Senin, 05 November 2012

Sentimental Notes

Pagi ini, sembari masih ngulet-ngulet di kasur, saya berdiskusi santai via WA dengan Mas Pras yang sedang di Ngurah Rai Airport menanti Lion Air boarding menuju Yogyakarta. 

Saya: "Waktu itu Ayos nanya, selain untuk desainer, sebenernya apa sih gunanya tablet, kalau dengan smartphone kayak gini aja kita udah bisa ngapa-ngapain... Menurutmu gunanya tablet apa, Mas?"

Mas Pras: "Kalo buat kalian traveler kan cocok tuh semi laptop."

Saya: "Tapi aku belum butuh tuh, kebanyakan gadget malah ntar jalan-jalan jadi was-was. Lebih nyaman nyorat-nyoret langsung di kertas."

Mas Pras: "Ya kan tipe orang beda-beda. Kemarin pas rapat banyak yang bawa tablet buat nyatet ini itu. Lebih efisien daripada nggotong-nggotong laptop."

Saya: "Hmm... tapi aku lebih suka nyatet secara konvensional. Lebih sentimentil. Hehehe..."

Mas Pras: "Yo bedo kae, nduk... Kan ini ngomongin secara general. Atau ya mungkin buat beberapa orang, sebagai sarana buang-buang uang. :))"

Kemudian saya sarapan dan dia boarding. Iseng, saya membuka kembali beberapa note book (dalam arti sesungguhnya) yang sudah acak adul. Ketawa-ketawa sendiri membaca isi di dalamnya. Beberapa di antaranya selalu saya bawa saat bepergian. Jika sudah habis, saya beli yang lain tanpa membuang yang lama. Saya memang mendewakan kenangan rupanya. Lewat catatan kecil ini teman-teman perjalanan saya juga biasanya ikut nyorat-nyoret beberapa hal. 

Ketika traveling berempat ke Pulau Sapudi bersama Nuran, Ayos, dan Nurul, hanya Ayos yang membawa catatan kecil, tak ada pula yang membawa laptop. Smartphone? Uh, jangan tanya berlebihan deh hehe...  Selama di Sapudi kami bercerita di dalam catatan itu. Entah catatan itu masih ada atau sudah hilang. 

Saya ngga tau, apa hal yang sama bisa saya lakukan jika kelak saya menggantikan posisi notes ini dengan tablet. Kalau ngga percaya saya ini sentimentil, ya anggaplah saya memang kere karena belum bisa beli tablet. Hehehe, boleh lah tapi kalau ada yang mau nyumbang. Lumayan, buat motret sunrise di Bromo. *Kemudian ditoyor Idham* :))


Ini digambar oleh Ayos, beberapa hari sebelum saya pergi ke Kalimantan Barat. Ada gambar Mbak Anty dan Mas Ian dengan tubuh berototnya, lalu ada Mas Pras yang naik kuda Sandelwood. Hahaha... Bagian pojok kanan luntur terkena cipratan air sungai Kapuas yang merembes ke dalam ransel ketika bersampan menuju Tanjung Lokang.


Bukan, ini bukan gear impian saya di tahun 2012. Ini lagi-lagi Ayos yang bikin, dan ya kalau kamu baca ini deh ya Yos, 2012 tinggal 2 bulan lagi, wes tuku opo kowe? :))


Nulis ini pas lagi selo di Tanjung Lokang, far far away from Dian Prasetyo :') Eniwei, tulisan tangan kalian apakah juga semakin jelek seperti saya karena lama tak menyentuh pena?


Mini notebook saya, simpel, ringkas, tanpa baterai.


Baru kali ini saya menulis tentang vegetasi, itupun gara-gara diingetin Om Brendes yang notabene seorang wildlife photographer ketika bersama-sama ke Pulau Komodo. "Jangan lupa foto vegetasi!!" semprotnya. Mulai dari itu pada perjalanan berikutnya ke Maluku dan Kalimantan, saya selalu menyempatkan untuk memotret daun-daun dan pepohonan :p

Disclaimer: Semua ini pendapat SAYA lho ya, kalau kalian pengguna tablet, ya monggo-monggo saja, piss yo! :D

5 November

"Selamat ulang tahun, Yah... Mugi-mugi rejekine cekap, sehat selalu sampai nggendhong cucu... Hehehe... Amin Ya Rabbalalamin..."

