Tampilkan postingan dengan label Kalimantan Barat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kalimantan Barat. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 Oktober 2012

From Lokang to Jakarta

"Pusing aku, Put! Belum lagi itu macet dimana-mana!" Bang Herman berceloteh lewat saluran telepon. Nada suaranya benar-benar serius menghujat ibukota republik ini. Saya tak tahan untuk tak terkekeh.

"Orang Jakarta kalau dibawa ke Tanjung Lokang juga pasti bakalan stress, Bang!" ujar saya tak mau kalah. 

"Eh tapi aku sudah ke monas! Hahaha!"

Bang Herman, adalah salah seorang lelaki Dayak Punan Hovongan yang tinggal di Tanjung Lokang, Putussibau, Kalimantan Barat. Berprofesi sebagai bendahara desa, pria beranak dua ini sangat doyan bercanda. Apalagi jika sudah combo berduet dengan sepupunya, Bang Saleh, motorist sampan kami. 

Bang Herman memang tak berpendidikan tinggi, tempat tinggalnya juga jauh di pedalaman hutan dan sungai Kapuas, tapi bukan berarti dia tak melek teknologi. Dengan modal generator mandiri, tiap malam Bang Herman dan keluarganya menikmati hiburan dari negeri tetangga lewat televisi layar datarnya. Saat saya menumpang mandi di kediamannya, kedua anak Bang Herman malah sedang asyik menikmati tayangan K-Pop. Bang Herman juga memiliki sebuah laptop yang tak terlalu ia kuasai. Berada jauh dari keramaian kota, bertempat tinggal di desa yang butuh bersampan dua malam, hingga mandi dan mencuci di sungai, tidak mengindikasikan seseorang itu "tak mampu" secara finansial. Jangan pernah meremehkan. Justru mungkin kekayaan mereka kalau ditotal bisa melebihi pejabat ibukota. Bedanya, mereka yang di Tanjung Lokang hidup sederhana. 

Beberapa minggu lalu, Mas Ian, rekan satu tim saya di ACI Detikcom menelepon mengabarkan bahwa Bang Herman dan kedelapan kawannya sedang berada di Jakarta. 

"Ibunya sakit, Put. Dirujuk dari Pontianak disuruh ke Jakarta. Sekarang dirawat di RSCM. Wah pokoknya seru banget, gue bonceng Bang Herman naik motor, ngebantuin nyari kosan. Satu kamar buat bersembilan!" Mas Ian tertawa geli. Saya lantas membayangkan Bang Herman yang resah gelisah menyusuri jalanan Jakarta dengan motor.

"Tapi gue kasian euy, mereka kan ngga ada sodara di sini. Gue bantu tenaga aja sebisa mungkin. Kemarin gue beliin nasi padang, dan biar seneng dimakan rame-rame gitu ," ujar Mas Ian, yang terkenal sebagai model kolor andalan seantero ACI 2011.

Dibalik keluguan yang diceritakan Mas Ian dan Bang Herman, saya malah sibuk berpikir bagaimana keriwehan sembilan orang bergerak dari Tanjung Lokang menuju Jakarta. Dalam keadaan membawa dua orang yang sakit pula. Menggunakan sampan, menginap di desa Nanga Bungan kala sore menjelang, lalu lanjut bersampan kembali hingga sampai Putussibau. Bersampan di sini tidak sesederhana, naik sampan lalu hidupkan mesin dan susur sungai. Bersampan di Kapuas Hulu, itu artinya kamu harus melewati bebatuan raksasa yang siap menghantam jika tak hati-hati. Lalu kamu harus siap turun dari sampan saat riam panjang menghadang, dan beramai-ramai menarik dan menahan sampan untuk berhasil melewati riam. Dan mereka, penduduk Dayak Hovongan, adalah pejalan sekaligus pelompat paling lihai yang pernah saya lihat. Pantas jika telapak kaki mereka lebar dan tebal. Tubuh pasti menyesuaikan diri dengan alam. 

Suatu hari, kami menuju daerah Data Oped, tempat awal masyarakat Tanjung Lokang bermukim ratusan tahun lalu. Perjalanan bersampan ditempuh tiga jam 'saja'. Riam yang kami lewati lebih panjang, meski tak seganas riam-riam saat menuju Tanjung Lokang dari Nanga Bungan. Seperti biasa, saat ada riam, kami bergegas turun dari sampan dan berjalan di bebatuan tajam di pinggir sungai. Lah kok, saya sok-sok ngga pake sepatu! Alhasil telapak kaki saya lecet. Dan cara jalan saya yang termasuk level lamban, jadinya malah super lamban karena luka tadi. 

"Lamban sekali kalian berdua! Sudah tak usah turun dari sampan lagi kalau ada riam!" ujar Bang Herman pada saya dan Mbak Anty dengan wajah sok serius. Kami meringis minta dimaklumi atas nama gender. Pada riam berikutnya, bapak-bapak Punan Hovongan benar-benar melarang kami turun dari sampan. Saya duduk diam, tegang saat mulai diangkat dan ditarik oleh sekelompok pria berotot. Ah, otot Mas Ian yang buatan gym jadi tak ada apa-apanya di sini. Haha!

Foto diambil saat saya berada di sampan, tidak diizinkan turun :p

Selesai bersandar di Putussibau, perjalanan masih belum usai, Bung! Dilanjutkan dengan angkutan umum, atau sewa mobil untuk menuju Pontianak dengan total perjalanan 17 jam. And we talk about jalanan di Borneo nih ya, jangan disamain dengan Pantura. Jalurnya asoy geboy. Mending nenggak antimo beneran deh sebelum berangkat. Sampai di Pontianak, Bang Herman dan rombongan terbang menuju ibukota, membaur dengan sesaknya Jakarta.

Biasanya saya melihat berita serupa lewat televisi atau media cetak. Tapi karena pernah merasakan sendiri, saya merasa terenyuh dengan perjalanan rombongan dari Tanjung Lokang ini. Sangat panjang dan tidak gampang. Paling tidak untuk orang awam seperti saya. Memikirkan perjalanan mereka saja, saya langsung capek. 

