Selasa, 11 Desember 2012

Another Long Nite Kasodo



Joko Seger dan Roro Anteng gelisah. Buah hati yang menjadi idaman tak juga datang, meski mereka telah lama menikah. Suatu waktu sejoli ini naik ke puncak Gunung Bromo untuk berdoa kepada Sang Hyang Dewata agar dikarunia keturunan. Kesabaran dan ketulusan mereka rupanya membuahkan hasil. Sang Dewa mengabulkan permintaan dengan syarat saat anak terakhir beranjak dewasa, dia harus dikorbankan ke dalam kawah Bromo.


Dalam perjalanan hidupnya, Joko Seger dan Roro Anteng selalu diselimuti kebahagiaan yang meluap karena mendapatkan banyak keturunan terhitung hingga dua puluh lima anak. Karena perasaan kasih dan sayang terhadap semua anak, pasangan ini lupa akan janji lampaunya pada Sang Dewa.

Dewa pun murka karena merasa dikhianati. Lava dalam perut Bromo menggelegak muncrat. Anak terakhir pasangan Joko Seger dan Roro Anteng diambil paksa lewat lilitan lidah api Bromo. Si Bungsu pun lenyap tertelan kawah. Alkisah, sesaat setelah peristiwa itu terdengar suara si Bungsu dari dalam kawah yang meminta diadakan upacara peringatan setiap bulan Kasada pada pergantian malam ke-14 dan 15. Masyarakat Tengger, yang dipercaya sebagai keturunan Roro Anteng dan Joko Seger, kemudian memperingati kejadian tersebut setiap tahunnya sebagai Yadnya Kasada.

"Betul, memang itu folklore yang kami percayai selama ini," ucap Sutomo, lelaki 53 tahun yang dikenal sebagai dukun di Desa Ngadisari. Dalam tatanan masyarakat Tengger, dukun atau dikenal juga sebagai dukun gede bertugas sebagai rohaniawan yang memimpin prosesi keagamaan, pernikahan dan kematian.

"Banyak yang salah sangka, tapi kami sebagai dukun tidak mengurusi seputar masalah jodoh ataupun pesugihan," Pak Sutomo terkekeh. "Hal seperti itu dilakukan oleh mereka yang disebut dukun cilik di sini," sambungnya.

Sore itu, beberapa jam sebelum dilangsungkan acara puncak Yadnya Kasada, kediaman dukun yang telah menjabat menggantikan ayahanda sejak 2003 ini, disibukkan dengan pembuatan ongkek-ongkek. Sekitar enam orang lelaki, berkutat di antara tumpukan daun, bunga, batang-batang pisang dan gelintiran jagung.

Dilihat dari wujud fisik, ongkek adalah lengkungan. Sedangkan secara filosofis, Ong berarti Dewa seperti Brahma, Wisnu, atau Siwa. Karena itu mantra-mantra Hindu Tengger juga diawali dengan kata Ong. Sedangkan Kek adalah leluhur. Bisa disimpulkan bahwa ongkek adalah persembahan untuk dewa dan para leluhur. ongkek, sebagai sesaji yang mewakili satu desa, disusun melengkung menggunakan bilah bambu dan dirangkai dengan berbagai hasil bumi desa. Setelah selesai, ongkek akan disucikan dan didoakan terlebih dahulu. Pada tengah malam rangkaian sesaji tersebut akan diarak ramai-ramai ke Pura Luhur Poten untuk kemudian dilarung di kawah Bromo.

Pembuatan ongkek seperti di Desa Ngadisari ini adalah prosesi awal dari rangkaian upacara Kasada. Setidaknya ada 41 desa Tengger di Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang yang juga membuat sesaji serupa untuk dilarung. Bila dalam 44 hari sebelum perayaan Kasada ada warga yang meninggal, maka desa tersebut tidak akan membuat ongkek.

Tubuh saya mulai bergetar pelan. Rupanya sore hampir usai dan kabut-kabut mulai turun menyapa. Segera saya berpamitan pada Pak Sutomo untuk kembali ke Cemoro Lawang, desa tempat saya menginap. Ini adalah ketiga kali saya mengikuti prosesi Kasada. Setiap pulang dari Kasada, saya selalu kapok untuk datang kembali. Suhu terendah di Bromo memang berlangsung saat musim kemarau seperti hari ini. Tapi pada tahun berikutnya, begitu bulan Kasada semakin dekat, entah mengapa ada perasaan untuk kembali ke Bromo.

