Jumat, 12 November 2010

Scott vs Ramona!!


Berikut tips nonton Scott Pilgrim vs The World:
  1. Konsentrasi. Karena film ini bergerak cepat, kamu akan ketinggalan banyak detil-detil seru dan lelucon yang ngga murahan, kalo mikirin hal lain. Dont blink your eyes lah, kalo bisa :p
  2. Pasang volume max. Jangan pedulikan tetangga kamar kos yang ribut, karena semua musik yang ada di film ini ngga afdol kalo ngga didengerin keras-keras!! Dari backsound Universal di awal film, sampe The Ramona Song di bagian ending... Semuanya asip!
  3. Udah sih itu aja... happy watching!
I heart this movie, a lot! :D

Selasa, 09 November 2010

Awas Jatuh, Om!





All these pictures are taken when I saw Jogja Java Carnival on Oct 16, 2010.

Senin, 08 November 2010

Flying Like a Fish

Kite Festival at Parangkusumo Beach


If I have the belief that I can do it,
I shall surely acquire the capacity to do it,
even if I may not have it at the beginning.
Gandhi


:)

Minggu, 07 November 2010

Cerita Dari Barak Pengungsian


Dan radio Pak Bardi ternyata sudah dua minggu mati tidak berfungsi. Baru menyala hari ini setelah salah seorang relawan membelikan baterai untuk 'harta kecil' yang selalu tergantung di leher beliau.

Membaca rangkaian pendek twit mbak @deelestari ini dibarengi dengan mendengarkan lantunan Iris and Jasper dari Hans Zimer lewat headset bagaikan nonton tearjecking movie bagi saya :(
Semoga keadaan segera membaik. Amin.

Jumat, 05 November 2010

Dieng: The Little Shambala


Ini adalah sebuah kisah tentang kota suci yang didatangi para brahmana untuk bersemadi. Berada di salah satu dataran paling tinggi di dunia, menyimpan kearifan lokal yang meretas zaman, inilah kisah tentang shambala kecil bernama Dieng.

Saya masih terkantuk-kantuk di dalam bis butut menuju Dieng akibat tidak tidur semalaman. Semilir angin yang masuk dari sela-sela jendela yang terbuka semakin membuat kelopak mata berat untuk diangkat. Sejak sampai di stasiun Purwokerto pukul 20.00 WIB saya memang tidak sempat memejamkan mata. Seorang teman dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) yang datang menjemput, langsung mengantar saya untuk mengisi perut di sebuah warung pinggir jalan. Kami biasa menyebutnya angkringan, modelnya sama seperti warung koboi yang tersebar di seluruh pelosok Jogjakarta dan Solo. Ini memang warung serba ada, segala macam minuman hangat dingin dan rupa gorengan tersaji di depan mata. Siap dipilih sebagai lauk pendamping sego kucing yang dibungkus mungil.

“Kamu harus coba mendoan Purwokerto! Sangat orisinal, sangat enak!” kata Jajang, seorang teman baru yang saya dapatkan dalam perjalanan ini. Rencananya saya akan bermalam di Kopkun, koperasi milik Unsoed yang dikelola oleh para mahasiswa. Jajang, pria berambut gondrong penggemar sastra ini adalah salah satu pengurusnya.

Makan di angkringan memang sangat adiktif. Obrolan tak jelas arah sembari disela segelas kopi tubruk membuat kami rela duduk berlama-lama. Tanpa terasa tangan pun mencomot potongan mendoan. Lagi dan lagi.

Obrolan warung kopi pun kami lanjutkan di dalam Kopkun. Ruangan yang tidak terlalu besar seukuran dua kamar kos dengan sebuah kamar mandi di dalam ini mendadak menjadi begitu ramai. Teman-teman lain bergabung, menambah renyah obrolan saya dengan Jajang. Mata saya tidak sempat layu karena lelucon yang keluar tanpa filter dari mulut kami. Itu memberikan energi tambahan bagi tubuh saya yang sebelumnya lelah tertekuk dalam perjalanan kereta selama sepuluh jam dari Stasiun Gubeng Surabaya.