Meski sudah hampir satu tahun perjalanan memorable di Kalimantan Barat, namun Bang Herman dan Bang Saleh masih sering bertukar kabar dengan kami. Tentu saja saat mereka menemukan sinyal telepon di Putussibau, karena hanya ada telepon satelit untuk emergency case di Tanjung Lokang.

Malam ini saya kembali menelepon Bang Herman yang masih juga di Jakarta. Menanyakan kabar sang Ibu dan kerabat lainnya yang masih terbaring di rumah sakit.

"Sudah dioperasi kemarin tanggal 8, Put. Pas sekali kamu telepon, sekalian aku pamit besok pulang ke Lokang...," ujarnya.

"Lho, Ibu Abang sudah betul sehat? Tak apa dibawa pulang besok?" tanya saya, kembali membayangkan perjalanan super panjang dan melelahkan itu.

"Ibu masih di rumah sakit untuk pemulihan. Ada adikku yang kuliah di Jogja yang menemani."

"Ah, sayang sekali aku tidak bisa ke Jakarta ya, Bang, padahal kepingin ketemu lagi, hehe..."

"Iya, memang Surabaya itu jauh ya?"

"Semalam lah, Bang kalau naik kereta..."

"Wah jauh juga... Macam ke Pontianak... Kapan kau ke Lokang lagi?"

"Kalau harga bensin ke sana udah murah, Bang! Hahaha..." 
Belum saya sebut ya, untuk transportasi satu sampan saja memakan hampir dua puluh juta, tidak termasuk biaya pulangnya tuh... Hahaha, edan kan Indonesia! Makanya jangan bayangkan hanya ke Raja Ampat saja rute paling mahal di negeri ini. Masih ada susur sungai raksasa yang bisa bikin kantong kering mendadak. 

"Besok naik apa, Bang ke Kalimantan?" tanya saya kemudian.

"Naik 'spit'!" Spit adalah sebutan mereka untuk sampan. Mungkin serapan dari mesin yang dipakai pada speedboat, yang ditempel pada ekor sampan. Bodohnya, saya percaya saja ucapan Bang Herman, karena dalam pikiran saya mereka akan naik kapal laut.

"Waduh berapa hari, Bang?"

"Ya kenapa kau percaya. Mana ada spit ke Pontianak."

Saya tergelak bodoh. "Jangan kapok ke Jawa ya, Bang..."

"Ah tak maulah aku ke Jakarta lagi, apalagi naik bajaj, pusing!"

Mas Ian, Bang Herman, dan Mbak Anty menggunakan ikat kepala dari daun yang katanya agar tak tersesat di hutan
***

Kamis, 19 Januari 2012

What The Hell Am I Doing Here?


Pernahkah pertanyaan semacam ini muncul ketika kamu traveling ke suatu tempat yang begitu asing? Ini bukan benar-benar umpatan atau semacam penyesalan. No. Kalau saya sendiri sih menganggap kalimat di atas seperti perasaan heran bercampur takjub mungkin ya...


Dulu, sekitar pertengahan 2010, saya dan ketiga teman lelaki saya, sempat melakukan perjalanan spontan ke Pulau Sapudi, salah satu dari 76 pulau kecil di sekitar Madura. Kami menggunakan dua motor dari Surabaya, dan beralih moda transportasi menjadi kapal motor ketika sampai di Sumenep. Dua motor kesayangan dinaikkan pula di atas kapal. 

Pulau Sapudi seperti apa, orang lokalnya seperti apa, saya ngga ada bayangan sama sekali. Perjalanan menggunakan kapal motor itu mungkin masih menjadi pengalaman yang tak terlupakan seumur hidup saya. Saya bahkan sempat menuliskannya sebagai chapter tersendiri dalam e-book When Will You Come Home. Kapal motor tersebut bergerak bagaikan rodeo. Penumpang muntah karena tak tahan mabuk laut, kardus yang semula tersusun rapi jadi berhamburan diombang-ambing ombak, suara mesin mati lalu hidup lagi, ibu-ibu gemuk meneriakkan nama Tuhan, mbak di belakang saya menangis ketakutan. Itu adalah perjalanan 3 jam paling luama dalam hidup saya.

Penumpang masih harus menggunakan jukung kecil untuk benar-benar sampai di daratan. Di pinggir dermaga, saya tertegun sambil melihat motor Supra andalan saya diangkat dari kapal motor , lalu diletakkan di atas jukung. Motor saya bersanding dengan kardus-kardus yang berantakan tadi. Melihat pemandangan ini, saya bertanya dalam hati, "aku ini lagi ngapain sih bisa nyampe sini?" 

Kejadian berikutnya pada saat saya sedang melaksanakan tugas yang menyenangkan sebagai salah satu petualang (amatir) Aku Cinta Indonesia Detikcom Oktober 2011 lalu. Saya dan tim kebagian mengubek-ubek beberapa destinasi di Kalimantan Barat. Ada dua peristiwa yang begitu memorable. 

Pertama, ketika kami turut mengejar buntak. Saat itu kami berada di sebuah desa kecil di Kedungkang, masih dalam wilayah Taman Nasional Danau Sentarum. Desa ini dihuni oleh masyarakat Dayak Iban. Tak banyak sih, hanya tiga atau empat puluh kepala keluarga saja. 

Kami menggunakan speed boat dari Selimbau untuk menuju tempat ini. Saya baru tahu bahwa Danau Sentarum bentuknya menyerupai labirin raksasa! Di tengah danau banyak tumbuh kayu-kayu putat yang bergerombol membentuk semacam hutan kecil. Lika-liku ini menyebabkan tim kami sempat tersesat dua kali. Desa yang kami tuju ternyata terletak di balik hutan kayu putat yang entah di belokan mana saya juga ngga hafal! Semua tikungan tampak sama di mata saya. Air danau yang hitam dan hutan beranting kering. Desa tersebut begitu sepi. Sepiii sekali. Entahlah, aura di sini terasa berbeda dibanding tempat lainnya.

