Senin, 31 Januari 2011

Di Atas Sepeda Tua


Perkenalkan! Bapak berbaju merah ini bernama Pak Sutadi, seorang penyedia ojek sepeda yang biasa dinas di depan Museum Bank Mandiri Jakarta Utara. Namun, alih-alih ojek sepeda, beliau lebih suka disebut sebagai pengonthel.

Awalnya, saya sempat ragu ketika pertama kali melihat 'penampakan' Pak Sutadi. Kerut-kerut yang menghiasi wajahnya adalah pertanda bahwa usianya tak lagi muda. Saya agak kasihan jika beliau harus membonceng tubuh saya yang cukup padat lemak ini. Tapi dengan mantap lelaki berkacamata ini mempersilahkan saya naik ke atas boncengan sepedanya. Dengan mantap pula saya mengucap basmalah, semoga beliau yang lebih pantas menjadi kakek saya ini tidak menurunkan saya di tengah jalan karena kelelahan.

Segera setelah itu saya berkenalan dengan pengonthel ini. Kebiasaan buruk saya, tiap berkenalan dengan orang baru, kadang saya suka lupa siapa namanya. Apalagi bila kesempatan bertemu mungkin hanya terjadi satu kali. Tapi itu tidak terjadi dengan memori Pak Sutadi. Sembari mengayuh sepeda tuanya, beliau beberapa kali menyebut nama saya dengan tepat, lengkap bersama imbuhan Mbak di depannya. Padahal saya sendiri harus mencatat nama beliau terlebih dahulu di handphone agar tidak salah sebut. Tebaklah siapa yang butuh asupan Gingko biloba di sini.

Pagi itu Pak Sutadi menggunakan seragam kebanggaannya sebagai pengonthel. Baju berwarna merah dipadu biru dongker di bagian lengan. Tampak sederet tulisan Kota Toea yang dibordir menggunakan benang putih menyala di bagian dada kiri. Walaupun memiliki topi ala meneer silver yang digantung di setir sepeda, tapi toh beliau lebih enjoy memakai topi kain berwarna merah, serasi dengan warna pakaian yang dikenakan. Topi bertuliskan Federal ini berhasil menutupi sebagian besar rambutnya yang sudah beruban.

Sebagai pengonthel senior, Pak Sutadi memulai debut karirnya pada tahun 1985, dua tahun sebelum saya merengek-rengek di gendongan ibu. Jasa beliau sering digunakan untuk mengantar penumpang menuju pelabuhan Sunda Kelapa. Dan 26 tahun kemudian, Pak Sutadi sedang mengantar saya menuju pelabuhan yang sama.

Wuss.. wuss.. Pak Sutadi mengayuh dengan sangat profesional. Belok kanan kiri, seberang sana sini, dan tak jarang juga nekad melawan arus jalan. Wooww... Entah kenapa saya tak henti-hentinya tersenyum berada di boncengan sepeda ini. Mungkin saja karena ini adalah pengalaman pertama saya naik ojek sepeda di tengah kota. Sensasinya aneh tapi menyenangkan! Kendaraan tua ini ternyata super romantis ya... Tidak heran kalau banyak pasangan yang menggunakannya sebagai properti pada saat melakukan pemotretan prewedding...

Ketika sepeda tua ini memasuki pelabuhan Sunda Kelapa, saya merasakan kecepatan sepeda mulai diturunkan. Entah merasa letih atau membiarkan saya menikmati jejeran kapal raksasa yang bersandar di bibir dermaga. Yes, I felt so small there. Namun, baru saya ketahui belakangan, bahwa Pak Sutadi sengaja mengayuh dengan santai, agar saya leluasa memotret di atas boncengan. Waw.

Pria tua yang tampak bangga karena sudah memiliki enam cucu ini bercerita bahwa jasanya sebagai pengonthel baru benar-benar ramai pada tahun 2007. Ketika para komunitas pecinta kota tua dan museum mulai banyak bermunculan. Mereka rajin menggunakan sepeda untuk berkeliling ke bangunan-bangunan kolonial di sekitaran Jakarta Utara ini.

Lelaki asal Cilacap ini kemudian bertanya, "Mbak Putri dari mana? Sedang apa di Kota Tua?"

Ketika saya mengatakan bahwa saya datang dari Surabaya, waw, beliau langsung semangat mengajak chit chat dengan bahasa Jawa. Ternyata sang istri berasal dari Kota Malang. Lalu topik percakapan pun langsung beralih pada nostalgia pertemuan pertama kalinya Pak Sutadi dengan Bu Sutadi :)

Entah bagaimana beliau melakukannya secara sekaligus. Mengayuh sepeda, lalu bercerita. Bercerita tentang sejarah bangunan yang kami lewati, yang dipenuhi arsitektur kolonial sebagai sebuah ekspresi dan simbol intimidasi dan pemaksaan penjajah. Kemudian dia bercerita tentang istri dan anak-anaknya. Menerobos jalanan ramai khas Jakarta, sambil sesekali menyapa turis-turis asing yang tampak asik berjalan di sekitaran kota tua.

“Gudmorning, mister!” serunya sambil tersenyum dan menganggukkan kepala ketika berpapasan dengan dua bule di pelabuhan.

Hari itu jalanan di Jakarta basah. Semalam memang hujan deras datang mengguyur. Pagi ini saja mendung masih memayung, diiringi angin sejuk yang dengan rutin datang menyegarkan kulit wajah saya. Such a lovely weather to enjoy north Jakarta...

PS:
Saya adalah penggemar bangunan-bangunan tua. Tidak untuk dihuni sih, hanya untuk dinikmati saja. Saya terlalu takut kalau harus menginap di salah satunya. Too spooky :)

Awal Januari lalu adalah pertama kalinya saya berjalan-jalan di kawasan kota tua Jakarta. Memori saya kembali pada pertengah tahun lalu, ketika saya magang dua bulan di Semarang. Entah kurang kerjaan atau merasa belum khatam, tapi sudah lebih dari tiga kali saya muter-muter jalan kaki di kawasan Outstadt, kota lama. A very cool name yah... Kalau ada teman yang mengunjungi saya di Semarang, sudah jelas akan saya bawa kesana :D

Kalau boleh jujur, sebenarnya kegemaran ini lebih ke arah meyakinkan diri sendiri bahwa ‘zaman dulu’ itu memang benar-benar nyata. Penjajah itu ada. Belanda itu eksis di Indonesia. Verenigde Oost-Indische Compagnie yang banyak disebut di pelajaran IPS semasa SD, betul-betul mendirikan sebuah galangan kapal di dekat Sunda Kelapa. Ya, memang sepertinya saya separo kreatif dan seperempat naif. Ini masih ukuran kota lama lho ya, masih ngomongin Belanda. Belum Portugis, juga Jepang, atau Cina… belum berbagai jenis kerajaan yang pernah berdiri di Indonesia. Bagaimana rasanya hidup pada saat Prabu Siliwangi berkuasa di Cirebon? Em, Prabu Siliwangi itu beneran ada kan ya? Ya kan? Hfff, suddenly got dizzy...

Minggu, 02 Januari 2011

Amen!


Mari kita menjadi hi-quality traveler, Mbak! Seperti pesanmu semalam, tahun 2011 kita mesti nulis banyak! :D

Follow Mbak Ajeng @backpackernotes, and visit her awesome travel blog at http://backpacker-notes.blogspot.com/