Rabu, 24 Agustus 2011

Antara Saya dan Kafein

Warung kopi Sarkam, Jalan Nyamplungan Ampel Surabaya - foto oleh Ayos P

Seorang sahabat yang sedang mengais rejeki ratusan kilometer di ujung Jawa selalu dengan puas dan bahagia menertawakan kebiasaan buruk saya saat meminum segelas kopi. Bukan, bukan diare. Mabuk mungkin kata yang lebih tepat.

Pada setiap tegukan kopi yang saya rasakan begitu nikmat, saat itu pula saya secara sadar telah membuka gerbang untuk sekian ppm konsentrasi kafein menyebarkan efek psikoaktif masuk menyelip dalam sel-sel otak terumit. Kesulitan tidur merupakan hal ke sekian yang harus saya sesali setelah itu. Tapi, jantung berdegup kencang ditambah pikiran melayang kemana-mana adalah dua monster tepat yang sangat merepotkan.

Pernah suatu kali, saya begitu tergoda melihat pesanan seorang teman ketika berada di sebuah kafe. Segelas coffee latte dengan busa-busa yang mirip sabun menyembul di permukaannya. Saya inciplah sedikit demi sedikit. Enak ternyata. Menyusul pada dini hari yang sudah senyap, saya ngoceh di timeline akun twitter saya sendiri. Lalu dengan random mengirim sms bertema cinta-cintaan pada beberapa teman. Menelepon salah satu dari mereka, hanya demi mengeluarkan uneg-uneg yang tidak jelas juntrungan dan maksudnya apa. Jemari saya shaky, imaji saya loncat kesana kemari, dan saya akan menderita kegusaran yang berlebihan bila tidak segera melakukan apa yang otak saya perintahkan. Semua gara-gara alkaloid bernama kafein yang diisolasi dari biji kopi oleh seorang alchemist Jerman itu.

Saya bukan kapok minum kopi. Hanya saja saya terlanjur malas memikirkan kerepotan yang bisa terjadi beberapa jam seusai menikmati tetes terakhir. Caffeine controls my mind.

*

Malam itu saya terdampar di sebuah warung kopi di kawasan Ampel, di tepi jalan Nyamplungan. Duduk di sebuah bangku kayu panjang, bersandar tembok, melipat kaki dan menengok kanan kiri. Teman saya sibuk berbasa-basi dengan seorang barista berwajah sedikit Arabic. Konon, sang barista adalah generasi penerus warung bernama Sarkam yang sudah berdiri sejak tahun 1957 ini.

Warung itu begitu kecil, tapi pengunjung tak henti silih berganti. Mereka saling bersalaman, menyapa dengan akrab, memesan, membayar, lalu pergi membawa gelasnya keluar warung untuk sekedar bercengkrama di trotoar. Tak perlu membawa segepok uang ke sini. Segelas kecil kopi hitam hanya ditarik dua ribu rupiah.

Entah karena malam itu adalah salah satu malam Ramadhan, suasana warung kopi Sarkam ini terekam begitu sempurna dari panca indra saya. Pria-pria berkopyah tenggelam dalam nikmat cairan berwarna hitam pekat, lalu percakapan yang menghangat menggunakan aneka ragam bahasa daerah di tengah lantangnya nyanyian puji-pujian kitab suci yang dikumandangkan masjid sekitar.

Pantas saja jika warung yang buka 24 jam ini memiliki banyak pelanggan tetap. Harga yang sangat merakyat dan suasana yang susah didapatkan di warung kopi atau kafe lain. Sayangnya, malam itu hanya saya yang berjenis kelamin perempuan di dalamnya. Agak mati gaya juga. Sementara teman saya sibuk memotret ini itu, membuat beberapa pengunjung salah tingkah. Saya bingung harus ngapain. Ah, tapi sepertinya juga tidak ada yang perhatian. Toh, semua lelaki ini sibuk dengan gelas-gelas kecil di depannya.

Seperti apa rasa kopi di sini? Saya memandang gelas belimbing berisi kopi susu milik teman. Warnanya agak cokelat. Dan saya ingin mencecapnya sedikit saja. Tapi, sudahlah. Mending saya tidak usah memesan kopi bentuk apapun.

“Mbak, dari TV mana?” lelaki di depan saya yang tadi asyik berbincang dengan rekannya tiba-tiba bertanya.

“Ngga dari TV mana-mana, Pak…”

“Oh, saya kira sedang syuting jelajah kuliner Ramadhan… hahaha…”

Temannya yang lain menimpali, “ah kok saya curiga ini bukan dari TV mana-mana.”