Malam hari, kami diajak untuk turut mengejar buntak oleh penduduk desa. Rupanya ladang jagung dan padi sedang diserang buntak atau biasa saya sebut belalang. Ya, belalang cokelat sebesar jari telunjuk orang dewasa. Penduduk sedang giat menangkap buntak-buntak yang menghabiskan ladang mereka di malam hari. Penasaran, kami pun ikut perburuan ini. Lagi-lagi, kami masuk ke hutan, hanya berbekal senter. Saya lupa bahwa yang dimaksud ladang oleh orang Dayak, pastilah di atas bukit. Oh my… Ironis, saya hanya menggunakan sandal jepit kesayangan yang telah saya pakai sejak 2009 lalu, pasti… beralas super halus. Dan malam itu, tanah begitu licin akibat guyuran hujan. Sempurna. Ketika saya memutuskan untuk melepas sandal, yang ada kaki saya digigit semut api. Ahhh…. mamaaaa…

Saya ingat, saya hampir tak kuat mendaki bukit ini. Nafas begitu tersengal-sengal. Capek perjalanan panjang sebelumnya masih belum mereda. Cahaya-cahaya senter dari penduduk sudah tampak, tapi masih sangat jauh. Itu adalah rombongan yang telah berangkat terlebih dahulu. Suasana ini macam di film-film horor saja. Gelap.

Akhirnya kaki ini sampai juga di ladang yang dimaksud. Saya berusaha berdiri dengan seimbang mengingat ladang ini bentuknya miring karena tepat berada di lereng bukit. Tidak ada tanah datar. Tubuh saya seketika merinding melihat ribuan belalang cokelat asik menggigiti daun-daun jagung. Tak menyisakan apa-apa. Buntak-buntak ini ada kalanya terbang bersamaan, menimbulkan suara yang mirip hujan. Seram. Mual. Karena tadi saya sempat mencicip buntak goreng yang dimasak oleh penduduk.



  
Hujan pelan-pelan merintik. Saya dan tiga teman saya dipersilahkan untuk naik ke sebuah pondok panggung, tempat para petani beristirahat. Sementara penduduk lain tetap memburu buntak. Kegiatan, yang menurut saya, percuma. Kasihan, gara-gara buntak, panen tahun ini pasti kacau. Di dalam pondok yang tampak ringkih itu saya hanya bisa tertegun dan lagi-lagi bertanya, "saya ini lagi ngapain sih?" 

Kenapa saya ngga tidur aja di kosan Surabaya? Haha!

Kejadian kedua adalah bermalam di Data Opet, seperti yang sudah saya sebutkan di postingan super panjang tentang "Mandi". Data Opet bukanlah nama desa. Data Opet adalah sebuah dataran di tengah hutan, di pinggiran Sungai Bulit. Konon, dulunya nenek moyang masyarakat Dayak Punan Hovongan pernah tinggal di sana sebelum bermigrasi ke Tanjung Lokang. Makanya, masih banyak goa (liang) dan situs yang dikeramatkan di sekitaran Data Opet ini. Kami berniat mengunjungi beberapa di antaranya.

Perjalanan dari Tanjung Lokang ke Data Opet memakan waktu 3 jam menggunakan sampan bermesin tempel. Jangan tanyakan soal riam. Itu adalah makanan kami sehari-hari selama di sungai. Adegan sampan ditarik menggunakan tali demi melewati riam? Itu wajib hukumnya! Ya, karena memang ngga ada cara lain. Rombongan kami cukup banyak, karena memang dibutuhkan banyak tenaga untuk melewati riam-riam sungai ini.

Di sini, di Data Opet, di tengah hutan adalah pertama kalinya saya merasakan berkemah. Ya, jaman sekolah dulu saya memang ngga pernah ikut persami dan kawan-kawannya. Pengalaman pertama selalu mendebarkan, begitu pula acara camping ini. 

Saya dan Mbak Anty, travelmate satu tim ACI, menempati sebuah tenda dome. Sayangnya ada satu tenda dome lain yang tertinggal di Tanjung Lokang. Jadilah Mas Ian, travelmate saya juga, tidur di atas dan di bawah alas terpal bersama bapak-bapak penduduk Tanjung Lokang yang menjadi motoris. Apes memang, terlebih hari itu cukup dingin.



Jujur, saya tidak pernah berada di hutan pada malam hari. Ya iyalah, mau ngapain juga gitu ya? Saya sih bukan termasuk orang yang takut gelap. Tapi hutan punya atmosfer lain ya. Gelapnya itu maksimal banget. Bahkan bayangan pohon saja, hanya terlihat samar. 

Hujan mengguyur begitu derasnya, ketika saya hendak terlelap. Mbak Anty sudah tidur. Tapi saya masih terjaga di sampingnya. Hujan ini terasa nikmat. Suara ribut tetesan air yang menghantam bagian atas tenda terdengar menyenangkan. Di balik punggung, saya bahkan bisa merasakan derasnya air yang mengalir. Sebegitu dekatnya tubuh saya dengan hujan ini.  

Ya ampun, what the hell am I doing here? Orang rumah sedang apa ya? Ibu saya ngeri ngga ya kalau tau saya di hutan antah berantah, hanya berlindung di dalam sebuah tenda kecil berwarna biru, tanpa sinyal handphone, tanpa listrik, ngga mandi pula…

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang sering datang secara mendadak. Ketika pada suatu momen, saya terdiam dan mereka ulang apa yang sudah dilalui. Terlebih saat bayangan orang-orang yang jauh tiba-tiba terlintas. Mungkin homesick. Mungkin juga terpana atas apa yang sedang menimpa. Kadang perjalanan memang selalu memiliki bumbu-bumbu yang mengejutkan. Entah itu menyenangkan, atau menyebalkan. Nikmati saja… 

Selasa, 17 Januari 2012

Mandi


"Sudah mandi, Nak?" Pak Hajau masuk ke kamar tempat kami menginap selama di desa Tanjung Lokang. Kamar itu begitu luas, hingga kami bertujuh sepakat tidur bersama-sama dalam satu ruang. Bukan pengiritan, karena harga sewa pondok ini hitungannya per kepala. Jadi ya sama saja. Mungkin kami terlalu kekeluargaan kali ya, sampai tidurpun bareng-bareng, tapi cukuplah membuat suasana menjadi tidak semenyeramkan yang saya kira. Mengingat malam di pondok tak ada aliran listrik, hanya terdengar suara langkah dan lolongan anjing, sesekali angin juga ikut bernyanyi menggerakkan daun-daun dari pepohonan raksasa di depan kamar. 

