Jumat, 30 April 2010

The Monophones and The Others

Beberapa hari yang lalu, saya ngga sengaja menemukan folder The Monophones di dalam hardisk external saya. Saya jatuh cinta pada pandangan pertama pada nama foldernya, The Monophone – A Voyage to the Velvet Sun. Saya ngga tau itu siapa atau apa. Saya juga sudah lupa siapa yang ngasih folder itu. Yahhh.. hardisk saya itu suka kelayapan kayak yang punya. Pulang-pulang free space-nya sudah berkurang. Well, ternyata folder itu mengandung tujuh lagu. Okelah, saya mulai pasang telinga baik-baik, untuk memutuskan perlu dihapus atau ngga dari hardisk.


Terus terang saya ngga mendengarkan intro, langsung saya skip ke next track. Sepertinya saya terpengaruh temen kosan saya, Rina, yang suka bawel kalau dengerin lagu isinya kebanyakan suara musik daripada suara manusia.


Ketika mendengarkan lagu berjudul Mentari, saya langsung bisa menerka band ini pasti bergenre retro. Menurut saya menjadi lagu pertama dalam suatu album itu kedudukannya sangat penting! Sebagai pembuka, dia harus punya kemampuan menggoda pendengar untuk melanjutkan ke lagu berikutnya. Dan menurut saya, The Monophones melakukannya dengan baik dan benar, hoho... Then, lanjut ke track berikutnya, lagu yang memiliki judul sama dengan album, A Voyage to the Velvet Sun. Waaaw, lagu ini bikin saya menaikkan volume speaker laptop, haha... Lagu ini bikin saya pengen nyanyi juga. Langsung saja saya masuk google, tapi agak susah juga sih nyari liriknya... Dari browsing itu juga saya baru tahu kalau The Monophones ini band indie dari Jogja dan album ini sudah dikeluarkan sekitar tiga tahun lalu, hahaaa... Bel masuk sekolah udah bunyi tapi saya masih selimutan di kasur, wokelah... saya telat!


Begitu dapet liriknya, lagu ini saya repeat terus sampai saya hapal. Hahaaaa... Dan ngga tahu gimana, semakin dibaca, saya semakin inget dengan perjalanan dua sahabat saya yang intelek tingkat tinggi tapi unfortunately masih berprofesi sebagai jobseeker. Walopun udah dilempar kesana kemari, mengikuti berbagai interview dan seperangkat model tes masuk, di dalam dan luar pulau, menghabiskan banyak ongkos, banyak tenaga, yang ngga bisa dipungkiri kadang membuat mereka masuk ke zona saturasi, tapi temen-temen saya ini anti-desperate dan gooo ahead!!


I will wait until the sun won't be shining

I will wait until the earth stop turning

I will wait until the stars gone glimmering

And when has come the time

I'll standing till the end


Memasuki track 4. Volume laptop yang emang lagi keras itu mendadak saya kecilkan. Kaget aja lagu Rain of July itu intronya udah jadul, melas banget lagi. Huhu… Dalam bayangan saya, ada lelaki mirip Rano Karno pas masih gondrong dan langsing, berdiri di tengah derasnya hujan dengan wajah jadul yang suram dan nelangsa, di depan rumah seorang perempuan yang mirip Yessy Gusman. Si (mirip) Yessy cuman bisa ngeliat si (mirip) Rano dari balik jendela dengan tatapan merana. Ya, percintaan mereka ngga disetujuin ama tetangga si (mirip) Yessy. Hm, settingnya itu tanggal 4 Juli aja lah… Kenapa? Karena tanggal 5-nya, saya ulang tahun, jadi cuaca harus cerah. Mwahahaaa… bagus sekali film produksi otak saya. Tapi serius, ini lagu gloomy tapi enak. Yap, enak! Padahal kesan pertama adalah aneh. Tapi begitu mendengarkan lebih lama, saya yakin akan mengulang lagu ini berkali-kali dengan volume max. Hahaa... en I did it. Dengarkan juga versi akustiknya di track terakhir, wiiih… kali ini si (mirip) Rano ngga cuman berdiri nelangsa aja, tapi udah ngesot bawa-bawa silet.


