Selasa, 15 Juli 2014

Minggu ke-39: Bertemu Anak Lanang (1)

5 Mei 2014, saya masih ingat, dokter kandungan bertubuh subur itu memberi informasi tentang indeks ketuban saya yang rendah ditambah kepala janin belum terkunci di panggul. Jika tak ada kontraksi dan pembukaan dalam satu minggu ke depan, maka opsi caesar harus dilakukan. Kaget, karena saya mampu menghadapi vonis tersebut dengan cukup tenang. Apalagi tidak ada suami di samping, tidak ada sandaran bahu untuk tersedu-sedu. Masih ada waktu satu minggu untuk berusaha lahiran secara normal dan terus merapalkan doa-doa.

Sesampainya di rumah, saya segera browsing tentang kasus ketuban sedikit alias oligohidramnion. Memang sangat beresiko pada hidup janin, persis seperti yang dikatakan sang dokter. Kebanyakan ibu hamil yang mengalaminya pun melahirkan di meja operasi. Mas Dian, suami saya, buru-buru mengganti jadwal perjalanan yang semula akan ke Jember sekitar tanggal 12 Mei menjadi 3 hari sebelumnya. Tak bisa menggeser hari lagi karena dia masih harus berdinas di Kupang dan Bandung secara berurutan.

"Kalo memang harus segera lahiran, jangan dipaksa nunggu aku." Begitu pesannya. Saya amini, namun dengan tidak ikhlas. Suami saya harus mendampingi saat melahirkan, karena itu keinginan terbesar saya semenjak hamil. Saya ingin melihatnya mengumandangkan adzan di telinga si bayi kelak. Selama 9 bulan lebih, saya selalu membisikkan cita-cita tersebut pada janin yang masih di perut.
"Tunggu ayahmu ya kalau mau lahir..."

Setibanya Mas Dian di Jember, kami segera ke dokter kembali. Tenggat waktu seminggu pun telah berlalu namun janin saya masih nyaman di dalam rahim. Gerakannya pun masih aktif. Sayang, indeks ketuban saya nampak semakin rendah. Saya langsung membayangkan janin saya megap-megap di dalam.

Dokter menyarankan saya untuk melakukan tes CTG untuk mengetahui gerakan jantung janin. Maka malam itu pun kami ke rumah sakit untuk tes CTG. Dari grafik hasil tes tersebut, sudah bisa ditebak oleh sang dokter bahwa detak jantungnya kurang stabil. Namun dari grafik tersebut juga diketahui bahwa sudah mulai ada tanda kontraksi rahim walaupun tidak sekuat untuk melakukan pembukaan jalan lahir. Maka, sekali lagi dokter membolehkan saya menunggu agar bisa melahirkan secara normal, hanya dalam tiga hari. Lewat dari itu resikonya bermacam dari ketuban keruh, janin keracunan hingga kematian. Hati saya tentu maknyes.

Daripada tambah stress memikirkannya, malam itu kami masih sempat jalan-jalan ke alun-alun karena Mas Dian ingin mencoba lensa manual jadul terbarunya. Lumayan, saya punya foto kenang-kenangan masa hamil H-3 melahirkan. Acara jalan-jalan murah meriah itu mampu jadi mood booster sebelum mengabarkan berita kepada orang tua kami. 



14 Mei 2014, tidak ada yang berubah. Janin masih aktif bergerak, tidak ada sakit karena kontraksi, hingga sore hari saya periksa bidan pun, kepala janin masih belum terkunci di panggul. Setelah berbagai usaha dilakukan, sore itu, saya dan Mas Dian diantar kakak saya, meluncur ke rumah sakit Jember Klinik. Kami menyerahkan surat pengantar operasi dari dokter dan lantas mengurus berbagai administrasi di meja pendaftaran. Bidan berkata bahwa saya akan dioperasi besok pagi sekitar pukul 7. Perasaan saya saat itu, hm... luar biasa tenang. Apapun yang terjadi, at least, Mas Dian sudah di samping. Sesuai keinginan di awal kehamilan. 

Maka, malam itu pun saya dan Mas Dian mulai menginap di salah satu kamar rawat. Saya masih sempat jalan-jalan melemaskan kaki mengelilingi rumah sakit. Siapa tahu, tiba-tiba dalam hitungan menit, sang bayi merangsek masuk ke panggul lantas saya dibopong ke ruang bersalin dan oweeek.. oweeek.. lahirlah... :)

Namun, Tuhan belum menghendaki skenario seperti itu. 

