Rabu, 18 Desember 2013

Quickening Time!

Memasuki awal minggu ke-18.

Perut saya dari semalem heboh. Ada gerakan seperti 'meluncur' lalu 'berkedut' atau 'bergeser'. Walaupun hanya beberapa detik tapi saya gembira banget! Ini berarti janin saya sudah masuk masa quickening. She/ he will kick me immediately! 

Kejadian yang sama berlangsung tadi pagi. Kadang dia berhenti sejenak mungkin sedang tidur. Setelah jam makan siang, she/he did the same thing! :D

Mungkin lagi ikut 'ngunyah' bayem yang saya makan...

*yakali*

Rabu, 04 Desember 2013

Cerita Tiga Bulan Pertama (1)


12 November 2013

Kemarin resmi ketemu si adik bayi lagi lewat layar monitor pak dokter :D

Kegiatan kontrol ke obgyn sebulan sekali ini selalu bikin saya sumringah. Walopun rumah sakitnya agak jauh dari rumah kontrakan saya tapi ngga apa-apa. Sebelumnya, saya dan si ayah jabang bebi ini memang agak pilih-pilih dokter dan RS setelah baca ini itu. Akhirnya keputusan jatuh juga di dr. Didi Dewanto di RS Husada Utama. Padahal ada rumah sakit Ibu dan Anak yang jaraknya hanya 15 menit berkendara dari rumah. Tapi tak apalah, toh buat anak sendiri.

Sejak memutuskan untuk ke dokter tersebut, saya selalu diwanti-wanti oleh beberapa teman yang sudah melahirkan di sana. Bukan, bukan dikasih wejangan yang nakut-nakutin. Mereka cuma bilang, “Ih, hati-hati… dokternya ganteng!”

Jeng! Jeng! Ternyata bener, sodara-sodara. Dr. Didi ini walopun udah beruban, tapi memang rupawan. Senyumnya murah dan tutur katanya menenangkan para ibu-ibu hamil yang kebanyakan makan mitos. Alhamdulillah, saya dan suami langsung merasa cocok dengan pak dokter.

Pada saat kontrol pertama kali, saya ditanya oleh pak dokter, “Wah, ini baru telat belum seminggu, kok sudah tau kalau hamil?”

Begini rahasianya, ibu-ibu… Jadi, siklus mens saya relatif teratur yaitu berkisar 26-27 hari. Pernah sih melompat sampai 31 hari, tapi kasus tersebut hanya sekali dalam setahun. Kebetulan, saya cukup rajin mencatat hari datang dan perginya mens kira-kira setahun sebelum menikah hingga sampai kehamilan. Sekarang mah udah jaman serba smart yah. Tinggal donlot aplikasi di henpon, udah mudah banget buat ngontrolnya. Ngga perlu ngelingkarin kalender secara manual. Yang saya pake selama ini sih aplikasi LoveCycles. Aplikasi semacam ini bakal ngasih tau dan ngitungin kapan kita masuk masa subur hingga tanggal mens bulan berikutnya. Walaupun semua sifatnya hanya estimasi, tapi believe me, itu sangat membantu daripada tidak ada record sama sekali.

Beberapa bulan setelah menikah, dan puas jalan-jalan berdua beberapa kali, saya dan suami memutuskan untuk memulai program kehamilan. Kami ngga berkunjung ke dokter sih. Karena saya pengen mencoba berbagai teori dalam mata kuliah reproduksi untuk memprediksi masa subur terlebih dahulu. Semacam, “beneran nih kalau kayak gini bisa hamil?” Hehehe…

Jadi selain pake sistem kalender lewat LoveCycles tadi, saya juga mengukur suhu tubuh sesaat setelah bangun tidur. Gunanya? Tidak lain, tidak bukan adalah menentukan masa subur. Lagi-lagi pake bantuan aplikasi dong! Jaman udah gampang, ngapain susah-susah ngegambar grafik ya kaaan… Di sini saya make aplikasi FertilityFriend, tinggal masukin suhu basal tubuh TIAP HARI sesaat setelah melek sebelum melakukan hal yang lain-lain, biar akurat. Nah, ntar sama si aplikasi langsung deh diplotin ke grafik secara otomatis. Teori pengukuran suhu ini yang bikin saya amaze sama tubuh wanita dan Allah SWT Sang Pencipta pastinya.

Bulan pertama sejak memakai FertilityFriend tidak langsung berhasil tekdung positif. Ada beberapa hal sih terutama kondisi saya dan suami yang LDR-an Surabaya – NTT. Praktis dong ya, ketemu sebulan cuman beberapa kali. Ya kalo tepat masa subur yang puncaknya cuman tiga hari itu, kalo ga? Yang terpenting adalah jalani semua dengan santai serta jangan lupa berdoa. Usaha udah pasti dong ya tapi jangan ngoyo juga nanti malah stress.

Beruntungnya saya dan suami tidak pernah mendapat gangguan dari (terutama) orang tua masing-masing yang menanyakan udah telat dateng bulan belum? Apalagi mereka juga tahu, bahwa kami tak bertemu setiap hari.

Lalu masa yang ditunggu-tunggu itu datang juga, kira-kira 3 bulan penuh rajin mengukur suhu basal, (dan setelah ‘bikin’ di Bali :p), saya mendapatkan grafik suhu yang agak tidak seperti biasa. Masih sabar, saya tunggu beberapa hari untuk memastikan bahwa model grafik ini yang memang saya tunggu-tunggu.

Jadi, aplikasi ini memberikan contoh grafik kayak gimana sih model grafik suhu hamil? Atau kayak gimana sih grafik negatif hamil? Hingga kasus keguguran pun bisa digambarkan.

Setelah lewat beberapa hari ditambah saya telat mens walaupun masih tidak lebih dari seminggu, maka saya langsung memberanikan diri untuk membeli testpack. Saat itu saya membeli dua merk yang berbeda. Bodohnya, saya tidak melihat tanggal kadaluarsa keduanya. Sampai rumah pun baru sadar bahwa salah satu merk sudah lewat masanya sebulan lalu. Hih! Gimana sih manajemen apoteknya? +_+

Besok pagi, seusai bangun tidur, saya tetap menggunakan keduanya. Ngga terlalu deg-degan karena udah keburu sebel semalaman mikirin testpack kadaluarsa. Pas muncul dua garis juga masih belum sreg, karena satu garis masih samar banget. Mungkin hormone HCG (yang dikeluarkan saat kita positif hamil) masih sedikit.

Akhirnya memutuskan untuk beli testpack lagi dan mengulang dua hari kemudian biar HCG-nya keliatan lebih jelas. Nah, menunggu dua hari ini nih yang baru kerasa deg-degan. Tapi Alhamdulillah, setelah tes urin lagi, dua garisnya mulai kelihatan lebih jelas. Beberapa hari kemudian, suami pulang ke Jawa dan kami berbarengan menuju dokter kandungan.

Deg-degannya belum berhenti sampe situ. Malem hari sebelum ke rumah sakit, saya sempet-sempetnya sesak nafas. Ngga bisa tidur dan sibuk ngomelin suami. Nafas jadi serba pendek. Dan semua berlangsung sampai di rumah sakit untuk kontrol kehamilan pertama kali.