Tidak terasa adzan subuh bergema. Teman mengobrol kami tumbang satu persatu. Itu memang lumrah bagi dunia aktivis mahasiswa, daur hidup mereka berputar terbalik. Malam-malam panjang biasa dilewati dengan diskusi dan obrolan, paginya terlelap hingga matahari berpendar di atas ubun-ubun. Maka setelah melewati acara ngobrol marathon, yang tersisa pagi itu tinggal saya dan Jajang. Iseng saya lontarkan ide,”Jang, ada obyek wisata nggak dekat sini yang bagus untuk difoto?” Sebagai penggemar baru dalam dunia fotografi, Jajang pun memberikan beberapa opsi. Tanpa perdebatan, kami putuskan untuk bersepeda menembus kabut menuju pemandian air panas Pancuran Pitu yang berada di komplek wisata Baturraden, kaki Gunung Slamet.


Ternyata pagi hari di Purwokerto sangat dingin. Jaket ala kadarnya yang membungkus tubuh saya tidak mampu menahan hembusan angin yang datang dari depan. Untung saja jarak antara Kopkun dengan pintu gerbang Wana Wisata Baturraden tidak telalu jauh. Kami mencapainya dalam waktu duapuluh menit saja. Karena masih terlalu pagi, kami masuk tanpa membayar tiket. Untuk hari biasa setiap pengunjung tiga ribu rupiah, sedangkan pada hari libur lima ribu rupiah per orang.

Dari pintu gerbang menuju mata air panas kami harus melewati jalanan berkelok naik turun. Memang jalurnya sudah beraspal, tapi jangan harap mudah saja dilewati, karena jika musim hujan tiba akan berubah menjadi licin. Sepanjang jalan yang kami lihat adalah jajaran pohon pinus dan pakis yang lebat. Sangat hening dan hanya ada suara sisa hewan nokturnal yang kesiangan. Dari puncak-puncak pohon saya bisa mendengar suara tonggeret yang bersahut-sahutan, seakan menemani perjalanan saya dan Jajang menuju mata air.

Ternyata motor bebek lansiran tahun 2000 yang membawa kami tidak bisa dibawa hingga lokasi mata air panas. Kami harus turun, memarkir motor, dan melanjutkan perjalanan dengan cara trekking melewati jalan setapak batu. Kondisi tubuh yang loyo dan kandungan kafein kopi tubruk yang hilang tak berbekas semakin menambah berat jalur yang kami lewati. Pasokan energi ekstra justru datang dari sinar matahari pagi dan senyawa oksigen murni yang memenuhi rongga paru-paru. Ini adalah jalur kebugaran yang seharusnya dilewati para aktivis kampus dengan gaya hidup tidak sehat.

Setelah trekking selama setengah jam, akhirnya saya dan Jajang sampai juga. Ini benar-benar menyenangkan. Sebuah air terjun mini dengan bentuk yang atraktif membuat saya berdecak kagum. Ada sekitar tujuh buah pancuran berwarna kuning dengan gradasi menarik yang membuat saya tidak bisa melewatkannya tanpa menekan shutter kamera. Saya amati bentuknya sangat sensual, seperti pahatan alami yang membentuk relief serupa tujuh buah yoni.


Seperti banyak sumber air panas di Pulau Jawa, pancuran kecil ini juga sarat belerang. Itulah mengapa warna bebatuan di sekitarnya menjadi kuning. Menurut Jajang, mandi di sini memiliki khasiat menyembuhkan, hal ini yang membuat Pancuran Pitu populer di kalangan wisatawan lokal. Namun karena saya datang terlalu pagi dan weekdays jadi tidak ada pengunjung lain yang terlihat selain kami berdua.

Jajang terlihat sudah sangat lelah, meski ditutup-tutupi, ia tetap saja jatuh terlelap di bawah pohon sawo kecik yang ada di dekat lokasi pancuran. Tanpa membangunkannya, saya menjelajah tempat ini sendiri. Tubuh saya juga sangat lelah, namun rasa syukur dan penasaran yang besar membuat saya bersemangat, seperti baterai yang fully recharged.

