjakan proyek kreatif ini. Setelah melewati berbagai audisi dan pertimbangan, pilihan jatuh pada seorang gadis kalem berparas ayu dari Jakarta, Herajeng Gustiayu. Mantan mahasiswi Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini dikenal sering malang melintang traveling di seputar Asia Tenggara. Selain memiliki blog yang begitu informatif di backpacker-notes.blogspot.com, Mbak Ajeng, panggilan akrabnya, ternyata juga gemar menggambar ilustrasi watercolor. Sebuah perpaduan sempurna untuk ambil bagian dalam proyek yang kami sebut Traveler in Residence ini. 

Traveler in Residence akan menghasilkan satu seri ilustrasi watercolor tentang Surabaya, yang akan dikembangkan menjadi sebuah travel guide dengan konten travel essential seperti how to get there, where to stay, where to eat. Namun kami juga akan memadukan insight dan in-depth-article yang tak kalah menarik. Seperti gerakan kreatif anak muda, produk fashion lokal, dan pertumbuhan eco-tourism di Surabaya. Semoga saja di bulan penuh hujan ini pun ada jadwal pertandingan sepak bola di Stadion Tambaksari. Besar keinginan kami untuk dapat mengajak Mbak Ajeng menyaksikan dan merasakan keriuhan supporter yang kerap berpakaian hijau dan akrab disebut sebagai bonek

Terhitung tanggal 5 Desember 2011 kemarin, Mbak Ajeng telah menginjakkan kaki di Surabaya. 30 hari mungkin waktu yang singkat untuk menghabiskan Surabaya secara keseluruhan, tapi kami tetap berharap proyek ini dapat diselesaikan dengan maksimal. Lebih lagi, Traveler in Residence ini sebenarnya kami tujukan untuk menjadi virus bagi para pejalan lain agar tak lelah berinovasi dalam mendokumentasikan perjalanannya.

Oke, doakan program bulan ini beserta pameran pada Maret 2012 berjalan dengan lancar yes! :)


PS:
Illustrating courtesy of Herajeng Gustiayu.
Update Traveler in Residence on travelerinresidence.wordpress.com.

Kamis, 08 Desember 2011

Katrok

Photo by @hiqID @madalkatiri
Kata @lucianancy, bahagia itu sederhana... Yap, ngeliat photo essay saya tentang Mekare nongkrong di Konferensi Pariwisata Nasional di Jakarta beberapa hari lalu, saya senangnya setengah hidup! 

Udah segitu aja postingan ndeso pagi ini, mau capcus ke Univ Petra dulu, having fun with Lukki and Giri, ngubek Pecinan dari sisi seorang arsitek cum antropolog. Oiya! Saya mau cerita tentang Traveler in Residence juga sih.. Tapi nanti ya... ;)

Ciao!

PS: Photo courtesy by @hiqID

Kamis, 01 Desember 2011

Desember


Dari kamar yang berantakan dan malam penuh lemburan beserta sederet playlist Norah Jones, saya turut mengucapkan, "Hallo, Desember!" 

:)

Sabtu, 26 November 2011

Around Outstadt




















Kota Lama mungkin satu-satunya hal yang membuat saya masih mau kembali ke Semarang. Saya bisa menghabiskan berjam-jam hanya untuk mengitari setiap sudut gang di dalamnya. Imaji selalu berloncatan liar membayangkan seperti apa kehidupan di sana di masa lampau. Sayang, beberapa bangunan sudah sangat tidak terawat. Saya perhatikan sejak pertama kali datang ke Semarang tahun 2009 lalu, hanya  sedikit gedung yang bertahan untuk terus mempercantik diri, seperti Gereja Blenduk, Kantor Jiwa Sraya, Kantor Pos, Stasiun Tawang, Kantor Bank Mandiri, dan Semarang Contemporer Art Gallery. Selebihnya, daerah yang pada zaman kekuasaan Belanda dinamakan Outstadt ini, banyak tertutup bangunan liar. Banjir rob yang juga kerap datang menggenangi seakan melengkapi pemandangan kumuh pada beberapa titik kawasan Kota Lama.

Minggu, 13 November 2011

Telepon di Bandara

Leaving West Borneo

8 November 2011 
Maskapai Singa terbang ternyata lumayan memuaskan hari itu. Tidak menunda jadwal penerbangan. Tepat waktu melandas di Soekarno Hatta dari Bandara Supadio Pontianak. Segera setelah turun dari pesawat dan mengurus lapor transit, saya menyantap semangkuk nasi soto ayam seharga lima puluh ribu rupiah di sebuah restoran. Mahal memang, tak begitu sedap juga rasanya. Tapi apa mau dikata, perut saya sudah melilit minta diberi asupan di dalam bandara. 

Penerbangan lanjutan menuju Surabaya masih pukul delapan malam, tapi saya sudah duduk manis di ruang tunggu sejak dua jam sebelumnya. Sesekali saya menepuk kedua pipi yang mendingin karena suhu ruangan yang cukup rendah. Melihat orang-orang yang seliweran, saya semakin yakin bahwa saya adalah makhluk terdekil di ruang A3 itu. 

"Mah, aku tambah item," ucap saya lewat telepon pada Ibu di Jember.
"Lho kan udah biasa, tiap pulang dari mana-mana selalu tambah item," Ibu saya berujar dengan nada yang sangat wajar. Saya tertawa seketika.
"Mamah takbeliin tas manik-manik bikinan orang Dayak, bisa buat arisan, Ayah aku oleh-olehi peci dari serat kayu," saya berujar sembari memandang tas plastik hitam yang sedari bandara Supadio Pontianak saya tenteng begitu saja. Sengaja tidak saya ikut masukkan dalam bagasi, takut peci Ayah saya rusak, dan manik-manik tas untuk Ibu saya mbrodhol terkena tumpukan barang. 