Rupanya semua karena saya nervous. Hehehe… Setelah di usg dan terlihat kantong janinnya, sesak nafasnya tiba-tiba musnah. Hahaha! Kasian suami saya udah saya omel-omelin.

Oh iya, karena saya belum telat mens seminggu, alhasil harus pakai usg transvaginal. Kalo pake usg perut jelas belum terlihat. Di usia 4 minggu kehamilan pun yang terlihat baru kantong janinnya. Sementara untuk menunggu apakah embrio tersebut berkembang atau tidak harus nunggu sebulan lagi.

Never ending deg-degan lah ya pokoknya…

Tips:
Buat yang lagi program hamil, selain pakai cara kalender dan suhu basal tubuh, bisa juga ngecek lendir vagina walaupun cara ini gampang-gampang susah juga sih.

Rabu, 16 Oktober 2013

Ternyata Ngidam Itu...


17 September 2013

Hingga hari ini saya selalu bersyukur nyaris tak pernah ada mual muntah atau yang lazim disebut morning sickness itu. Mungkin adik bayi tau, ibunya jauh dari ayahnya. Bakal repot kalo harus mual-mual sepanjang trimester awal. Masih terlalu cepat menyimpulkan sih, tapi mudah-mudahn sisa trimester pertama ini benar-benar tanpa mual atau muntah yang berlebihan.

Alih-alih susah makan, yang ada saya malah pingin ngembat ini itu. Ngidam, orang bilang. Sebenarnya ini sah-sah saja, tapi namanya hamil muda, asupan nutrisi pun harus dipikirkan. Sudah makan sayur apa hari ini? Sudah mengasup protein kah? Bagaimana dengan buah-buahan? Sementara ngidam saya ini kebanyakan street food atau ya makanan di mall hehe yang susah diukur kadar gizinya. Apa yang mereka pakai di dapur pun bikin parno sendiri. Bersih atau ngga? Pakai MSG atau ngga? Padahal sebelum hamil, saya ngga pernah mikirin semua itu. :p

Saya tidak tahu apakah rata-rata ibu hamil newbie juga mengalami hal yang serupa. Namun saya pernah mendengar, kehamilan pertama memang kadang pingin serba perfect, lantas kehamilan berikutnya malah lebih santai dan enjoy. Semoga saya masih dalam taraf wajar ya.

Suatu malam, 12 September lalu, Mas Dian terbang dari Jakarta ke Surabaya sebelum kembali ke Waingapu. Sebelumnya dia memang sedang menghadiri rapat selama 4 hari di daerah Ancol. Kala itu kami belum tahu apakah saya benar-benar positif atau tidak. Modalnya hanya testpack yang bergaris dua saja sih. Sementara jadwal ke dokter kandungan baru keesokan harinya, karena saya sengaja menunggu si suami pulang ke Surabaya.

Sedari sore lidah saya tak henti-hentinya ingin mencecap kwetiaw goreng Wapo di daerah Unair. Mas Dian berkata akan mengantar ke Wapo begitu mendarat di Surabaya. Waktu itu seharusnya Mas Dian berangkat pukul 15.40 WIB namun sempat delay 20 menit. Saya masih kalem nih sembari menghitung-hitung perjalanan Jakarta – Surabaya, lalu bandara ke rumah. Perkiraan pukul 19.00 WIB Mas Dian sudah muncul di depan pagar. Bisa tuh langsung ke Wapo.

Pukul 18.30 WIB tak ada kabar apakah pesawat sudah landing atau Mas Dian sudah di dalam taksi atau belum. Biasanya saya menjemput di terminal Purabaya, karena rute bus bandara Juanda hanya sampai terminal. Namun, karena kami berdua yakin bahwa saya hamil, Mas Dian menyuruh saya anteng di rumah dan tidak beperjalanan terlalu jauh dulu.

10 menit kemudian saya mulai uring-uringan. Antara kelaparan dan merasa kasihan kalau si suami harus mengantar ke Wapo saat sudah terlalu malam. Dia pasti capek, pikir saya. Namun justru perasaan ini malah membuat saya makin menginginkan kwetiaw goreng yang mengepul-ngepul itu.

Smartphone saya tiba-tiba bergetar. Mas Dian mengirim pesan lewat WhatsApp. Pesawat yang ia tumpangi rupanya delay lagi 30 menit saat semua penumpang sudah berada di dalam kabin. Izin terbang harus antre mengingat padatnya lalu lintas udara. Alhasil dia pun baru mendarat di Juanda hampir pukul 7 malam.

Saya semakin sedih karena ini artinya Mas Dian akan nyampai rumah 45-60 menit lagi sekitar pukul 8 malam. Lalu menuju ke Wapo perlu 20 menit kalau ngga macet. Kemudian pesan makanan dan mungkin akan terhidang maksimal 30 menit setelah order. Itu jam berapa ya, sementara perut sudah keroncongan. Saya pun membalas WhatsApp sang suami menanyakan opsi apakah kita ke Wapo atau beli sesuatu yang dekat saja. Mas Dian tidak keberatan mengantar, walau saya tahu dia capek banget.

Akhirnya saya memutuskan akan keluar rumah sebentar untuk membeli martabak tak jauh dari kompleks. Dan yang luar biasa adalah saya menangis! Air mata netes-netes deras saat saya masih berkutat dengan pesan kepada suami. Serius, the power of ngidam ditambah hormonal seorang ibu hamil yang naik turun,  saya menangisi kwetiaw yang tak berhasil di dapat. Mata saya memerah dan muka saya jelek banget di cermin.

Sembari mengelus perut, saya berpikir, apakah yang pingin kwetiaw itu kamu, Nak? Atau cuma sugesti Ibumu?  

9 bulan masa kehamilan katanya sih masa yang penuh keajaiban. Mungkin cerita ngidam tak kesampaian ini jadi salah satu hal yang bakal membuat geleng-geleng kepala saat diingat. Anyway, besoknya Mas Dian mengajak makan siang di Wapo. Saya pun akhirnya makan kwetiaw goreng dengan penuh penghayatan sampai ludes.

Alhamdulillah ya :)

Kamis, 19 September 2013

Morning Glory

Selama lebih dari 26 tahun, saya baru sadar, bahwa pagi adalah sebaik-baiknya hari.

Seorang fotografer ternama di Indonesia pernah menyampaikan opini tentang waktu terbaik untuk memotret lanskap. Dia berujar, bahwa bangunlah saat orang lain masih terlelap di kasur, karena keindahan pagi tak pernah terganti dibandingkan dengan senja sekalipun. Anda boleh setuju atau tidak, namun memang pernyataan ini 80% akurat.

Tenang saja, saya tidak akan membahas pentingnya bangun pagi dalam ranah fotografi. Saya akan bercerita tentang fenomena yang terjadi pada diri sendiri. Saat masih lajang dan sedang asyik menikmati kehidupan jauh dari rumah sebagai anak kost di Surabaya, tidur di bawah pukul 21.00 WIB adalah hal yang paling saya hindari. Terlebih jika itu akhir pekan. Mengapa? Karena dalam benak, saya selalu berujar bahwa malam ini tidak boleh terbuang begitu saja. Definisi terbuang, apakah lantas saya melakukan hal yang bermanfaat bagi orang banyak.

