Senin, 31 Mei 2010

My Diana F+ is Working!!!






Yes, yessss.... kamera plastik mainan saya akhirnya mengeluarkan gambarrr!! Hahaaa... setelah berguru kemana-mana, hampir desperate, dengan sangu 3 roll film 120mm dan penuh keikhlasan hati *karena mendadak filmnya sangaaaat mahaaaal... gilaaa!*, saya bawa juga Diana F+ ini ikutan nonton Waisak... Yap, yap, ternyata di lokasi Lomo saya ngga sendirian... saya sempat melihat ada yang bawa Holga dan Fish Eye kuning menyala...

En finally, di tengah sengatan matahari yang super terik, setting Cloudy Normal Diana saya berhasillll... huaaa... Terharu rasanya, apalagi melihat jepretan multiexposure saya juga terekam dengan baik walo posisinya ngga sempurna, heheee... Ngga sabar pengen mainan kamera half frame saya, The Olympus Pen EE :)

Carry You Home


Korban mode-repeat-track saya kali ini jatuh pada Carry You Home-nya James Blunt, hehe... Lagu ini sebenernya sudah saya punya lamaaa sekali, biasanya saya puter berbarengan dengan 1973, Same Mistakes and the famous- You're Beautiful. Tapi semalem saya mendengarnya lagi menjadi backsound di My Sister's Keeper. Weh, lagu yang sangat pas sekali untuk film ini... terutama pada bagian I'm watching you breathing for the last time... huaaaa... seakan ada bayangan Kate Fitzgerald yang lagi sekarat di depan saya +__+

Minggu, 30 Mei 2010

My Sister's Keeper


Baru saja selesai nonton ini. Well, mata masih bengkak dan hidung saya mendadak pilek. My Sister's Keeper, sebuah film drama tahun 2009 yang diangkat dari novel Jodi Picoult dengan judul sama. Film yang menceritakan kehidupan keluarga Fitzgerald, di mana salah satu putri mereka, Kate Fitzgerald, divonis menderita penyakit kanker APL (Acute Promyelotic Leukemia). Setengah jam pertama penonton akan diajak mengerti dan memahami perasaan masing-masing anggota keluarga. Sebuah cara yang efektif untuk mulai membius emosi saya, karena pada menit-menit berikutnya hingga di akhir film, saya ngga bisa berhenti nangis!!

Inti cerita bermula ketika pemeran utama film ini yaitu si Sister's Keeper, Anna Fitzgerald, yang konon sengaja 'dibuat' oleh orang tuanya untuk menyelamatkan sisa hidup Kate itu, menolak untuk mendonorkan ginjal dan bahkan menuntut orang tuanya untuk tidak memanfaatkan bagian tubuhnya lagi untuk kepentingan saudaranya sendiri. Welehhh, saya sebagai penonton sulit berpihak pada si Anna atau si Sara, mamanya. Yang bisa saya lakukan cuman sobbing... Huaaaa ampuuun deh, film kayak gini emang ngga ada duanya dalam menguras air mata... Hahaa... okey, just a little review, ngga seru lah kalu saya ceritain semua di sini :)

So... please watch, cry and enjoy!! :)




Uneg-Uneg di Candi Mendut


Yap, pagi itu, Jumat 28 Mei 2010, saya dan sahabat saya, Sulih, sengaja berangkat ke Magelang dengan tujuan Candi Mendut dan Candi Borobudur untuk menyaksikan rangkaian Waisak. Sebelumnya saya ngga pernah terpikir untuk menyaksikan hari suci umat Buddha tersebut. Apalagi tanggal merah ini malah saya berencana dolan ke Gunung Kidul. Tapi beberapa minggu yang lalu, Pak Jayin, seorang teknisi plus fotografer spesialis pernikahan di kantor tempat saya magang di Semarang, bercerita tentang Borobudur ketika Waisak. Katanya, Candi Buddha terbesar itu akan tampak berbeda dari biasanya, shining, akibat dominasi warna kuning altar tempat dilakukannya prosesi Waisak. Yap, saya emang terlalu gampang untuk kepengen. Hahaa... Apalagi saya lihat di kalender bahwa Waisak sudah di depan mata. Wo!!