Sebenarnya saya jarang membelikan buah tangan pada keluarga. Tapi untuk kali ini, saya tidak ingin melupakan perjalanan 20 hari di Kalimantan yang sudah terlewati. Saya ingin mengingatnya kembali dengan memberikan sedikit sentuhan petualangan kemarin di rumah sendiri. Rasa kangen keluarga tiba-tiba menyelinap perlahan. Padahal saya belum tahu kapan bisa pulang ke Jember. 

Tak lama setelah menerima telepon Ibu, sebuah nama terpampang di layar, memanggil-manggil saya. 

"Halo... Bapak..."
"Assalamualaikum... Dimana, nak?"

Logat Bapak Hajau langsung melayangkan badan saya kembali ke Kedamin, Putussibau. Lelaki 59 tahun inilah yang menjadi juru batu sampan kami selama seminggu menyusuri sungai Kapuas, sungai Bungan dan sungai Bulit. Meskipun sudah berumur setengah abad lebih, jangan ragukan kekuatannya menarik sampan kami, melewati berbagai riam yang menggila di sepanjang sungai. Beliau adalah seorang Dayak Punan Hovongan yang lahir dan besar di Tanjung Lokang, sebuah desa terakhir di ujung sungai Bungan, dekat dengan perbatasan Kalimantan Timur. Beliau meninggalkan Tanjung Lokang setelah memeluk agama Islam dan mengikuti putra-putrinya yang membangun keluarga di Putussibau.

"Kalau bukan karena kampung sendiri, rasanya ndak akan saya mudik ke Lokang lagi," begitu ucapan yang pernah saya dengar dari mulut beliau. Dan setelah merasakan sendiri, dua hari perjalanan susur sungai yang saya lewati untuk mencapai desa yang dihuni oleh Dayak Punan Hovongan tersebut, rasanya wajar jika Bapak mengatakan hal tersebut.

"Saya sudah sampai di Jakarta, Pak. Bapak apa kabar?"
"Baik... Bagaimana dengan Anty dan Ian?"
"Kami menggunakan pesawat yang berbeda, Pak, mereka akan tiba di Jakarta sekitar pukul tujuh."
"Oh ya sudah, hati-hati ya, Putri... Besok Bapak kembali ke Tanjung Lokang, mengantarkan tentara."

Saya hanya mampu geleng-geleng kepala, dan menyelipkan pesan semoga sampai dengan selamat. Padahal Bapak masih cidera kaki saat membawa sampan kami kembali ke Putussibau. Lelaki-lelaki di Tanjung Lokang memang 'berbeda'. Telapak kaki mereka lebar dan begitu tebal. Sering kali mereka berjalan melewati bebatuan di pinggir sungai tanpa alas kaki. Padahal, alamakjang, batu-batu itu begitu tajam di kaki saya. Saya pernah mencoba bertelanjang kaki melewati jalanan berbatu di sungai Bulit, dan tidak ingin mengulangi kebodohan itu lagi. 

Jangan mencari lelaki bergelambir lemak di sana. Tubuh mereka hanya berbalut otot-otot keras. Pada suatu sore, Mas Ian dan beberapa teman dari Pontianak diajak bertanding sepak bola melawan lelaki Tanjung Lokang. Tapi 'tim kami' malah kabur perlahan.

"Gila aja tanding ama mereka, kalo badan gua ketubruk badan segede itu, bisa cidera tahunan!" bisik Mas Ian. Saya dan Mbak Anty hanya bisa ngakak dan memaklumi ketakutannya. Mas Ian memang berotot, tapi bikinan gym ibu kota, tidak sealami lelaki Tanjung Lokang. Hahaha. Mungkin satu-satunya lelaki berperut tambun di Tanjung Lokang adalah Mas Fajar, pegawai Taman Nasional Betung Kerihun di Resort Tanjung Lokang yang berasal dari Jogjakarta. Hehehe, no offense, mas :)

Lepas memutuskan telepon dari Bapak Hajau, ganti putra semata wayang beliau menghubungi saya. Bang Saleh begitu kami memanggilnya.

"Halo! Assalamualaikum!" Guru honorer ini menyapa dengan begitu semangat. Bang Saleh adalah motoris sampan kami. Dia sebenarnya juga enggan mudik ke Tanjung Lokang sejak lima tahun terakhir. Tapi pada kesempatan tersebut, Bapak Hajau sendiri yang memintanya langsung untuk menjadi motoris sampan, dan mengantar kami menyusuri sungai selama tujuh hari. 

"Aku mengajar Penjaskes di sekolah dasar," begitu dia pernah berkata di awal perkenalan kami. Ah, tak heran lagi saya. Lelaki Tanjung Lokang memang terbukti selalu bugar! 

Bang Saleh mengatakan dari telepon bahwa dia baru pulang berburu burung untuk dimakan. "Daripada ndak ada lauk."

"Dapat, Bang?" tanya saya.
"Dapat lah! Sepuluh ekor!" teriaknya begitu gembira. "Ini istriku sedang memasaknya."

Keluarga Bapak Hajau dan Bang Saleh menjadi begitu dekat dengan kami. Mungkin karena Bapak menganggap kami, yang masih muda dan lelet ini, seperti anak sendiri. Dan Bang Saleh adalah sosok lelaki yang supel dan begitu humoris. Selama lebih dari seminggu, tidak pernah saya melihat mereka marah. 