Mmm... Ngga juga sih...

Jika ada tugas kuliah, saya lebih suka mengerjakan saat menjelang tengah malam. Jika besoknya libur, maka bisa jadi saya baru keluar kost pukul 11 malam. Ke mana? Dugem? Hahahaa.. Yakin deh ngga ada pub yang mau menerima tamu yang mirip anak SMP baru lulus SD kayak saya. Tapi memang ngga bohong, bahwa biasanya jam segitu saya nongkrong di McD bersama anak-anak kost lain, atau sekedar makan es kacang ijo di dekat kosan yang buka sampai dini hari. Atau kalau tidak ada teman, maka saya akan berdiam di kamar dengan sebuah laptop dan modem untuk internetan. Ya, browsing apapun yang saya mau. Chatting dengan yang sedang online atau sekedar nulis di blog walopun berakhir jadi draft saja. Lain lagi kalau temen sekos saya ngajak gelimbungan. Ini adalah kegiatan kongkow-kongkow di salah satu kamar hingga subuh menjelang. Ngapain aja? Surhaaaat... Surhat all nite looong...

Dari semua kegiatan (ngga berguna) itu intinya sih satu, jangan sampai saya tidur terlalu sore lalu menyesal tidak memaksimalkan malam sebelumnya. Entah mengapa tapi memang kenyataannya saya beropini demikian. Jumat dan Sabtu adalah hari-hari favorit. Maka haram hukumnya, kalau saya ngga tidur di atas jam 12 malam. Karena ada sugesti seperti itu, maka mata saya juga lantas ngga mengantuk! Hari Minggu malah biasa saja, karena besoknya Senin dan saya harus kuliah.

Pada tahun-tahun tersebut, malam hari adalah idola saya. Dan sudah bisa ditebak, jam berapa saya bangun keesokan harinya. Jam 9 - 10 pagi. Atau hingga Dzuhur? Hm, belum pernah sih, karena terlalu siang bikin kepala pusing. Kalau saya hidup di kampung mungkin sudah diguyur air ya disuruh bangun. Dan pasti dengan embel-embel, "Perempuan kok doyan bangun siang!" Anyway yang jelas saya ngga tau ada berapa banyak Subuh yang terlewat. :(

Hingga kemudian saya menikah.

Beberapa hal selain status di KTP pun berubah. Saya yang bertahun-tahun hanya mengurus kamar kos seluas 3x3 meter saja, sekarang harus menghadapi rumah kontrakan dengan halaman super luas. Rupanya perubahan ini bikin saya kelabakan. Nyaris tak pernah menikmati indahnya begadang malam hari. Karena batere badan saya udah keburu ngedrop setelah Isya'. Ya, setelah Isya'. Tertidur pukul 9 malam itu sudah istimewa sekali. Lah wong kadang, belum genap pukul 8 sudah nguap berkali-kali. 

Karena tidur terlalu 'sore' itulah, saya secara otomatis bisa bangun subuh-subuh. Bahkan sebelum adzan berkumandang. Perubahan jam biologis ini mungkin lebih banyak manfaatnya untuk kesehatan organ tubuh saya terutama liver. Karena orang yang doyan begadang, suatu saat pasti livernya bermasalah. Namun, dibalik semua keuntungan itu, ada satu hal sederhana yang saya sadari. Bahwa pagi itu indah. 

Setiap membuka jendela, udara dingin ala Surabaya yang mungkin hanya beberapa jam saja langsung berhembus. Segar sekali rasanya. Karena kompleks perumahan ini tak jauh dari area mangrove, maka setiap pagi rumah saya selalu kedatangan burung-burung. Saya tak tahu persis nama mereka apa. Yang jelas mereka bercicit-cuit di halaman sembari mengambil rumput-rumput kering untuk membuat sarang entah di mana. 

Pukul 6 pagi biasanya saya sudah keluar rumah untuk belanja sayur di warung ujung kompleks. Yang menyenangkan adalah saya masih bisa melihat kabut tipis dengan background sebuah apartemen mewah. Lalu di ujung Selatan saya pun melihat bayangan gunung. Gunung! Sejak tahun 2005, saya ngga pernah sekalipun melihat gunung di Surabaya. Kata kawan saya, itu gunung-gunung yang ada di Malang. Wow! Entah benar atau tidak tapi saya amaze bisa menikmatinya dari kompleks perumahan ini. 

Saya jadi agak nyesel pernah hobi begadang bertahun-tahun dan melewatkan ribuan pagi yang sejuk meskipun berada di tengah kota. Tapi akhirnya bersyukur bahwa ritme hidup saya sekarang sudah berubah lebih sehat tanpa jadi kelelawar lagi. Hehee... Walaupun kadang, saya kangen ngelayap jam 11 malam hanya untuk sepiring roti bakar di dekat kampus Unair. :p


Jumat, 09 Agustus 2013

Lebaran Pertama Jauh Dari Rumah

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1434 H, mohon dimaafkan segala khilaf kata dalam blog ini. Lebaran tahun ini pertama kalinya dalam 26 tahun saya ngga di rumah Jember bareng orang tua dan keluarga besar. Tahun ini saya mudik ke kampung halaman suami di Semarang. Kami memang sepakat untuk mudik secara bergantian tiap tahun. InsyaAllah, jika masih dipertemukan dengan Idul Fitri tahun depan, ya kami Sholat Ied di Jember. Begitu seterusnya.

Bulan puasa kemarin saya ngga sempat pulang sama sekali ke rumah Jember. Entah mengapa, tiba-tiba pekerjaan datang menumpuk. Bahkan pada H-4 Lebaran saya masih ada tugas motret di Surabaya Utara. H-1 mengerjakan revisi. Lalu hari ini pun, Lebaran hari kedua, saya baru menyentuh sedikit satu pesanan tulisan dengan deadline tanggal 20 Agustus.

Tapi, bukankah semua tetap harus disyukuri? Masih banyak pengangguran di dunia ini jadi sikat saja pekerjaan-pekerjaan itu, hehe...

Anyway, tidak berada di rumah orang tua sendiri saat Lebaran rasanya memang ada yang kurang. Tidak bisa sungkem langsung. Hanya bisa lewat telepon saja. Pada saat menelepon Mama untuk minta maaf, saya tidak bisa mencegah air mata yang menetes. Padahal belum tentu saat momen Lebaran tahun-tahun lalu saya bisa nangis saat sungkem langsung. Tapi saya berusaha menutupinya, ngga lantas sesenggukan di telepon. Paling tidak, saya menyadari bahwa orang tua tetaplah orang yang akan selalu kita rindu betapa pun bawelnya mereka.

Di rumah mertua, Lebaran hanya dihabiskan dengan silaturahmi dengan tetangga, lantas dengan keluarga inti saja; berenam. Jauh berbeda dengan keluarga Jember yang sehabis Sholat Ied selalu berkumpul di rumah budhe tertua. Puluhan orang tumplek-blek menghabiskan piring demi piring. Keluarga kami memang besar. Pagi itu saya menyempatkan menelpon budhe, dan suara keriuhan itu pun terdengar. Nangis lagi deh jadinya. Haha, kangen bikin cengeng ya ternyata. 

