Jumat, 28 September 2012

Menyaring Matahari


Manusia memang aneh, kadang ia mencerca matahari, tapi tak jarang pula mengejarnya susah payah. Mengasup berbagai teknologi modern demi merekam senja yang sempurna. Ah, kadang pun semua yang kekinian itu tak murah harganya. Mungkin ratusan tahun lalu, menikmati senja tak perlu seribet hari ini. Hahaha... Tapi itu sah-sah saja. Momen satu ini memang memiliki ribuan impresi yang bersifat personal. Toh juga banyak yang bilang, tak ada senja yang sama setiap harinya. So, go get your gear! :D

PS: Postingan buat #TurnamenFotoPerjalanan dengan host ronde ke-4 @giri_prasetyo

Kamis, 27 September 2012

365

Tuhan pernah menguji hubungan ini di bulan-bulan pertama. Di saat orang pacaran seharusnya asyik memadu kasih dan saling melempar sayang, saya dan pacar justru 'menggelar' drama perselisihan yang cukup alot. Si pacar yang punya sederet mantan (baca: banyak), mengaku agak kerepotan karena ngga pernah punya pacar 'berprofesi' penulis perjalanan seperti saya. Dua tahun belakangan, pekerjaan ini membuat saya cukup mobile kesana kemari dengan bebasnya. Berada di tempat yang terjamah atau tidak oleh sinyal telepon bukanlah hal penting bagi saya. Asal rutin mengirim kabar 'posisi' lewat sms kepada ayah atau mama di rumah, maka saya sudah masuk zona aman-aman saja bepergian. 

Tuhan mungkin memang sengaja ngga ngasih pacar dalam jangka waktu yang lama. Terakhir pacaran, adalah saat memasuki bangku SMA. Itupun tidak lama. Setelah itu, posisi pacar kosong melompong tidak ada yang mengisi, sampai akhirnya saya lulus kuliah dan mulai rajin menjadi kontributor majalah wisata. Anehnya, saya juga ngga ngoyo nyari pacar. Ah aneh pokoknya, hahaha... Tapi saya punya cukup banyak teman dekat yang bisa diandalkan tiap waktu. Saya merasa, belum butuh juga nyari pacar. Ntar malah saya dilarang traveling dan harus sering lapor ini itu kayak satpam, hehehe. Bukan berarti saya ngga pernah naksir kanan kiri ya. Paling lama sih saya naksir cowo kosan depan, gendut, plontos dan rajin sholat tarawih. Forgive me, God, karena sering ke musholla hanya untuk ngeliat si dia ikut sholat tarawih! :D

Lalu, Tuhan mempertemukan saya dengan si pacar yang belum jadi pacar. Cerita ketemunya gimana lalu jadiannya gimana, ntaran aja akhir tahun saya bikinin ebooknya. Halah! :)) Pada intinya, kehidupan perpacaran kita di bulan awal sempat sangat manis, seperti kebanyakan orang menjalin hubungan baru gitu deh. Status hubungan jarak jauh Jawa-Sumba, toh tak pernah menjadi masalah yang super serius buat saya. Pokoknya hubungan ini jadi berasa tambah manis karena tak lama setelah itu saya terpilih menjadi salah satu peserta keliling Indonesia atas sponsor detikcom. 

Tuhan memang baik hati memberika rejeki sekaligus ujian dalam waktu bersamaan. Si pacar yang tak pernah punya hubungan LDRBTST (long distance relationship bonus tanpa sinyal telpon) mulai belingsatan protes ini itu. Saya pun yang hampir ngga pernah kesulitan ngurus 'perijinan' saat traveling mulai males harus begini begitu. Dua orang keras kepala mulai mengeluarkan tanduk egonya masing-masing.

Tuhan mengirim saya ke Tanjung Lokang, sebuah desa kecil yang dihuni Dayak Punan Hovongan di belantara Kalimantan Barat. Praktis, seminggu saya ngga menjamah handphone. Lah ngapain? Orang ngga ada BTS di sana. Tanjung Lokang termasuk dalam kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, which is saya juga berkesempatan bertemu dengan satu dua orang petugas taman nasional. Ngobrol juga lumayan nyambung, apalagi posisi pacar juga sama-sama bekerja di taman nasional di Sumba. Dalam hati saya bersyukur, pacar saya tidak ditempatkan di kawasan dengan mobilitas sesusah ini, dengan sistem komunikasi yang sangat terbatas. Saya benar-benar bersyukur.