"Sudah, Pak." Mbak Anty yang menjawab. Masih di balik dekapan sarung dan pangkuan kasur, saya melirik wanita berkaca mata yang asik duduk di samping saya itu. Mata kami kemudian beradu seakan berbicara sesuatu.

"Diem lu," hardik Mbak Anty, yang lantas ikut tertawa cekikikan pelan. Saya tahu dia bohong. Kami sudah mengira pertanyaan seperti itu akan terlontar lagi dari Pak Hajau pagi ini. Yah, kalau bukan Pak Hajau, mungkin putranya yang hobi mbanyol, Bang Saleh, yang ganti bertanya. Pagi dan sore, "sudah mandi atau belum" adalah pertanyaan basa-basi favorit mereka. 

Ini masih terlalu pagi untuk melakukan ritual mandi kala liburan. Entah kebetulan atau bagaimana, setiap pertanyaan itu muncul, kami selalu dalam kondisi belum mandi. Lama-lama malu juga. Jadi Mbak Anty memutuskan untuk melakukan sedikit variasi jawaban pagi ini. 

Setelah pulang dari Kalimantan, saya menyadari bahwa banyak pengalaman mandi yang begitu tak terlupakan. Mandi pada saat perjalanan seminggu di Tanjung Lokang mungkin menjadi yang paling berkesan. Sebenarnya sih, pengalaman beraneka cara mandi ini sudah terjadi sejak awal perjalanan. Hari pertama menginjakkan kaki di Kalimantan Barat, rombongan langsung capcus menuju Singkawang. Kami bermalam di rumah keluarga Bang Bule, salah seorang pendamping Rakata yang rambutnya sepanjang model shampoo itu.

Karena sudah malam, kala itu, saya, Mbak Anty maupun Mas Ian, memutuskan untuk tidak mandi. Hehehe, kami cuci muka, gosok gigi, lalu berganti pakaian seragam kebangsaan untuk tidur. Pagi menjelang, ritual mandi pun mau tak mau datang menghadang.

Saya, adalah yang pertama menuju kamar mandi. Letaknya tak berada di dalam rumah. Harus melewati ladang kecil terlebih dahulu, Saya diantar oleh seorang gadis, yang ah, saya lupa namanya. 

"Kamar mandi kami unik, Kak… Mohon maklum," ujarnya.

"Ah, tak apa," jawab saya jujur. 

Kamar mandi yang dimaksud adalah sebuah ruangan kecil, beralaskan semen, beratapkan langit biru awan putih. Ada sumur, dua baskom besar dan empat dinding berupa bilik bambu. Ada juga sarung tergantung di salah satu sudut. Basah dan lembab. Saya mulai menimba beberapa ember air untuk ditadah dalam baskom. Sebenernya saya pengen ngikutin cara orang-orang yang mandi di sungai, yaitu menggunakan sarung. Mungkin itulah guna ada sebuah sarung coklat kotak-kotak di sana. 

Oke! Begitu saya raih si sarung, ternyata ada seekor kodok coklat besar basah yang melompat dari dalamnya. Kagetnya Masya Allah! Saya ngga jadi pake ritual sarung-sarungan. Buru-buru mandi seperti biasa. Ngga mau ngurusin bakal ada yang ngintip atau ngga. Keberadaan si kodok yang masih nongkrong di dekat sarung, memicu saya untuk segera menuntaskan mandi dan meninggalkan bilik menuju ke rumah kembali.

Perjalanan menuju Tanjung Lokang memang menjadi highlight dalam petualangan tim kami. Sampan bergerak dari Kedamin, Putussibau dikemudikan oleh Bang Saleh dan Pak Hajau. Mereka adalah pasangan ayah dan anak Dayak Punan Hovongan asli Tanjung Lokang yang sangat humoris. Tidak ada bosan-bosannya bercanda dengan Bang Saleh yang sangat lugu ataupun Pak Hajau yang tak pernah terlihat marah. Ya, kami tak pernah bosan, kecuali saat pertanyaan tentang mandi kerap datang.

Tanjung Lokang tidak bisa ditempuh dalam sehari perjalanan. Kami harus menginap terlebih dahulu di Resort Nanga Bungan, milik Taman Nasional Betung Kerihung. Kata "resort" janganlah dibayangkan dengan resort-resort jetset yang ada di Ubud ataupun Seminyak. Resort ini berupa rumah panggung yang sangat amat sederhana. Terletak di tepian Nanga Bungan. Nanga dalam bahasa lokal artinya muara. Saat itu kami memang berada di sebuah persimpangan Sungai Bungan dan Sungai Kapuas. 

Saya memutuskan untuk tidak mandi malam itu. Hanya mencuci muka, gosok gigi, lalu segera tidur. Kami menempati sebuah kamar yang hanya berukuran 3x3 meter. Terasa sangat sempit karena kamar itu ditempati tujuh orang sekaligus. Hahaha!

"Put, lu kok dorong-dorong gue sih dari semalem?" kata Mbak Anty yang menggerutu ketika tubuhnya terus merapat ke Mas Ian.
"Tuh, si Oceng nyerempet mulu!" tuduh saya ke Bang Oceng. Kami memang hanya tidur beralaskan  sleeping bag saja. Ruangan semakin sempit ketika ransel-ransel puluhan liter juga masuk ke dalam. Yah pokoknya, banyak keluhan datang ketika pagi menjelang.
Bang Saleh kemudian masuk kamar, "Selamat pagi semua! Putri, Anty, sudah mandi?"
Aaarrghhh… Baru juga bangun, Bang! 