Hm, oke deh, segitu dulu posting Lebaran saya. Selamat makan opor, walaupun saya yakin udah banyak agak eneg, hehe... Maaf lahir batin ya! :)

Kamis, 04 Juli 2013

The Most Beautiful Rainbow I've Ever Seen

Dalam postingan ini, kalian tidak akan menemukan gambar pelangi beralaskan lautan, atau dengan background gedung-gedung perkotaan, dan sebagainya. Iya, ini murni mimpi saya, bunga tidur. Ceritanya dua malam lalu saya terbangun dari tidur gara-gara mendengar ada tikus glodakan di atas plafon kamar. Sudah beberapa hari ini sepertinya dia terjebak di sana. Bisa masuk tapi ngga bisa keluar. 

Waktu itu belum subuh, masih sekitar pukul tiga dini hari. Lalu notifikasi Whatsapp saya berbunyi. Rupanya Dewi, adik ipar saya. Dia pasti sedang ngelembur skripsi hingga jam segitu belum tidur. Kami chit-chat sebentar, hingga saya tertidur lagi menjelang pukul empat. 

Dalam tidur lanjutan itu, saya memimpikan si tikus yang rupanya peliharaan bapak mertua saya. Weird. Hahaha. Bapak mengenalkan si tikus dan juga bayi-bayinya yang masih putih kepada saya. Alih-alih merasa gemes, saya begidik ngeri dan memutuskan untuk keluar ruangan dan menyetir mobil. Yap, saya bisa menyetir mobil only in my dream. Hahaaha... Selepas mengisi bensin, saya melanjutkan perjalanan. Sesaat setelah belok kiri, mulut saya ternganga. Langit yang memang masih mendung itu terhias pelangi. Bukan cuman satu, bukan juga fenomena double rainbow yang sering terlihat. Tapi ini banyak. Banyak banget. Pelangi melengkung setengah parabola dengan sempurna, lalu seperti huruf latin, di sampingnya tersambung lengkungan-lengkungan pelangi lainnya. Ada sekitar 5 hingga 7 pelangi berderet. Mereka seakan membentuk pegunungan pelangi. 

Sesaat kemudian, saya langsung terbangun. Adzan Subuh sudah terdengar dari masjid komplek. Rupanya saya hanya tertidur setengah jam. Tapi pemandangan pelangi-pelangi yang begitu cantik itu masih belum saya lupakan hingga postingan ini ditulis. 

:)

Sabtu, 29 Juni 2013

Selamat dan Terima Kasih, Rina!


Banyak orang yang berlalu lalang dalam hidup kita. Easy come, easy go. Sepuluh tahun lalu, kita bahkan tak ada bayangan akan menjadi seperti apa, berada dalam keadaan apa, hidup di mana, menjalin hubungan dengan siapa dan sebagainya. Pada akhirnya, perjalanan hidup seperti sebuah pertunjukan drama. Ada babak-babak tertentu yang harus dijalani lalu dilewati seberat apapun. 

Menjadi anak kos di Surabaya adalah salah satu babak hidup yang tidak akan saya lupakan. Dimulai pada tengah tahun 2005 hingga berakhir di awal 2013. Yap, 8 tahun. Entah betah atau malas mengemas barang, selama kurun waktu itu saya hanya pindah kos satu kali yaitu pada saat akhir semester satu. Selepasnya, kurang lebih 7,5 tahun saya hidup di dalam kamar kos yang itu-itu saja.

Kemarin, 22 Juni 2013, salah satu sahabat baik saya, Rina Fariana, melangsungkan resepsi pernikahannya. Well, sebenarnya dia dan suaminya sudah melaksanakan akad pada Maret silam. Semua digelar serba mendadak saat (calon) ayah mertuanya meninggal dunia. Saking tiba-tibanya, saya tidak bisa datang ke Jember untuk menyaksikan akad nikahnya. Tak apalah, yang penting doa tetap mengalir. 

Berteman dengan Rina, mungkin bisa menjadi sub babak tersendiri dalam kehidupan saya sebagai anak kos. Saya mengenalnya di ruang belajar yang sama saat kelas 3 SMA di Jember. Hal yang paling membekas di ingatan adalah ketika dia (dituduh) tidur di dalam kelas oleh Pak Ketut, guru Biologi, sekaligus walikelas kami. Wajah Rina memerah, malu sekaligus geram karena katanya sih dia tidak tidur, hanya menyandarkan kepala saja.

Saya tak terlalu dekat dengannya saat itu. Hingga tiba saatnya saya hijrah ke Surabaya untuk melanjutkan pendidikan di bangku perguruan tinggi. Saya dan Rina bertemu lagi di sebuah rumah kos di Jalan Karang Wismo di Surabaya. Awalnya  Alycia, teman semasa SMP saya, mengajak untuk menyewa kamar kos di rumah yang sama. Kebetulan, gadis yang saat ini bekerja sebagai host di berbagai TV swasta ini, diterima menjadi mahasiswa Broadcast di Unair. Dia pun sudah memiliki calon rumah kos di Surabaya. Tak menunggu lama, saya mengabari Leny, kawan SMA saya yang juga diterima di Unair untuk ikut gabung di rumah kos tersebut. Setelah survey dan cocok dengan rumah tersebut, Leny mengajak Rina yang ternyata juga masuk sebagai mahasiswa baru Unair. Saat itu, saya sekamar dengan Alycia. Sedangkan Rina dengan Leny. Kami menempati dua kamar di lantai 3. Karena tak ada kamar lain, kami menganggap lantai 3 seperti rumah kami sendiri. 

Dengan formasi ini lah kami memulai episode baru di Karang Wismo selama enam bulan. Awalnya sih, kami hanya menarget satu bulan kos di sana. Ngga kuat naik turunnya. Tapi sebagai mahasiswa baru rupanya kami terbuai dengan kesibukan-kesibukan yang belum pernah dialami sebelumnya. Hingga tak sadar, satu semester telah berlalu. Libur menjelang semester dua kami manfaatkan untuk mencari tempat baru. Rupanya memang kami ditakdirkan untuk berada di lingkungan yang sama. Kebetulan ada rumah kos baru milik Mbak Maya, anak ibu kos di Karang Wismo, yang sedang dibangun di Karang Menur. Hanya sekitar 50 meter saja jaraknya. Dan disitulah kami berlabuh. Masih dengan formasi sama namun dengan kamar yang terpisah sendiri-sendiri. 

Di lantai 2, ada tiga kamar yang berjejeran diisi oleh Leny, saya dan Rina. Sedangkan Alycia memilih kamar di bawah. Kami berempat ditambah Novi, Dian Maia, Mbak Ratih, dan Elia adalah angkatan pertama di kosan yang masih bau cat itu. Pemilik rumah tak tinggal bersama kami, hanya ada mbak penjaga kos saja. Tentu hal ini menjadikan petualangan kami tambah seru (dan bandel). Yah, walaupun pada tahun 2008 akhirnya rumah itu ikut dihuni juga oleh Mbak Maya yang baru menikah.