Lalu, beberapa hari kemudian, saya bertemu dengan Mas Niko, seorang kolektor kamera Rangefinder di Semarang. Saya sempat menyeletuk tentang Waisak di Borobudur. Eeeh, lah kok ternyata dengan menggebu-gebu Mas Niko ’berbaik hati’ menceritakan pengalamannya menyaksikan Waisak dua tahun lalu di Borobudur.


”Kita bantuin masang lampion, dan ikutan meditasi juga hehe! Seru banget pokoknya... Seharian di Borobudur, ngga kerasa capek... ” ujarnya waktu itu.


Dan berbekal ilmu dari kedua orang itu, maka saya mengajak Sulih, yang sebenarnya lagi sibuk koas di Kulonprogo. Tapi dia dengan senang hati menemani saya ke Magelang sedari subuh sampai hampir Maghrib. Huaaa... love youuu Mbak Uliii...


Hari itu, beberapa ruas jalan menuju Kecamatan Mungkid, ditutup untuk kendaraan roda empat. Untungnya kami berdua naik motor, dan dipersilahkan masuk oleh Pak Polisi yang sedang berjaga. Tidak seperti tahun lalu, Detik Suci Waisak 2554 ini berlangsung pagi sekali, pukul 06.07.03 WIB tepatnya. Dan kami berdua baru sampai di Candi Mendut sekitar pukul tujuh. Sepertinya prosesi Detik Suci baru berakhir. Hehe, ngga masalah sih... masih ada beberapa acara yang akan berlangsung di tempat, seperti pembacaan parita dan sebagainya...


Komposisinya adalah seperti ini, 80% umat Budha, 15% fotografer, 5% wisatawan asing dan lokal seperti saya. Yap, 15% fotografer, tersebar dimana-mana. Memanggul tas berisi tripod, lensa yang besarnya melebihi lengannya sendiri, sampai ada yang berkalung dua kamera pada satu leher! Wiihh, pemandangan yang bikin saya ngiler. Betapa banyaknya orang kaya di Indonesia, ujar Sulih waktu itu... Haha...


Masalahnya sebenarnya tidak terletak pada seberapa banyaknya orang-orang berkamera dahsyat di sini, tapi saya dan Sulih terganggu dengan beberapa orang yang dengan tidak sungkan memotret umat yang sedang berdoa tepat di bawah hidungnya. Wahh!! Ajaib!! Kemana perginya toleransi antar umat beragama yang selalu dikumandangkan saat upacara Bendera hari Senin?? Bagaimana rasanya jika Anda sedang beribadah, dan tiba-tiba sebuah lensa kamera mengintip wajah Anda dengan jarak sebegitu dekatnya?? Ngga sopan, pendeknya.




Walaupun pada akhirnya gambar yang dihasilkan akan begitu dahsyat, sebuah foto yang dapat berbicara, tapi saya berpikir, orang awam pun ngga akan respek lagi ketika tahu bagaimana cara mendapatkannya. Apakah menu zoom-in tidak cukup membantu? Saking gelinya, saya jadi lebih suka motretin mereka daripada mengabadikan prosesi di Mendut. Yah, walaupun saya sudah lama ngga ikut upacara Bendera, saya bersyukur berada dalam lingkungan keluarga multikultural. Saya terbiasa dengan perbedaan, dan yang paling penting saya belajar menghargai dan menghormati perbedaan itu.



