Minggu, 31 Juli 2011

Know How - Kings of Convenience



Riding on this know-how
Never been here before
Peculiarly entrusted
Possibly that's all

Is history recorded?
Does someone have a tape?
Surely, I'm no pioneer
Constellations stay the same

Just a little bit of danger
When intriguingly
Our little secret
Trusts that you trust me

'Cause no one will ever know
That this was happening
So tell me why you listen
When nobody's talking

What is there to know?
All this is what it is
You and me alone
Sheer simplicity

Selasa, 26 Juli 2011

Jember Fashion Carnival X

Badan saya seketika menggigil kedinginan ketika Kakak melajukan motor menuju rumah seusai menjemput saya di stasiun. Kala itu hampir pukul 3 pagi, bak sedang berada di puncak gunung, gigi saya bergemeletuk berulang-ulang. Oksigen yang terhirup terasa basah. Lemak tubuh yang tertutup cardigan abu-abu itu ternyata belum cukup mampu untuk menghangatkan badan. Shock cuaca. Mengeluh pun tidak ada gunanya.

Dan Alun-alun kota kebanggaan Jember pun mulai terlihat. Lampu benderang. Dan kabut terlihat melayang-layang di tengah lapangan. Sepi. Tentu saja, ini kan dini hari. Tapi saya jamin, dalam waktu lima jam ke depan, tempat ini akan berubah menjadi lautan manusia. Kursi-kursi lipat berlabel invitation-only yang konon berjumlah 2800 itu sudah tertata dengan rapi di depan kantor Pemerintah Daerah. Siang nanti, pagelaran paling megah seantero Jember akan digelar. Karena itu pula, saya memutuskan untuk pulang. Pulang semata untuk menonton Jember Fashion Carnival (JFC). Oh, ini sungguh di luar kebiasaan.

Masih terekam dengan jelas, saya hanya pernah menonton JFC pada episode perdana. Setelah itu saya kapok. Panas ampun-ampunan. Ramai ngga ketulungan. Penonton susah diatur. Cukuplah saya menghabiskan separuh hari dengan muka cemberut dan kening berkerut. Maka tahun-tahun berikutnya saya malas menonton perhelatan akbar ini. Hanya ibu saya yang masih setia menjadi penonton. Dari 10 kali digelar sampai tahun ini, beliau dengan suara yang terdengar menyesal, memberi tahu saya, "Mamah absen ngga liat dua kali!"

Social media dan milislah yang membawa minat saya untuk mencoba kembali menikmati JFC. Begitu banyak orang yang berkeinginan menyaksikan langsung adu kreativitas kostum di ajang ini. Bahkan teman saya, si Andre, kabarnya menerima tamu sesama CouchSurfer yang spesial datang jauh-jauh untuk menonton karnaval besar-besaran ini. Milis pun menyebutkan bahwa hotel-hotel di Jember sudah fully booked. Bahkan teman saya, Maya Wuysang, sempat mendaftarkan diri menjadi peserta ketika berkunjung ke Jember beberapa bulan.

Okay. Sepertinya saya harus ikut serta meramaikan JFC kali ini dan merelakan ajakanmelancong pecinan di Pulau Madura. Berada di bawah panas matahari sebentar, sepertinya bukan masalah yang harus dijadikan alasan. Bukankah kulit saya memang sudah gosong? Apalagi ini di kampung halaman sendiri.

Dan setelah tertidur cukup pulas dibalik belaian selimut tebal, sekitar pukul 9 pagi berangkatlah saya bersama si Ocik menuju alun-alun kota. Masih relatif sepi sih. Kursi-kursi yang semalam saya lihat juga masih kosong. Hanya tampak panitia berlalu-lalang, dan beberapa penonton non-invitation yang sudah berpiknik di trotoar alun-alun. Yap, mereka benar-benar menggelar tikar. Wajar sih, kalau jam segini sudah pada ngetem tempat terdepan, karena pasti, sekali lagi, pasti, tengah hari nanti ribuan manusia akan berjubel di sini.

