Kamis, 22 Oktober 2015

Peramu Biru Dari Lambanapu





“Bagaimana bisa harga kain satu juta diminta dua ratus? Padahal ya, begini ini kami membuatnya.” Ngana Ana memasukkan kedua tangannya ke dalam baskom berisi cairan berwarna gelap. Sesekali perempuan paruh baya itu mengaduk-aduk menggunakan batang kayu, sembari tetap berceloteh santai.

“Ibu marah tidak kalau ada yang menawar seperti itu?” tanya saya yang berdiri di balik punggungnya.

“Tidak… tidak marah. Kan mereka tidak tahu. Saya bilang, kalau harga dua ratus ada kain lain, tapi dari benang toko yang warna-warni, bukan benang pintal ini. Ya… biasanya tamu dari kota yang seperti itu,” sambungnya tanpa menjelaskan lebih detil kota mana yang dimaksud. Usai memasukkan gulungan benang terakhir, dia melangkah keluar meninggalkan gudang kecil berdinding seng yang sangat panas dan pengap. Saya mengikutinya seperti anak bebek sambil tak henti mengibaskan tangan karena gerah.

Halaman rumah Ngana Ana sebetulnya rindang. Ada beberapa nyiur kelapa dan pohon-pohon besar di sekitar. Suara gemericik air sungai juga terdengar menyegarkan, karena tak jauh dari sana terdapat sebuah bendungan. Meskipun demikian, tetap saja matahari menyengat tanpa ampun, terlebih saat memasuki musim kering seperti ini di Waingapu.

Ngana Ana mencuci kedua tangan sekenanya saja. Air tinta tadi dibiarkan membekas di kulitnya meninggalkan warna biru dongker. “Tangan saya tidak pernah bersih. Belum sempat luntur yang ini, sudah harus mengerjakan warna lagi,” ujarnya sembari terkekeh memamerkan deretan gigi berwarna oranye khas penikmat sirih pinang.

Kami lantas berjalan beriringan menuju teras depan, tempat di mana alat pintal dan alat tenun tradisional diletakkan. Kawan saya, Rambu Ana, sedang serius mencoba mengoperasikan keduanya. Meskipun lahir dan besar di Waingapu, namun gadis yang berprofesi sebagai polisi hutan itu mengaku tak terlalu mahir menenun.

“Bisa sih, tapi yang kecil-kecil saja, perlu kesabaran untuk membuat hinggi yang lebar,” kata Rambu Ana. Dia pula yang mengantar dan mengenalkan saya pada Ngana Ana, si peramu warna biru.

Beberapa gulungan benang warna biru dan merah 


Mengapa biru? Menurut Rambu Ana, tidak terlalu banyak penenun yang bisa membuat warna biru alami. Di tempat tinggalnya, Kampung Prailiu, kebanyakan hanya membuat benang berwarna merah dan kuning. Bila membutuhkan benang warna biru untuk pesanan kain tenun, maka dia akan berkendara 15 menit ke Lambanapu untuk bertemu Ngana Ana.

Kain tenun Sumba sebetulnya berfungsi sebagai satu set pakaian tradisional. Ada tiara untuk ikat kepala, hinggi kalambung sebagai sarung di pinggang, dan hinggi nduku yang diselempangkan di bahu. Biasanya dikenakan saat acara-acara adat. Karena bernilai ekonomi tinggi dan memiliki makna spiritual, hinggi juga digunakan sebagai mahar pernikahan dan kafan jenazah saat terjadi kematian.

Seperti yang pernah diceritakan Rambu Ana tentang proses pemakaman ayahnya, yaitu Raja Tamu Umbu Ndjaka. Almarhum adalah raja terakhir di Kampung Prailiu yang meninggal tahun 2008 namun baru dikubur tahun berikutnya. Selama jenjang waktu tersebut, jenazah disemayamkan di ruang keluarga dan tak henti didoakan setiap hari. Tubuh Sang Raja diselimuti berlapis-lapis hinggi dan dibalur berbagai ramuan dari kapur dan tembakau agar kondisinya tetap terjaga hingga tiba saat dikuburkan.

