Kamis, 13 Oktober 2016

Run Kebo Run!


 

Tengah tahun 2012

“Put, aku beli roti dulu ya buat sarapan…”
Andi Fachri, lelaki yang kalau tidak salah asli Semarang itu, menyebrang jalan menuju mini market 24 jam. Saya merapatkan jaket sembari terkantuk-kantuk di pinggir jalan yang gelap. Fajar memang masih jauh. Namun kami sudah bersiap melaju menuju Jembrana. Pukul 04.00 WITA, Mas Andi menjemput saya di hotel. Lelaki yang baru beberapa bulan tinggal di Denpasar ini berbaik hati menjadi teman perjalanan saya. Karena masih nubitol ini pula, dia mengandalkan peta digital untuk keluar dari pusat kota Denpasar.

“Ada jalan tembusan…,” katanya saat kami agak sedikit berputar-putar mencari di mana jalan yang dimaksud. Mungkin ini efek karena jalan terlalu gelap. Mau tanya orang juga sepertinya mereka masih terlelap. Beruntung kami melewati sebuah pasar kecil yang sudah menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Langit mulai berubah warna. Sementara motor masih terus melaju. Pantat saya yang sudah lama tidak merasakan berkendara jauh rasanya pegal dan kaku. Sesekali kami berhenti untuk mengecek peta lewat smartphone. Saya menghela nafas lega saat melintasi sebuah patung lelaki penunggang kerbau, salah satu ikon dari kota Jembrana. Perjalanan lebih dari tiga jam itu sepertinya akan segera mencapai tujuan.

Jembrana terletak di Bali bagian Barat. Jauh dari hiruk pikuk pariwisata yang hampir terpusat di Bali Selatan dan Tengah. Bagian Barat ini memang sebagian besar adalah tanah yang berstatus taman nasional. Wajar bila banyak hutan di kanan-kiri. Turis yang datang rata-rata penggemar wisata minat khusus. Meski pegal, saya terhibur dengan warna-warni pagi sepanjang perjalanan ini. Kabut, terasering, perbukitan, dan siluet gunung yang terlihat monokrom di kejauhan. Hal serupa mungkin sudah susah ditemukan di wilayah-wilayah touristy Bali lainnya yang penuh bangunan tinggi menjulang.

Pagi itu kami memang berniat menonton balap kerbau atau biasa disebut Makepung. Sebuah perhelatan besar yang hanya bisa disaksikan di Jembrana saja. Makepung memang selalu berlangsung sedari pagi hari pukul 6 pagi. Membuat para wisatawan dari Denpasar harus bangun pagi-pagi buta untuk mengejar acara tersebut. Apalagi memang tak terlalu banyak penginapan yang ada di Jembrana.

Makepung hari itu berlangsung di daerah Delod Berawah. Jalanan begitu lengang sepanjang menuju tempat tersebut. Kanan kiri hanya terdapat persawahan. Saya berharap tak salah melihat agenda Makepung di website pemerintah kabupaten Jembrana. Saya punya pengalaman tak enak berkaitan agenda acara budaya yang diinformasikan lewat internet. Sudah jauh-jauh datang ke Bantul (Yogyakarta), malah tidak ada acara apa-apa. Beberapa orang juga ikut kecele. Tidak lucu rasanya kalau kali ini pun saya bernasib sama.

Mas Andi berkali-kali menggumam, “kok sepi banget ya…”. Membuat saya semakin was-was. Hingga akhirnya kami mulai melihat segerombolan kerbau memadati jalanan. Rupanya perjalanan sedari subuh ini tak sia-sia. Acara ini benar-benar tepat waktu. Tak beberapa lama setelah memarkir kendaraan, pasangan kerbau pertama yang dilombakan sudah dilepas. Riuh pun sontak terdengar.

Pagi itu tercatat hampir 250 pasang kerbau yang memperebutkan piala bergilir Jembrana Cup. Peserta terbagi dalam dua grup yakni Blok Ijogading Timur dan Barat. Lintasan balap yang digunakan adalah sebuah jalan desa yang bentuknya melingkar. Di bagian tengah lintasan terdapat beberapa petak sawah. Lebar jalan lintasan lebih kurang hanya tiga meter saja. Di sini tantangannya, saat sepasang kerbau harus mendahului pasangan di depan. Setiap kali peluit ditiupkan, ada dua pasang kerbau dari grup berbeda yang adu balap. Begitu seterusnya, hingga mendapatkan nama-nama pemenang untuk mengikuti putaran final yang diadakan siang itu juga.


Jangan abaikan keselamatan diri saking enaknya mengikuti atmosfer balap ini. Tak jarang ada kerbau yang mengamuk dan berusaha keluar dari lintasan. Beberapa orang tampak ambil jalan aman: menikmati perlombaan dengan duduk di atap genting rumah.

Semakin siang, aura persaingan semakin terasa. Teriakan-teriakan joki terdengar bersahutan demi memacu tenaga kerbau-kerbaunya. Setiap detik terasa begitu berarti dalam derap hewan-hewan ini. Penonton pun bersorak tak kalah riuh saat jagoannya berhasil mencapai garis finish.

Bosan berada di lintasan, saya memutuskan untuk keluar dan melihat lebih dekat di garis finish. Berjalan berjingkat-jingkat di tepian agar tak tertabrak gerobak kerbau. Seorang kameramen TV lokal bahkan hampir kehilangan gadget-nya karena terlalu menjorok tengah lintasan. Dia mengelus dada, memeluk kameranya yang hampir wassalam.

