Sabtu, 25 Juni 2011

The Video of Mekare

Oke, akhirnya selesai juga video Mekare ini. Awalnya saya agak males nyelesain karena ternyata footage saya berantakan gitu. Apalagi pada bagian yang paling penting, yaitu Perang Pandan. Bisa dibilang presentase yang nonton jauh lebih banyak daripada peserta upacara adat. Kemungkinan mereka berasal dari desa tetangga, fotografer, reporter dan sebagainya. Dimana dua yang saya sebutkan terakhir pasti sama-sama memiliki keinginan untuk mendapatkan gambar yang terbaik. Which that means, kita harus berdesak-desakan untuk mendapatkan gambar Perang Pandan yang berlangsung dalam sebuah arena lingkaran kecil.

Serunya lagi, banyak fotografer di barisan depan yang sempat ketusuk-tusuk duri pandan juga. Jadi, bingung gitu. Mau maju, ntar ketusuk, mau mundur cuman dapat gambar punggung-punggung orang aja. Namanya juga ‘perang’, kita sebagai orang luar ngga bisa mengendalikan gerak para peserta dong ya…

Sebenarnya kalau mau ambil footage yang lain juga banyak sih. Karena Desa Tenganan ini pun sangat menarik. Penduduknya masih keturunan Bali Aga, jadi masih sangat tradisional gitu. Tapi lah kok saya kebetulan di sana ketemu dengan teman fotografer juga, jadinya malah keasyikan ngobrol ngalor ngidul.

Tapi, daripada file-file rekaman ini mubadzir, ya saya putuskan untuk diselesein juga. Akhirnya saya make beberapa stok foto juga sih buat nambah-nambah, hehe… Oh iya, satu lagi kelemahan saya, yang ngga tau kapan bakal berakhir, SHAKY!! Ah, ngga tau deh! :D

Anyway, dibalik kegalauan saya dengan si iMovie, saya senang bisa menghadiri upacara adat ini. Ekstrim dan seru abis. Apalagi ada prosesi Manyunan yang ngalah-ngalahin wahana di Dufan!! Saya yang nonton aja merinding, berasa jantung saya ikut ketinggalan di atas, ngga tau deh itu mbak-mbak yang pada naik ayunan gimana perasaannya... Uh, kalau saya tinggal di New York, ngga bakalan deh bisa nemu festival macam ini. Maka dari itu saya selalu bersyukur hidup di Asia, yang punya banyak acara kebudayaan keren dan ‘aneh-aneh’. :)

Udah dari taun lalu sih pengen banget nonton Perang Pandan. Dan saya udah ketar-ketir aja takut ngga kesampean kayak kasus Thaipusam di Medan dan Pasola di Sumba. Eh, ternyata, kali ini saya masih jodoh nonton upacara adat ini. Woo yawes, senang!

Yasud, selamat menikmati video apa-adanya ini ya… Maaf kalau terlalu panjang... Semoga bermanfaat menambah pengetahuan kebudayaan Anda, pemirsa :)

Mekare from Dwi Putri on Vimeo.

PS:

Terima kasih Mas Lukman Simbah, Mas Thomas, Mas Andi, Mbak Eka dan Mas BonBon serta Mas Yopi atas tumpangan dan kebaikan selama di Denpasar, Padang Bai, Tenganan, Ubud hingga balik ke Denpasar lagi.

Terima kasih kedua buat Mas Jeri yang merekomendasikan album Bali Relaxation Lounge buat backsound-nya. Really appreciate it!

Terima kasih ketiga buat Ayos, atas Canon-nya. Masyaowoohh kita kok jadi murtad sih!

Ini saya belum nerima award udah kebanyakan ‘terima kasih’ ya… Fufufu… Terima kasih :p

Kamis, 23 Juni 2011

A Mother and the Traveler

Saya lupa menanyakan nama wanita itu ketika perbincangan kami harus benar-benar diakhiri. Saya hanya mengetahui bahwa marga beliau adalah Liem. Entah mengapa, namun obrolan singkat bersama seorang wanita sepuh yang kerap tersenyum ramah itu begitu menghantui pikiran saya selama perjalanan pulang dari Surabaya Town Square. Dari yang saya dengar, usia beliau akan memasuki angka tujuh puluh. Keriput di wajah memang tak bisa berbohong, namun langkah tegap saat berjalanan mampu menipu perkiraan awal saya. Apalagi ketika mengetahui beliau masih aktif menyetir mobil sendiri, bahkan diving di Bunaken. Mungkin pengalaman itu pula yang membuat beliau menggoda saya dengan pertanyaan, “Sudah pernah ke Manado?”