Kubur batu seberat 40 ton tempat Raja Tamu Umbu Ndjaka dimakamkan


“Di dalam kubur Ayah, terdapat sekitar 110 kain tenun persembahan dari warga dan kerabat. Mereka memohon agar kain-kain itu ikut dikubur bersama Raja sebagai bentuk penghormatan terakhir,” ujar Rambu Ana.

"Bayangkan kalau kain-kain itu dijadikan rupiah, lumayan banyak juga kan, hahaha…,” kelakarnya. Meskipun berasal dari keluarga kerajaan, namun gadis itu memang doyan bercanda dan bergaul dengan siapapun.

Beberapa kali berkunjung ke Waingapu, saya selalu menyempatkan untuk bertandang ke rumah Rambu Ana. Sekedar menanyakan kabar, atau berbagi cerita-cerita seru, termasuk tentang adat-istiadat kepercayaan Marapu yang dianut oleh masyarakat Sumba. Saat ini memang banyak warga yang menganut agama tertentu, namun Marapu tak lantas hilang begitu saja dari kehidupan mereka.

Prailiu menjadi salah satu kampung raja di Sumba Timur yang sering dikunjungi wisatawan karena letaknya hanya 10 menit berkendara dari pusat kota Waingapu. Tiap daerah di Sumba memiliki motif tenun yang khas. Begitu pula di Prailiu. Paduan warnanya juga tak banyak. Hanya didominasi oleh merah, hitam, kuning, dan biru. Untuk pewarna merah, penenun menggunakan bahan dari akar mengkudu. Sedangkan warna biru, berasal dari tanaman nila yang tumbuh subur di pekarangan Ngana Ana. Ekstrak daun nila ini yang menghasilkan warna biru tua. Tentu saja ada campuran bahan alam lain, tapi saya tak menanyakan lebih lanjut. Feeling saya sih, itu sifatnya rahasia.

Daun nila sebagai bahan dasar pewarna biru


Setelah memintal dan mewarnai benang, proses berikutnya adalah menggambar motif. Canggihnya, leluhur mereka tidak melewati tahap ini. Hanya berbekal perasaan dan langsung menenun benang-benang tersebut menyerupai motif yang diinginkan. Satu lembar kain hinggi yang lebar menjalani proses cukup panjang dan lama, kira-kira 6 bulan sejak kapas-kapas masuk alat pintal.

Menggambar motif kain tenun


Kalau boleh saya sebut, rumah Ngana Ana ini bagaikan one stop weaving center. Selain ditumbuhi tanaman untuk pewarna alami, di sini juga terdapat pohon kapas sebagai bahan dasar benang pintal. Alat-alat tenun juga tersedia. Lengkap sekali! Mungkin Ngana Ana bisa mempertimbangkan untuk membuka kursus tenun hinggi dari nol.

Kapas yang sebagai bahan dasar benang


Belum sempat mengusulkan ide itu, suami Ngana Ana tiba-tiba muncul menghidangkan dua kelapa muda segar baru petik dari pohon di pekarangan. Tak sopan bila menolak niat baik seseorang. Saya dan Rambu Ana segera meneguk air kelapa dengan terburu-buru. Sepertinya kami sama-sama kehausan dipanggang matahari.

Dalam perjalanan pulang kembali ke Prailiu, Rambu Ana sempat mengutarakan keinginan tulus untuk mengembangkan kampungnya menjadi sentra budaya di Sumba khususnya Sumba Timur.

“Saya ingin tenun kami banyak dikenal orang Indonesia dan luar negeri. Tapi pemasaran selalu menjadi kendala. Apalagi harga tenun juga tidak murah bagi sebagian orang. Regenerasi juga penting. Ilmu pewarnaan alami harus diturunkan pada yang muda, agar kualitas tenun Prailiu tetap bertahan.”

Semangat ya, Rambu! 

Hinggi berwarna biru putih dengan motif binatang 


PS:
Postingan ini diikutsertakan dalam kompetisi blog #KainDanPerjalanan yang diselenggarakan Wego. 
Selain itu, postingan ini mengawali cerita-cerita saya selama beberapa kali bolak-balik ke Sumba. Mudah-mudahan rajin menulis lagi yaaa... Amin!