Sejak Naif mengeluarkan lagu Mobil Balap, saya mulai suka sama band, kebanyakan berlabel indie, yang membawakan nada jadul. Walopun saya suka musik retro abad 21, tapi anehnya saya bukan penggemar berat The Beatles, Koes Plus, apalagi Elvis Presley, padahal katanya mereka itu para dewa retro.Tapi jauh dari playlist winamp saya hehe… Saya baru benar-benar mendengarkan The Beatles ketika nonton film Across the Universe.


Baru-baru ini saya juga mendengarkan kompilasi Day to Embrace (yang rilisnya sudah bertahun-tahun lalu juga). Di situ ada sebuah track yang hobi saya puter berulang-ulang, judulnya Ode tentang Kecantikan dari Greats. Nah, band dari Surabaya ini juga bau-bau retro. Tapi beda banget sama si The Monophones. Makanya mendadak saya jadi penasaran, sebenernya ada berapa aliran retro sih di dunia ini??? Apalagi saya juga hobi ngedengerin yang lain kayak The Banery, White Shoes and The Couple Company, Sore, dan band-band lain yang saya kira retro tapi ternyata bukan, atau sebaliknya… Hehe..


Nah, dari situ yang bikin saya ngga paham, sebenernya batas sebuah band disebut retro itu kayak gimana? Apakah penampilan di panggung harus pake celana cutbray, kemeja press bodi, kacamata polisi Amrik, atau yang cewe pake rok sampe di atas pinggang? Atau dari segi sampul album, harus mengusung tema pop art kayak The Monophones ini atau Mesin Waktu-nya Naif? Gimana cara menentukan apakah si band ini retro atau ngga tanpa melihat profilnya di MySpace?


Maka, saya, dengan iseng hati dan kurang kerjaan nanya temen yang cukup kompeten dalam bidang ini, disamping bidang kefarmasian tentu saja hehe… Begini, dia bilang, ngga ada pakem buat sebuah band untuk dibilang retro, cuman ada pattern tertentu yang khas sound retro. Walopun retro itu banyak cabangnya, tapi secara umum, retro tuh ada aliran good boy atau retro pop seperti White Shoes, en sepertinya The Monophones juga kayak masuk ke sini sih. Ada juga bad boy atau retro rock en roll kayak Elvis gitu, di sini sound gitar biasanya lebih ke drive atau grunch. Nah kalo si good boy, biasanya rajin pake nada-nada minor terus dinyanyiin secara lay back.


Apa itu drive?? (Anjie Drive?? Sheila Marcia??) Apa itu grunch?? Apa lagi itu lay back??


Saya lebih bisa merasakan daripada memahami pengertiannya hahaa… intinya saya ngga ngerti kata-kata itu, tapi sesuai instruksi teman saya: bandingin aja Mobil Balap versi Naif dengan versinya The Brandals… Naaah, baru dari situ saya bisa merasakan, oooh grunch tuh kayak gini, oooh pattern-nya rock en roll retro tuh kayak gitu…


*Mwhaahaa, ini sok tahu tingkat tinggi, sodara! Jangan percaya!*


Ada lagi tuh retro swing, hm kalau dari bau-bau namanya, ini pasti jazz jaman dulu. Tapi (kata dia lagi) biasanya tiap band retro malah menamai aliran mereka sendiri. Retro apaaa gitu, retro gloomy, retro keroncong, atau Retro Karno mungkin, hahaaa... Yah itu kalau saya yang bikin band.


Saya pernah baca, Naif sendiri ngga pernah mengkotak-kotakkan musik mereka harus retro, tapi mereka merasa nyaman saja dengan nada seperti itu. Nah, mungkin si ’nada seperti itu’ lah yang keluarnya menjadi sebuah sound vintage. ’Nada seperti itu’ juga yang mungkin dimaksud si temen saya tadi sebagai ’pattern khas’. Widddihhh... saya emang excellent with morality!