Saya menjadi sangat dekat dengan Rina saat mulai kos di Karang Menur. Kamar kami bersebelahan dan kami punya agenda wajib yang bernama gelimbungan atau begadang curhat-curhatan sampai pagi. Leny tak terlalu suka tidur malam, sehingga dia jarang sekali ikut nggelimbung. Padahal kami terobsesi untuk gelimbungan di kamar Leny yang memang paling rapi di antara kamar atas. 

Sementara kamar saya tidak rapi karena berbagai majalah, kamar Rina bagaikan Ace Hardware, penuh pekakas dari yang kecil hingga besar. Dari yang aneh hingga yang wajar. Terakhir saya tengok, dia bahkan punya tiga set kipas angin dengan berbagai model. Dia punya rice cooker super mini, dan berbagai alat untuk mengeriting rambut. Rina ini lucu, saat sebelum kuliah rambutnya memang keriting alami. Namun saat itu kan lagi ngetreng rebonding, jadilah dia ikut meluruskan rambutnya. Dua tahun belakang saat booming K-pop dan K-drama, dia kembali mengeriting rambutnya a la mbak-mbak Korea. Oh iya, dia juga punya gorden anti sengat matahari, terus ada vacuum cleaner, alat A, lalu berganti B, kemudian ada yang C dan sebagainya. 

Sebagai tetangga kamar kos, dan partner gelimbungan, saya mungkin sangat tahu persis seluk-beluk percintaannya. Tak semua memang berjalan mulus. Saya masih ingat bagaimana dia begitu linglung saat hubungan yang sudah dijalin selama 3 tahun itu mendadak berakhir. Saya terkejut saat dua minggu lalu, saya membongkar isi hardisk dan ternyata masih menyimpan foto-foto wajah Rina dengan mata sembab dan bengkak. Malam itu Rina baru beberapa hari putus. Saya dan Novi menghiburnya dengan berbagai macam hal (yang sebenarnya tak membantu).

Bagi saya, Rina itu perempuan yang gigih sekaligus rapuh. Ada beberapa hal dimana saya bisa tahu persis bahwa dia sedang ngotot dan yakin pada pendiriannya. Sesepele mencari alamat di dalam peta. Namun ada kalanya saya bertemu dengan Rina yang tidak sanggup mengucap 'tidak', yang terlampau menurut, yang terlalu baik kepada orang lain yang jelas-jelas memanfaatkannya. Sampai saya geregetan. Eh, atau saya yang terlalu berprasangka buruk pada orang lain ya? Hahaha…

Hal yang paling nempel ketika membicarakan Rina adalah tahi lalat di wajahnya. Buanyak bo! Ada kejadian yang saya ingat, saat Pak Fatah, Bapak si Rina datang ke kos membawa gulungan kertas. Ketika dibuka, rupanya gulungan itu adalah banner raksasa yang memajang foto Rina mengenakan toga wisuda. Yang bikin kami ngakak lagi, tahi lalatnya Rina diilangin pake fotosop, bro! Dan ini adalah ide spektakuler Pak Fatah sendiri. Luar biasa… 

Tapi saya lumayan percaya ketika dibilang bahwa orang yang banyak tahi lalat diwajah itu banyak rejeki. Salah satunya ya pengalaman-pengalaman Rina. Rejeki kan bukan cuma duit ya. Kalau masalah duit doang sih buat Pak Fatah tuh urusan sepele. Hehehe… Ya mungkin itu efek kebaikan dan kegigihan Rina. Orang baik Insya Allah ngga jauh-jauh dari kebaikan juga. Dan disitulah rejeki. 

Nyebut Pak Fatah jadi ngerasa salah gini. Saya pernah mengajak Rina ke Karimun Jawa tanpa pamitan ke Pak Fatah. Bilang cuman mau ke Jepara doang. Udah gitu kapal ferry yang kami tumpangi sempat dihantam angin besar sampai hampir miring. Penumpang histeris. Terjadi keributan saat berebut rompi pelampung. Rina langsung tercekat pucat. Sepertinya dia kapok jalan sama saya lagi... :p Kecuali jalan ke mall tentu saja.

Well, tetapi kawan saya ini bukan copycat malaikat juga sih. Dia tetap manusia biasa yang lemot, ngerepotin, manja, cengeng, hobi bangun siang dan ngga pernah sisiran kecuali habis keramas. Suatu hari dia pernah tiba-tiba memeluk saya sambil menangis sejadi-jadinya. Lalu terbata dia menceritakan kesalahan besar yang diperbuat pada (mantan) pacarnya, yang notabene adalah sahabat masa kecil saya. 

Pada akhir curhatan dia bertanya, "Min, masih mau jadi temenku?"

Hingga saat ini saya tidak pernah menyalahkannya, karena Alhamdulillah sih, dia sudah sadar sendiri bahwa dia salah. Saya tahu persis bahwa Rina tidak pandai menyembunyikan kebohongan. Ah ya pokoknya Mbaksis dan Masbro, cinta memang masalah yang rumit. Ada hal-hal yang tidak bisa diterima, ada juga masanya kita menjadi maklum, lalu lupa, terakhir sih biasanya jadi lucu sendiri kalau diinget-inget. Yang penting, belajar dari kesalahan saja ya. 

Kok jadi macam blog motivator gini… 

Oh iya, saya dan Rina punya nama khusus yaitu "Min". Jadi kami memang sailing memanggil dengan sebutan itu. Entah itu diplesetkan jadi Mintok, Minul, Mina, dan sebagainya. I don't even know what the meaning of 'Min'. Lupa juga udah mulai kapan manggil kayak gini. 

Kalau ngomongin detil-detil babak ini, rasanya bisa bikin novel ya. Tapi palingan males mau nulisnya. Hahaha… Sudahlah. Well, selamat menempuh hidup baru, Min. Senang bisa berbagi kepercayaan sama manusia kayak kamu. Kita udah kayak orang pacaran sih ya, complete each other. Hehehe...  

Terima kasih sudah pernah memanjatkan doa buat saya dan Mas Dian (yang waktu itu statusnya masih calon suami) di Jabal Rahmah. Dan akhirnya tahun ini kita sama-sama jadi sarjana anak kos untuk masuk ke babak baru kehidupan. Be a wife! What a journey :) 

Ri(han)na Fariana - Umbrella ela ela ela - Ratu Boko DIY - Over years ago

Senin, 24 Juni 2013

A Not So Royal Wedding

Hellow! Been so long ngga pernah blogging, sampe disentil sama @nuranwibisono kemarin. Hehehe... Eniwei, saya baru pulang dari Sumba nih, seneng banget bisa balik ke sana dengan status baru yang eciye-banget di kosan Mas Dian. Dua minggu di sana lumayan dapet beberapa pandangan lain tentang Waingapu, kota tempat suami saya bekerja.

Lalu postingan ini bakal bercerita tentang apa? Bukan tentang Waingapu sih, hehe... Kapan-kapan ya, I promise! Jadi ceritanya barusan saya mampir ke blog @indohoy, salah satu blog favorit karena gaya bahasanya asik. Kebetulan mbak @viraindohoy barusan nikah gitu, dan entah mengapa nama pasangan kita sama-sama Dian, cuman suami Mbak Vira pake ketambahan Y, Diyan. Hehe, penting. Nah postingan terbaru Indohoy yang tentang sekilas prosesi pernikahan Mbak Vira dan Mas Diyan itu bikin saya pengan nulis hal serupa. Ga kreatif, biarin. Masa udah nulis tentang kegiatan H minus pernikahan malah pas hari H-nya ngga ditulis.