Pertemuan ini terjadi ketika seorang teman mengajak saya untuk kopdar bersama dua orang nomadic, pasangan suami istri Indonesia-Kanada, yang kebetulan sedang pulang kampung di Surabaya beberapa minggu. Namanya Dina dan Ryan. Saat kami datang ke tempat yang ditentukan, tak disangka, ibu Mbak Dina juga berada di situ. Sedangkan Ryan masih berada di lokasi lain.

Kami berempat duduk melingkar mengelilingi sebuah meja bundar. Menit-menit pertama, saya agak canggung karena takut mengganggu acara kangen-kangenan keluarga kecil ini. Tapi dasar kami bertiga memang dilahirkan sebagai blogger cum freak traveler, maka tidak perlu basa-basi dalam waktu lama untuk membangun chemistry perbincangan. Seketika obrolan seru tentang pawang kobra Marrakesh, koteka Wamena, Barcelona, Karibia, Nikaragua, Honduras, buku travel ini, travel blog itu, muncul dan asik melayang-layang di atas meja kecil ini. Sesekali malah sang Ibu turut menimpali dan mendengarkan dengan seksama apa yang kami ributkan. Meskipun saya tidak terlalu percaya dengan teori-kebetulan, tapi ‘kebetulan’ saya dan ibu Mbak Dina memiliki latar belakang pendidikan yang sama persis, sehingga cukup mudah untuk menemukan klik perbincangan.

“Mami ngga bosen kan?” tanya Mbak Dina. Sang Ibu menggeleng sembari tersenyum membuat kerutan di beberapa garis wajahnya semakin tampak jelas.

“Ngga apa-apa, lanjutin saja…”

Sebenarnya ekor mata saya sempat menangkap raut wajah beliau yang sudah mulai mengantuk. Apalagi ketika menantunya, Ryan, akhirnya datang bergabung. Obrolan kami semakin menembus batas atlas saja sepertinya. Karena merasa tidak enak, saya mencoba untuk mengajak beliau berbincang. Apalagi kalau bukan tentang dunia pendidikan farmasi yang pernah sama-sama kami tempuh, hingga akhirnya merapat pada topik traveling juga. Menarik berbicara dengan wanita ini. She’s so open-minded.

Dua putri beliau, termasuk Mbak Dina, sejak tiga tahun lalu telah membuat keputusan besar. Menanggalkan cita-cita sebagai scientist dan beralih menjadi seorang nomadic bersama sang suami, Ryan. Nomadic yang benar-benar nomadic. Tidak memiliki rumah, dan kerap berpindah-pindah negara. Sedangkan putrinya yang lain gemar traveling sejak masih remaja, dan melakukan kegiatan-kegiatan yang cukup ekstrim. Sekarang inipun dia aktif dalam sebuah komunitas hockey underwater. Olah raga yang belum lazim di Indonesia.

“Ketika putri saya meminta izin untuk mendaki gunung, entah mengapa saya tidak bisa mengatakan tidak. Saya yakin orang tuamu pun seperti itu.”

Segera saya amini pernyataan itu. Lalu bayangan kemarahan Bapak saya, November tahun lalu tiba-tiba muncul begitu saja. Ketika kakak saya menggambarkan suasana makan malam di rumah bagaikan The Last Supper. Semua gara-gara saya terpilih menjadi salah satu dari dua puluh fotografer yang dikirim oleh Kementrian Budaya dan Pariwisata untuk terbang ke Flores dalam rangka kampanye Pulau Komodo. Teman-teman dekat semangat memberi ucapan selamat, sementara 200 km dari tempat saya berdiri, sebuah keluarga kecil gempar mendengarnya. Perasaan saya? Uh, jangan tanya. Campur aduk. Itu adalah hari terbahagia sekaligus terburuk bagi saya.

“Mereka tidak tahu, bahwa meski diizinkan, tapi hati kami selalu khawatir. Terutama ketika mereka sedang berada di negara yang susah dihubungi lewat telepon atau jaringan internet. Tapi entah mengapa, kami tetap tidak bisa berkata tidak. Apalagi setelah melihat foto-foto yang mereka bawa. Ketika berada di puncak gunung hingga berada di bawah laut. Duh, rasanya jantung saya ini…” Wanita ini tidak melanjutkan cerita. Hanya menepuk dada kirinya sambil menggeleng kepala. Saya jadi agak salah tingkah dan berharap tidak ada adegan derai air mata di sini.