Tuhan menyelipkan rasa rindu ketika saya tak tahu harus menghubunginya dengan cara apa. Saya hanya mampu mengatakannya pada teman satu tim, dan menuliskan di catatan kecil bahwa saya kangen suara si pacar. Di dalam belantara hutan, saya membayangkan sedang apa dia saat itu di Sumba.

Namun Tuhan juga menitipkan amarah pada si pacar. Tepat setelah 7 hari kembali dari desa Tanjung Lokang, masih di atas sampan kecil, saya menghidupkan handphone nokimin jadul. Sms dari ayah masuk dan menanyakan kabar. Saya membalas bahwa saya berada di sampan dan hampir sampai Putussibau dalam keadaan sehat. Tak sabar, saya mengirim pesan kepada si pacar dengan isi serupa. Saya ingin segera berbagi pengalaman berharga selama 7 hari di Tanjung Lokang. Tapi pesan itu tak berbalas, hingga maghrib menjelang saat saya sudah berada di daratan. Telepon pun tak diterima. Setelah membuka email dari dia yang dikirim beberapa hari sebelum saya mendarat, barulah saya benar-benar sadar bahwa dia ngambek. Dalam surat elektronik itu dia berbicara tentang komitmen, tentang pilihan dan sebagainya. Luntur sudah niat saya untuk berbagi cerita tentang Tanjung Lokang. Saya lelah, dan akhirnya turut marah. Detik itu saya merasa, bahwa hubungan ini akan berakhir prematur.

Entah apa yang Tuhan lakukan. Tapi 26 September ini tepat setahun saya berhubungan dengannya. Jauh meninggalkan apa yang sudah terjadi di awal jadian. Jauh dari perkiraan saya bahwa hubungan ini ngga akan bertahan. Bukan berarti tak ada batu sandungan juga sih. Karena pada dasarnya kami adalah pribadi yang sama-sama keras kepala. Walaupun si pacar mengaku memiliki sedikit sifat mengayomi (iya deh, mas :p). 

Tetap, hanya Tuhan yang tau bagaimana nasib akhir hubungan ini. Saya menulis ini juga semata untuk mengingat hal yang sudah pernah terjadi. Berjalan bersama dan saling berkompromi mungkin hal yang lebih krusial daripada merancang masa depan dengan muluk. 

"Gue jadian ama Dani udah 6 taun sebelum akhirnya mutusin buat nikah. Pernah putus sebulan karena masalah yang cukup serius. Tapi hati gue selalu bilang, bahwa gue masih mau ngeusahain hubungan ini biar terus jalan. Dan ya, akhirnya gue ngajak Dani balikan lagi dan emang ngga semudah itu untuk kembali kayak dulu, semua atas usaha bareng-bareng." Mbak Anty, teman satu tim saya berujar demikian di malam saya tak-peduli-lagi-bagaimana-kelanjutannya. Saya menurunkan ego ke level yang lebih rendah, dan mulai meraih handphone lagi. Menelpon dan menelpon hingga pacar saya, yang juga (mungkin) menurunkan egonya, akhirnya mengeluarkan suara. Saya kangen dan marah bersamaan saat suara itu muncul. Deeeemm... :p

Well, I don't know what to say... I love you for sure (yaiyalah) and thank you for this 365 days... Still counting kan ya? Hehe :)


Rabu, 19 September 2012

Gadis Tenganan Pegringsingan


Tenganan Pegringsingan adalah salah satu desa adat yang dihuni oleh keturunan Bali Aga. Letaknya cukup nyelempit tersembunyi di balik perbukitan daerah Karangasem.  Setiap bulan kelima penanggalan Bali (usaba sambah), gadis-gadis Tenganan Pegringsingan melakukan prosesi Manyunan, yaitu berayun di ayunan tradisional. Beramai-ramai mereka menghias rambut dan mengenakan tenun Pegringsingan, selembar kain yang bernilai tinggi baik dari segi materi maupun spiritual bagi masyarakat Tenganan Pegringsingan. 

Note: Posting ini dibuat untuk meramaikan #TurnamenFotoPerjalanan oleh @duaransel dan @wiranurmansyah sebagai tuan rumah ronde ketiga :)