Ya udah ngga usa kebanyakan prolog... Mari kita flashback ke tanggal 8 Februari 2013!

Prosesi pernikahan di Indonesia mostly emang terikat adat kesukuan yang punya hajat. Tapi semakin ke  sini, sepengetahuan saya sih semakin banyak pasangan yang memilih tidak melakukan semua prosesi tersebut. Saya dan suami adalah salah satunya. Kami lebih mengutamakan apa yang dianjurkan oleh agama, dalam hal ini, Islam, dan pemerintah saja. Maka, mulailah kami melobi orang tua jauh-jauh hari, tentang apa yang kami inginkan dan sebagainya. Karena kedua belah pihak berdarah dominan Jawa, maka hal pertama yang kami tawarkan adalah bagaimana jika tidak usah melakukan siraman, midodaren, temu manten ataupun ngunduh mantu.

Mengapa? Pertama, bagi kami berdua yang penting sah di mata agama dan pemerintah. Kedua, irit bo! Bayangin berapa lembar rupiah yang berhasil dihemat tanpa melakukan adat yang hukumnya tidak wajib itu? Kalau memang kalian kelebihan duit, mungkin sebaiknya putar otak untuk membuang uang dengan membeli tanah, investasi reksadana, logam mulia, atau bahkan beramal. Syukur-syukur bisa buat umroh bareng ya... Ketiga, capek pasti. Menyiapkan pernikahan yang paling sederhana aja menguras tenaga banget, apalagi yang super lengkap.

Jangan takut dipandang lagi kere kalau emang ngga ngelakuin prosesi adat. Lebih baik tanya diri sendiri, do we really, really, need it? Tapi kalau memang kalian pingin, karena alasan once in a lifetime, ya monggo saja, bebas :D

Lah kok ya kebetulan kedua pasang orang tua kami setuju. Terlebih lagi keluarga mertua saya kebanyakan dari Semarang dan Yogyakarta, which is membuat acara yang sederhana akan lebih efektif. Kasian udah jauh-jauh dateng, kalo masih harus ribet upacara ini itu di rumah saya. Cuman yaaa, kami ngga mendapat 100% tempat untuk mengatur 'kebebasan' itu. Ayah saya masih menginginkan resepsi dengan alasan, dana memang sudah disiapkan dan saya anak perempuan satu-satunya.

"Ayah pingin mbancaki Putri," kata beliau. Bapak Ibu mertua pun tidak menggelar ngunduh mantu, tapi tetap mengadakan tasyakuran sederhana di rumah Semarang setelah kami menikah. Okelah, mari kita sebut ini win-win solution. Saya dan suami dapat apa yang dimau, begitupun orang tua kami. Walaupun 50% saya ngga kenal tamu-tamu resepsi itu, at least ada rasa bahagia terselip ketika melirik kedua orang tua saya bisa tertawa lepas saat kangen-kangenan dengan relasi mereka.

Prosesi paling awal yang saya lakukan adalah mengikuti pengajian ibu-ibu. Lalu malam harinya saya pamitan sama kakak saya, karena saya melangkahi antrean untuk menikah duluan. Simpel aja sih, ngasih kado yang memang diharapin si kakak. Well, lah kok dia kurang ajarnya minta mobil. Bzzzz... Saya pun melakukan offering sambil meringis dan maksa, "gimana kalo Levi's aja..."




Beberapa jam setelah ngasih kado itu, keluarga Mas Dian datang ke rumah melakukan lamaran. Bawa-bawa seserahan gitu deh. Di sini saya ngga boleh ketemu Mas Dian. Bahkan kalau kata adat sih, calon pengantin cowo ngga boleh masuk ke dalam rumah yang dilamar. Jadi nongkrong di pager gitu mungkin... Tapi karena sekali lagi, kami cukup longgar dalam hal-hal adat, maka Mas Dian bisa ikut masuk ke rumah dan makan sate plus incip-incip es buah.


Okey, lamaran diterima, keluarga Mas Dian kembali ke hotel dan saya ngga boleh tidur sampai jam 12 malam. 

Wait, really?

"Mbak, kalo bisa jangan tidur dulu sampai jam 12 ya," kata Bu Cita, perias yang ngedandanin saya. Hm, saya sih ngga paham ya masalah gini-ginian, tapi emang kenyataannya saya ngga bisa tidur sampe jam 2 pagi. Deg-degan bo, menjelang akad. Eh, ada juga tuh perias yang ngga ngebolehin mandi sampai akad selesai. Buset, untungnya Bu Cita ngga ekstrim kayak gitu. Saya bisa bebas mandi biar wangi pas ketemu suami di meja akad.

Pada saat akad, sahabat-sahabat dekat saya, Rina, Sulih dan Kiki kompak dateng ke rumah. Ada Icha juga pas malam lamaran. Seneng banget. Apalagi beberapa di antara mereka harus menempuh perjalanan darat dan udara untuk menuju Jember. Such a great feeling saat para sahabat dateng di hari yang begitu penting.

Ada beberapa teknis akad nikah dalam Islam yang saya tahu. Teknisnya lho ya... Calon pengantin cewe ada yang duduk bareng si cowo di hadapan penghulu. Ada juga yang nunggu di dalam kamar, ntar dijemput pas si cowo selesai Ijab Qabul. Nah saya melakukan yang opsi kedua. Kurang tahu sih perbedaannya gimana. 


Pada saat akad saya mengenakan kebaya modern warna putih tulang dengan bawahan jarit batik motif Sidomukti yang lazim untuk pernikahan. Sedangkan Mas Dian sederhana saja, berbalut jas berwarna abu-abu tua lengkap dengan peci hitam. Seumur-umur saya ngga pernah dandan dengan model jilbab yang dilibet-libet. Seneng aja sih (sekaligus capek karena berat) akhirnya ngerasain dipakein jilbab yang kekinian. Hahaha. 


Entah mengapa, tiap menghadiri akad teman, saya selalu menangis terharu. Lah kok pas kawinan sendiri malah ngga netes air mata kecuali pas sungkem orang tua. Saat Mas Dian selesai Ijab Qabul dan semua sudah sah, dia pun menjemput saya yang berada di dalam kamar. Tangannya dingin banget bo, hahaa...

"Tegang yo," ujarnya.

Tapi Alhamdulillah, suami sah saya ganteng banget... Apakah karena ini saya ngga jadi nangis?! Entahlah! Kami pun bergandengan menuju meja akad untuk tanda tangan buku nikah, mendengarkan wejangan pak ustadz, sungkeman orang tua, lantas foto-foto. 

Keesokan harinya kami disibukkan dengan persiapan resepsi. Saya make kebaya modern yang berat banget karena pake ekor berwarna oranye tua sepasang dengan beskap Jawa Timur (mereka bilang sih beskap Basofi) yang dikenakan Mas Dian. 