Selain pancuran serupa tujuh buah yoni yang sudah khatam diabadikan, saya mendengar suara gemericik air di sisi lain. Setelah mencari kesana kemari, ternyata ada tangga kayu yang menuntun saya turun ke bawah. Di muka tangga tersebut ada papan sederhana bertuliskan “Gua Sarabadak”, tanpa pikir panjang saya ikuti jalur tersebut.


Suara gemericik air semakin besar ketika saya hampir sampai di ujung tangga paling bawah. Namun karena terhalang oleh sebuah batu karang yang besar, saya tidak bisa melihat wujud pancuran tersebut. Baru, setelah melewati batu penghalang tadi, saya melihat sebuah dinding air yang mengalir slow motion. Gua Sarabadak ternyata adalah cekungan kecil yang ditutupi oleh membran tipis air yang turun perlahan melewati batuan stalaktit putih seperti pualam, membentuk tirai lembut yang menarik untuk dilewati jika saya tidak membawa kamera digital. Selanjutnya ratusan galon air jernih ini akan mengalir membentuk sebuah sungai kecil di bawah rerimbunan pohon bambu yang lebat.

Pemandangan seperti ini sama seperti yang saya dapatkan dalam lorong sempit menuju air terjun Madakaripura di Probolinggo, Jawa Timur. Hanya saja pancuran Sarabadak lebih kecil, lebih indah, dan lebih syahdu. Saya menatap pemandangan di depan saya lekat-lekat. Semilir angin dan gesekan dahan-dahan bambu di ujung yang lain membuat saya terbenam dalam suasana hening yang khidmat.

Pada Jajang yang masih mendengkur di bawah pohon sawo kecik, saya haturkan tabik dan rasa terimakasih yang teramat sangat.

Bis reyot yang mulai saya tumpangi dari ujung pasar Wonosobo ini mulai bergerak naik dan meliuk-liuk. Menggoyang seluruh badan dan muatan. Membuat saya tersadar dari tidur panjang. Saat memicingkan mata keluar jendela, saya melihat pemandangan yang sangat spektakuler; ngarai sempit berlapis-lapis yang diapit bebukitan penuh ladang berwarna-warni. Awan dalam formasi cotton candy pun terlihat sangat dekat dan bisa dijangkau tangan. Sekejap mata saya kembali segar dan berkhayal berada di New Zealand, sebuah negeri subur penuh ladang dan sapi yang sering saya lihat di televisi.

Tapi suara kriyet-kriyet bis butut dan barisan orang-orang berkulit cerah dengan pipi bersemu merah di jalanan membuyarkan lamunan saya tentang New Zealand, lantas seketika menjatuhkan saya pada realita bahwa ini masih di Jawa, di Wonosobo, di dataran tinggi Dieng. Saya amati sekali lagi, penduduk Dieng memang punya ciri khas: tinggi badan sedang, kulit sawo muda, dan mata yang cenderung sipit. “Memang ada beberapa desa yang penduduknya sipit, katanya dulu kami keturunan Cina,” kata seorang ibu sipit asli Dieng yang duduk di samping saya sejak tadi.

Saya pandangi lagi ibu di samping, ia berpipi merah dan mengenakan beberapa lapis pakaian. Itu pun masih dibalut dengan jaket tebal dan kerudung yang menahan udara dingin masuk dari lubang telinga. Saya jadi sadar, udara mulai menjadi dingin sejak saya bangun. Bus reyot ini membawa saya semakin naik, lapisan oksigen semakin tipis, udara dingin pun masuk lewat sela-sela jendela bus yang tidak bisa ditutup rapat.

Kaos tipis yang saya kenakan sangat tidak membantu, sedangkan untuk mengeluarkan jaket berarti saya harus membongkar tas yang ada di bawah jok, begitu repot jadi urung dilakukan. Saya pun mendekap tubuh yang mulai meradang dengan kedua tangan. Ah sekalian aklimatisasi, pikir saya ringan.