“Tapi ini pilihan hidup. Dan mereka memilih untuk menjadi seperti sekarang,” sambungnya kemudian. Sesuatu yang mungkin belum 100% dipahami oleh orang tua saya. Dan terus terang, kadang bikin saya desperate.

Lalu sang ibu mengucap syukur mengetahui selama bertahun-tahun, tidak ada hal buruk yang terjadi pada putri-putrinya ketika sedang melakukan perjalanan. Saat berada di negara manapun dengan aktivitas segila apapun. Kutipan klasik para pejalan yaitu God will save the traveler, akhirnya keluar dari mulut saya disusul tawa renyah beliau.

“Kalian bahagia menjadi traveler? Terutama keberanian melepas semua atribut akademis?” tanyanya pelan. Satu hal persamaan saya dengan putrinya adalah kami memang akhirnya menanggalkan profesi masing-masing, dan dengan sangat keras kepala, lebih memilih apalah itu yang dinamakan panggilan hati.

Saya bahagia. Jawab saya kemudian. And I’m sure, putrinya pun akan menjawab demikian. Saya meyakini bahwa tiap pejalan hendaknya memang melepas ‘atribut’ yang menempel. Bepergian dalam keadaan ‘kosong’ semata-mata karena ingin mencari pelajaran baru yang tidak diajarkan di bangku kuliah atau sekolah. Sungguh ini bukan teori saya sendiri, tapi kejadian di lapangan memang seperti itu.

“Ya mungkin saya akan merasakan hal yang sama seperti Tante, ketika menjadi seorang ibu kelak, dan anak saya memutuskan untuk menjadi pejalan.” Bahkan saya separo tidak percaya ketika meluncurkan kata-kata tersebut. Tapi yang jelas, seandainya anak saya nanti pemalas, manja, dan suka main game di kamar, maka kemungkinan besar yang saya lakukan adalah menyetop uang jajan dan berteriak, “Go see the world, kiddo!”

Wanita ini mengangguk-angguk mendengarkan saya mengoceh. Senyum masih tak berhenti mengembang. “Tapi sejak menjadi traveler, anak-anak saya sekarang lebih mandiri. Dan entah mengapa, hubungan kekeluargaan kami semakin erat. Kalau ada masalah, segera sms atau telepon. Saya juga membaca catatan mereka di facebook lho hahaha…"

"Walaupun saya sudah kenyang sering ditanya keponakan-keponakan, sebenarnya untuk apa putri-putri saya bepergian. Apalagi mereka pikir, putri saya menghambur-hamburkan uang.”

Saya mengangguk semangat atas nama persamaan nasib! Lalu saya turut berbagi cerita bahwa traveling bukanlah semata-mata tentang bersenang-senang. Sedihnya, hingga sekarang tidak semua orang memahami hal itu.

“Padahal mereka tidak pernah ke luar negeri menggunakan uang saya sepeser pun. Kebanyakan orang tidak mengerti apa yang sebenarnya mereka lakukan.”

Saya setuju. Kadang ada pikiran yang terlintas dalam benak saya, “ah, sudahlah, tidak penting orang lain mengerti apa yang saya lakukan.” Tapi saya baru menyadari bahwa dampak egoisme tadi akan beralih pada keluarga. Kami hidup di lingkungan yang tidak cuek bebek seperti di kota-kota besar. Berbagai pertanyaan dan perbandingan dari kanan-kiri kerap datang. Dan hal seperti itulah yang kemungkinan besar dialami orang tua saya, termasuk Ibu Mbak Dina. Sejatinya beliau tetaplah seroang ibu yang ketika melihat gambaran keluarga besar hidup menetap berkumpul bersama anak-cucu, maka perasaan cemburu bisa datang dadakan seperti halnya sebuah serangan jantung.

“Saya kepingin sekali punya cucu. Papinya Dina tiap ditanya orang lain, selalu menjawab: cucu saya empat, tapi belum lahir semua. Hahaha…” Saya tidak bisa menahan untuk tidak ikut tertawa. Walaupun sebenarnya agak miris ketika mendengar pengakuan tersebut. Ah, maafkan saya, Tante.