Saya dan Ocik pun berniat sama. Mencari tempat terbaik untuk menunggu parade dilangsungkan. Tapi halaman belakang kantor Pemda lebih menggoda kami. Di sana sekitar 800 talent sedang berdandan bersiap mengenakan kostum terbaik mereka. Ratusan fotografer pun tampak tidak mau kalah berseliweran. Sungguh saya dan Ocik pingin masuk. Kami hanya dipisahkan oleh selapis pagar besi saja. Tapi entry password itu bernama: ID Card.

Ya, ini termasuk tips untuk kalian, media, fotografer, reporter atau apalah yang ingin mendokumentasikan JFC, sebaiknya memesan dulu ID Card atau Invitation karena memang keduanya bisa dengan mudah didapatkan via online sebulan sebelum berlangsungnya karnaval. Dan tentu saja saya terlambat mengetahui info yang supermudah ini. Haha!!

Sampai akhirnya saya melihat wajah yang tak asing, tampak kusut khas bangun tidur anak kosan, Andrey Gromico, memakai kaos putih bersablonkan JFC, melintas di depan saya. Oho! Fotografer lulusan Antara inilah yang kemudian membantu saya untuk turut masuk ke halaman belakang kantor Pemda.

Oh! Dan saya tidak pernah berada sedekat ini dengan ratusan peserta berkostum meriah ini. Tahun 2011 adalah tahun yang spesial karena event yang digagas oleh Dynand Fariz ini memasuki masa satu dekade. Maka kostum pasukan yang ditampilkan adalah defile terbaik pada tiap tahunnya. Dan 10 defile tersebut adalah Royal Kingdom, Punk, India, Bali, Tsunami, Athena, Borneo, Roots, Animal Planet dan Butterfly. Ke-random-an ini yang bikin saya berdecak kagum. Terutama melihat kreativitas peserta yang seakan tidak ada habisnya itu. Tiap kostum memang didesain sendiri oleh peserta, dan hanya disesuaikan oleh defile yang ingin dia ikuti.

Informasi yang saya dapat dari seorang teman reporter yaitu Arman Dhani Bustomi, biaya terbesar pembuatan kostum ini jatuh pada Garuda Wisnu Kencana dari defile Bali. Dua puluh juta rupiah, men! JFC kini memang sudah berkembang menjadi event kelas dunia. Peserta tidak melulu berasal dari Jember. Ada model-model L-Men yang tampak waw sekali dibalut kostum Athena. Bahkan seorang petinggi ESMOD, Patrice de Silles turut memeriahkan defile Punk. Tidak pernah rasanya seumur-umur hidup di Jember, saya melihat begitu banyak wisatawan mancanegara seliweran membawa kamera di alun-alun kota. Mobil-mobil televisi nasional terparkir di luar gedung. Uh, baru deh saya sadar, bahwa JFC memang benar-benar menjadi magnet besar bagi pariwisata kota kecil ini. Katrok bener saya ini.

Well, sayangnya, saya tidak bisa melihat bagaimana parade dan koreografi para peserta. Karena, tentu saja, seusai keluar dari backstage, maka saya dan Ocik sudah tidak kebagian tempat terdepan. Dimana-mana orang. Orang dimana-mana.

Namun, ada beberapa cerita klise yang saya dapatkan ketika parade berlangsung. Jadi peserta JFC ini akan 'dikeluarkan dari kandang' setelah menghibur para undangan khusus. Mereka akan melintasi alun-alun kota hingga GOR PKPSO yang jaraknya 3,6 km. Nah, sesungguhnya di sinilah ujian para peserta JFC. Saking ramai dan sesaknya pengunjung, bahkan parade pun terasa susah bergerak. Akses jalan kurang lebar, karena lagi-lagi, penonton kurang tertib dan tidak mengindahkan aturan. Semua penonton merangsek ingin melihat siapa yang melintas, kostum seperti apa, dan uh oh, hape qwerty melayang-layang di udara; foto dulu dong, mbak, mas! Jepret! Jepret! Jepret! Dan ini adalah kisah yang berulang dari tahun ke tahun.