Pada setiap kunjungan, Bromo selalu memberikan kejutan, seakan menunjukkan bahwa dialah yang berkuasa atas alam Tengger. Dua tahun lalu adalah malam Kasada paling cerah yang pernah saya rasakan. Tidak ada kabut menyelimut lembah. Penumbra bulan bahkan terlihat jelas mengiringi langkah-langkah kaki yang berjalan di lautan pasir menuju Pura Luhur Poten. Saya takzim pada suguhan bentangan langit malam itu.

Dibalik deru hardtop, truk ataupun motor warga yang bergerak turun menuju Pura, masih bisa saya dengar lamat-lamat, kidung doa yang mengalun syahdu dari sana. Nyanyian mantra dalam bahasa Jawa Kuna itu memantulkan resonan berupa puja-puja kepada dewata.

Pada akhir 2010 lalu, Bromo sekali lagi menunjukkan kuasanya dengan menyemburkan abu vulkanik hingga setinggi 1000 meter. Erupsi ini menyebabkan hampir seluruh wilayah kecamatan Sukapura tertutup abu. Meskipun berselang setengah tahun ketika saya datang pada Kasada 2011, namun sisa-sisa erupsi masih saja terlihat di sana-sini. Urat-urat Gunung Batok yang semula diselimuti dedaunan hijau, saat itu berubah menjadi monokrom akibat tertutup abu. Kasada tahun 2011 itu hampir menyebabkan saya tersesat di tengah tebalnya kabut pada dini hari saat berjalan menuju Pura. Bahkan mengeluarkan kamera pun menjadi pertimbangan, karena mata pedih dan dada sesak akibat badai pasir. Beberapa kali bau belerang juga mampir di lubang hidung.

Namun, Kasada tetap berlangsung. Truk-truk yang mengangkut masyarakat Tengger terus berdatangan. Mereka menembus kabut meski jarak pandang begitu pendek. Medan menuju kawah pun semakin berat karena lereng-lereng Bromo tertutup tebalnya pasir. "Itu hanya abu, Bromo tidak apa-apa," kata salah seorang lelaki Tengger yang saya temui di Cemoro Lawang. Pada tahap ini saya menyadari, bahwa apapun bisa disuguhkan oleh Sang Dewata penguasa alam Bromo.

Pada 2012, Yadnya Kasada digelar pada tanggal 3-4 Agustus lalu. Karena menganut ilmu penanggalan surya candra (matahari dan bulan) maka upacara Kasada tiap tahunnya selalu mengalami pergeseran. Yang tak pernah luput pada tiap Kasada hanyalah malam bulan purnama.

Ongkek-ongkek dari Desa Ngadisari pimpinan Pak Sutomo dijadwalkan turun ke lautan pasir pada sekitar pukul satu dini hari. Banyak warga dan pengunjung yang telah menunggu sejak pukul dua belas malam untuk ikut dalam rombongan pembawa ongkek. Jangan tanya bagaimana dinginnya Bromo saat itu. Sekedar berbincang dengan teman pun rasanya sangat malas, saking terkonsentrasi untuk memeluk badan sendiri dengan kedua tangan.

Dengan jarak hampir 5 kilometer dari gerbang Bromo, ongkek-ongkek diarak oleh rombongan menuju Pura Luhur Poten. Selama perjalanan, rombongan ini berhenti dua kali yaitu di situs dan petilasan leluhur Tengger yang juga terletak di lautan pasir. Para warga Ngadisari ini berjalan dengan begitu cepat, mungkin untuk mengalihkan hawa dingin. Bagi kami yang awam, level berjalan seperti itu sudah masuk kategori berlari. Dan berlari di bawah langit gelap, di tengah kabut, serta di atas gundukan pasir bukanlah hal yang menyenangkan untuk dilakukan sembari menggigil kedinginan. Tapi jika tidak mengikuti rombongan ongkek-ongkek, siap-siap saja tersesat sampai subuh tiba.

Sehari sebelum malam Kasada berlangsung, beberapa dukun dari total 47 dukun Tengger terlihat sudah duduk anteng di balik ongkek-ongkek dan mulai melayani umatnya di Pura Luhur Poten sedari siang. Mereka ini adalah warga Tengger dari desa yang cukup jauh dari Bromo. Berbagai tandur tuwuh (hasil bumi) di bawa oleh masing-masing warga dalam gendongan kain dan wadah plastik. Sebelum dilarung, masing-masing sesaji tersebut didoakan terlebih dahulu oleh dukun dari desa asal. Tak hanya hasil kebun, beberapa warga tampak membawa seekor ayam dan anak kambing.