Untungnya kejadian aneh di Candi Mendut ini, tidak perlu kami saksikan lagi di Borobudur, sehingga tidak menguras tenaga kami lagi untuk ngomel-ngomel melihat tingkah laku orang-orang ngga sopan itu. Pihak panitia penyelenggara dengan bijak dan baik hati memberikan izin dan waktu untuk rekan fotografer, pers dan pengunjung lainnya untuk mengambil gambar di altar utama, dengan konsekuensi, tidak boleh memotret pada saat Puja Bakti berlangsung. Saya suka aturan ini. Hoho...


Demikian sedikit uneg-uneg dari saya, no offense buat para fotografer :)

Sabtu, 29 Mei 2010

Photostory from Waisak 2554 at Mendut and Borobudur

Candi Mendut di kecamatan Mungkid, Magelang, merupakan candi Buddha yang dibangun pada masa dinasti Syailendra. Setiap bulan Mei, pada malam purnama pertama, candi ini didatangi oleh ribuan umat Buddha yang akan mengikuti seluruh prosesi Waisak.






Prosesi detik suci Waisak tahun ini dilakukan pada pukul 06.07.03 WIB. Tidak hanya ummat dari daerah Jawa Tengah, saya menyaksikan beberapa rombongan dari ibukota juga merayakan Waisak di Candi Mendut ini.



Di samping komplek bangunan candi Mendut, terdapat sebuah vihara yang juga sangat ramai dikunjungi pada saat Waisak berlangsung. Di dalam vihara ini terdapat beberapa arca Buddha, tempat ibadah, taman-taman cantik lengkap dengan kolam teratainya. Di salah satu sudut, bahkan terdapat sebuah pohon dengan buah-buahan sebesar melon bergelantungan, sayangnya buah itu tidak dapat dimakan karena rasanya yang pahit. Yap, baru saya tahu dari tukang kebun sekitar, bahwa buah itu bernama buah Maja. Buah yang konon, menginspirasi Raden Wijaya, untuk memberi nama kerajaannya dengan nama Majapahit.


Pada saat hari raya Waisak, pedagang anak ayam dan burung Gereja akan mendapatkan untung berlipat ganda, karena umat Buddha memiliki tradisi 'buang sial' dengan melepas burung atau hewan lainnya, seperti ikan atau anak ayam ketika Waisak tiba.




Setelah prosesi berakhir, beberapa orang tampak membagi-bagikan kotak kecil berwarna merah bata pada siapa saja di sekitar pelataran candi Mendut. Wah, senang rasanya, karena saya dan Sulih pun kebagian kotak yang berisi rupang Buddha itu... :)


Setelah dari Candi Mendut, saya dan Sulih melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur, yang hanya berjarak 3 km. Ternyata di sepanjang jalan ini, sudah banyak masyarakat sekitar yang menanti arak-arakan perayaan Waisak dari Mendut menuju Borobudur.


Hari itu, baik Candi Mendut maupun Borobudur, free of charge :)
Saya dan Sulih memutuskan untuk memasuki kompleks Borobudur melalui resort Manohara (yes, Manohara haha...). Walaupun perjalanan jadi lebih jauh karena kita harus berjalan kaki dari pertigaan pintu masuk Borobudur, tapi saya senang luar biasa, melihat hamparan sawah dan deretan bukit sepanjang jalanan yang masih sepi itu. Suasananya asik, anginnya enak, dan kami berdua pun menyempatkan tidur-tiduran di bale-bale Manohara, hehe...








Ternyata di Borobudur lebih ramai daripada di Candi Mendut. Karena di sini tidak hanya ada satu altar, tapi buanyak sekali. Kaki saya rasanya ngga mampu kalau harus mengelilingi satu-satu. Yap, datang ke Borobudur pada saat Waisak memang pengalaman yang unik. Tapi yang harus diperhatikan adalah jadwal ketika akan dilangsungkan Puja Bakti, karena pada saat itu Candi Borobur harus steril dari wisatawan hingga malam hari.


Tidak hanya dari Indonesia saja, para Bhiksu Thailand pun nampak di sekitar Candi Borobudur.