“Suatu hari, putri saya yang tertua mengirim kartu pos dari luar negeri. Dia menulis: Mami, terima kasih sudah melepaskan saya. Kalau ibu saya orang lain, belum tentu saya bisa menjadi seperti sekarang.”

Lalu beliau menyambung tanpa menunggu saya yang sudah terlanjur mendadak speechless itu, “maka, kamu pun harus berterima kasih pada orang tuamu, karena tidak semua orang tua yang mengizinkan anak-anak mereka pergi jauh dari rumah.” []

Minggu, 19 Juni 2011

"Baluran and Me" Sekarang


Hajigurr... membaca judul postingan di side bar kanan blog Baluran and Me membuat jemari saya gatel abis! Saya separo yakin bahwa tulisan ini adalah seputar kondisi kebatinan Mas Swiss yang sekarang murtad! Klik! Dan ternyata benar! Di akhir paragraf, postingan ini ditutup dengan kalimat mesra yang terdengar syahdu merayu istri yang lugu...

"Saya cuma mencoba bermesraan dengan perbedaan. Nikon adalah cinta pertamaku, dan selamanya. Canon adalah istri baru yang berhak untuk diperlakukan dengan adil."

Owyeaah, Mas Swiss! Saya ngakak baca tulisan pendek ini! Huahuahahaa :))

Anyway, sudah cukup lama tidak mengikuti tulisan-tulisan bagus Mas Swiss yang kadang menggelitik dan bikin geregetan itu... Ternyata sekarang blognya dipenuhi dengan foto-foto berbagai makhluk kecil yang terlupakan di Baluran. Beneran, cantik banget!! Padahal dulu kan blog ini isinya per-burung-an aja ya... Sekarang pun dia juga mulai posting photo essay juga. Cieee... mungkin ini pengaruh Mbak Ismi, sang istri yang sama gokilnya kayak Mas Swiss kali ya... :p

Anehnya, membaca beberapa postingan terbaru milik petugas Pengendali Ekosistem Hutan TN Baluran ini, bikin saya tiba-tiba kangen Baluran! Mungkin karena saat itu saya hanya menghabiskan 3 hari, sementara kawasan Taman Nasional ini luasnya 25.000 hektar. Tapi angka segitu termasuk 'sempit' lho, jika dibandingkan dengan Taman Nasional di luar pulau Jawa. Momen paling menyenangkan di Baluran menurut saya adalah pagi hari, setelah subuh. Mungkin banyak yang mengejar sunrise di Pantai Bama. Tapi, saya lebih menyukai sinar fajar yang berkolaborasi cantik dengan savana Bekol, yang sekarang malah ditumbuhi oleh lautan bunga Kapasan Kuning. So dreamy feel :)

Uhm, sebenernya saya sudah menuliskan travelogue tentang kunjungan saya di Baluran pada Februari 2011 lalu... tapi masih 'ditahan' oleh editor sebuah majalah hingga akhir tahun. Kok rasanya ngga etis kalau saya posting sekarang. :|

Yaudahlah ya, silahkan blogwalking ke Baluran and Me, sebuah blog keren diasuh dengan penuh dedikasi dan kasih sayang oleh Mas Swiss Winasis yang bertangan ajaib ketika mengulir lensa, gemar berbagi cerita spooky dan hobi nonton film Korea.

Oh iya, FYI, kayaknya sebentar lagi Taman Nasional Baluran akan menggelar ajang Birdwatching Contest untuk kedua kalinya. Silahkan terus menyimak blog tersebut, siapa tahu Anda berminat. Saya sih ada niat ikutan, hahaa... tapi i'm not a birdwatcher... Boleh ngga sih nyoba ikutan?






Review Perahu Kertas by Hartono Rakiman


Accidentally in love dengan review Perahu Kertas yang ditulis oleh Hartono Rakiman dalam blog Rumah Baca. Dijabarkan secara sederhana tapi kena banget. Tidak menggunakan kata-kata yang susah dicerna, tidak menyebutkan berbagai teori penulisan yang pastinya bikin saya, yang kroco ini, mumet. Simply beautiful gitu.