14 jam terapung di atas sampan, akhirnya kaki ini menginjak juga ke Desa Tanjung Lokang. Ini adalah desa terakhir di sepanjang Sungai Bungan. Di ujung sana, di balik hutan belantara, adalah wilayah Kalimantan bagian Timur. Wisatawan sering melakukan cross borneo dengan melewati rute ini. Perlu digaris bawahi, wisatawan yang saya maksud adalah wisatawan manca negara. Rasanya, ngga perlu saya bahas mengapa orang Indonesia mayoritas lebih suka lintas negara di Asia Tenggara daripada masuk-masuk hutan dan susur sungai raksasa di tanah Borneo seperti ini. Desa ini juga sering kali didatangi oleh researcher yang kebanyakan datang dari benua Eropa. Bisa saya lihat dari daftar tamu ketika mengisi buku tamu di rumah Bang Herman, seorang bendahara desa. 

Desa Tanjung Lokang bukanlah desa tertinggal seperti bayangan orang-orang perkotaan pada umumnya bila melihat sebuah kampung berada di balik belantara hutan. Boleh dikatakan, penduduk desa ini cukup makmur dengan mata pencaharian menambang emas di sepanjang sungai. Masing-masing rumah memiliki generator untuk mengalirkan listrik di malam hari. 

Kami menempati sebuah pondok berupa rumah panggung yang memang sudah disediakan khusus untuk wisatawan yang datang. See, sudah ada menejemen wisata yang cukup baik di sini. Ada sekitar 4 kamar besar yang berjejer di sana. Ada 2 kamar mandi dengan fasilitas yang sangat modern, yaitu toilet duduk. Ah, tapi sayang, tak ada air dan listrik yang mengalir di pondok ini. Percuma saja ada bak mandi dan toilet duduk.

"Bang, mandinya di mana ya?" tanya saya pada Bang Bule.
"Hm… di sungai, Mbak.. Semua penduduk juga mandi di sungai... Kita menyatu dengan alam…," ujarnya sok puitis. Kadang guyonannya garing sih. :p

Setiap kali sampai di sebuah destinasi, hal pertama yang biasa saya lakukan adalah mandi. Tapi mandi kali ini rupanya agak spesial, sehingga membuat saya bingung karena harus melakukan berbagai persiapan. 

Saya dan Mbak Anty akhirnya memutuskan untuk mandi di sebuah sungai kecil di belakang pondok. Sedangkan Mas Ian melangkah ke sungai yang lebih besar di dekat tempat bersandarnya sampan. Hanya ada kami berdua di sana. Sungai ini agak menjorok ke bawah, tertutup sebuah bukit gundul yang disulap menjadi ladang oleh penduduk setempat.

Ini mungkin menjadi proses mandi paling lama yang pernah saya lakukan. Pertama, kami ngga mau melepas baju begitu saja seperti gadis-gadis di sini pada umumnya. Mungkin harusnya kami pinjam sarung untuk dipakai kemben. Ah, tapi toh saya masih tetap akan risih. 

"Yaudahlah, pake baju lengkap aja!" ujar saya akhirnya. Hanya ada satu gayung saat itu. Entah Bang Abdi nemu dimana. Kejernihan air sungai memang ngga perlu diragukan lagi. Tapi mungkin karena tidak terbiasa, saya dan Mbak Anty sangat kerepotan dalam hal ini.

"Eh, Put, lu minggir dulu, deh.. Gua mau pipis.. Lu jangan kesono ya…"
"Eh, kalau pup di mana ya?"
"Ada ikan kecil! Lucu.. Berdua-duaan.."
"Ya ampun, shampoonya hanyuuut, Mbaaak.."
"Aku mo nyuci baju di mana, ya?"
"Nyuci baju di sini aja, Put, kayak di film-film, digeprok-geprok di batu…"
"Eh, sandal gueee..."
"Ada ranjau, Mbaaaak!" Dan kami pun buyar berhamburan ketika 'ranjau' tadi numpang lewat.
"Sial, siapa sih yang lagi boker di sono! Pasti Oceng tuh!" Saya terbahak melihat tingkah laku kami berdua yang sangat katrok abis. Tak seperti teman-teman lelaki kami yang dengan sangat gampang mandi di manapun pada medan seperti apapun.

Entahlah, bersih atau tidak, adegan mandi rempong seperti itu. Saya tidak terlalu puas sih sebenarnya. Tapi yah sudahlah, yang penting sudah ganti baju kering dan bersih. Sementara baju yang kami buat untuk mandi-mandian tadi dijemur di depan pondok. Oh iya, perjalanan di Tanjung Lokang ini juga menjadi rekor dalam hal membawa pakaian ganti. 7 hari di Tanjung Lokang, saya hanya membawa dua kaos bersih, satu celana kain untuk tidur, satu celana kargo untuk jalan, dan sarung. Sarung adalah benda wajib, karena sesungguhnya saya susah tidur tanpa belaian selimut. Semua dipakai bergantian. Kotor, cuci, jemur, pakai, kotor, cuci, jemur, begitu seterusnya. Heheehe, dan saya sangat menikmati proses ini. :D

Dari Tanjung Lokang, kami bergerak menyusur Sungai Bulit lebih dalam. Tak ada desa atau pemukiman lagi. Kami berencana menuju Data Opet, sebuah dataran di tengah hutan yang dulunya adalah kampung nenek moyang penduduk Tanjung Lokang. Selain itu, kami dijadwalkan untuk mengunjungi dua liang (goa) yang begitu dikeramatkan oleh masyarakat Dayak Punan Hovongan. Perjalanan ditempuh menggunakan sampan selama 3 jam. 

Kami berencana menginap semalam di sini. Yak! Pemirsa! Ini adalah camping pertama seumur hidup saya. Langsung di tengah hutan, di pinggir derasnya arus Sungai Bulit. Tentu saja, duet rempong ini, saya dan Mbak Anty plus Mas Ian, memutuskan untuk ngga mandi selama di Data Opet. Pertama sih, saya males mandi di sungai yang sudah berhasil menghanyutkan wajan kami beberapa meter itu. Untungnya kami tidak kehilangan penggorengan andalan saat masak ketika si wajan tersangkut batu. Yak! Sungai Bulit arusnya sangat deras dan warna airnya keruh. Eh tapi toh saya minum air dari di sini juga sih! Hahaha… Ah sudahlah, airnya kan dimasak dulu ya! Iya kan?