"Putri, aku dah bicara sama Anty, aku minta kalian mengajariku membuka internet. Itu kan ada kode-kodenya. Tolong lah aku diajari, agar aku bisa membaca tulisan kalian tentang Tanjung Lokang dan Data Opet di internet..." ujar Bang Saleh. Saya begitu terharu mendengar permintaannya. Inilah yang saya inginkan ketika melakukan perjalanan. Bertemu dengan orang-orang yang bisa mengajari saya banyak hal di luar bangku sekolah atau kuliah. Bang Saleh begitu rendah hati, tidak malu meminta tolong pada yang jauh lebih muda demi menjadi maju. 

Saya masih ingat, Bang Saleh yang begitu cerewet, tampak sangat terpana ketika mendengar Mbak Anty sedang menjelaskan masalah pajak dan inflasi kepada Bang Herman, seorang bendahara desa Tanjung Lokang. 

"Aku diam, karena aku ndak ngerti Anty ngomongin apa. Hahaha...," akunya. Saya memberikan kaos ACI berwarna merah padanya sebagai kenang-kenangan, walaupun ukurannya terlalu kecil, hingga ia akhirnya menghibahkan pada sang istri. 

"Iya, Bang, nanti aku ajari. Nanti Abang bisa lihat wajah Abang ada di internet," ucap saya. 

"Ah, ya begitu bagus, Putri. Oh iya, berapa tiket untuk terbang ke Surabaya dari Pontianak?" tanyanya penasaran.

"Kira-kira delapan ratus ribu, Bang, kenapa? Abang mau ke Jawa?"

"Ah mahal kali! Ke Tanjung Lokang hanya lima ratus ribu dari Putussibau!"

"Ahahahaa... Bohong kau, Bang! Yang betul lima belas juta!"

Lima belas juta memang bukan fiktif. Perjalanan susur sungai memang tidak murah. Makanya saya bersyukur mendapatkan destinasi yang 'mahal', karena entah kapan bisa ke Tanjung Lokang dengan biaya sendiri. Lebih lagi, saya bersyukur masih bisa merasakan kenyamanan sebuah keluarga meskipun bersama orang yang berbicara dengan bahasa dan logat berbeda seperti mereka.

Sebuah pengumuman boarding menghentikan perbincangan saya dengan Bang Saleh sejenak. Saya menyimak dengan seksama. 

Lalu Bang Saleh berkata, "itu suara apa, Putri?"

"Ah, sial, penerbanganku ke Surabaya mundur satu jam, Bang!"

Selasa, 11 Oktober 2011

Kapan Traveling?



Masih ada sembilan hari menuju keberangkatan ke Kalimantan, dan saya sudah begitu kangen traveling. Bertemu orang baru selalu menyenangkan. Berburu pengalaman baru selalu mendebarkan. Bahkan perasaan yang aneh bisa terlintas hanya dengan mendengarkan traveltune sembari melintasi jalanan asing. Selalu waspada karena menurut pengalaman, shit always happen. Shit is all around! Nikmati saja, karena gerutuan yang terekam akan berubah menjadi bahan tertawaan ketika diingat kembali. Betapa ranjang di kamar tampak menggiurkan namun hanya terlihat samar. Sementara badan ini nyata terlentang di atas kapuk berbau apek yang jauh dari empuk. Tapi toh saya tidak menyesal. Justru merindunya dengan alasan yang tidak masuk akal bagi orang lain.

2011 hampir berlalu, dan saya belum kemana-mana. Hfft!

Jumat, 07 Oktober 2011

The Aduhai Itinerary

Peta Kalimantan Barat dan Buku Panduan Tim 11 Kalimantan 2

Saya tidak berbohong atau melebihkan-lebihkan ketika menulis judul di atas. Bahkan kata 'aduhai' itu sudah melesat terlebih dahulu saat saya menerima dan membaca buku panduan dari panitia Aku Cinta Indonesia Detikcom pada acara briefing bersama 60 petualang ACI di gedung Trans TV 1 Oktober 2011 lalu. Marilah saya ceritakan secara singkat...

Setiba di Pontianak pada 20 Oktober 2011 nanti, saya akan langsung mengintip aura Pecinan paling ciamik di Kalimantan terutama saat Imlek dan Cap Go Meh. Yap, Singkawang. Wajar jika penikmat Pecinan seperti saya memiliki ambisi yang cukup berlebihan untuk suatu hari dapat menginjakkan kaki di kota ini. Ya walaupun dalam rangka ACI Detikcom tidak bertepatan dengan festival apapun, anggaplah ini proses perkenalan awal saya dengan si Singkawang. Mungkin tahun depan, atau kapan lah, saya akan kembali ke Singkawang untuk menyaksikan langsung bagaimana para tatung dengan tega menusuk-nusukkan jarum-jarum besi hingga menembus ke kedua pipinya sendiri. Doakan saja, festival Cap Go Meh itu menjadi rejeki saya yang lain. 

Hari berikutnya saya dan teman satu tim akan bergerak menyusuri Sungai Kumba dan trekking di Sohoo untuk mencapai Kampung Sebujit, tempat masyrakat Dayak Bedayuh tinggal. Daripada shock, tak perlu lah saya sebutkan berapa jam yang harus kami habiskan untuk mencapai tempat ini, hehehe! Yang lebih penting, akhirnya saya memiliki kesempatan untuk menghabiskan waktu tiga hari di salah satu kampung Dayak di Kalimantan dengan beberapa kegiatan yang asedap! Mohon sabar menunggu reportase ini ya, pemirsa...