Contohnya, dia menulis seperti ini, "Kombinasi antara Keenan dan Kugy itu unik, dan pastinya akan menjadi semakin dahsyat jika bersatu dalam senyawa." Wah! Itu penggambaran yang keren menurut saya! Faporit, ah!! Mungkin saya yang berlebihan ya, tapi entahlah, saya ikut merinding saja bacanya. Mungkin menurut orang lain review ini biasa saja, tidak wah, tapi ya justru yang 'biasa dan ringan' ini yang lebih mudah saya pahami dan masuk ke hati. *Apa sih, Puts...*

Hahaaaa... tapi serius, akhir-akhir ini saya emang agak 'mblenger' membaca beberapa tulisan puanjaaang yang susah masuk ke otak saya. Termasuk untuk genre yang mengandung gombalisme ekstrim. Haha! Saya ini memang malas mikir sepertinya...

Dari dulu saya kepingin bikin review Traveler's Tale: Belok Kanan Barcelona yang ditulis Adhitya Mulya dan kawan-kawan. Novel ini udah terbit lama banget sih, 2007 kalau ngga salah, tapi saya masih suka membaca ulang sampai sekarang. Mungkin sudah lebih dari lima kali, haha! Lah wong, hampir tiap saya bepergian naik kereta, saya selalu 'sangu' buku ini. Pengennya sih bikin review simple tapi oke, ngga banyak cingcong, ngga banyak teori, yah seperti yang dilakukan oleh reviewer Perahu Kertas ini. Tapi ngga tau kapan bakal mulai nulis reviewnya... Uhm...

Anyway, dimanakah Perahu Kertas saya berada saat ini?? Terakhir saya mengkhatamkannya tahun lalu di atas Kapal Wahyu Akbar, si Rodeo Boat, yang membawa saya ke Pulau Sapudi. Lalu pas berada di rumah Pak Harto, the Shaman from Sapudi, buku itu dipinjem sama Nuran. Terus balik ke Surabaya, buku itu ditinggal di kosan Ayos. Abis itu, ngga tau deh... semua orang mendadak hilang ingatan, termasuk saya. :|

Jumat, 17 Juni 2011

Random


Ubud, 15 Juni 2011

Bagaimana membentuk pribadi yang rendah hati? Saya selalu terkesan dengan orang-orang yang sudah 'tinggi' karena kerja keras dan dedikasi yang dia lakukan seumur hidup, namun tetap tak enggan untuk berbagi ilmu, terutama pada makhluk kroco macam saya...

Ah, ya saya cuman pingin ngeblog aja sih... Aaanyway, ada kabar apa kalian? Saya baru mencentang satu kolom mimpi, yaitu menyaksikan dan mendokumentasikan Mekare-kare di desa adat Tenganan Bali. Acaranya seru dan ekstrim abis! Pertengahan tahun biasanya memang banjir oleh festival budaya dan upacara adat. Dari Petik Laut di Banyuwangi, festival Lembah Baliem di Papua, tradisi Makepung di Jembrana hingga ruwatan anak gimbal di Candi Arjuna Dieng. Wiw... ternyata PR saya masih banyak yaaa... Tapi lumayanlah, saya cukup senang karena nasib Mekare-kare tidak seperti Thaipusam ataupun Pasola, yang saya lewatkan begitu saja. Uh, time goes fast!! Bulan Agustus ntar tiba-tiba udah Yadna Kasada lagi di Bromo. Puasa pula... Uhhh... Saya masih ingat badan saya kaku, ngga bisa megang kamera saat duduk meringkuk di antara teman-temana di kawah Bromo jam 1 pagi. Haha! Tapi anyway, tulisan tentang Kasada Bromo adalah tulisan faporit saya, yang sangat susah diulang lagi. Uh, kenapa ya? Mungkin dulu nulisnya pake acara kesurupan kali ya....

Yasudah sih itu saja ceracauan saya malam ini. Surabaya lagi dingin. Apalagi Ranu Kumbolo, mak! Besok Master Chef! Yes!

Ciao!

Selasa, 07 Juni 2011

Zsa Zsa Zsu



a bloody gorgeous man pours bloody mary into my glass
he asked me a couple questions of courtesy
and for god’s sake he stunned me
his voice so sweet like the mellow sound of saxophone
I bet he’s good at sex on the phone

she’s a happy maiden liberty, she got no wrong in her life
twist your head to change your point of view,
I give you my deepest condolences
and who the hell is she? real thing in front of me,
oh I just only see, but my heart is agree
and who the hell is she? real thing in front of me,
oh I just only see, perhaps you’ll find your zsa zsa zsu

we are a perfect match, cause we will become a featured cast
I suppose, I suppose, we supposed