“Lho, beneran , Pak…"

Si Bapak pertama rupanya agak terpengaruh dengan ucapan kawannya, “nanti saya dikasih tau tayang di mana dan jam berapa ya, mbak… hahaha….”

Saya meringis, tapi lebih karena si Bapak pertama suka mengakhiri semua kalimatnya dengan "ha ha ha". Meskipun itu tidak lucu.

Kedua bapak gemuk tadi dengan cepat melupakan kehadiran saya. Mereka kembali pada aktivitas awal, menyeruput kopi. Malam semakin larut, pengunjung datang dan pergi, dan sepanjang pengamatan saya, sang barista berkaos biru masih tak berhenti juga mengaduk gelas-gelas belimbing di depannya. Ah, saya begitu iri dengan orang-orang di sini. Sebenarnya sih saya bisa saja nekad ikut memesan dan minum kopi yang katanya legendaris ini. Tapi bagaimana kalau nanti malam saya kesetanan lalu kembali mengirim sms yang memalukan secara tidak terkendali pada siapapun dalam daftar kontak hape saya?

Sebenarnya saya memikirkan sebuah ide yang (menurut saya) cukup cemerlang. Ada sebuah teori yang selalu dan hampir selalu dipraktekkan ketika saya melakukan analisis sebuah sampel di laboratorium. Teori tersebut adalah pengenceran. Kafein sebagai sampel terlarut dan air adalah pelarutnya. Tapi tentu saja jika saya langsung mengencerkan segelas kopi maka akan mengurangi kenikmatan yang seharusnya terasa. Sebagai alternatif, ketika saya berniat minum segelas kopi, mungkin saya harus menyediakan dua gelas air putih. Ketika gelas kopi tersebut habis, yang saya lakukan berikutnya adalah meminum dua gelas air putih secara langsung. Dengan begitu mungkin konsentrasi kafein yang sudah masuk bisa diencerkan sekian ppm di dalam tubuh. Efek psikoaktif juga bisa dikurangi sedikit. Tapi semua ini hanya teori-mungkin yang saya buat-buat sendiri. Masih perlu banyak optimasi.

“Di Sarkam ini yang terkenal kopi Majun, Put... Buat meningkatkan vitalitas pria.” Teman saya berbisik-bisik sembari cengar-cengir sebelum meneguk segelas kopi kecil di tangannya.

“Oh ya? Kamu pesen itu?” tanya saya asal.

“Ya lahpo?!” (Ya ngapain?!)

“Ya, kenapa enggak?” Pikir saya saat itu, mengingat ramuan Madura pun pernah dia tenggak.[]

Kamis, 04 Agustus 2011

Enjoy Traveling, Capture Everything

Rasanya wajar jika di zaman serba canggih seperti sekarang, travel documentary tidak melulu dituangkan dalam bentuk tulisan dan still pictures. Menurut saya sih ada kalanya ambience suatu destinasi akan tersampaikan lebih sempurna dengan menggunakan gambar bergerak. Ini juga baru saya tahu setelah memperhatikan begitu banyak travel video yang dibuat oleh teman-teman ataupun traveler mancanegara yang banyak bertebaran di Vimeo atau Youtube. Setelah melihat video-video mereka, kebanyakan saya cuman bisa berdecak kagum sambil berkata, “ih gila ya, hal ‘sebegini simpel’ bisa jadi dokumentasi keren!”

Langkah paling penting untuk bikin travel video yang bagus adalah nikmati perjalananmu! (@aklampanyun, 2011)

Ya ini sudah jelas to ya... Sebelum berencana membuat travel documentary berbentuk apapun, baik itu video, tulisan atau foto, sebaiknya kita menikmati perjalanan tersebut dulu. Entah itu pengalaman enak atau ngga enak. Entah itu pertama kalinya nginep di hotel bintang lima gratisan ataupun makan belalang goreng di pinggir jalan karena kalah taruhan. Ya simpelnya sih, gimana kita ntar mau bikin dokumentasi menarik kalau selama perjalanan kepala kita penuh dengan tumpukan laporan kerjaan yang harus disetor pada Pak Bos seusai cuti berakhir. Just enjoy your time, meet someone new, feel something new.

Nah, kalau Anda sudah menikmati perjalanan tersebut, untuk selanjutnya menyusun sebuah dokumentasi akan lebih mudah. Biasanya ada perasaan meluap-luap ingin segera blogging (buat yang punya blog) atau upload puluhan foto di fesbuk. Semua sah pemirsa! Kebetulan sih, saya sedang tertular virus yang disebarkan oleh Giri Prasetyo untuk sering-sering bikin travel video. Dan ternyata membuat dokumentasi macam ini memang bikin kecanduan. Beberapa kali saya traveling, saya tidak lupa merekam ini itu. Entah hasilnya mau diedit atau ngga, yang penting ambil dokumentasi dulu.