Mas Dian adalah penggemar berat mobil VW. Dia punya banyak sekali (miniatur) mobil-mobil VW yang dipajang dalam lemari terkunci di rumahnya. Salah satu cita-citanya kalau nikah mo naik VW kodok atau combi. Sayangnya, kota Jember ini ngga sebesar Jogja, Surabaya atau Jakarta yang pasti banyak komunitas mobil. Saya kesusahan nyari mobil VW yang mau disewa. Bisa nemu aja syukur deh. Hingga H-3 pernikahan, angan-angan pake mobil VW kodok atau combi itu pun hanya tinggal kenangan saja. Kami terpaksa manggut-manggut saat ditawari mobil BMW atau Mercy dari perias, walopun ngga terlalu tertarik. Ya masa naik becak ke gedung resepsi. 

Menjelang Maghrib, saat lagi sibuk-sibuknya didandanin di rumah. Mas Dian tiba-tiba nyeletuk, "aku kok kayak denger suara mobil VW di luar ya."

"Moso?" tanya saya bisik-bisik. 

Mas Dian ngangguk-angguk. 

"Kemarin bilangnya Mercy kok," tambah saya.

Ternyata pendengaran penggemar memang tak salah. Setelah selesai dandan dan siap berangkat menuju gedung, kami dikejutkan dengan kehadiran sebuah VW Beetle tahun 60-an berwarna hitam terparkir manis di halaman rumah. Suami saya girangnya minta ampun kayak abis menang undian mobil beneran.

Boys will be boys...


Kami langsung foto-fotoan pake si mobil. Eniwei ngomongin foto jadi inget tentang vendor pernikahan. Karena ngga semua hal bisa dilakuin sendiri, maka sudah jelas sebuah pernikahan itu butuh pihak ketiga, keempat, kelima yang membantu terlaksananya acara. Misal, undangan, dokumentasi, tata rias, dan lainnya.

Memilih vendor ini butuh banyak pertimbangan lho. Mau murah dan bagus? Sampai lahiran cicit pun ngga bakal nemu kasus kayak gitu. Tapi coba deh minta bantuan kanan kiri yang mungkin bisa memangkas budget kalian. Jaman udah canggih kayak gini, pasti ada satuuu aja temen kalian yang doyan motret, kenapa ngga dikasih kerjaan? Lumayan kan motret nikahan temen sendiri, dapet duit pula. 

Ya ampun, mau nikah miskin banget sih kudu ngemis-ngemis minta bantuan... Well, taukah kalian bahwa biaya ijin nikah itu sesungguhnya taklebih dari 100 ribu saja menurut undang-undang. Lalu mengapa bisa melebar sampai ratusan juta?? Ya, silahkan dijawab sendiri. Atas dasar itu, kami mencoba untuk waras dan berkepala dingin untuk memilih vendor.

Undangan? Saya serahkan desain-nya pada sahabat saya, Ayos. Laki-laki berperut buncit yang sudah saya anggap saudara sendiri ini menjadi salah satu kunci pertemuan saya dengan Mas Dian, jadi ya keahliannya sebagai mahasiswa desain harus dilibatkan (dan dimanfaatkan). Undangan saya ngga pake hardcover dan ngga pake foto. Yang penting pesannya kebaca aja gitu. 

Banyak yang mengira saya dan suami melakukan pre-wedding photo session. Itu karena saya memajang avatar yang sok-sok prewed di facebook. Padahal sesungguhnya hari itu kami hanya piknik selo ke Papuma sambil membawa tripod karena mo motret sunrise. Dimanfaatkan lah tripod itu untuk memotret kami berdua sekedar kenang-kenangan. Pake lensa fix manual which is hasilnya banyak yang ngeblur hahaha... Ya manual gitu ya, sapa yang mo ngulir kalo dua-duanya di depan kamera. Tapi dari situ kami tau, bahwa kami tak perlu menghabiskan jutaan rupiah untuk prewed. Sudah pasti sia-sia. Alasannya satu: kami tak pandai bergaya.

Teman saya pernah bercerita bahwa pernikahannya tak sampai menembus angka 15 juta. Padahal kalau ditelusurin, si temen ini masih berdarah ningrat gitu di Sumatra sana. Tapi karena dia keras kepala, dia mau menikah dengan cara dan uangnya sendiri. Adat-adat pernikahan ala Sumatra pun enggan dia lakukan. Lantas gunjingan terdengar dari para om dan tantenya.

"Gue labrak aja yang ngomongin gue. Bokap kandung gue aja ngga masalah. Kenapa mereka yang ribet?" Ehm, temen saya ini emang hardcore, apalagi kalo lagi laper, jangan deket-deket deh...

"Undangan gue bikin sendiri, buku tamu juga, banyak kok di gugel desainnya lucu-lucu tinggal pilih, seserahan gue ngga minta aneh-aneh, cuman buku-buku Quraish Shihab edisi lengkap. Terus gue pake pengamen jalanan di stasiun, karena gue suka banget ama suara penyanyinya. Dan pas gue tawarin, mereka mau banget nyanyi di nikahan gue. Seneng!" ujarnya berbinar-binar.

Eh iya pernah dengar ada yang minta seserahan Macbook Pro? Hehehe, jangan iri deh ah, itu namanya rejeki. Minta mahar dan seserahan itu kan kuncinya cuman satu, jangan ngeberatin calon suami. Kalo beli gadget mahal udah kayak beli pisang goreng, ya sah-sah aja sih. Kan pendapatan orang juga beda-beda. 

Ngomongin A-Z tentang prosesi nikah rasanya kok muter-muter dalam lingkaran uang, uang, uang dan uang ya? Lah cinta-cintaannya mana? Sayang-sayangannya mana? Sekali lagi, tergantung prespektif kalian memandang sebuah prosesi. Ngga selamanya prosesi adat itu salah, toh pasti ada doa dan harapan di balik semua itu. Menikah dengan siapa adalah pilihan. Menikah dengan cara apa juga patut dipertimbangkan. Sepanjang bisa dikompromikan sih, be wise couple aja... :)


PS:
Terkait dengan judul postingan ini, hal yang ngga bakal saya lupa adalah menjelang pernikahan, temen-temen saya di twitter pada bikin hestek #hifatlobrainroyalwedding. Mulanya sih @arman_dhani yang bikin +_+ Terus yang lain pada ikut-ikutan deh. Ah... I should've captured it ya... buat kenang-kenangan.

Rabu, 24 April 2013

Makan Apa di Festival Teluk Jailolo?



Gunung Jailolo habitat buah pala

Festival Teluk Jailolo 2013 sudah di depan mata. Dua kawan saya, @wiranurmansyah dan @kenarrox, beruntung berhasil mengantongi tiket gratis menuju pulau kecil di Halmahera Barat tersebut. Eh, bukan beruntung deng. Mereka patut menang lah ya, atas kerja keras otak mencari sudut pandang kreatif yang jarang dipikirkan orang lain saat membuat tulisan. :D

Anyway, buat kalian-kalian yang berencana kesana. Please, do two this important things: have fun and eat a lot! Itulah mengapa saya sengaja membuat postingan ini. Sekedar bernostalgia dengan masakan Bu Fao, satu-satunya pemilik homestay di Jailolo yang juga bertugas menyediakan masakan-masakan khas Maluku untuk tamu-tamu. Selama di sana, saya ngga kenal makan pagi, siang, atau malem. Asal ada makanan baru yang terhidang di meja, maka rombongan saya selalu dengan senang hati dan lapang dada untuk menyantapnya. Hehehe... 