Bergerak keluar dari Kampung Sebujit, saya dan tim akan menempuh perjalanan melalui sungai, darat, dan laut untuk menuju Pulau Kabung. Dari peta Kalimantan Barat segede ranjang yang sudah saya beli kemarin, Pulau Kabung adalah pulau kecil yang terletak di seberang barat kota Singkawang. Kami berencana untuk memancing di bagang! Seperti apa rasanya itu? Entahlah, memancing di empang pun saya belum pernah! Hehehe! I just can't wait doing something new there!

Memasuki minggu kedua di Kalimantan, saya akan (lagi-lagi) melakukan perjalanan darat yang cukup jauh menuju timur, kota Putussibau. Dari sini saya dan tim akan menyusuri Sungai Kapuas menuju Kampung Nanga Bungan untuk bermalam di rumah penduduk selama beberapa hari. Tanpa banyak cingcong lagi, itinerary ini telah menjadwalkan saya untuk melakukan ibadah camping dan trekking di Pegunungan Muller selama enam hari. Hwoaaa!!!  

Tak perlu lah saya ceritakan terlebih dahulu di sini tentang ada apa saja di Pegunungan Muller. Lah wong, saya juga belum pernah ke sana. Yang jelas membaca setiap detil itinerary dari ACI detikcom dan Rakata Adventure ini bikin saya, asli, deg-degan, campur seneng plus kebelet pipis! Hahaha...

Itinerary aduhai ini membuat saya berjanji untuk menikmati setiap decak kagum yang timbul dan rasa lelah yang tiba-tiba muncul. So, I think I'm ready for my first Borneo trip, sodara! Dua puluh hari menjejakkan kaki di Kalimantan Barat. Doakan lancar!

:)

Segelas Thai Tea Rasa Traveling

Segelas Thai Tea Rasa Traveling :)

Suka gambarnya, tapi kurang sreg sama rasa teh di dalamnya... Gelas unyu seperti ini bisa Anda temukan di gerai-gerai J.CO Donuts and Coffee. Bukan promosi sih, karena saya bukan apa-apanya mereka. Dikasih diskon juga enggak...
Eh, tapi kata si pacar, arah boncengan si Mbak itu kebalik... Hm... ato mungkin di Eropa emang kayak gitu ya? Ngga pake helm pula... Tetep safety riding ya, pemirsa, di manapun Anda berada...

Udah deh, sekian dulu acara blogging saya :))

Senin, 26 September 2011

Argh!

Halo!
Apa kabar?
Izinkan saya curhat sedikit, karena emang 80% blog ini isinya curhatan mulu sih ya... Hm, ini loh jeng, saya sedang menjalani masa-masa yang tidak produktif!
Ngga bisa nulis, even nulis yang pualing gampang sekalipun! Mau ngedit foto juga malesnya minta hampun!  Minta duit semilyar lah kalo bisa ya!

Arrrgh banget lah pokokmen! 


Wes ah, sekian!

Kamis, 01 September 2011

Homeland


If at first, the idea is not absurd, then there is no hope for it.
-Albert Einstein-


Seperti bermain puzzle, Homeland sebenarnya tak lebih dari sebuah eksekusi ide-ide liar dari enam otak yang disusun untuk melengkapi pola yang satu dengan lain. Kami mengerjakan proyek suka-suka ini dengan sepenuh hati dan konsep yang matang demi memenuhi rasa penasaran dan kepuasan pribadi. Apalagi video ini memang tidak pernah direncanakan untuk berdurasi panjang. Hanya 1 menit 38 detik, dengan lama pengerjaan hampir 1 bulan. 

Segala detil Homeland dipersiapkan dengan begitu maksimal, walaupun pada akhirnya video ini masih jauh dari kata sempurna. Tapi kami ingin Homeland bisa menjadi racun, terutama untuk penikmat travel documentary, agar terus berkarya dan kreatif dalam merekam berbagai keindahan Indonesia dalam bentuk apa saja.

Saya pribadi berterima kasih atas segala apresiasi yang ditujukan untuk Homeland. Belasan ribu angka yang tercatat telah menonton video ini, bagi saya, hanyalah sebuah bonus. Akan sangat menyenangkan bila ternyata Homeland bisa menginspirasi teman-teman sekalian untuk lebih mencintai Indonesia. Ohoo... saya ngomong terlalu berlebihan sepertinya ya? Tapi, serius, yang lebih penting dari angka-angka tersebut adalah kontinuitas untuk berkarya lebih baik lagi dan lagi. 

Terima kasih untuk semua yang sudah menonton. Terima kasih untuk kalian semua yang mengizinkan saya terlibat dalam Homeland; Hifatlobrain Travel Institute, Ayos Purwoaji, Lukki Sumarjo, Giri Prasetyo, Samuel Respati, Jeri Kusuma beserta teman-teman lain yang mendukung penggarapan proyek abal-abal ini. 


:)



Rabu, 24 Agustus 2011

Antara Saya dan Kafein

Warung kopi Sarkam, Jalan Nyamplungan Ampel Surabaya - foto oleh Ayos P

Seorang sahabat yang sedang mengais rejeki ratusan kilometer di ujung Jawa selalu dengan puas dan bahagia menertawakan kebiasaan buruk saya saat meminum segelas kopi. Bukan, bukan diare. Mabuk mungkin kata yang lebih tepat.