Banyak yang mengira bahwa pengambilan air suci di Semeru, Widodaren dan Madakaripura adalah bagian dari upacara Kasada ini. Menurut Pak Sutomo, prosesi tersebut adalah rangkaian acara Pawedalan, atau dalam agama Hindu Bali dikenal sebagai Piodalan, yaitu hari ulang tahun pembangun pura. Jauh sebelum Pura Luhur Poten ada, masyarakat telah merayakan malam Kasada di tempat yang sama.

"Kebetulan hari dibangunnya Pura Luhur Poten tepat sehari sebelum upacara Kasada, makanya Pura pun ramai sembahyangan sejak H-1 Kasada," ujar Pak Sutomo.

Malam Kasada juga disebut sebagai malam penuh ujian bagi calon dukun. Mereka ini yang nanti akan menggantikan dukun sebelumnya ketika sudah meninggal. Atau bisa juga saat diperlukan dukun tambahan di sebuah desa. Setiap dukun yang dilantik seyogyanya merupakan keturunan dari sebelumnya walaupun tidak harus selalu demikian.

Mendekati pukul empat pagi, ongkek-ongkek yang telah didoakan di dalam Pura, kemudian segera dibawa menuju kawah diiringi oleh lantunan alat musik tradisional. Penerangan malam yang begitu minim cukup terbantu oleh warga yang membawa obor. Namun saya sudah tidak bisa membedakan lagi, sedang bersama rombongan dari desa mana. Hingga kini saya masih heran, bagaimana warga Tengger kuat menahan dingin dengan hanya bermodal penghangat berupa sarung saja. Sementara saya harus menggunakan jaket berlapis, lengkap dengan kaos kaki dan sarung tangan juga masker dan syal.

Lagi-lagi, mengikuti rombongan ongkek-ongkek bukanlah hal yang gampang. Apalagi mereka sudah terbiasa dengan medan tanjakan di lereng Bromo, rasanya berjalan cepat pun tak masalah. Tak peduli tua ataupun muda.

Saya kehabisan nafas pada pertengahan jalan dan memutuskan untuk beristirahat sejenak. Pura Luhur Poten sudah cukup jauh di bawah tenggelam dalam halimun. Sementara dari arah Timur sayup-sayup sinar mentari mulai mengirim cahaya jingganya. Terlihat bukan hanya saya yang menikmati momen ini. Sepertinya pengunjung lain juga sudah rindu matahari setelah semalaman berjibaku dengan dinginnya Bromo.

Di bawah tangga Bromo saya bertemu kembali dengan Pak Sutomo yang baru saja turun dari kawah bersama para pengikutnya. Beliau terkekeh melihat nafas saya terengah-engah dan tertinggal rombongan ongkek-ongkek.

Tangga menuju kawah Bromo rupanya belum diperbaiki semenjak termakan panasnya abu vulkanik. Pasir-pasir juga masih saja menutupi bagian undakan. Namun, eksodus masyarakat Tengger yang akan melarung sesaji tetap tak terhenti, tak peduli bagaimana repotnya perjalanan menuju kawah. Bisa dibayangkan sesaknya suasana di atas nanti.

Pemandangan yang sama seperti tahun-tahun lalu kini saya saksikan lagi dari bibir kawah Bromo. Ratusan penangkap sesaji yang berdiri di bagian lereng kawah dengan sigap akan menghentikan setiap lemparan sesaji yang seharusnya meluncur sampai kawah. Mereka hanya berbekal kain sarung yang dibentangkan dan jaring bergagang kayu. Saya seperti menonton acara reality show dengan ekstrimitas tinggi yang menguji adrenalin. Masih tidak masuk akal bagi saya, bagaimana tubuh mereka tahan dingin semalaman berdiri di dekat kawah dengan hanya bermodal lampu minyak. Yang jelas, orang-orang tersebut tak mengidap phobia ketinggian.

Acara larung sesaji oleh warga Tengger berlangsung hingga sore hari. Seiring dengan itu, tangkapan warga penangkap sesaji juga sudah berkarung banyaknya. Warga Tengger lalu kembali ke desa asal untuk melakukan Puja Kasada bersama-sama sebagai tanda mengakhiri malam panjang upacara Kasada tahun ini.[]

PS:
Postingan ini emang ga ada fotonya, demi mengenang foto-foto Kasodo yang hilang entah gimana dan di mana. Ah sudahlah... :((