Saya pribadi sih merasakan candu baru ini begitu menyenangkan. Apalagi masih banyak hal yang ngga saya ketahui dan masih butuh dipelajari lebih lanjut. Saya ikutin aja tuh saran Giri untuk ikut vimeo video school. Sungguh ini bukan promosi Vimeo, tapi memang dengan mengikuti kelas online macam ini banyak hal-hal kecil yang baru saya ngeh, seperti, ternyata iMovie melayani jasa export langsung ke Vimeo selepas rendering. Hehehe… hal sepele kaya gitu tuhh saya baru tahu! Dan melalui akun twitter-nya, @giri_prasetyo sempet bilang akan membentuk vivid school regional Surabaya. Josbandos pemirsa!

Dalam sebuah kelas videografi yang dipandu oleh Bang Anto Motul (@motulz) pada event Sharing Keliling yang diadakan oleh salingsilang.com di Surabaya beberapa waktu lalu, dia mengatakan bahwa kita ngga perlu takut untuk mengambil footage sebanyak-banyaknya, meskipun kelihatannya hal-hal yang kita rekam itu ngga penting, karena dalam video dokumenter, kita berpacu dengan waktu dan originalitas momen. Tapi, dalam masa editing, kita ngga boleh serakah untuk memasukkan semua footage menjadi satu video. Ngga penting juga mikirin apakah nanti video kita akan berdurasi panjang atau sangat pendek.



Coba deh liat video Eat, Learn, Move yang baru saya streaming. Dalam caption video tertulis: 3 guys, 44 days, 11 countries, 18 flights, 38 thousand miles, and exploding volcano, 2 cameras and almost a TERABYTE of footage, all to turn 3 ambitious linear concepts based on movement, learning and food…

Nah ini juga yang baru saya pelajari dari Bang Motulz dan mas Rick Mereki, bahwa kita harus pinter-pinter memilih footage untuk membuat satu konsep cerita yang ingin disampaikan. Contoh lainnya, Ferias no Brasil. Video ini membuat saya pingin sekali-kali bikin dokumentasi tentang travelmates, orang-orang yang berjalan dan bersusah-senang bersama-sama, ngga cuma merekam destinasi saja.

Saya setuju, untuk membuat dokumentasi perjalanan, kita ngga perlu takut untuk belajar semuanya. Entah itu nulis, motret atau bikin video. Karena menurut saya pribadi sih, perjalanan akan semakin bermakna bila orang lain memahami apa yang ingin kita sampaikan. Video mungkin bisa menjadi media penyampaian yang lebih baik untuk sebagian orang yang memang tidak suka membaca tulisan perjalanan. Atau sebaliknya, perasaan si pejalan yang tertuang detil dalam sebuah tulisan mungkin akan lebih mudah diresapi penikmatnya.

Godaan pra-produksi foto dan video sebenarnya lebih banyak daripada membuat sebuah tulisan. Kita hanya butuh komputer atau minimal pena dan kertas untuk menulis. Tapi untuk menghasilkan gambar yang waw, kadang kita dibayang-bayangi oleh gear yang maha mahal. Kalau masalah ini sih balik pribadi masing-masing ya, apakah mau berkarya dulu atau mikirin alat dulu. Tapi saya juga ngga mau sok nolak kalau ada yang nyumbang kamera seharga dua motor bebek itu. :D

Menurut saya sih entah itu nulis, motret atau bikin video, semuanya rumit, semua sulit. Tapi toh ada juga orang-orang yang berhasil mengerjakan ketiganya. Tulisan menarik, foto yang nendang abis, video yang keren gila! Nah, itu artinya kan ketiga hal ini bukan tidak mungkin untuk dihasilkan secara bersamaan dalam lingkup travel documentary... At least, coba dulu deh, baru bilang ngga bisa.

Oh iya terakhir, ini saya kasih video India favorit saya di Vimeo, tentu saja bukan saya yang bikin, lah wong belum pernah kesana! Tapi saya gemes abis pengen ke India, mama...! Dan dari Mbak Ajeng @backpackernotes serta sebuah edisi majalah Saudi Aramco, saya baru tau ada travel documentary selain nulis, motret dan bikin video yaitu ngegambar!!! Yeah, kunjungi theydrawandtravel.com dan silahkan terbengong-bengong melihat warna-warni world map mereka!

:D