This is a cool video from Rock 'N Roll Mafia, and I'm falling in love with the title! Zsa Zsa Zsu! Awalnya sih saya denger lagu ini versi Katjie & Piering. Uhhh... they great too!!! You can read and hear about Katjie & Piering by clicking this site. Uhm, ngomong apa lagi ya... Ah, ya intinya saya lagi suka Zsa Zsa Zsu baik versi elektroniknya RNRM atau penyajian tradisional ala Katjie & Piering. Yah pokokmen Kedua band Bandung ini keren adanya! Silahkan mendengar karya-karya mereka. :)

And copying from urbandictionary.com, zsa zsa zsu is....
Comes from "Sex and the City", where Carrie describes it as the feeling you get when you meet someone you really really like. That sort of lovey, butterflies feeling when you just want to be with someone.
Carrie: I met this new guy Berger, and I just get that zsa zsa zsu.

Kamis, 02 Juni 2011

Gara-Gara Timeline

Euh, kalo mimpi ketemu ‘hantu’ artinya apa sih?

Jadi ceritanya semalem sebelum saya tidur, seperti biasa saya ngecek timeline di twitter. Dan saya menemukan TL saya dipenuhi oleh beberapa twit dari mbak @risa_saraswati. Yap, tau dia kan? Penyanyi indie, dulu vokalisnya Homogenic, tapi sekarang solo gitu. Nah, si dia ini terkenal bisa ngeliat yang ghaib-ghaib gitu. Salah satu lagu favorit saya tuh Story of Peter, nah si Peter ini adalah teman dunia lain Mbak Risa Saraswati. Waduh, kesalahan saya adalah saat iTunes ngga sengaja muter lagu ini pas maghrib-maghrib. Ya bukan ngga sengaja juga sih, lah wong saya random. Pas kebetulan aja gitu… Tapi… haah, berasa aduhai gimana gitu waktu intro lagu ini tiba-tiba keluar. Mak! Langsung pindah next song!! But actually, this is a nice song asal ngga pas surup-surup aja didengernya. Lebih baik lagi kalau ngga tau siapa si Peter itu! Haha!

Nah, beberapa ‘kebiasaan’ Mbak Risa ini adalah ‘mengintip’ foto followernya. Jadi siapa aja boleh mengirimi dia foto, lalu Mbak Risa akan melihat ada siapa saja yang tidak terlihat di foto itu. Dia akan meretwit foto dan berkomentar seperti ini, “Wanita berwajah oriental duduk di kursi putih, baju putih, wajah pucat menatap kamera.” Atau “Dibelakang orang kedua dari sebelah kiri ada mahkluk tinggi kurus sekitar 3 meter entah apa.” Dan sebagai-bagainya... Nah begitulah, akun mbak risa ini lebih bikin maksreng daripada @poconggg yang suka galau karena jomblo itu.

Dalam mimpi saya semalem, saya berada di sebuah rumah tua. Nah, ini mungkin karena pada kenyataannya saya dan teman saya sedang rajin hunting rumah tua yang vakansi abis (WSATCC alert!) untuk disewa. Rumah tua macam Aiola, Cirkel, CCCL, atau yang paling sip (menurut saya) bangunan tua di Johar Semarang yang disulap menjadi sebuah gallery, apa yah namanya, lupa deh. Rumah tua yang murah meriah dan keren dan di tengah kota, ngga jauh dari Imute dan laundry. Well, rumah tua macam itu sebenarnya numpuk. Cuman saya dan temen saya masih ngga ada duit buat nyewa! Ahahaha! Tapi kemiskinan ini ngga mengurangi keinginan kami untuk hunting rumah tua! Yes! Ngga tau diri adalah nama tengah kami. Lewat blog ini saya juga mohon info kalau saja sedang ada rumah tua di Surabaya sedang disewakan ya… Yang di tengah kota ya… Jangan di Perak atau di Rungkut. Kejauhan, men…

Anyway, mari kembali pada mimpi saya semalam. Jadi ceritanya, kami berhasil mendapatkan rumah tua yang diinginkan itu! Yeah! Saya dan beberapa teman mulai melakukan gerakan bersih-bersih rumah. Uhu! Nah, sepertinya sosok saya di dalam mimpi itu selalu bersugesti, “rumah tua selalu identik dengan hantu. oke. waspadalah!"