Iring-iringan Bhiksu, Bhikuni, dan para umat Buddha dari Candi Mendut ketika sore mulai menjelang. Bersama-sama mereka akan bergabung dan menggelar rangkaian Puja Bakti di depan Candi Borobudur.




Dan saya luar biasa senang, ketika panitia penyelenggara memberikan izin dan sedikit waktu untuk pengunjung yang ingin mengambil gambar di altar terdepan, sebelum Puja Bakti dilaksanakan. Yap, tepat setelah memotret ini, baterai kamera saya habis tak tersisa :)


Mmm... walaupun tidak bisa menyaksikan hingga acara pelepasan lampion, tapi saya sudah bersyukur karena tidak ada kendala selama saya dan Sulih menyaksikan Waisak, dan terus terang kami berdua juga sudah lemas ngga karuan karena naik turun kompleks candi yang seeebegitu besarnya...


Yap, big thanks to Sulih Yekti Ngutamani, dan selamat merayakan Waisak bagi umat Buddha di seluruh dunia, terutama untuk Kakek saya di Bali :)

Kamis, 27 Mei 2010

Cangkringan Attack!

Di tengah ke-unwell-an yang masih ngga jelas, siang itu saya ditawari si bocah Cangkringan, Acha, untuk 'jalan-jalan tengah hari'. Yap, jam 12 siang sodara, hoho... Keponakan saya yang doyan makan ceker ayam ini dengan senang hati menarik-narik tangan saya untuk keluar dari rumahnya. Sebenernya ini gara-gara saya hanya iseng nanya, "Cha, Merapi-nya keliatan ngga?"

Eh, dasar bocah, karena si puncak Merapi lagi ketutup awan, saya malah diajakin ke sawah sebelah. Dengan berbagai promo A sampe Z yang ditawarkan oleh si Acha, maka saya, dengan malas ambil kamera, dan ngikutin aja kemana si pelukis kecil ini berjalan sambil ngoceh. Yah... keterangan foto di bawah ini saya salin berdasarkan ucapan Acha. Haha, jadi ngga tau ya masalah kebenarannya... :D


Acha: Ini ikan Nila, Mbak... Ikannya pada ngumpul kalo ada orang dateng, tuh.. tuh kan, bener kan??


Acha: Kemarin aku nginjek kotoran sapi di sini, Mbak... *mwahahaha*


Acha: Aduh, mbaaakk.... *kepleset si dia, wkwkwkw*


Acha: itu sawahnya Mbah ini, Mbah itu... *saya lupa*


Acha: Ini musuh Pak Tani, Mbak!


Acha: Ini tuh sejenis lumut, Mbak! *eh, sekali lagi, saya ngga tau kebenarannya... wahaha*


Acha: Ini kalo ditiup bisa mabur, Mbak! *saya rasa semua hal yang ditiup bakal mabur, kan?*

Acha: ini kolam, Mbaaak... *iyeee iyeee, tauu...*

Acha: ini bikin susu di sini, tapi sekarang lagi nutup, ngga tau kenapa....


Acha: Mbaaak ayo turun ke jembatan, liat 'air terjuuuun'... *mampuslah ni anak ngga ada capeknya*


Putri: Achaaaaa ayo ndang muliiih..

Acha: kaosnya ini beli di Bali... ayo pulang, Mbak... *ya ayooo, aku uda gobyos iki, nduuuk...*

-FIN-

Rabu, 26 Mei 2010

I'm Not Crazy, I'm Just a Little Unwell

Beberapa jam yang lalu saya sedang di dalam Sancaka, kereta yang membawa saya dari Surabaya menuju Jogja. Ngga tau kenapa, tiba-tiba saya merasa ngga enak. Unwell. Memikirkan banyak hal. Lalu saya putuskan untuk telepon sahabat saya yang lagi hepi di Jakarta sana. Siapa tau, saya ketularan hepi, hahaa... ternyata perbincangan hanya seputar, "kenapa?" dan saya jawab, "ngga tau."