Alasan kedua, gila kali ya, di sungai kecil yang arusnya santai-santai aja, kita mandi dengan kerepotan maksimal, apalagi di sungai yang gedenya macem kayak gini. Syukur kalo abis mandi, ngga ada pacet iseng nemplok di kaki. Ah, mending ngga usa mandi deh!



Malam itu, kami berganti pakaian seragam wajib tidur.Ternyata, hutan di malam hari begitu gelap ya... Saya nyaris tidak bisa melihat apa-apa kecuali bayangan pohon. Tenda dome hanya diisi oleh saya dan mbak  Anty. Apes, tenda dome satunya tertinggal di Tanjung Lokang. Jadilah Mas Ian tidur bersama bapak-bapak penduduk yang menjadi motoris kami. Mereka tidur hanya beratapkan terpal. Lebih apes lagi, malam itu hujan mengguyur begitu derasnya. Pasti amat dingin di luar sana.

Saya tidak langsung tidur. Mbak Anty sudah terlelap. Di dalam tenda dome saya begitu menikmati suara siraman air hujan yang bertabrakan dengan kain tenda. Saya bisa merasakan air mengalir dengan deras dari balik punggung saya. Krucuk... krucuk.... Tapi entahlah, saya merasa hujan ini sebenarnya tidak menambah efek seram. Saya justru sangat menikmati. Dan ah, saya rindu mandi, kawan. Pada detik itu pula saya bergumam dalam hati, "what the hell am I doing here?"

Hehehe...

"Mas, kalo orang TN, mandinya di mana?" Keesokan harinya saya iseng bertanya pada Mas Fajar, seorang pegawai Taman Nasional Betung Kerihun yang ikut mengawal perjalanan tim kami.

"Ya, sama, Mbak, di sungai…," ujar lelaki asli Yogyakarta ini.

Hmf… Saya manyun lagi. Saya begitu merindukan mandi yang biasa saya lakukan. Ngga lega mandi di sungai meski airnya jutaan liter lebih banyak daripada sebuah bak di kamar mandi.

"Itu, Bang Herman punya kamar mandi, Mbak…," sambung Mas Fajar kemudian. Mata saya langsung berbinar seperti habis menerima honor tulisan, segera saya menghampiri Bang Herman untuk melakukan konfirmasi.

"Bang Herman, boleh tak, aku dan Mbak Anty numpang mandi di rumah Abang nanti sepulang dari Data Opet?" 

"Boleh saja, silahkan…" 

Ah, Bang Herman baik! Saya langsung berkoar-koar pada Mas Ian, pamer bahwa akhirnya saya dan Mbak Anty bisa mandi dengan leluasa lagi. Hoyeee!! Oh iya, beruntung kami hanya semalam saja di Data Opet. Saya mendadak menderita flu yang cukup berat. Dan kaki saya juga sempet ketempelan pacet. Pacet itu begitu gemuk, asik menyedot darah saya di pergelangan kaki. Seandainya kamu penyedot lemat, Cet, aku biarkan kamu nongkrong di situ. Tsah!

Kami tiba di Tanjung Lokang tepat setelah senja rampung. Saya tak sabar ingin segera ke rumah Bang Herman dan mandi di sana. Meskipun harus gelap-gelapan menyusur jalan kampung danmenyeberang sungai kecil, ah tak apaaaa… Yang penting malam ini saya mandi di kamar mandi!!!

Mbak Anty mendapat giliran pertama untuk mandi. Saya menunggu di serambi depan bersama Bang Herman. Generator mulai dinyalakan, listrik menerangi rumah panggung ini seketika. Kak Kristina, istri Bang Herman baru datang dari sungai di belakang rumah. Pasti habis mandi. Tubuhnya masih dibalut handuk besar putih. Dua anak Bang Herman menonton TV layar datar di ruang tamu. Mereka menyaksikan acara lagu-lagu milik stasiun TV negara tetangga. Tak heran. Semua yang berkaitan dengan negara tetangga memang tampak lebih eksis di tempat ini.

Tak lama setelah Mbak Anty mandi, giliran saya masuk ke kamar mandi. Well, perasaan saya susah digambarkan. Memang berlebihan, tapi rasanya destinasi terindah saat itu adalah kamar mandi. Hahaha… Byar byur byar byur!

Setelah mandi, kami tidak langsung pulang, karena Kak Kristina menyuguhkan kopi hitam dan donat dengan meses warna-warni. Huaaa… Rasanya sudah lama saya ngga makan donat! Ah, sudahlah. Puas ngobrol tentang berbagai hal, kami berpamitan meninggalkan rumah ditemani Bang Saleh karena jalan di sini begitu gelap gulita, yah apalagi harus ada adegan nyebrang sungai segala. 

Di dalam kamar pondok, Mbak Anty lalu berujar, "Put, lu mandi berapa gayung tadi?"
"Hm, banyaklah, Mbak…"
"Haduh, itu airnya uda kotor, Put! Gua cuman mandi tiga gayung kayaknya. Lu ngga ngebau apa-apa tadi di kamar mandi?"
"Nggak.. Aku kan pilek..."
"Oh iya deng! Duh, itu kan air sungai yang disedot ke atas, nah kayaknya udah beberapa hari ngga pernah diutak-atik. Tadi pompa airnya juga ngga nyala, jadi ngga bisa nampung air sungai baru. Air sungai kan isinya macem-macem, Put.. itu tadi baunya kayak air basi… Udah besok kita mandi di sungai belakang aja."