Bener aja, pas saya ke bagian belakang rumah. Tiba-tiba nongol deh ibu-ibu rambutnya keriting pake daster. Emaaaak!!! Spontan saya lari ngga karuan, nabrak ini itu. Nah, baru tau beberapa menit kemudian, setelah diricek oleh temen-temen saya, ternyata ibu itu bukan hantu, tapi orang beneran, tapi agak ngga waras.

Em. Oke.

Bagian kedua adalah pesta! Ya karena rumah tua sudah didapat, maka kami sepakat melakukan pesta penyambutan. Alih-alih bikin selametan baca Yasin dan bikin jenang, kami para muda-mudi kece ini malah hura-hura, setel musik keras-keras dan ketawa ngakak-ngakak sambil misah-misuh. Terus ngga tau itu gimana mulainya, tiba-tiba ada beberapa temen yang nyelimutin badannya pake kain putih gitu. Dandan kayak pocong tapi mereka ngga lompat-lompat. Mereka nari-nari aja gitu sambil guyonan.

Feeling saya saat itu sangatlah-film-horor sekali, “ntar lagi pasti pocong beneran bakal muncul.”

Dan yeaaaah!! Tiba-tiba di depan pintu ada sosok bapak-bapak yang baru meninggal tadi pagi (ini informasinya kenapa gini saya juga ngga ngerti, terima aja deh ya). Beliau berdiri gitu aja di tengah pintu dengan ekspresi kosong. Badannnya dibalut kain putih dan masih ada kapas yang masih menempel di lubang hidungnya. Hajigurrrrr!!! Saya lari tunggang-langgang keluar dari rumah dan sembunyi di balik mobil.

Abis gitu saya bangun deh!!! Alhamdulillaaaaah… Walopun ending film horror di atas masih ngambang, tapi rasanya saya sudah kapok mantengin twit mbak Risa pas lagi ngintip foto! Bisa kebawa sampe mimpi! Padahal saya udah doa lho sebelum tidur… Walaupun awalnya keliru baca doa akan bepergian keluar rumah sih... Haha! Koplo tenan!

Ah yaudah deh, cukup sekian cerita siang ini. Mari kembali berburu rumah yang vakansi banget!!

The Adik Story

Ceritanya nih, adik sepupu saya, seorang mahasiswa semester muda di UPN Jogja, yang biasa saya panggil Apin, dia lagi ikut tantangan 30 hari menulis. Ih gaya tenan! Entah lagi main sama siapa dia, yang jelas dua hari ini dia mulai rajin bikin note di facebook. Kemarin dia nyeritain tentang pengalamannya digendam pas jaman SD, di mana sebuah sepeda BMX kesayangannya harus melayang tak berbekas, dibawa kabur sama si penghipnotis tadi. Alih-alih prihatin, saya malah ketawa ngakak baca cerita itu. Sumpah, saya ngga tau kalau anak ini pernah jadi korban gendam. Oh how pity…

Note kedua, hari ini, muncul juga. Dia beri judul "Sego Karak". Sengaja saya copas dalam blog ini karena saya juga rindu berat sama Sego Karak!!! Baca note ini pagi-pagi sukses bikin produksi saliva saya bertambah. Apakah kalian tahu apa itu Sego Karak? Kalian yang di Amerika pasti ngga pernah makan the karak rice, rite? Ah, sumpah merugi sekali! The best breakfast in the world!! Well, at least in my world and Apin's world :p

Nah si Apin ini sedari kecil suka menciptakan kata-kata yang tidak dimengerti orang lain. Contohnya nih, ketika dia sangat antusias terhadap sesuatu, dia akan berkata, “Wuuuuhh… Dewoooo!!!!” Kata-kata itu mungkin sudah biasa didengar sekarang ini. Tapi saya sudah mendengar dari mulutnya ketika dia masih di sekolah dasar dulu. Dalam note ini pun ada beberapa kata yang saya ngga ngerti artinya apa. Ah, tapi ya sudahlah ya…

Tulisan dia ini mengandung joke yang jayus bin garing dan terlalu banyak ‘kekekeke’ tapi cukup untuk menyegarkan otak saya yang kering kerontang kena sengatan matahari Surabaya. Masalah tanda baca, ya sudah pasti... sudah pasti ngga karuan! Ini juga kenapa banyak emoticon imut, ini cowok mo jadi mahasiswa unyu-unyu gitu kah? Ini kenapa saya jadi sok ya? Udah kayak yang bisa bikin tulisan bagus aja... :p

Tapi bagaimanapun, dia bisa berkarya kayak gini adalah sesuatu yang bikin saya terharu sampai nangis di pojokan. Masyaowoh, nih anak kan biasanya nge-game mulu... Atau nonton film, atau gelimbungan, atau facebook-an. Sungguh hidupmu sekarang sudah mulai benderang, nak! Proud of you... *apeu*

So, here’s the story:

Hmmm... hari kedua dibulan Juni. Seperti biasa, bingung mau nulis apaan..