Oke, jadi maksud dari postingan ini adalah saya sedang suka The Monophones karena bisa memainkan ’nada seperti itu’. Saya ngga mau tau itu termasuk pop–retro atau swing-retro atau retro yang lain, hehe... Intinya kalau ada lagi lagu yang jatuhnya seperti nada itu, pasti nasibnya akan seperti Rain of July: saya putar berulang-ulang.



Thanks to Gami, teman kuliah saya, seorang vokalis band lokal beraliran rock n roll jadoel, yang jam terbang manggungnya sudah ngga bisa dihitung lagi, padat merayap, eh pernah muncul di Arek TV juga! *ihiiiiiiy, masuk tipi reeek…*

Good luck for ur band, and be hepi in Bandung with ur lovely motorbike, Mbah Koong :)



Selasa, 27 April 2010

Sedikit Tentang Kota Lama

Traveling itu ngga harus ke gunung, ngga harus melihat sunset di pantai, ngga harus melintasi lautan berjam-jam demi menginjakkan kaki di pulau eksotik tak berpenghuni.

Yaaah, saya juga baru nyadar, kalo masih banyak cara untuk traveling tanpa harus jauh-jauh dari rumah. Hoho... yap, akhir-akhir ini, saya punya hobi merhatiin bangunan-bangunan vintage di beberapa kota Ngga banyak sih, cuman tiga kota aja, hehe... Tapi saya berniat mendokumentasikan seluruh bangunan jadul di Indonesia, kemudian menuangkannya dalam tulisan yang super lengkap hohohoo, karena setelah saya lihat-lihat, dari ketiga kota ini saja punya ciri khas dan cerita sendiri, apalagi kalau seluruh Indonesia saya posting ke sini?? Waw... Hahaa... Wawww lagi aaaaaah...

Sementara saya hanya mampu tiga kota dulu, hehe... keterangan super singkat dengan hanya pamer satu foto saja huhu... Kapan-kapan saya tulis lengkap deh dengan gambar yang lebih buanyaak! (yaaah, doakan sayaaa...)

Kotagede, Jogjakarta. Kota tua yang sangat Jawa sekali. Rumah Joglo sampai Masjid Kuno Mataram beserta situ-situs lain kerajaan tersebut, tersedia di kawasan ini.



Johar, Semarang. Kota tua dengan julukan Little Holland. Yang mau ngantor, silahkan, yang mau nyabung ayam, monggo :)


Jalan Gula; Jalan Rajawali; JMP, Surabaya. Kota tua dengan bumbu-bumbu Pecinan.
Parahnya, untuk Surabaya yang sangat saya cintai, dan Jalan Gula yang sangat saya kagumi, saya ngga punya dokumentasi dari kamera sendiri, karena tiga kali saya foto-foto di sana, cuman buat narsis-narsisan saja... hahaa... Yaaah bagaimanapun, dari ajang itu saya jatuh cinta beneran sama kota lama di Surabaya ini. Lain kali saya harus balik lagi, dan berusaha dengan baik dan benar menangkap suasana jadul di sana. Nah, kalau foto yang ini diambil di sebuah gang belakang hotel Ibis, tapi masih kurang berasa pecinannya :(


PS super panjang - cerita Rumah Lama:
Beberapa tahun silam, saya pernah mengantar Ibu ke sebuah laboratorium klinik di Jember untuk tes darah untuk memastikan penyakit yang sedang mengganggu kesehatan beliau. Waktu itu dokter menduga Ibu saya terkena infeksi si Salmonella thyposa. Yap, biasanya saya mengantar Ibu ke lab klinik X yang sudah sangat ternama di mana-mana, tapi malam itu, Ibu saya pingin ke lab klinik lain, dengan alasan agar lebih cepat didapat hasil tesnya.