Hoho... Ngga kreatif emang penyakit saya ini. Ngga ngerti maunya gimana. Tapi saya sering kok kayak gini, tiba-tiba up, tiba-tiba bete... Ngga asik kalo pas kayak gini, saya bingung sendiri. Yaudahlah, saya bikin postingan aja.


Kangen sama temen-temen SMA saya. Si Sekar yang mungkin lagi praktek di Bali, si Sulih yang galak tapi sekarang katanya ngga galak lagi, cengeng malah... haha... si Kiki yang lagi dikarantina di Bogor, si Icha Gomez yang masih suka pasang status alay dan belum bisa direhab... hehee... well, saya bener-bener kangen sama kalian... segerombolan orang yang paling baik dan ngga pernah ngatur saya harus begini begitu...

Foto di atas dan di bawah ini diambil sekitar Juli 2008. Waktu itu kita traveling ke Bromo berlima. Nyampe Penanjakan pas subuh. Asik. Seru. Kita pake baju berlapis-lapis saking dinginnya udara saat itu. Saya bahkan ngga bisa menggerakkan tangan buat motret. Kaku.

Si Gomez en Sekar ngga kuat naik ke kawah, jadi mereka putuskan untuk naik kuda, belagak jadi cowgirl :)
Kiki mabok, tapi anehnya bukan selama perjalanan. Dia itu selalu mabok pas hiking. Di Ijen juga penyakitnya itu kumat lagi, hehe... Sulih pernah bilang, ntar kalo umur kita udah 25 ke atas, kalo kita udah mencar-mencar ngga karuan, wajib hukumnya nyempetin traveling bareng lagi, awas kalo pada sok sibuk!!!



Hehe, yasudah... semoga saya segera membaik dengan membuat tulisan kecil ini :)

Cangkringan, Jogja. No music.

Selasa, 11 Mei 2010

The Story About Joni

Beberapa pria berkerumun di sebuah gang sempit. Mereka berdesak-desakan mengitari sebuah arena sambil berteriak kegirangan. Di tengah kerumunan tersebut, Joni dengan sigap bersiap untuk mencakar lawannya. Tapi musuh Joni yang sudah sempoyongan pun tidak kalah pintar, ia mengelak. Sesaat kemudian mereka terlibat aksi saling kejar. Musuh Joni ingin lari, tampaknya ia sudah tidak kuat lagi. Kepala dan beberpaa bagian tubuh lainnya penuh luka dan mengalirkan darah segar. Tetapi para penonton masih belum puas. Mereka memaksa lawan Joni untuk masuk arena. Kali ini Joni tampak lebih siap untuk memberikan pukulan pamungkas. Dalam sebuah lompatan saja Joni bisa mendaratkan cakaran telak di tubuh lawannya. Lawannya jatuh, lalu dibawa lari oleh promotornya menjauh dari keramaian...

Silahkan baca cerita selanjutnya pada ebook kami dibawah. Donlot aja, gratis kok.

Senin, 10 Mei 2010

Big City


Hanya memakan waktu tiga jam dari Semarang, tempat saya bermukim untuk sementara ini, bau suasana Jogja sudah bisa tercium. Rasanya saya ngga pernah menempuh jarak sedekat itu menuju si kota gudeg. Yap, weekend ini saya habiskan di Jogja saja, tentu saja karena bagi saya, kota ini nggaaaak pernah ngebosenin. Ngga masalah, meskipun cuman menghabiskan malam dengan jalan kaki di sepanjang Malioboro sampai ujung Mirota, sekedar melihat euforia wisatawan belanja berdesak-desakan. Semakin ramai, Malioboro akan semakin yahud.