Pada setiap tegukan kopi yang saya rasakan begitu nikmat, saat itu pula saya secara sadar telah membuka gerbang untuk sekian ppm konsentrasi kafein menyebarkan efek psikoaktif masuk menyelip dalam sel-sel otak terumit. Kesulitan tidur merupakan hal ke sekian yang harus saya sesali setelah itu. Tapi, jantung berdegup kencang ditambah pikiran melayang kemana-mana adalah dua monster tepat yang sangat merepotkan.

Pernah suatu kali, saya begitu tergoda melihat pesanan seorang teman ketika berada di sebuah kafe. Segelas coffee latte dengan busa-busa yang mirip sabun menyembul di permukaannya. Saya inciplah sedikit demi sedikit. Enak ternyata. Menyusul pada dini hari yang sudah senyap, saya ngoceh di timeline akun twitter saya sendiri. Lalu dengan random mengirim sms bertema cinta-cintaan pada beberapa teman. Menelepon salah satu dari mereka, hanya demi mengeluarkan uneg-uneg yang tidak jelas juntrungan dan maksudnya apa. Jemari saya shaky, imaji saya loncat kesana kemari, dan saya akan menderita kegusaran yang berlebihan bila tidak segera melakukan apa yang otak saya perintahkan. Semua gara-gara alkaloid bernama kafein yang diisolasi dari biji kopi oleh seorang alchemist Jerman itu.

Saya bukan kapok minum kopi. Hanya saja saya terlanjur malas memikirkan kerepotan yang bisa terjadi beberapa jam seusai menikmati tetes terakhir. Caffeine controls my mind.

*

Malam itu saya terdampar di sebuah warung kopi di kawasan Ampel, di tepi jalan Nyamplungan. Duduk di sebuah bangku kayu panjang, bersandar tembok, melipat kaki dan menengok kanan kiri. Teman saya sibuk berbasa-basi dengan seorang barista berwajah sedikit Arabic. Konon, sang barista adalah generasi penerus warung bernama Sarkam yang sudah berdiri sejak tahun 1957 ini.

Warung itu begitu kecil, tapi pengunjung tak henti silih berganti. Mereka saling bersalaman, menyapa dengan akrab, memesan, membayar, lalu pergi membawa gelasnya keluar warung untuk sekedar bercengkrama di trotoar. Tak perlu membawa segepok uang ke sini. Segelas kecil kopi hitam hanya ditarik dua ribu rupiah.

Entah karena malam itu adalah salah satu malam Ramadhan, suasana warung kopi Sarkam ini terekam begitu sempurna dari panca indra saya. Pria-pria berkopyah tenggelam dalam nikmat cairan berwarna hitam pekat, lalu percakapan yang menghangat menggunakan aneka ragam bahasa daerah di tengah lantangnya nyanyian puji-pujian kitab suci yang dikumandangkan masjid sekitar.

Pantas saja jika warung yang buka 24 jam ini memiliki banyak pelanggan tetap. Harga yang sangat merakyat dan suasana yang susah didapatkan di warung kopi atau kafe lain. Sayangnya, malam itu hanya saya yang berjenis kelamin perempuan di dalamnya. Agak mati gaya juga. Sementara teman saya sibuk memotret ini itu, membuat beberapa pengunjung salah tingkah. Saya bingung harus ngapain. Ah, tapi sepertinya juga tidak ada yang perhatian. Toh, semua lelaki ini sibuk dengan gelas-gelas kecil di depannya.

Seperti apa rasa kopi di sini? Saya memandang gelas belimbing berisi kopi susu milik teman. Warnanya agak cokelat. Dan saya ingin mencecapnya sedikit saja. Tapi, sudahlah. Mending saya tidak usah memesan kopi bentuk apapun.

“Mbak, dari TV mana?” lelaki di depan saya yang tadi asyik berbincang dengan rekannya tiba-tiba bertanya.

“Ngga dari TV mana-mana, Pak…”

“Oh, saya kira sedang syuting jelajah kuliner Ramadhan… hahaha…”

Temannya yang lain menimpali, “ah kok saya curiga ini bukan dari TV mana-mana.”

“Lho, beneran , Pak…"

Si Bapak pertama rupanya agak terpengaruh dengan ucapan kawannya, “nanti saya dikasih tau tayang di mana dan jam berapa ya, mbak… hahaha….”

Saya meringis, tapi lebih karena si Bapak pertama suka mengakhiri semua kalimatnya dengan "ha ha ha". Meskipun itu tidak lucu.

Kedua bapak gemuk tadi dengan cepat melupakan kehadiran saya. Mereka kembali pada aktivitas awal, menyeruput kopi. Malam semakin larut, pengunjung datang dan pergi, dan sepanjang pengamatan saya, sang barista berkaos biru masih tak berhenti juga mengaduk gelas-gelas belimbing di depannya. Ah, saya begitu iri dengan orang-orang di sini. Sebenarnya sih saya bisa saja nekad ikut memesan dan minum kopi yang katanya legendaris ini. Tapi bagaimana kalau nanti malam saya kesetanan lalu kembali mengirim sms yang memalukan secara tidak terkendali pada siapapun dalam daftar kontak hape saya?