Oke mendengar berbagai penjelasan itu, saya bersyukur sedang flu. Membayangkan banyak bakteri dalam air tadi, seketika saya langsung mengambil obat gosok andalan yaitu minyak kayu putih dan mengusapnya secara random. Bagi saya, minyak kayu putih lebih ajaib daripada antibiotik. :D

Acara mandi selanjut-selanjutnya pun dilakukan di sungai belakang pondok kami tercinta. Lama-lama kami cukup terlatih kok mandi dan buang air di sungai. Di sungai pun kami sering membicarakan banyak hal. Pernah saat itu, jam delapan pagi, kami sudah berada di sungai kesayangan. Sambil santai duduk di bebatuan saya mencuci muka dengan malas. Pagi di sini rasanya terberkati, suara gemericik kali dan curahan oksigen segar yang tak terkontaminasi. 

"Jam segini, temen-temen gue lagi kejebak macet nih di Jakarta..."

Mbak Anty terbahak. Saya juga. Seekor anjing mendekat, mengendus-endus tanah di tepi sungai, bermain-main di sana. Ikan belang oranye-hitam masih berdua-duaan di dekat bebatuan. Di bawah langit yang sama, di atas tanah Indonesia yang sama. Tanjung Lokang dan Jakarta. Ah, rasanya tak usah dibanding-bandingkan. :)

Ketika hari kepulangan meninggalkan Tanjung Lokang tiba, tak henti-hentinya saya berharap untuk segera sampai di Resort Nanga Bungan TN Betung Kerihun. Kamar mandi sudah pasti menjadi sasaran saya. Kami memang harus mampir dan bermalam di sana, untuk beristirahan dari perjalanan di atas sampan yang sangat panjang dan melelahkan. 

Dan benar saja, sesampainya di Resort Nanga Bungan, air dari bukit yang dialirkan ke kamar mandi begitu tumpah ruah. Bahkan kran pun kadang tidak dimatikan, dan dibiarkan saja air alami itu terbuang ke sungai kembali. Saya mandi dengan penuh penghayatan. Tak pernah seumur-umur saya begitu mencintai ritual mandi ini. Rasanya ingin berlama-lama di kamar mandi mengguyur tubuh dengan air yang begitu segar itu. 

Sejak saat itu, di destinasi lain di Kalimantan Barat, saya menjadi orang yang paling rajin mandi. Beberapa hari setelah kembali ke Jawa, Mas Ian dan Mbak Anty sempet bilang bahwa mereka sangat merindukan saat-saat saya ngomel ketika mereka berdua malas mandi. Hehe! Bagaimana pun, setiap perjalanan selalu membawa pelajaran. Bisa mandi dua kali sehari dengan air bersih melimpah plus tembok tertutup adalah aktivitas sederhana yang harus dinikmati dan disyukuri. 

:)

Minggu, 13 November 2011

Telepon di Bandara

Leaving West Borneo

8 November 2011 
Maskapai Singa terbang ternyata lumayan memuaskan hari itu. Tidak menunda jadwal penerbangan. Tepat waktu melandas di Soekarno Hatta dari Bandara Supadio Pontianak. Segera setelah turun dari pesawat dan mengurus lapor transit, saya menyantap semangkuk nasi soto ayam seharga lima puluh ribu rupiah di sebuah restoran. Mahal memang, tak begitu sedap juga rasanya. Tapi apa mau dikata, perut saya sudah melilit minta diberi asupan di dalam bandara. 

Penerbangan lanjutan menuju Surabaya masih pukul delapan malam, tapi saya sudah duduk manis di ruang tunggu sejak dua jam sebelumnya. Sesekali saya menepuk kedua pipi yang mendingin karena suhu ruangan yang cukup rendah. Melihat orang-orang yang seliweran, saya semakin yakin bahwa saya adalah makhluk terdekil di ruang A3 itu. 

"Mah, aku tambah item," ucap saya lewat telepon pada Ibu di Jember.
"Lho kan udah biasa, tiap pulang dari mana-mana selalu tambah item," Ibu saya berujar dengan nada yang sangat wajar. Saya tertawa seketika.
"Mamah takbeliin tas manik-manik bikinan orang Dayak, bisa buat arisan, Ayah aku oleh-olehi peci dari serat kayu," saya berujar sembari memandang tas plastik hitam yang sedari bandara Supadio Pontianak saya tenteng begitu saja. Sengaja tidak saya ikut masukkan dalam bagasi, takut peci Ayah saya rusak, dan manik-manik tas untuk Ibu saya mbrodhol terkena tumpukan barang. 

Sebenarnya saya jarang membelikan buah tangan pada keluarga. Tapi untuk kali ini, saya tidak ingin melupakan perjalanan 20 hari di Kalimantan yang sudah terlewati. Saya ingin mengingatnya kembali dengan memberikan sedikit sentuhan petualangan kemarin di rumah sendiri. Rasa kangen keluarga tiba-tiba menyelinap perlahan. Padahal saya belum tahu kapan bisa pulang ke Jember. 

Tak lama setelah menerima telepon Ibu, sebuah nama terpampang di layar, memanggil-manggil saya. 

"Halo... Bapak..."
"Assalamualaikum... Dimana, nak?"

Logat Bapak Hajau langsung melayangkan badan saya kembali ke Kedamin, Putussibau. Lelaki 59 tahun inilah yang menjadi juru batu sampan kami selama seminggu menyusuri sungai Kapuas, sungai Bungan dan sungai Bulit. Meskipun sudah berumur setengah abad lebih, jangan ragukan kekuatannya menarik sampan kami, melewati berbagai riam yang menggila di sepanjang sungai. Beliau adalah seorang Dayak Punan Hovongan yang lahir dan besar di Tanjung Lokang, sebuah desa terakhir di ujung sungai Bungan, dekat dengan perbatasan Kalimantan Timur. Beliau meninggalkan Tanjung Lokang setelah memeluk agama Islam dan mengikuti putra-putrinya yang membangun keluarga di Putussibau.

"Kalau bukan karena kampung sendiri, rasanya ndak akan saya mudik ke Lokang lagi," begitu ucapan yang pernah saya dengar dari mulut beliau. Dan setelah merasakan sendiri, dua hari perjalanan susur sungai yang saya lewati untuk mencapai desa yang dihuni oleh Dayak Punan Hovongan tersebut, rasanya wajar jika Bapak mengatakan hal tersebut.