Di garis finish rupanya masih ada PR yang menanti para anggota tim balap yaitu menghentikan laju kerbau. Bayangkan, kerbau yang sudah dalam keadaan on-fire lari gradak-gruduk harus dihentikan begitu mencapai garis akhir. Kalau tidak kuat, bisa saja anggota tim ini terseret atau bahkan terlempar srudukan kepala kerbau.



Saya lantas bergerak ke arah pantai. Kebetulan lintas balap ini tak jauh dari Pantai Delod Berawah. Hanya perlu berjalan beberapa meter saja. Pantai ini tak setenar pantai-pantai lain di Bali. Dari segi pemandangan dan fasilitas, Pantai Delod Berawah jauh kalah dengan yang lain. Di bawah pohon-pohon rindang di tepian pantai, berjejer kerbau-kerbau yang telah berlomba. Saya bergidik ngeri saat berjalan di samping hewan-hewan itu. Nafas mereka masih terpacu kencang. Debaran detak jantungnya bisa terlihat jelas di permukaan kulit. Dag dug dag dug… Seorang lelaki nampak mengguyurkan air dingin di bagian pantat dua kerbaunya yang berdarah. Entah mengapa, saya jadi ikutan merasa perih.


"Ini luka akibat tungket, mbak…," kata Pak Nyoman sembari mengangkat sebuah tongkat sepanjang 40 cm yang diselimuti paku-paku kecil. Balap kerbau ini mengingatkan saya pada Karapan Sapi di Madura. Sama halnya seperti di Jembrana, Karapan Sapi menggunakan tongkat yang lebih kecil untuk memacu sapi-sapi agar berlari lebih kencang. Alhasil, banyak darah berceceran di bagian pantat hewan-hewan tersebut. Yang merasa mual melihat darah, sebaiknya jangan pernah nonton Makepung atau Karapan Sapi. Mungkin kesakitan inilah yang harus dibayar hewan-hewan ini setelah melewati bulan-bulan penuh kenyamanan. Pada perkembangannya sapi dalam Karapan maupun kerbau dalam Makepung ini memang sengaja dibesarkan untuk menjadi pembalap.

"Sekarang sudah banyak yang punya traktor pengganti kerbau di sawah," sambung lelaki yang sudah puluhan tahun mengikuti Makepung ini.  Tentu saja biaya perawatan kerbau balap tak semurah dengan yang dipekerjakan di sawah. Beberapa ada yang meningkatkan vitalitas dengan menggunakan ramuan tradisional dan makanan-makanan lainnya. Bisa jadi makanan untuk hewan ini lebih mahal daripada sepiring nasi majikannya. Mereka begitu dimanja laiknya merawat seorang bayi.



Pak Nyoman dan sang joki mengajak kerbau-kerbau balapnya berlatih dua minggu sekali menjelang pertandingan. "Saya latih di medan lumpur, karena lebih berat," ujarnya yang kerap kali mengganti kata joki dengan sebutan 'sopir'. Penunggang kerbau juga harus punya stamina lebih. Beberapa kali saya melihat joki-joki yang menggelepar pingsan setelah memacu kerbau-kerbaunya beberapa kali putaran. Apalagi final dilaksanakan menjelang tengah hari, di mana sengatan mentari sangat menguras energi.

Konon, zaman dahulu kala, Makepung memang dilakukan di tengah sawah basah. Para penunggangnya mengenakan pakaian tradisional laiknya prajurit kerajaan. Kegiatan berlari-lari dengan kerbau ini awalnya memang bertujuan untuk membajak lahan sebelum ditanami padi agar menjadi gembur. Karena sapi hewan yang disucikan di Bali, maka pekerjaan bajak sawah tradisional ini dilakukan oleh kawanan kerbau.


Tak jauh dari arena balap, saya melihat segerombol lelaki mengenakan pakaian tradisional Bali berwarna merah jambu. Mereka adalah para pemain Jegog, kesenian musik khas dari Jembrana yang semua instrumennya terbuat dari bambu. Tahun 2012 ini, konon Jegog telah mencapai usia 100 tahun sejak pertama kali dibuat oleh seorang petani setempat. Kesenian ini tak tersedia di daerah lain di Bali. Untuk dapat menikmati atau belajar pada ahlinya, wisatawan dapat mengunjungi Desa Sekar Agung, Jembrana. []


Makepung adalah tradisi berlarian dengan kerbau yang dilakukan oleh petani di Kabupaten Jembrana. Dahulu kala, Makepung digelar sebelum masa tanam padi. Tujuannya memang untuk membajak lahan basah. Pada perkembangannya, kegiatan ini pun dilombakan secara terjadwal mulai dari bulan Juni di tingkat kecamatan, hingga kisaran November untuk memperebutkan gelar juara tingkat kabupaten. Ditambah dengan adanya peningkatan teknologi pertanian, kerbau-kerbau ini tak lagi bekerja di sawah. Mereka dirawat sebagai kerbau balap. Setiap jadwal Makepung, ada dua grup besar yang berlomba. Perhelatan ini pun tak lepas dari iringan kesenian musik dari bambu khas Jembrana yang disebut Jegog. Info pelaksanaan Makepung tiap tahun bisa dilihat melalu situs pemerintah kabupaten Jembrana (http://www.jembranakab.go.id/)