Jam delapan malam saya sudah sampai di Jogja. Celingukan sendirian di Alfamart depan terminal Jombor menunggu jemputan adik sepupu saya. Yap, sejak saya traveling ke Karimunjawa dulu, mendadak saya menjadi pecinta terminal. Kemana-mana saya lebih suka menjadikan bus sebagai pilihan awal, padahal dulu saya ini kereta-minded banget. Beberapa hari sebelumnya, saya sudah bilang pada si Apin, sepupu saya itu, untuk mengantar saya ke Kotagede, dengan iming-iming akan saya bayarin makan dan bensinnya, di mana tawaran itu berarti surga firdaus untuk anak kos kere macem dia. Hahaha.

Walaupun Kotagede lebih dikenal sebagai daerah pengrajin perak, tapi saya ngeluyur ke sana bukan mau belanja. Saya pengen memanjakan mata, melihat bangunan dan rumah-rumah tua ala Jawa. Kalau di Surabaya ada daerah seperti ini di Jalan Gula, kawasan kota lama dengan bumbu-bumbu Pecinan, dan Semarang punya Outstadt yang membuat suasana jalanan berpaving itu tampak seperti Little Holland, Solo dengan kampung tua Laweyan yang terkenal dengan batik-batiknya, maka di Jogja pun gosipnya ada kawasan dengan nuansa jadul juga, yaitu di Kotagede.

Hoho, dan yang membanggakan, ternyata si Apin udah survey duluan ke sana, biar mbaknya yang ayu ini nanti bisa puas kelayapan. Wohoho, saya memang berencana mendidiknya dengan mata kuliah traveling sebanyak 10 sks, sebagai penunjang utama biar dia bisa lulus cumlaude nanti. Tapi sayang, dia ngga mau nganterin saya ke Gunung Kidul, karena terakhir dia ke sana naik motor, terus pulang ke kosan, dia serasa tak punya pantat lagi katanya.

Then, finally motor Jupiter merahnya kelihatan juga. Si Apin yang hobi nonton film lawas ini, sudah cengar-cengir di depan saya. Okelah, mari kita naik ke Kaliurang menuju rumah di Cangkringan. Yap, tempat ini pula yang suka saya kangenin. Cangkringan, sebuah kecamatan di lereng Merapi, letaknya kira-kira 20 km dari pusat kota Jogja, tentu saja kawasan ini dilengkapi dengan view gunung Merapi. Coba rasakan sensasi makan mie godhog Jawa di sini dengan kuah puanas tingkat internasional di saat badan menggigil kedinginan. Sungguh mengasyikkan.

Sampai di rumah, saya ditelpon sama Bapak, menanyakan keadaan dan kegiatan saya di Semarang... tuing! saya lupa sudah pamit apa belum waktu berangkat ke Jogja, hehe. Ketika mendengar nada kaget Bapak saat saya bilang sudah di Cangkringan, baru lah nyadar bahwa saya memang belum pamit. Saya langsung pamitan saat itu juga. Mwahaha... telat itu bukan alasan kawan.

Besok paginya, saya dan Apin meluncur ke Kotagede setelah sarapan di sebuah warung daerah UGM. Ngga jauh kok, cuman jalananannya terasa asing aja, karena saya memang baru kali ini ke daerah pengrajin perak itu. Then, di tengah perjalanan Apin tiba-tiba nyeletuk jayus, ”Selamat datang di Kotagede.”

Saya menyuruhnya melajukan motornya pelan-pelan di beberapa jalanan di sekitar Kotagede, sebelum saya menentukan mau blusukan di mana. Saya suruh dia terus lurus, belok kanan, belok kiri, berhenti sebentar, puter balik, balik lagi hehe, yang penting kan dia bisa makan enak pake uang saya, jadi saya berhak menyuruh-nyuruh kayak kumpeni.
Pemberhentian pertama kami adalah saat secara tidak sengaja melihat pabrik Chocolate Monggo, cokelat khas oleh-oleh dari Jogja. Kebetulan memang, Maya, seorang teman dari Jakarta yang lagi sibuk menggarap skripsi sampai ke perpustakaan Kanisius di Jogja, nitip saya untuk membelikannya cokelat Monggo di Kotagede.