"Tralisnya masih sama," ujar Ibu ketika memasuki pintu depan lab klinik Z tersebut. Well, well, ternyata lab klinik itu adalah bekas rumah almh. nenek saya, tempat di mana Ibu menghabiskan masa kecilnya, empat puluh sembilan tahun silam. Ngga banyak berubah kata beliau, pintu-pintu besar, ubinnya, ruangannya, tidak banyak yang dibongkar, hanya dindingnya saja yang dipoles lagi.

Berpuluh-puluh tahun yang lalu (dalam setting hitam putih hehe) mungkin Ibu-kecil asik lari-larian sama Om dan Tante, sementara Nenek saya yang jago bahasa Belanda itu, pasti sibuk bikin kue yang lezatnya minta ampun untuk dijual di pasar wohoho...
Masih dalam bangunan yang sama, berpuluh-puluh tahun kemudian, Ibu duduk bersama saya, putrinya yang cantik, menunggu hasil tes darah dari ruangan yang dulunya dibuat usaha percetakan oleh kakek saya. Hahaaa... this is so weird, so magical, so beautiful...


Dear Galileo


Sepanjang sejarah saya dalam menonton trailer film di youtube, Dear Galileo-lah yang paling buaaanyak saya replay, mungkin dua puluh kali lebih... hahaa... yaaah... saya emang freak! So what?? :p

Saya suka merinding ngeliat adegan ketika si mbak jatuh gedubrakan sama kopernya, terus disambung ketawa ngakak kayak orang bego bersama travelmatenya... *yaaah ini merinding yang ngga jelas haha...*

Sayangnya, saya belom sempet nonton film ini, padahal sudah punya sekitar sebulan yang lalu, tapi tertinggal di Surabaya :(

Yasudah, nonton trailernya lagi aja...

Senin, 26 April 2010

Catatan Si Surabaya

Note: tulisan ini pindahan dari fesbuk saya hehe...

Tiba-tiba saya pengen nulis note, halah…
Fasilitas fesbuk ini hanya pernah saya gunakan 3 kali; satu saya gunakan untuk nge-tag tugas pada temen-temen waktu magang di dinas kesehatan, kemudian sekedar copas lirik lagu Disguise, dan lirik lagunya Endah en Rhesa. Untuk copas lirik saja, saya butuh pertimbangan berhari-hari, hahaaa.... Saya males dituduh sedang ini sedang itu sesuai isi si lagu. Saya juga bukan tipikal orang yang mudah menceritakan sesuatu lewat tulisan kecuali ngetik laporan kuliah. Tapi tiba-tiba cling, hari ini saya pengen nulis note....

Well, saya mau nulis apa? Saya juga bingung, saya bukan penulis yang baik, jadi yang baca jangan banyak protes tentang teknik menulis saya yang emang amburadul.
Saya pernah denger, dan saya sukses lupa mengingat denger dari sapa, yang jelas paling gampang itu menulis apa yang lagi happening aja… Sebenernya saat ini saya sedang merasa lapar, tapi ga perlu banget untuk mendiskripsikan suatu bentuk kelaparan anak kos yang memang sudah biasa terjadi.

Kalo gitu, dalam rangka akan segera pindah provinsi selama 2 bulan, saya pengen nulis betapa saya sedang jatuh cinta berat sama Surabaya... hahaaa... Well, itu beneran, serius... Beberapa waktu yang lalu saya berada di Jember selama lebih dari seminggu. Dan berada di rumah selama itu sebenernya jarang terjadi dalam kehidupan perkuliahan saya. Bukaaan, bukan sok sibuk, tapi kalo liburan, biasanya saya ngulang mata kuliah yang dapet jelek, hahaa... memalukan emang! Jadi pas kemarin itu, saya seminggu full sama bapak ibu, makan enak, ga keluar uang, ga perlu cuci baju, cuci piring, dan cuci-cuci yang lainnya. Kegiatan saya cuman makan, tidur, nonton TV, nonton dvd, main ke rumah si ini, si itu... Begitu saja...