“Wah, kalau bulan Februari seperti ini sih masih hangat, coba saja datang di bulan Agustus, rumput di luar bisa menjadi batangan es...,” ujar Bu Siti enteng, menertawakan tingkah laku saya yang menggigil kedinginan sembari menggulungkan selimut di badan. Padahal saat itu masih sekitar pukul tiga sore, suhu normal di dataran tinggi ini sudah berkisar 5 - 15 derajat, dan akan turun lebih ekstrim hingga nol derajat memasuki musim kemarau. Maka membayangkan datang ke Dieng pada bulan Agustus mungkin sama halnya dengan ikut uji nyali adu adrenalin seperti tayangan di televisi. Badan saya yang sudah sangat Surabaya tidak bisa menerima batas dingin ini.

Sebagai pemilik sebuah homestay sederhana di Dieng Kulon tempat saya menginap, Bu Siti, benar-benar menjamu tamunya dengan ramah dan terbuka. Sambil menyajikan sepiring kentang goreng panas dan segelas teh hangat ia bercerita bagaimana memulai usahanya. Jujur saja, tubuh saya yang menggigil kedinginan dan perut yang sudah meraung minta diisi membuat french fries sederhana ini benar-benar istimewa, mungkin yang paling lezat di dunia.


Selanjutnya Bu Siti berkisah, homestay dan hostel dengan harga terjangkau memang sudah banyak berjejer di sekitar dataran tinggi ini. Seiring melonjaknya tingkat kunjungan wisatawan di kawasan Dieng Plateau, Dinas Pariwisata setempat pun kemudian berinisiatif memberikan training pengelolaan usaha bersertifikat untuk warga pemilik usaha penginapan. Hal ini penting, mengingat beberapa tahun silam, banyak pihak yang mempermainkan harga sewa kamar yang justru akan mengurangi kenyamanan wisatawan yang datang.

Berada di tempat dengan ketinggian lebih dari 2000 mdpl, maka Dieng Plateau adalah salah satu dataran paling tinggi di dunia, nomor dua setelah Tibetan Plateau di Nepal. Secara umum, bentuk Dieng seperti cawan raksasa yang berdinding perbukitan dan gunung. Terletak pada 2093 meter di atas permukaan air laut membuat atmosfer Dieng selalu dingin.

Saat sore tiba, maka saksikanlah pemandangan menarik yaitu serbuan kabut yang turun dari puncak-puncak gunung. Tunggu beberapa saat hingga waktu maghrib tiba, maka daratan cawan ini akan penuh terisi oleh kabut tebal.

Dingin itu sudah pasti, maka bagi traveler kota seperti saya, memakai baju berlapis jaket tebal adalah wajib hukumnya. Penduduk lokal lebih suka mengurungkan tubuhnya di balik sarung, menyembunyikan pipi merah mereka dalam kelambu kain bermotif kotak. Seperti deskripsi orang Sawang dalam novel Laskar Pelangi, membuat saya berpikir ternyata orang laut dan gunung sama saja, mereka suka bersembunyi di balik sarung.



Beberapa sumber menyebutkan bahwa kata ‘Dieng’ berasal dari bahasa Sansekerta, namun ada pula yang menyatakan bahwa kata tersebut diambil dari bahasa Sunda Kuno. ‘Di’ yang berarti tempat, dan ‘Hyang’ adalah Dewa. Entah mengapa orang zaman dahulu memberi nama seperti itu, mungkin ini adalah sebuah tempat yang paling pas bagi dewata dan manusia untuk bertemu; tidak terlalu jauh dari langit tapi masih bisa digapai para petapa.

Memang pada masanya ini adalah sebuah dataran suci dimana para brahmana Hindu bersemadi mengasingkan diri menjalin koneksi dengan para dewa dewi. Syahdan Dieng adalah tempat paling populer bagi para petapa muda untuk menempa jiwa. Jejak sejarahnya masih bisa dilihat hingga hari ini, salah satunya adalah sebuah rekonstruksi pondokan yang digunakan sebagai tempat mengaso para brahmana, situs ini bisa kita temui di pelataran Candi Arjuna.