Uhm, mungkin lain kali pemerintah daerah bisa menyedikan truk trailer dengan bak terbuka seperti parade di Brazil ya, demi kenyamanan peserta dan penonton.

:)

So, here's the video that i've made. Sorry kepanjangan. Saya lagi happy pas bikin, jadi keterusan gitu. Sorry juga warna kurang kontras, saya memang malas mengedit (makasi sarannya Deri, Mas Jeri dan Giri, nama kalian sungguhlah mirip). Dan terima kasih Octrio Joky atas tumpangannya, terima kasih Andrey Gromico plus Arman Dhani Bustomi atas pinjaman foto untuk melengkapi video ini. Ah, yaudah deh, lagi-lagi saya kebanyakan sorry dan terima kasih. Just enjoy! :)

Jumat, 08 Juli 2011

Potehi: Wayang Tradisional dari Tiongkok





Hong Tiek Hian kini menjadi satu-satunya klenteng di Surabaya yang menyediakan pertunjukkan Potehi. Kesenian khas tradisional Cina Selatan yang telah berusia ribuan tahun ini datang ke Nusantara seiring dengan migrasi penduduk Tiongkok pada abad 16. Potehi berasal dari kata Pou (kain), Te (kantong), Hi (wayang) yang aturan mainnya mirip dengan wayang tradisional Indonesia. Hanya saja Potehi berbentuk seperti boneka berkantong, yang digunakan sebagai tempat memasukkan tangan sang dalang.

Sama seperti kebudayaan peranakan Tionghoa lainnya, Potehi sempat dilarang untuk dimainkan oleh pemerintah Indonesia pada waktu lampau. Padahal tak sedikit juga penikmat dan penggiat Potehi yang sebenarnya adalah orang Indonesia yang tidak memiliki darah Tionghoa. Walaupun di Surabaya hanya ditemukan pada satu klenteng, tapi hal ini jauh lebih baik daripada masa-masa suram dahulu, karena Potehi kini bisa secara bebas dimainkan kembali.

Adalah Sukar Mujiono yang bertugas menjadi dalang saat saya mengunjungi klenteng yang dibangun pada tahun 1800an ini. Setiap harinya, dia dapat memainkan Potehi sebanyak tiga kali dengan durasi dua jam, dibantu oleh seorang asisten dalang, dan diiringi tiga pemain musik tradisional Tiongkok. Panggung tempat mereka bekerja tidaklah besar, hanya sepetak kotak saja yang muat terisi satu peti berisi boneka wayang, dan beberapa kursi untuk dalang dan para pengiring musik.

Bagi para umat yang baru mendapat rezeki, maka menanggap pertunjukkan Potehi di klenteng adalah bagian dari wujud rasa syukur. Menjelang Imlek adalah hari-hari yang paling sibuk dan ramai akan permintaan Potehi. Mereka juga bebas meminta cerita yang ingin dimainkan. Pak Mujiono bercerita bahwa ia pernah membawakan sebuah cerita sejarah yang baru benar-benar tamat setelah dimainkan selama satu bulan dengan durasi per hari yaitu empat jam penuh.

Wayang di klenteng ini biasa diceritakan menggunakan tiga bahasa, yaitu Hokian, Indonesia dan bahasa Jawa, untuk memudahkan memahami cerita. Pantas saja, jika diawal pertunjukkan saya tidak memahami apa yang digumamkan oleh sang dalang. Ternyata beliau sedang memberikan salam dan berdoa kepada empat dewa penghuni klenteng dengan menggunakan bahasa Hokian. Barulah setelah itu, suara musik ditabuh mulai terdengar, dan seketika tangan-tangan gesit dalang yang terbalut boneka wayang mulai bermain dan melompat-lompat lincah di panggung kecilnya.