Sebenarnya saya memikirkan sebuah ide yang (menurut saya) cukup cemerlang. Ada sebuah teori yang selalu dan hampir selalu dipraktekkan ketika saya melakukan analisis sebuah sampel di laboratorium. Teori tersebut adalah pengenceran. Kafein sebagai sampel terlarut dan air adalah pelarutnya. Tapi tentu saja jika saya langsung mengencerkan segelas kopi maka akan mengurangi kenikmatan yang seharusnya terasa. Sebagai alternatif, ketika saya berniat minum segelas kopi, mungkin saya harus menyediakan dua gelas air putih. Ketika gelas kopi tersebut habis, yang saya lakukan berikutnya adalah meminum dua gelas air putih secara langsung. Dengan begitu mungkin konsentrasi kafein yang sudah masuk bisa diencerkan sekian ppm di dalam tubuh. Efek psikoaktif juga bisa dikurangi sedikit. Tapi semua ini hanya teori-mungkin yang saya buat-buat sendiri. Masih perlu banyak optimasi.

“Di Sarkam ini yang terkenal kopi Majun, Put... Buat meningkatkan vitalitas pria.” Teman saya berbisik-bisik sembari cengar-cengir sebelum meneguk segelas kopi kecil di tangannya.

“Oh ya? Kamu pesen itu?” tanya saya asal.

“Ya lahpo?!” (Ya ngapain?!)

“Ya, kenapa enggak?” Pikir saya saat itu, mengingat ramuan Madura pun pernah dia tenggak.[]

Kamis, 04 Agustus 2011

Enjoy Traveling, Capture Everything

Rasanya wajar jika di zaman serba canggih seperti sekarang, travel documentary tidak melulu dituangkan dalam bentuk tulisan dan still pictures. Menurut saya sih ada kalanya ambience suatu destinasi akan tersampaikan lebih sempurna dengan menggunakan gambar bergerak. Ini juga baru saya tahu setelah memperhatikan begitu banyak travel video yang dibuat oleh teman-teman ataupun traveler mancanegara yang banyak bertebaran di Vimeo atau Youtube. Setelah melihat video-video mereka, kebanyakan saya cuman bisa berdecak kagum sambil berkata, “ih gila ya, hal ‘sebegini simpel’ bisa jadi dokumentasi keren!”

Langkah paling penting untuk bikin travel video yang bagus adalah nikmati perjalananmu! (@aklampanyun, 2011)

Ya ini sudah jelas to ya... Sebelum berencana membuat travel documentary berbentuk apapun, baik itu video, tulisan atau foto, sebaiknya kita menikmati perjalanan tersebut dulu. Entah itu pengalaman enak atau ngga enak. Entah itu pertama kalinya nginep di hotel bintang lima gratisan ataupun makan belalang goreng di pinggir jalan karena kalah taruhan. Ya simpelnya sih, gimana kita ntar mau bikin dokumentasi menarik kalau selama perjalanan kepala kita penuh dengan tumpukan laporan kerjaan yang harus disetor pada Pak Bos seusai cuti berakhir. Just enjoy your time, meet someone new, feel something new.

Nah, kalau Anda sudah menikmati perjalanan tersebut, untuk selanjutnya menyusun sebuah dokumentasi akan lebih mudah. Biasanya ada perasaan meluap-luap ingin segera blogging (buat yang punya blog) atau upload puluhan foto di fesbuk. Semua sah pemirsa! Kebetulan sih, saya sedang tertular virus yang disebarkan oleh Giri Prasetyo untuk sering-sering bikin travel video. Dan ternyata membuat dokumentasi macam ini memang bikin kecanduan. Beberapa kali saya traveling, saya tidak lupa merekam ini itu. Entah hasilnya mau diedit atau ngga, yang penting ambil dokumentasi dulu.

Saya pribadi sih merasakan candu baru ini begitu menyenangkan. Apalagi masih banyak hal yang ngga saya ketahui dan masih butuh dipelajari lebih lanjut. Saya ikutin aja tuh saran Giri untuk ikut vimeo video school. Sungguh ini bukan promosi Vimeo, tapi memang dengan mengikuti kelas online macam ini banyak hal-hal kecil yang baru saya ngeh, seperti, ternyata iMovie melayani jasa export langsung ke Vimeo selepas rendering. Hehehe… hal sepele kaya gitu tuhh saya baru tahu! Dan melalui akun twitter-nya, @giri_prasetyo sempet bilang akan membentuk vivid school regional Surabaya. Josbandos pemirsa!

Dalam sebuah kelas videografi yang dipandu oleh Bang Anto Motul (@motulz) pada event Sharing Keliling yang diadakan oleh salingsilang.com di Surabaya beberapa waktu lalu, dia mengatakan bahwa kita ngga perlu takut untuk mengambil footage sebanyak-banyaknya, meskipun kelihatannya hal-hal yang kita rekam itu ngga penting, karena dalam video dokumenter, kita berpacu dengan waktu dan originalitas momen. Tapi, dalam masa editing, kita ngga boleh serakah untuk memasukkan semua footage menjadi satu video. Ngga penting juga mikirin apakah nanti video kita akan berdurasi panjang atau sangat pendek.



Coba deh liat video Eat, Learn, Move yang baru saya streaming. Dalam caption video tertulis: 3 guys, 44 days, 11 countries, 18 flights, 38 thousand miles, and exploding volcano, 2 cameras and almost a TERABYTE of footage, all to turn 3 ambitious linear concepts based on movement, learning and food…

Nah ini juga yang baru saya pelajari dari Bang Motulz dan mas Rick Mereki, bahwa kita harus pinter-pinter memilih footage untuk membuat satu konsep cerita yang ingin disampaikan. Contoh lainnya, Ferias no Brasil. Video ini membuat saya pingin sekali-kali bikin dokumentasi tentang travelmates, orang-orang yang berjalan dan bersusah-senang bersama-sama, ngga cuma merekam destinasi saja.