Saya membayangkannya sebagai sebuah Shambala, kota suci yang banyak dicari para avonturir zaman pertengahan. Sebetulnya ini adalah sebuah hikayat purba tentang tempat bersemayam para manusia suci yang jauh dari angkara murka duniawi, mungkin semacam miniatur surga yang ada di bumi. Sebuah utopia.

James Redfield, dalam novelnya, The Secret of Shambala, menggambarkan kota di atas awan ini penuh dengan kedamaian abadi dan ilmu pengetahuan murni, hanya bisa digapai para pencari kebenaran sejati. Mitos ini akhirnya banyak melahirkan ekspedisi pencarian hebat yang selalu gagal. Ada yang menyebut kota mitikal ini terletak di sekitar kawasan Himalaya dan Afghanistan. Sementara Anand Khrisna dalam novel spiritualnya, Shambala, lebih suka memperkirakan gerbangnya terletak di India Utara yang penuh hutan pinus.

Saya pribadi, sudah bisa merasakan aura Shambala kecil di Dieng. Apalagi alunan world music berupa komposisi tabla yang indah dan magis milik Ravi Shankar dan Deepak Ram terus menerus mengalun dari MP3 Player, melengkapi perjalanan saya dalam merasakan aura magis yang terserak dalam sejarah panjang Dieng. Tak salah lagi, ini adalah tempat yang tepat bagi Anda para penganut New Age untuk menghabiskan waktu.

Namun Dieng hari ini tidak lagi menjadi jujukan para peziarah saja, sudah banyak pelancong yang datang dan pergi setiap saat. Konon, kawasan plateau ini sendiri sudah populer sebagai tempat berlibur sejak zaman kiwari. Hal ini tersebut dalam salah satu tembang di Serat Centhini, sebuah literatur Jawa Kuno yang dibuat pada abad ke 19. Serat kuno ini pula yang menginformasikan keberadaan tiga candi yang sudah lenyap dan tidak diketahui lagi letaknya di masa kini, yaitu Candi Duryudana, Candi Dahyang Durna dan Candi Sakuni.


Memang di wilayah Dieng banyak sekali candi Hindu peninggalan Dinasti Sanjaya yang diberi nama berdasarkan tokoh wayang yang diambil dari Kitab Mahabarata, seperti Candi Arjuna, Candi Sembrada, Candi Srikandi, Candi Puntadewa. Selain itu masih ada beberapa kompleks candi lain di kawasan Dieng, seperti Gatutkaca dan Dwarawati. Dari berbagai peninggalan ini diketahui pula bahwa dahulu masyarakat Dieng adalah pemuja Dewa Siwa. Hal ini tampak pada relief candi tersebut maupun prasasti-prasasti peninggalan yang kini diletakkan dalam Museum Kailasa.

Tempat konservasi berbagai artefak budaya yang terletak di depan kompleks Candi Arjuna ini memang baru, diresmikan oleh pemerintah pada tahun 2008 silam. Museum yang tergolong rapi dan bersih dengan bentuk bangunan modern ini juga menyuguhkan pemutaran film berdurasi pendek yang menceritakan tentang Dieng dan berbagai fenomena alam serta budaya di dalamnya. Berbagai artefak dan prasasti ditata dan dirawat dengan baik. Masuk museum Kailasa pada hari biasa dikenakan tiket 20.000 per orang.


Dari museum ini pula didapatkan berbagai cerita mengenai penduduk lokal Dieng yang kebanyakan berprofesi sebagai petani. Selain kentang sebagai komoditi utama pertanian, Dieng juga dikenal sebagai penghasil buah Carica yang memiliki rasa khas dan menyegarkan. Walaupun masuk dalam famili pepaya, namun pohon ini hanya bisa tumbuh dan berbuah dalam lingkungan bertemperatur rendah. Oleh penduduk setempat, buah ini kemudian diolah dan dikemas menjadi manisan, selai atau sirup Carica, menjadi buah tangan utama wisatawan yang berkunjung ke Dieng.