Pisang Mulut Bebek
Mengapa dinamakan demikian? Karena kata orang sana bentuk si pisang mirip dengan lengkungan mulut bebek. Awalnya saya mengira, fungsi pisang ini sama seperti pisang di warung-warung Jawa, sebagai hidangan penutup atau sebagai camilan saja. Namun tidak di sini. Warga lokal menyantapnya sebagai pengganti nasi. Biasanya bersanding dengan menu ikan. Selain digoreng, umumnya pisang ini direbus dengan santan, yang kemudian disebut sebagai pisang santang. Nah, yang kayak gini nih sempet saya coba di homestay Bu Fao. Setelah di rebus warna pisang berubah menjadi kecoklatan dengan sisa-sisa santan yang menempel. Memang tak terlalu empuk sih, apalagi saya doyan makan pisang yang udah matang banget. Ternyata untuk membuat pisang santang memang sengaja dipilih buah yang masih muda agar tidak hancur. 


Papeda
Dari dulu saya penasaran banget dengan menu satu ini. Papeda memang tidak hanya bisa didapatkan di Maluku. Daerah dengan pangan pokok sagu biasanya juga membuat menu serupa, seperti Papua. Cara bikinnya? (Katanya) mudah kok! Tepung sagu ditaburi garam dan gula. Diaduk sembari dituangi air mendidih sampai lembut dan berwarna putih bening. Tekstur papeda yang menyerupai lem ini biasanya membuat orang asing kayak saya melongo. Rupanya perlu sepasang sumpit atau semacamnya lah untuk menuang papeda dari mangkuk besar ke piring-piring. Perlu sedikit kebiasaan untuk jago dalam hal satu ini. Seperti tepung yang lain, papeda ini pun sebenarnya terasa hambar. Karena itulah setiap ada hidangan papeda, umumnya disediakan pula sup ikan kuning yang Ya Tuhaaaaaan.... endang mbambang! Wenak tenan! Sueger, tuips! Kalau udah pake perpaduan papeda dan sup ikan kuning, ya ngga perlu ambil nasi lah ya. Dijamin kenyang!




Nasi Jaha
Nah, yang ini mirip banget rasanya sama lemper. Tapi tanpa filling daging. Nasi jaha juga terbuat dari beras ketan dan dibungkus dengan daun pisang. Makanan ini oily dan lengket banget di mulut. Nasi Jaha kabarnya juga ada di Sulawesi. Meskipun judulnya ada kata 'nasi', tapi saya anggap sebagai camilan macem lemper. Hehe...



Nasi Kembar
Ini baru nasi beneran nih. Rasanya manis ya seperti nasi-nasi lainnya. Sekilas bentuknya yang terbalut daun pisang, bikin saya ingat lontong di Jawa. Tapi teksturnya ngga selembut itu. Karena nasi ini setelah berada dalam dua selongsong daun pisang, kemudian dimasukkan dalam bambu untuk dibakar. Makanya agak-agak keras gitu. Tapi wangi banget terkena paparan daun pisang.


Ikan Dabu-Dabu Manta
Pertama kali mendengar nama menu ini, saya beneran ngga ngarep bakal makan manta (pari). Dari ribuan warung sego sambel yang berjejer di Surabaya, hanya ikan pari yang ngga saya suka. Menurut saya, baunya aneh. Terlebih mendegar kisah ikan pari dan anak-anak Jermal, yang.. eum.. udahlah. Jadi ngga laper nanti. Hehe..


Alhamdulillah, ternyata 'manta' dalam bahasa lokal berarti mentah. Dinamakan seperi itu karena masakan ini dihidangkan dengan rajangan bumbu dan sayuran segar tanpa direbus atau digoreng. Biasanya sih pake ikan jenis tongkol. 

Setelah dibersihkan, ikan dibakar terlebih dahulu. Namun, ajaibnya saya sama sekali tidak melihat sisa-sisa pembakaran yang menempel di badan ikan. Bersih dan matang dengan sempurna. Sepertinya ada teknik khusus yang digunakan oleh masyarakat lokal dalam membakar ikan. Selanjutnya, tomat, cabai rawit, bawang merah dipotong kasar dan ditaburkan di atas ikan yang telah dibakar. Tak lupa beberapa helai daun kemangi dan perasan jeruk nipis untuk menambah harum dan rasa segar. Luar biasa enak! Saya nambah berkali-kali. Walaupun katanya sudah banyak yang jual di Jawa tapi biarin deh, jangan-jangan saya ngga bisa balik lagi ngerasain masakan Bu Fao. Beda tangan bisa beda rasa juga.

Menu masakan ini juga bisa dimodifikasi menjadi dabu-dabu rica. Baik rica maupun manta, biasanya sih disantap dengan pisang mulut bebek santang ataupun rebusan ubi. Kalo saya tetep pake nasi. Nasi for the win! Hehehe...

Gohu Ikan
Yang ini faporit!! Primadona di hati saya pokoknya! Hehehe... Sesungguhnya gohu ikan ini masakan yang masih mentah. Tapi ngga tau kok bisa ngga anyir yah. Jadi ikan ini memang harus segar dari nelayan dan dimasak saat itu juga. Biasanya sih jenis tuna dan cakalang. Ikan yang baru ditangkap ini segera dibersihkan dan dilumuri garam, kemudian dipotong menjadi seperti dadu-dadu kecil. Berbagai rempah yang wangi dan segar juga turut dilumurkan. Ada bawang merah, perasan jeruk nipis, rajangan cabe rawit, dan pasti daun kemangi. Semua itu disiram dengan sedikit minyak panas. 


Beneran ngga kayak mentah. Tangan saya ngga bisa berhenti ngambil. Huahahaha... Orang asing yang baru bertandang ke Jailolo pasti bilang bahwa gohu ikan ini mirip sashimi. Lah, saya sih nurut aja, ngga pernah makan sashimi sih. :p Anyway, biasanya gohu ikan ini dimakan bareng pisang santang atau roti sagu yang bentuknya mirip roti tawar panggang.


Selamat makan sodara-sodara, teruslah memperkaya lidah dengan khazanah kuliner Indonesia yang beragam. Hehe. Makanan di atas kayaknya minim resiko meningkatkan kolesterol yah? Jadi kayaknya aman nih buat yang suka cenat-cenut setelah makan jerohan. Selain dari homestay Bu Fao, makanan-makanan ini juga kembali dihidangkan dalam acara Horom Sasadu, semacem upacara paska panen gitu. Makan terus 7 hari 7 malem di balai adat! Buat yang mau berencana ke Festival Jailolo bulan Mei mendatang, nitip salam buat Bu Fao yah. Makanlah sampai puas, karena Bu Fao ngga buka franchise sampai Jawa. []


Horom Sasadu saat Festival Teluk Jailolo 2012