Tapi anehnya pada saat saya di rumah, saya merasa super duper kangen Surabaya, dengan kamar kosan saya yang berukuran 3x3 meter, dengan TV saya yang remotenya ada dua dan rusak semua, dengan teh botol sosro dingin yang sering saya beli di toko depan secara kredit, dengan nasi padang depan gang Srikana, dengan mie pangsit tenda biru di Kayoon yang hanya boleh dimakan ketika saya berada dalam keadaan lapar tingkat dewa, dengan boneka ular saya si Bokin, boneka hadiah ulang tahun teman-teman kosan saya... Kenapa ular? Yaaah.... itu karena saya pernah naksir sangat amat lama pada mas kosan depan yang punya peliharaan agak aneh untuk ukuran anak kos; ular. Hwehe....Kenapa saya naksir si mas itu? Karena dari sekian banyak anak kosan di depan kos saya, dia yang paling rajin tarawih di mushola... hahaha, jadi pertanyaannya, mungkinkah waktu itu saya tarawih buat ngeliatin dia tarawih?? Yaowoh, ampuni saya...

Yang jelas saya juga kangen dengan acara rutin anak kosan saya, yaitu gelimbungan. Gelimbungan adalah suatu kegiatan yang dilakukan pada jam 12 malam ke atas di mana para peserta bebas melakukan apa saja dalam satu kamar; ngerjain tugas, nyanyi-nyanyi, ketawa ketiwi, tidur-tiduran, tidur beneran atau bahkan hanya diam saja mendengarkan musik dari earphone melihat si ini dan si itu lagi curhat-curhatan. Paling sering gelimbungan ini diadakan di kamar saya, atau kamar Rina. Sebenernya obsesi saya pengen gelimbungan di kamar Leny, biar kamar dia yang rapi itu jadi berantakan pas kita tinggal, hhahahaa...

Dan yang terpenting, saya kangen sensasi panas-panasan di kosan. Hooo... Surabaya emang punya gaya tersendiri dalam merebus penduduk di daerahnya. Satu lagi, satu lagi, saya kangen kelayapan dan keluyuran di Surabaya, dengan batas waktu yang tak ditentukan. Sesuatu yang tidak bisa saya lakukan ketika di rumah, hahahaaa... Alhamdulillah, bapak kos dan ibu kos saya masih muda nan gaul, jadi maklum kalau anak-anak kosnya suka pulang telat en ngerepotin pembokat.

Karena rasa kangen luar biasa itu, saya nekad minta sumbangan dana kepada Om saya pas kita sedang menghadiri acara pernikahan sodara di Bali, untuk dibelikan tiket pesawat pulang ke Surabaya, tanpa mampir ke Jember. Padahal saya masih ada libur dua minggu sebelum hijrah ke Semarang. Hahahaa... okelah saya emang keponakan tak tahu diri. Dan Om saya yang baik hati dan banyak duit itu (amin!) bersedia memfasilitasi saya dengan ikhlas. Hehee...

Akhirnya jam 9 pagi waktu Bali saya terbang dari Ngurah Rai, dan jam 9 waktu Surabaya saya sudah di dalam taksi menuju kosan di Karang Menur. Perbedaan waktu ini kadang bikin saya bingung en wondering, dimana letak persisnya batas waktu indonesia barat dan indonesia tengah??
Satu jam dari Juanda, dengan ongkos taksi 92 ribu (waw!), saya sampai dengan selamat di kosan. Saya langsung ke lantai atas dan ternyata 2 kamar lain di atas tak berpenghuni, mungkin yang satu sedang kuliah dan yang satu sedang kerja.

Ketika saya masuk kamar, hal yang pertama saya lakukan adalah membongkar tas laptop dan mengeluarkan modem karena ingin segera aplot foto. Nah, ketika saya akan menyalakan laptop itulah, saya baru sadar ada sesuatu menggenang di pojokan lantai, deket printer saya. Omaigaaaaaat, ternyataaaaa... satu botol tinta hitam saya jatuh tergeletak dan byuuuurrr.... menggenangi lantai di bawah meja printer... ooohhh.... padahal di sana tergeletak si Bokin, untungnya dia selamat padahal sedikit saja dia bergeser kulitnya yang lembut berwarna putih (ular putih?) akan ternoda!