Sebenernya cokelat ini gampang ditemui di pusat oleh-oleh ataupun di toko-toko batik di Malioboro. Tapi waktu Maya bilang, ada pabrik cokelat Monggo di Kotagede, maka saya pikir kenapa ngga sekalian saya belikan di sana juga.

Tapi, jangan membayangkan tempat produksinya itu megah, warna-warni, penuh dengan buah-buahan unik yang bertebaran seperti di pabrik cokelatnya Willy Wonka yang suka dandan menor itu. Cokelat Monggo ternyata dibuat di tempat yang mungil dan nyelempit. Dengan disain bangunan yang simpel dan bau-bau Belanda gitu. Mungkin pengaruh dari si chocolate maker-nya yang berasal dari Belgia. Di dalam ruangan pun hanya ada satu etalase model jadul, dan seperangkat meja dan kursi untuk menjamu konsumen. Tapi semuanya ngga ngefek ke rasa cokelat yang ngga kalah dengan cokelat impor ini. Dengan mengandalkan hanya tiga varian saja, polosan tanpa isi dengan kadar cokelat 58% atau 69%. Cokelatnya pakai kacang mete atau pakai rasa jahe. Wohoho, Indonesia sekali...


Keuntungan lebih ketika kita mengunjungi pabrik cokelatnya langsung adalah tester! Yap, kira-kira 10 biji potongan cokelat fresh from the kulkas, dihidangkan untuk kami berdua. Sedikit demi sedikit lama-lama coklat tester itu hanya tinggal dua biji. Hilang entah ke mana… Sungguh saya ngga tau…

Setelah transaksi pembayaran dilakukan, ternyata kami masih mendapatkan 6 potong cokelat yang dibagi dalam 3 kotak kecil berwarna pink bertuliskan Rama & Shinta, lengkap dengan pita sebagai pemanis. Sesuatu yang mungkin ngga bisa kita dapet ketika membelinya di toko oleh-oleh. Ih, sumpah enak banget tuh cokelat, udah bonus, pake isi selai stroberi lagi, hohoho.

Tidak jauh dari pabrik cokelat Monggo, terdapat sebuah mural dengan warna hijau mencolok yang bercerita tentang kehidupan warga Kotagede sebagai pembuat batik dan pengrajin perak secara turun temurun hingga saat ini. Setelah melewati deretan mural itu di Jalan Cantheng, kami menemukan warung vintage yang pernah saya baca saat blogwalking Kotagede.

Lebih mirip rumah sebenernya, kalau kurang jeli melihat papan nama warung yang sudah tua itu, ya sudah pasti terlewat. Warung ini bertajuk ”Warung Ys Sido Semi”. Yah, kalo ditransletkan pada kamus jaman sekarang menjadi, Warung Es Sido Semi. Dilihat dari daftar menunya yang masih menggunakan ejaan Bahasa Indonesia tempo dulu itu, sepertinya warung ini memang mengandalkan berbagai macam es sebagai menu andalan. Sedangkan untuk makanan hanya tersedia bakso saja.

Tentu saja yang menarik bagi kita berdua adalah deretan botol limun berwarna-warni. Saya sendiri sudah lupa kapan terakhir kali merasakan es limun. Jaman masih SD mungkin. Waktu itu saya memesan es limun rasa Frambozen, dan adik saya memesan Sarsaparilla. Katanya sih, dia ingat Pak Bondan pernah me-maknyus-kan minuman rasa ini dalam acara kulinernya. Karena botolnya unik dan antik, kami berdua, mahasiswa jaman millenium, harus ditolongin si mbak untuk membuka botolnya karena kami sama-sama ngga tau caranya gimana, bisanya hanya melongo saja.

Dihidangkan dengan segelas full es batu, minuman limun frambozen ini rasanya mirip-mirip sirup stroberi dicampur soda. Waktu itu saya ngelirik si Apin nyeruput Sarsaparilla. Dia terdiam sejenak, lalu berkomentar, "Kok kayak minum minyak tawon ya?”