Saya setuju, untuk membuat dokumentasi perjalanan, kita ngga perlu takut untuk belajar semuanya. Entah itu nulis, motret atau bikin video. Karena menurut saya pribadi sih, perjalanan akan semakin bermakna bila orang lain memahami apa yang ingin kita sampaikan. Video mungkin bisa menjadi media penyampaian yang lebih baik untuk sebagian orang yang memang tidak suka membaca tulisan perjalanan. Atau sebaliknya, perasaan si pejalan yang tertuang detil dalam sebuah tulisan mungkin akan lebih mudah diresapi penikmatnya.

Godaan pra-produksi foto dan video sebenarnya lebih banyak daripada membuat sebuah tulisan. Kita hanya butuh komputer atau minimal pena dan kertas untuk menulis. Tapi untuk menghasilkan gambar yang waw, kadang kita dibayang-bayangi oleh gear yang maha mahal. Kalau masalah ini sih balik pribadi masing-masing ya, apakah mau berkarya dulu atau mikirin alat dulu. Tapi saya juga ngga mau sok nolak kalau ada yang nyumbang kamera seharga dua motor bebek itu. :D

Menurut saya sih entah itu nulis, motret atau bikin video, semuanya rumit, semua sulit. Tapi toh ada juga orang-orang yang berhasil mengerjakan ketiganya. Tulisan menarik, foto yang nendang abis, video yang keren gila! Nah, itu artinya kan ketiga hal ini bukan tidak mungkin untuk dihasilkan secara bersamaan dalam lingkup travel documentary... At least, coba dulu deh, baru bilang ngga bisa.

Oh iya terakhir, ini saya kasih video India favorit saya di Vimeo, tentu saja bukan saya yang bikin, lah wong belum pernah kesana! Tapi saya gemes abis pengen ke India, mama...! Dan dari Mbak Ajeng @backpackernotes serta sebuah edisi majalah Saudi Aramco, saya baru tau ada travel documentary selain nulis, motret dan bikin video yaitu ngegambar!!! Yeah, kunjungi theydrawandtravel.com dan silahkan terbengong-bengong melihat warna-warni world map mereka!

:D


Minggu, 31 Juli 2011

Know How - Kings of Convenience



Riding on this know-how
Never been here before
Peculiarly entrusted
Possibly that's all

Is history recorded?
Does someone have a tape?
Surely, I'm no pioneer
Constellations stay the same

Just a little bit of danger
When intriguingly
Our little secret
Trusts that you trust me

'Cause no one will ever know
That this was happening
So tell me why you listen
When nobody's talking

What is there to know?
All this is what it is
You and me alone
Sheer simplicity

Selasa, 26 Juli 2011

Jember Fashion Carnival X

Badan saya seketika menggigil kedinginan ketika Kakak melajukan motor menuju rumah seusai menjemput saya di stasiun. Kala itu hampir pukul 3 pagi, bak sedang berada di puncak gunung, gigi saya bergemeletuk berulang-ulang. Oksigen yang terhirup terasa basah. Lemak tubuh yang tertutup cardigan abu-abu itu ternyata belum cukup mampu untuk menghangatkan badan. Shock cuaca. Mengeluh pun tidak ada gunanya.

Dan Alun-alun kota kebanggaan Jember pun mulai terlihat. Lampu benderang. Dan kabut terlihat melayang-layang di tengah lapangan. Sepi. Tentu saja, ini kan dini hari. Tapi saya jamin, dalam waktu lima jam ke depan, tempat ini akan berubah menjadi lautan manusia. Kursi-kursi lipat berlabel invitation-only yang konon berjumlah 2800 itu sudah tertata dengan rapi di depan kantor Pemerintah Daerah. Siang nanti, pagelaran paling megah seantero Jember akan digelar. Karena itu pula, saya memutuskan untuk pulang. Pulang semata untuk menonton Jember Fashion Carnival (JFC). Oh, ini sungguh di luar kebiasaan.

Masih terekam dengan jelas, saya hanya pernah menonton JFC pada episode perdana. Setelah itu saya kapok. Panas ampun-ampunan. Ramai ngga ketulungan. Penonton susah diatur. Cukuplah saya menghabiskan separuh hari dengan muka cemberut dan kening berkerut. Maka tahun-tahun berikutnya saya malas menonton perhelatan akbar ini. Hanya ibu saya yang masih setia menjadi penonton. Dari 10 kali digelar sampai tahun ini, beliau dengan suara yang terdengar menyesal, memberi tahu saya, "Mamah absen ngga liat dua kali!"

Social media dan milislah yang membawa minat saya untuk mencoba kembali menikmati JFC. Begitu banyak orang yang berkeinginan menyaksikan langsung adu kreativitas kostum di ajang ini. Bahkan teman saya, si Andre, kabarnya menerima tamu sesama CouchSurfer yang spesial datang jauh-jauh untuk menonton karnaval besar-besaran ini. Milis pun menyebutkan bahwa hotel-hotel di Jember sudah fully booked. Bahkan teman saya, Maya Wuysang, sempat mendaftarkan diri menjadi peserta ketika berkunjung ke Jember beberapa bulan.

Okay. Sepertinya saya harus ikut serta meramaikan JFC kali ini dan merelakan ajakanmelancong pecinan di Pulau Madura. Berada di bawah panas matahari sebentar, sepertinya bukan masalah yang harus dijadikan alasan. Bukankah kulit saya memang sudah gosong? Apalagi ini di kampung halaman sendiri.