Begitu isi pesan singkat saya pagi ini kepada Ayah di Jember. 5 November memang hari lahir beliau, tepatnya tahun 1956. Itu artinya sekarang Ayah berusia 56 tahun ya. Kalau di dunia per-PNS-an mungkin sudah saatnya Ayah menikmati masa retirement. Tapi toh keluarga besar saya memang tak ada yang bekerja nine to five di kantor. Darah-darah berwirausaha sudah diturunkan jauh dari eyang-eyang di atas sana. Baik Ayah saya, mbah kung, pakdhe dan om-om saya tak memiliki batas usia pensiun. Mereka akan berhenti bekerja bila sudah tak bertenaga. Pada usia ini, Ayah saya sudah tak bekerja sengoyo jaman saya masih SD. Mungkin karena kedua anaknya sudah menyelesaikan pendidikan dan mulai meniti karir dari nol. 

Saya jarang menceritakan tentang keluarga saya di blog ini. Padahal saya sudah merancang, kelak blog ini adalah 'wikipedia saya' yang bisa dibaca oleh cucu dan cicit saya pada jamannya. Lalu bagaimana nanti keturunan saya bisa mengenal leluhurnya tanpa saya tulis di sini? 

Kemarin saya membaca blog teman yang menulis tentang kenangannya pertama kali mengganti bohlam lampu. Rupanya ilmu sederhana itu diturunkan dari sang kakak yang sudah meninggal hampir 10 tahun lalu. Dia berterima kasih karena kakaknya secara tidak langsung mendidik bagaimana cara menjadi perempuan mandiri, meski hanya dengan mengganti bohlam.

Saya terhenyak membaca tulisan tersebut. Entah mengapa rasanya saya tidak ingin menulis tentang keluarga saya di dalam blog hanya untuk mengenang mereka yang sudah tiada. Saya pun semakin menua, kapasitas memori bisa saja mencapai ambang batas. Lalu kalau sudah dengan kondisi seperti itu, apa saya masih mampu menulis tentang mereka di sini? Belum tentu.

Kalau tidak karena mengikuti workshop Zhuang Wu Bin, si fotografer Singapore itu, saya bisa saja tidak akan pernah membuat dokumenter tentang Mama saya. Wu Bin memandang pergantian agama dan pernikahan beda ras orang tua saya adalah satu hal yang menarik. Sedangkan saya memandang itu hal yang biasa saja, hehehe... Belakangan saya menyadari bahwa setiap orang memiliki cerita hidup yang tidak biasa di mata orang lain. Di mata saya juga. Ada sisi cerita mereka yang selalu membuatmu manggut-manggut, mengerutkan dahi atau kalau jaman sekarang sih ngasih hashtag #barutau :)

Ayah adalah lelaki yang cenderung pendiam. Jika ada masalah, beliau lebih suka menyimpan dalam kepura-puraan. Sifat ini yang rupanya menurun kepada saya. Meski demikian, beliau tetap seorang manusia yang punya sisi sentimentil. Ayah saya tak pernah terlalu lama menyimpan sms  yang masuk ke handphone-nya. Sehari dua hari jika tak penting, pasti langsung di-delete. Hanya ada satu sms yang masih tersimpan dalam folder inbox, yaitu sms balasan dari saya pada 5 Juli 2012, ketika ayah mengucapkan selamat ulang tahun. Sms itu berisi harapan saya, ucapan terima kasih dan permohonan maaf karena belum bisa membanggakan orang tua hingga berusia 25. Ya, begitulah :)

Saya pernah berdoa, agar mendapatkan pendamping hidup yang doyan nonton pertandingan sepak bola. Agar Ayah saya tak heboh sendiri ketika musim liga-liga bola itu berlangsung, hehehe... Selamat ulang tahun, Ayah, tetap semangat menghadapi putrimu yang bandel ini! :D

Ayah dan Mama plesir ke Mesir 12 tahun silam