Pak Mujiono telah terbiasa duduk di balik layar Potehi sejak masih sekolah dasar. Pada masa itu paman beliau bertugas menjadi dalang di klenteng yang sama. Pak Mujiono kecil hanya membantu memainkan alat musik pengiring saja. Lelaki yang tinggal di kampung Dukuh Selatan ini mulai belajar menjadi asisten dalang saat menginjak sekolah menengah pertama, sekitar tiga puluh tahun yang lalu, hingga benar-benar menjadi dalang dan melakoni profesinya dengan setia hingga detik ini.

“Potehi adalah bagian dari klenteng. Setiap hari harus dimainkan meskipun tidak ada permintaan khusus dan tanpa penonton," ujarnya. []

Kamis, 07 Juli 2011

Blessing July

Apalah yang harus saya ucapkan, selain terima kasih kepada Tuhan. Walaupun ibadah saya masih sangat ala kadarnya, tetapi Tuhan tidak mengurangi aliran rezeki pada saya berupa kesehatan ketika jauh dari rumah dan masakan Mamah, kuat melek saat dikejar deadline, teman-teman baik yang semakin banyak daaan sebagainya.

Terima kasih atas ulang tahun 'pertama' sebagai freelancer, atas banyaknya festival budaya di bulan Juli, atas kuis simPATI nonton Heri Poter, atas Rizki Bakti yang akhirnya mau bikin twitter, atas kabar baik yang mengatakan bahwa Perahu Kertas saya ternyata selama ini berada ditangan Navan di Jogja, atas traktiran Ayos Min Ho yang baru dapat proyekan dari bapaknya, atas munculnya seri #DikNarti berkebangsaan Pacitan, Lek Nurul yang lulus sidang dengan mata berbinar, Nuran yang datang dari Jerman dengan selamat walopun belum sungkem sama saya padahal sudah ngapelin pacarnya yang notabene tidur di kamar sebelah, Gifta yang telah dilancarkan urusan untuk kepergiannya kuliah di Korea, Ferzya yang sudah menginjakkan kaki di Jailolo Jainahe, Wana yang katanya mau syuting Prison Break Nusa Kambangan special edition, Mas Jeri yang mau ngasih Final Cut Pro, Mas Perdana Abdillah yang ngado duit di saat kantong saya kembang kempis, dan terakhir, terima kasih atas telepon Mamah tepat di hari ulang tahun saya, dan mengabarkan bahwa ada putra temannya yang 'minat' sama saya, umur 24 tahun kerja di Jakarta. Siap nikah.

*Petir menyambar, naga 3D melayang, Bibi Lung kembali pada pelukan Yoko Himasa*

Toloongg yaaa... tolong... buat kamu, kamu, kamu yang naksir sama saya, tolong... untuk segera menindaklanjuti ajang-semi-perjodohan ini!

*Ga santai*

Ah, sudahlah... Yang penting terima kasih atas doa kalian semua. Mungkin saya bukan Nikita Willy, yang ketika ulang tahun ke-17 diberi kado sebuah mobil seharga lebih dari 2 milyar. Tapi saya Dwi Putri Ratnasari, yang walaupun sudah menginjak 24 tahun sejak 5 Juli kemarin, tapi wajah saya masih tampak oenyoe.

*Digampar berjamaah*

Bukti saya memang unyu!

Senin, 04 Juli 2011

Kapan Holi?

Melihat cover Exposure Magz terbaru, saya hanya mampu berbisik dalam hati, "Kapan ya Gusti, saya bisa nonton Holi Fest di India?"

And nobody answer.

Yaeyalahh... lha wong dalam hati gitu nanyanya..