"Saya sudah sampai di Jakarta, Pak. Bapak apa kabar?"
"Baik... Bagaimana dengan Anty dan Ian?"
"Kami menggunakan pesawat yang berbeda, Pak, mereka akan tiba di Jakarta sekitar pukul tujuh."
"Oh ya sudah, hati-hati ya, Putri... Besok Bapak kembali ke Tanjung Lokang, mengantarkan tentara."

Saya hanya mampu geleng-geleng kepala, dan menyelipkan pesan semoga sampai dengan selamat. Padahal Bapak masih cidera kaki saat membawa sampan kami kembali ke Putussibau. Lelaki-lelaki di Tanjung Lokang memang 'berbeda'. Telapak kaki mereka lebar dan begitu tebal. Sering kali mereka berjalan melewati bebatuan di pinggir sungai tanpa alas kaki. Padahal, alamakjang, batu-batu itu begitu tajam di kaki saya. Saya pernah mencoba bertelanjang kaki melewati jalanan berbatu di sungai Bulit, dan tidak ingin mengulangi kebodohan itu lagi. 

Jangan mencari lelaki bergelambir lemak di sana. Tubuh mereka hanya berbalut otot-otot keras. Pada suatu sore, Mas Ian dan beberapa teman dari Pontianak diajak bertanding sepak bola melawan lelaki Tanjung Lokang. Tapi 'tim kami' malah kabur perlahan.

"Gila aja tanding ama mereka, kalo badan gua ketubruk badan segede itu, bisa cidera tahunan!" bisik Mas Ian. Saya dan Mbak Anty hanya bisa ngakak dan memaklumi ketakutannya. Mas Ian memang berotot, tapi bikinan gym ibu kota, tidak sealami lelaki Tanjung Lokang. Hahaha. Mungkin satu-satunya lelaki berperut tambun di Tanjung Lokang adalah Mas Fajar, pegawai Taman Nasional Betung Kerihun di Resort Tanjung Lokang yang berasal dari Jogjakarta. Hehehe, no offense, mas :)

Lepas memutuskan telepon dari Bapak Hajau, ganti putra semata wayang beliau menghubungi saya. Bang Saleh begitu kami memanggilnya.

"Halo! Assalamualaikum!" Guru honorer ini menyapa dengan begitu semangat. Bang Saleh adalah motoris sampan kami. Dia sebenarnya juga enggan mudik ke Tanjung Lokang sejak lima tahun terakhir. Tapi pada kesempatan tersebut, Bapak Hajau sendiri yang memintanya langsung untuk menjadi motoris sampan, dan mengantar kami menyusuri sungai selama tujuh hari. 

"Aku mengajar Penjaskes di sekolah dasar," begitu dia pernah berkata di awal perkenalan kami. Ah, tak heran lagi saya. Lelaki Tanjung Lokang memang terbukti selalu bugar! 

Bang Saleh mengatakan dari telepon bahwa dia baru pulang berburu burung untuk dimakan. "Daripada ndak ada lauk."

"Dapat, Bang?" tanya saya.
"Dapat lah! Sepuluh ekor!" teriaknya begitu gembira. "Ini istriku sedang memasaknya."

Keluarga Bapak Hajau dan Bang Saleh menjadi begitu dekat dengan kami. Mungkin karena Bapak menganggap kami, yang masih muda dan lelet ini, seperti anak sendiri. Dan Bang Saleh adalah sosok lelaki yang supel dan begitu humoris. Selama lebih dari seminggu, tidak pernah saya melihat mereka marah. 

"Putri, aku dah bicara sama Anty, aku minta kalian mengajariku membuka internet. Itu kan ada kode-kodenya. Tolong lah aku diajari, agar aku bisa membaca tulisan kalian tentang Tanjung Lokang dan Data Opet di internet..." ujar Bang Saleh. Saya begitu terharu mendengar permintaannya. Inilah yang saya inginkan ketika melakukan perjalanan. Bertemu dengan orang-orang yang bisa mengajari saya banyak hal di luar bangku sekolah atau kuliah. Bang Saleh begitu rendah hati, tidak malu meminta tolong pada yang jauh lebih muda demi menjadi maju. 

Saya masih ingat, Bang Saleh yang begitu cerewet, tampak sangat terpana ketika mendengar Mbak Anty sedang menjelaskan masalah pajak dan inflasi kepada Bang Herman, seorang bendahara desa Tanjung Lokang. 

"Aku diam, karena aku ndak ngerti Anty ngomongin apa. Hahaha...," akunya. Saya memberikan kaos ACI berwarna merah padanya sebagai kenang-kenangan, walaupun ukurannya terlalu kecil, hingga ia akhirnya menghibahkan pada sang istri. 

"Iya, Bang, nanti aku ajari. Nanti Abang bisa lihat wajah Abang ada di internet," ucap saya. 

"Ah, ya begitu bagus, Putri. Oh iya, berapa tiket untuk terbang ke Surabaya dari Pontianak?" tanyanya penasaran.

"Kira-kira delapan ratus ribu, Bang, kenapa? Abang mau ke Jawa?"

"Ah mahal kali! Ke Tanjung Lokang hanya lima ratus ribu dari Putussibau!"

"Ahahahaa... Bohong kau, Bang! Yang betul lima belas juta!"

Lima belas juta memang bukan fiktif. Perjalanan susur sungai memang tidak murah. Makanya saya bersyukur mendapatkan destinasi yang 'mahal', karena entah kapan bisa ke Tanjung Lokang dengan biaya sendiri. Lebih lagi, saya bersyukur masih bisa merasakan kenyamanan sebuah keluarga meskipun bersama orang yang berbicara dengan bahasa dan logat berbeda seperti mereka.

Sebuah pengumuman boarding menghentikan perbincangan saya dengan Bang Saleh sejenak. Saya menyimak dengan seksama. 

Lalu Bang Saleh berkata, "itu suara apa, Putri?"

"Ah, sial, penerbanganku ke Surabaya mundur satu jam, Bang!"