Penasaran, langsung saya minum juga itu limun. Hhwaaahaaa... mungkin memang itu yang unik dari sebuah Sarsaparilla. hoho, sedikit sentuhan rasa minyak tawon. Sensasi aneh pada saat pertama kali merasakannya, tapi lama-lama enak juga sih, terbukti minuman berwarna mirip teh itu habis juga. Saya yang ngabisin :p

Puas minum-minuman-tidak-keras dari warung Sido Semi, saya menyuruh Apin memarkirkan motornya di Pasar Gede. Konon, pasar ini sudah dibangun sejak Kerajaan Mataram didirikan oleh Panembahan Senopati, dan sepertinya sejak saat itu pasar ini menjadi pusat perekonomian masyarakat Kotagede hingga sekarang, apalagi letaknya strategis berada di tengah jalan-jalan utama.

Dari pasar tersebut kita mulai jalan kaki, masuk ke gang-gang kecil bak labirin. Kenapa jalan kaki? Karena memang dengan cara itu baru berasa nuansa kota lama di Kotagede ini. Bahkan masjid kuno Kotagede peninggalan kerajaan Mataram, juga letaknya di ujung gang, bukan di pinggir jalan besar, dan efek dikelilingi oleh pagar bertembok bata merah bak benteng membuat masjid itu semakin tak nampak dari kejauhan.

Kalau di Jalan Kemasan, kami disuguhi dengan deretan pertokoan tua yang penuh dengan segala macam hal berbau perak sebagai icon Kotagede, maka di sekitar Jalan Tegalgendu, saya melihat model rumah-rumah tua yang tampak seirama. Daun pintu kayunya ada dua, dengan jejeran jendela yang didesain begitu simpel, persegi panjang dengan tralis vertikal polos dan cat yang cukup mecolok seperti kuning atau hijau toska.

Jangan sungkan untuk terus berjalan melewati gang yang semakin sempit, karena semakin memblusuk, semakin gampang menemukan perkampungan rumah Joglo. Di tambah lagi, banyaknya penduduk yang masih enjoy menggunakan sepeda tuanya menyusuri gang ini, membuat suasana jadul semakin berasa.

Namun tidak semua rumah memiliki disain ‘biasa-biasa saja’ seperti yang saya sebutkan tadi. Ada beberapa rumah yang tampak wow, yang mengindikasikan ada juragan-juragan besar pernah tinggal di gang tersebut. Rumah ini biasa disebut sebagai Rumah Kalang. Rumah ini sangat berbeda sekali dengan rumah joglo. Kebanyakan para juragan ini memodifikasi dengan sedikit sentuhan Belanda yaitu dengan memakai kaca mozaik warna-warni. Orang Kalang yang berjiwa seni tinggi itu memang terkenal sebagai pribumi-pribumi kaya karena keahliannya mengukir kayu. Hasil karya seni itu pula yang coba mereka tunjukkan dengan membangun rumah-rumah Kalang yang kemewahannya masih bisa dilihat hingga saat ini. Sepertinya, sebuah rumah dengan relief dewa-dewi di sepanjang dinding yang saat itu saya lewati, juga merupakan salah satu rumah Kalang.

Yap, saya yakin dan sudah mencobanya, jalan-jalan di Kotagede ngga akan menguras isi dompet, kecuali kalo memang ada niat belanja perak atau memborong Cokelat Monggo. Makan bakso saja di Sido Semi, nyeruput es limun sarsaparilla, kemudian mengunjungi makam raja-raja Mataram, ngadem dan sholat di Masjid Kuno, terkagum-kagum melihat rumah-rumah Kalang, dan lanjut blusukan sampai menemukan perkampungan Joglo hanya dengan modal kaki kuat, jantung sehat dan senyum pepsodent. Hepi walking!