Dan setelah tertidur cukup pulas dibalik belaian selimut tebal, sekitar pukul 9 pagi berangkatlah saya bersama si Ocik menuju alun-alun kota. Masih relatif sepi sih. Kursi-kursi yang semalam saya lihat juga masih kosong. Hanya tampak panitia berlalu-lalang, dan beberapa penonton non-invitation yang sudah berpiknik di trotoar alun-alun. Yap, mereka benar-benar menggelar tikar. Wajar sih, kalau jam segini sudah pada ngetem tempat terdepan, karena pasti, sekali lagi, pasti, tengah hari nanti ribuan manusia akan berjubel di sini.

Saya dan Ocik pun berniat sama. Mencari tempat terbaik untuk menunggu parade dilangsungkan. Tapi halaman belakang kantor Pemda lebih menggoda kami. Di sana sekitar 800 talent sedang berdandan bersiap mengenakan kostum terbaik mereka. Ratusan fotografer pun tampak tidak mau kalah berseliweran. Sungguh saya dan Ocik pingin masuk. Kami hanya dipisahkan oleh selapis pagar besi saja. Tapi entry password itu bernama: ID Card.

Ya, ini termasuk tips untuk kalian, media, fotografer, reporter atau apalah yang ingin mendokumentasikan JFC, sebaiknya memesan dulu ID Card atau Invitation karena memang keduanya bisa dengan mudah didapatkan via online sebulan sebelum berlangsungnya karnaval. Dan tentu saja saya terlambat mengetahui info yang supermudah ini. Haha!!

Sampai akhirnya saya melihat wajah yang tak asing, tampak kusut khas bangun tidur anak kosan, Andrey Gromico, memakai kaos putih bersablonkan JFC, melintas di depan saya. Oho! Fotografer lulusan Antara inilah yang kemudian membantu saya untuk turut masuk ke halaman belakang kantor Pemda.

Oh! Dan saya tidak pernah berada sedekat ini dengan ratusan peserta berkostum meriah ini. Tahun 2011 adalah tahun yang spesial karena event yang digagas oleh Dynand Fariz ini memasuki masa satu dekade. Maka kostum pasukan yang ditampilkan adalah defile terbaik pada tiap tahunnya. Dan 10 defile tersebut adalah Royal Kingdom, Punk, India, Bali, Tsunami, Athena, Borneo, Roots, Animal Planet dan Butterfly. Ke-random-an ini yang bikin saya berdecak kagum. Terutama melihat kreativitas peserta yang seakan tidak ada habisnya itu. Tiap kostum memang didesain sendiri oleh peserta, dan hanya disesuaikan oleh defile yang ingin dia ikuti.

Informasi yang saya dapat dari seorang teman reporter yaitu Arman Dhani Bustomi, biaya terbesar pembuatan kostum ini jatuh pada Garuda Wisnu Kencana dari defile Bali. Dua puluh juta rupiah, men! JFC kini memang sudah berkembang menjadi event kelas dunia. Peserta tidak melulu berasal dari Jember. Ada model-model L-Men yang tampak waw sekali dibalut kostum Athena. Bahkan seorang petinggi ESMOD, Patrice de Silles turut memeriahkan defile Punk. Tidak pernah rasanya seumur-umur hidup di Jember, saya melihat begitu banyak wisatawan mancanegara seliweran membawa kamera di alun-alun kota. Mobil-mobil televisi nasional terparkir di luar gedung. Uh, baru deh saya sadar, bahwa JFC memang benar-benar menjadi magnet besar bagi pariwisata kota kecil ini. Katrok bener saya ini.

Well, sayangnya, saya tidak bisa melihat bagaimana parade dan koreografi para peserta. Karena, tentu saja, seusai keluar dari backstage, maka saya dan Ocik sudah tidak kebagian tempat terdepan. Dimana-mana orang. Orang dimana-mana.

Namun, ada beberapa cerita klise yang saya dapatkan ketika parade berlangsung. Jadi peserta JFC ini akan 'dikeluarkan dari kandang' setelah menghibur para undangan khusus. Mereka akan melintasi alun-alun kota hingga GOR PKPSO yang jaraknya 3,6 km. Nah, sesungguhnya di sinilah ujian para peserta JFC. Saking ramai dan sesaknya pengunjung, bahkan parade pun terasa susah bergerak. Akses jalan kurang lebar, karena lagi-lagi, penonton kurang tertib dan tidak mengindahkan aturan. Semua penonton merangsek ingin melihat siapa yang melintas, kostum seperti apa, dan uh oh, hape qwerty melayang-layang di udara; foto dulu dong, mbak, mas! Jepret! Jepret! Jepret! Dan ini adalah kisah yang berulang dari tahun ke tahun.

Uhm, mungkin lain kali pemerintah daerah bisa menyedikan truk trailer dengan bak terbuka seperti parade di Brazil ya, demi kenyamanan peserta dan penonton.

:)

So, here's the video that i've made. Sorry kepanjangan. Saya lagi happy pas bikin, jadi keterusan gitu. Sorry juga warna kurang kontras, saya memang malas mengedit (makasi sarannya Deri, Mas Jeri dan Giri, nama kalian sungguhlah mirip). Dan terima kasih Octrio Joky atas tumpangannya, terima kasih Andrey Gromico plus Arman Dhani Bustomi atas pinjaman foto untuk melengkapi video ini. Ah, yaudah deh, lagi-lagi saya kebanyakan sorry dan terima kasih. Just enjoy! :)