Melihat matahari terbit adalah kegiatan yang kudu dilakukan. Wisatawan dapat menikmati dua model sunrise sekaligus di Dieng, sebuah hal yang mungkin tidak bisa didapatkan dari daerah lain, yaitu golden sunrise dan silver sunrise.

Seperti namanya, golden sunrise, cahaya matahari yang berpendar keemasan muncul di sela-sela pegunungan. Pemandangan ini dapat disaksikan melalui gardu pandang di Desa Tieng ataupun lebih tinggi lagi yaitu dengan mendaki Bukit Sikunir yang lebih dulu tersohor di kalangan wisatawan mancanegara itu. Bukit ini berada di Desa Sembung, sebuah desa tertinggi di kawasan Dieng Plateau. Sedangkan fenomena silver sunrise yang muncul sekitar pukul tujuh pagi dapat dinikmati di kompleks Candi Arjuna, 30 menit dari Bukit Sikunir.

Menyaksikan matahari terbit dari Bukit Sikunir seakan turut merasakan betapa magisnya tempat semayam para dewa ini. Sinar matahari yang merekah mampu mengalahkan lelah dan dingin yang dirasakan ketika mendaki bukit ini. Dari puncak ini juga dari kejauhan terlihat Puncak Merapi, Gunung Sumbing serta Gunung Sindoro yang menjulang di antara selimut empuk awan putih, layaknya kumpulan arum manis yang menggenang. Ini adalah sebuah pemandangan yang tidak akan bisa disaksikan setiap hari, terlebih lagi di musim hujan. Lalu ketika matahari telah benar-benar bangun dari tidurnya, mata Anda akan dimanjakan dengan menyaksikan deretan panjang bukit-bukit hijau di sekeliling Sikunir ini. Tak ada lagi yang saya rasakan ketika berada di desa ini, selain benar-benar seperti berada di kahyangan.


Mencapai puncak Sikunir sebenarnya bukanlah hal yang susah karena tidak memerlukan peralatan atau ketrampilan khusus. Namun, udara dingin yang menyesakkan hingga kondisi jalan setapak yang licin, curam dan gelap adalah hal yang cukup merepotkan sekaligus menguras tenaga. Untuk itu kondisi tubuh yang fit dan alas kaki yang tepat harus benar-benar dipersiapkan dengan baik sebelum memutuskan untuk mengejar matahari dari bukit ini.

Di kawasan Dieng Plateau juga dapat ditemukan beberapa kawah yang masih aktif mengeluarkan gas dan lumpur panas. Beberapa diantaranya yang sempat saya kunjungi adalah Kawah Sikidang dan Sileri.

Bau belerang yang menyengat sudah dapat tercium dari pintu masuk kawasan kawah Sikidang. Konon kata Sikidang sendiri berasal dari kata ‘kidang’ dalam ahasa Jawa yang berarti kijang. Dinamakan seperti itu karena keluarnya gas dan lumpur panas di kawasan ini sering melompat-lompat berpindah dari satu titik ke titik yang lain, seperti langkah seekor kijang.



Pemandangan yang lebih menakjubkan lagi akan tampak ketika berdiri beberapa meter dari bibir kawah Sileri. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan lumpur panas mendidih yang luasnya sekitar dua hektar. Kawah Sileri tercatat beberapa kali pernah meletus dan menyemburkan lumpur panas tersebut ke udara dengan ketinggian yang tidak terukur. Wisatawan memang hendaknya harus ekstra hati-hati jika melakukan kunjungan ke beberapa kawah yang masih aktif ini, antara lain dengan tidak mendekat ke bibir kawah, tidak melewati pembatas dan tidak merokok di area sekitar kawah.