(beberapa saat kemudian)

Hei!! Bunyi apa itu?! Bunyi yang bikin badan bergetar... Setelah di telunjuk lebih jauh ternyata.. eh bentar, di telusur yang bener. Setelah ditelusur lebih jauh ternyata... ah, penyakit saya kumat.. Penyakit yang dimana di setiap pagi pasti kambuh.. Kalo udah kambuh, gini deh.. Badan bergetar, keluar bunyi semacam bunyi pintu di rumah kosong yang dibuka.. Kriiieeeekkkkk..

Hei, hei... Jangan khawatir, saya cuman LAPAR!! kekekekekeke..

Sebenarnya serangan lapar di pagi hari seusai bangun tidur bukan timbul dengan sendirinya.. Jadi ini merupakan kebiasaan sedari SD dulu.. (duh, ngomongin SD jadi inget Jalu.. T.T)

Jadi, dulu pas SD, jam 6 pagi selalu setan bai didepan tipi... Ngapain lee? SARAPAAANNN!!! Eh, maksudnya bukan sarapan "ngerikiti" tipi loh yaa.. Sarapan di depan tipi sambil liat kartun... hoho.. Bahagia nya masa kecilku.. #ehh

Nah, beranjak menjadi Mahasiswa setiap pagi juga sama sih... jam 6 selalu setan bai di depan tipi... Ngapain lee? PLONGA PLONGO sambil nahan laper!!! >.<

Ga ada sarapan yang selalu tersedia di atas meja.. T.T

Plaaakkkkk!!! Jadi mahasiswa gak boleh manja!! Mau sarapan? Ya beli dulu!!

Aahh... tapi "Menu Sarapan" di Jogja itu ituu aja... Kalo gak Gudeg (ga suka gudeg T.T), Nasi Kuning, Lontong Opor... Ada sih pecel dan rawon yang enak gila, tapi mahal jeh... huhu.. #mahasiswakere

Jadi kangen masa kecil di Jember.. Kalopun Mama ga masak, tinggal jalan kaki di depan gang. Mau sarapan apa? (Tentunya dengan harga yang murah meriah dan rasa yang maklegender!! XD

Pecel, dengan lauk telur dadar dan semua tetek bengek dunia perpecelan? ADA!

Nasi Kare, dengan telur ayam rebus, ayam nya sendiri, tahu dicampurin jadi satu dibalut kuah kuning? ADA!

Rawon, dengan potongan daging sapi pilihan (udah kayak iklan), potongan kikil yang "klenyer klenyer" dimulut? ADA!

Bubur, dengan siraman kuah santan berisi potongan wortel dan labu siam dipadu dengan Serundeng? ADA!

Lontong Opor, dengan siraman kuah santan berlauk telur pindang petis? ADA!

Ketan Cethol, Cethol berarti cubit. Nah, makan ketan ini emang harus dengan gaya orang mau nyubit. Ditaburi dengan parutan kelapa dan taburan bubuk kedelai yang rasanya bikin merem melek? ADA!

Nasi Kuning, errr.. untuk yang satu ini udah ga ada.. karena yang jual udah ganti jualan Bubur dan Lontong Opor.. kekekeke

Haaaaah.... Bahagia nya masa kecil ku di manja dengan menu sarapan macam itu...

Eh iya, ada yang kelupaan. Menu sarapan special.. Menu sarapan yang bikin kangen.. Kalo ini sih ga beli, tapi Mama yang bikin.. Sego Karak Iwak Asin Tempe Goreng Teri Goreng dan Sambel Terasi.

(bodo amat namanya, yang penting Sego Karak!!). Ah.. Saya kangen Sego Karak buatan Mama... Sego Karak anget dicampur parutan Kelapa.. hiiihhh... Bikin ngefly deh rasanya.. kekeke.. :D

Ah.. jadi kepengen pulang ke Jember... Ma, kepengen sego karak...