Malam hari, orang tua dan keluarga besar saya berkumpul di rumah sakit. Pakde, budhe, paklik, bulik, para sepupu sudah lengkap. Beberapa bermuka muram sembari berulang menanyakan keadaan saya. Jujur saja, I'm totally fine. Apalagi saya belum diinfus jadi masih bebas kesana kemari. Kamar Anthurium 105 itu sangat riuh dengan segala percakapan keluarga besar. Saya agak was-was ada pengusiran di kamar ini oleh perawat rumah sakit saking ramainya suasana di dalam. 

Begitulah karakter keluarga Ayah saya. Gemar berkumpul, berceloteh, tertawa dan berbagai kegiatan ramai-ramai lainnya. Dulu, saya berharap bisa lahiran di Surabaya agar lebih sepi. Hanya ada suami dan orang tua saja agar saya lebih konsentrasi pada lahiran. Somehow, suasana sunyi akan membuat pikiran saya lebih rileks. Tapi, yah.. lagi-lagi skenario saya harus diganti. 

Seluruh keluarga saya agak terkejut saat pintu dibuka oleh bidan dan dokter kandungan. Saya kira mereka bakal marah-marah melihat pengunjung sebanyak itu. Tapi rupanya tidak hehehe... Seluruh keluarga kecuali suami, lantas keluar ruangan dengan kesadaran sendiri. Usai memeriksa detak jantung janin, dokter menginformasikan bahwa jadwal operasi saya maju menjadi setengah 6 pagi. Hm, baiklah... lebih cepat mungkin lebih baik. 

Sekitar pukul 9 malam, seluruh keluarga meninggalkan saya dan suami. Satu per satu mereka menyalami dan mencium pipi saya serta menyelipkan doa-doa manis. Dibalik berbagai kehebohan yang sering dilakukan oleh keluarga besar saya, tidak bisa dipungkiri bahwa kami semua saling menyayangi dan mengasihi dalam ikatan yang kuat. Hal ini pernah saya rindukan saat saya pertama kali lebaran di kota suami yang begitu sepi. 

Tak lama setelah itu, dua bidan datang untuk memasang infus. FYI, ini adalah operasi dan rawat inap pertama saya seumur hidup. Alhamdulillah, selama 26 tahun, orang tua merawat saya dengan begitu baik sehingga tak pernah sebelumnya saya merasakan menginap di kasur rumah sakit dan dipasangi berbagai instrumen. Salah satu bidan, menyarankan mandi sekitar pukul 4 pagi karena setelah operasi saya tidak boleh mandi selama beberapa hari. 

Malam itu, saya tidak bisa tidur. Kerasa juga deh deg-degannya... walopun mungkin saya lebih tak nyaman karena ada jarum infus yang tertancap. Rasanya tidak bebas. Saya tengok suami, dia sudah pulas di sofa. Pukul tiga pagi saya membangunkannya, meminta tolong untuk diambilkan mukenah. Di atas kasur, saya melaksanakan sholat malam, berdoa untuk kelancaran operasi beberapa jam lagi. Usai sholat, saya dan suami ngobrol ngalor ngidul karena sama-sama tak bisa tidur. Saat hampir pukul empat pagi, saya bersiap untuk mandi dan berganti kostum operasi. Pengalaman mandi dengan tangan terinfus ternyata merepotkan ya... 

Pukul 5 pagi, dua bidan semalam datang lagi. Ada yang menyuntikkan antibiotik di lengan bawah, yang mungkin untuk uji alergi. Suntikan ini sepertinya suntikan paling nyeri seumur-umur bertemu dengan jarum injeksi. Alhamdulillah tidak ada reaksi gatal, tapi nyut-nyutan minta ampun. Yang kedua, mereka memasang kateter untuk menampung urin. Masya Allah sakit banget rasanya! Badan saya terkejut, hingga bidan menyuruh saya rileks, agar kateter bisa segera terpasang. Hfft! Bidan-bidan ini bekerja begitu cepat sehingga saya baru sadar bahwa sebentar lagi saya akan dibawa ke ruang operasi. Deg-degan, meeeen!

Kasur pun didorong keluar kamar. Rupanya orang tua saya sudah datang. Kami tak sempat berbincang, saya hanya mencium tangan suami, Mama dan Ayah. Meminta restu dan sekaligus meminta maaf. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti di meja operasi. Membayangkan berbagai hal membuat perjalanan menuju ruang operasi terasa sentimentil dalam benak saya. Beberapa kali, mata saya panas karena menahan tangis. Saya tak ingin cengeng mewek-mewek, namun beberapa tetes air mata akhirnya lolos juga. 

to be continued... biar ga kepanjangen aja sih :p