Selain kawah aktif, terdapat juga sebuah kawah mati yang terisi air sehingga menyerupai sumur raksasa karena diameternya yang sangat besar yakni melebihi 90 meter dan kedalaman ratusan meter. Sumur ini dinamakan Sumur Jalatunda. Beberapa orang percaya bahwa air sumur tersebut mempunyai manfaat lebih sebagai penyembuh. Tidak bisa saya bayangkan bagaimana cara mengambil air dari dalam sumur yang dikelilingin tebing curam ini.

“Sejak dulu saya sering turun ke bawah... kalau-kalau ada orang sakit yang minta air sumur ini,” ujar Pak Muji, pria separo baya yang bersama putri kecilnya berjualan batu di sekitar sumur. Batu-batu tersebut kemudian ditawarkan kepada wisatawan yang datang seharga 500 rupiah per biji. Menurut kepercayaan penduduk setempat, apabila seseorang berhasil melemparkan batu melewati sumur dan menyentuh dinding tebing di seberang, maka apa yang diinginkannya akan terkabul.

Salah satu hal menarik lain yang perlu dilakukan saat bertetirah ke Dieng Plateau adalah bertemu dengan anak-anak berambut gimbal yang ada di Desa Tieng. Sebenarnya mereka adalah anak biasa, tapi sejak lahir rambut mereka gimbal alami, tidak seperti anak normal lainnya. Kasus anak dengan rambut gimbal ini memang sangat unik dan hanya ada di Dieng. Entah bagaimana menjelaskannya secara medis dan saintifik, yang pasti penduduk lokal memiliki versi sendiri terkait dengan rambut gimbal yang menyerang anak desa mereka secara acak.


Versi paling populer menurut kepercayaan masyarakat sekitar, terutama masyarakat Wonosobo, bahwa bocah gembel adalah anak keturunan dan kesayangan dari Kiai Kolodete. Konon sang kiai yang diyakini sebagai leluhur masyarakat Dieng itu juga berambut gembel dan sangat terganggu dengan rambutnya. Karena itu Kiai Kolodete berpesan kepada keturunannya bahwa ia akan selalu menitipkan rambut gembelnya agar dia tenang di akhirat. Masih menurut cerita, Kiai Kolodete sendiri tidak mencukur rambutnya karena sumpahnya, “Hanya akan mencukur rambutnya sampai daerah yang ia bangun maju”.

Tapi anugerah menjadi gimbalese ini tidak bertahan sampai tua. Pada umur tertentu akan diadakan ruwatan khusus untuk memotong rambut si kecil. “Nanti kalo aku udah gede rambutnya mau dipotong,” kata Sinta, seorang anak perempuan berambut gimbal yang saya ajak bicara. Sinta masih sangat kecil, umurnya sekitar empat tahun, sehingga belum cukup umur untuk diruwat. Biasanya proses ruwatan dilakukan saat sang anak mau masuk sekolah.

Setelah prosesi upacara yang melibatkan tetua desa dihelat, maka anak-anak kecil berambut gimbal ini pun terbebas dari rambut yang bergumpal dan berwarna merah itu. Selain bentuknya yang tidak modis, rambut jenis ini juga tidak mungkin disisir.

Satu hal yang pasti jika rambut gimbal ini terus dipelihara, sudah barang tentu akan memupuskan harapan para remaja wanita Dieng untuk menjadi model iklan shampoo di televisi. []

Well, terimakasih buat yang sabar membaca deretan 3000 kata di atas. Versi ringkas tulisan saya dan Ayos Purwoaji ini bisa dinikmati pula lewat majalah Travelongue edisi November 2010. Bisa di-download atau baca online di link ini, atau comot saja free-magz tersebut kalo kebetulan Anda bosan menunggu penerbangan di bandara Soekarno Hatta :)

Nasibmu Kini, Cangkringan...

Wukirsari, Cangkringan, Sleman

Ayook, Cangkringaaan!! Cepet sembuuuh...! Biar keponakan saya bisa sekolah lagi, biar saya bisa menggigil lagi kalau tidur di sana, biar saya bisa main ke sawah lagi, biar bisa melihat puncak merapi lagi tiap pagi...

Duh, merapi... sudah yaa... jangan batuk lagi...

Acha lagi ngungsi :(