Malam harinya, karena saya juga kangen sahabat saya di Gebang Kidul, yap, si Agitha yang Suci, saya mengajak dia jalan ke TP... Mungkin karena kami kurang bersedekah atau terlalu banyak ngomongin orang, pulangnya kami kehujanan dan kebanjiran... pas sekali saya juga ga bawa jas hujan! huwaaaaah kami berteduh di sebuah kantor di daerah Manyar selama lebih dari satu jam. Dan acara 'ngiyup' diisi dengan membicarakan si ini si itu... hahahaa....

Ketika sudah cukup reda, saya memutuskan untuk segera mengantar Githa pulang ke kosannya karena sudah jam setengah 11 malem. Sampai dikosannya, hujan malah mulai merintik lagi, si Githa mengajak saya nginep di kosannya, tapi ngga deh, saya kan ke Surabaya karena kangen kosan. Saya nekad menembus banjir yang cukup menghebohkan itu. Tapi anehnya saya ngga mengeluh apa-apa, cuman banyak-banyak doa biar motor saya ngga ngadat di tengah jalan.

Sampai di kosan jam 11 malem, dengan keadaan basah kuyup. Ternyata acara gelimbungan di kamar Rina sudah dimulai sodaraaaaaaa.... haha, saya segera bersih-bersih diri, dan gabung dengan mereka. Hwhaaaaa..... besoknya saya dan sahabat saya yang super ganteng, Ayos, nonton Endah en Rhesa di Unair waaawww..., Endah en Rhesa is soooo wawww....


Yap, dua hari di Surabaya, kepanasan udah, kebanjiran tinta udah, kebanjiran air hujan udah, kelayapan udah, gelimbungan juga udah.... Saya tambah cinta sama Surabaya ini, dengan segala kekurangan dan kelebihannya yang sukses bikin saya hepi.... Biarin deh saya dibilang lebay pake nulis note ini segala, tapi yes i do... i’m gonna miss you a lot... Bye for a while Surabaya! :)

*290310*

Mendadak Stress di Polder Tawang


Semarang Pesona Asia.
Saya membaca tulisan itu ketika sedang sarapan bubur ayam di Simpang Lima hari Minggu pagi dengan sahabat saya yang datang dari Jogja, Sulih. Kami berdua merasa geli sendiri membacanya. Maaf saja, tapi saya pribadi memang merasa sebutan itu terlalu berlebihan.


Begini ceritanya, pagi-pagi buta kami berdua keluar dari kosan untuk keluyuran ke Kota Lama di Johar yang nama kerennya adalah Outstadt itu. Yap, saya sengaja berangkat setelah subuhan, karena saya sudah pernah ke Johar jam 11 siang, dan hasilnya, saya jadi emosian karena matahari panasnya minta ampun, lalu lintas rame banget, bikin saya ngga nyaman menikmati kota tua.


Yah tentu saja, dengan berpagi-pagi datang ke jalanan berpaving yang konon mirip Little Holland itu, saya bisa bebas jalan kesana kemari. Ngga kepanasan, dan bisa leluasa foto-foto karena lalu lintas masih sepi, terutama di gang sabung ayam! Hahaaa... Sebulan yang lalu saya ke gang itu juga, dan mendadak saya merasa salah masuk. Dimana-mana orang pada sibuk nyabung ayam, hooo... saya jalan secepatnya, karena takut dimasukin kandang juga. Haha... Tapi minggu pagi ini, sabung ayam belum dimulai, mungkin si ayam masih sarapaaan... hihiiihiii sippooo....



Lalu kenapa saya bilang sebutan Semarang Pesona Asia itu berlebihan? Padahal hari itu saya hepi berhasil jalan-jalan di Outstadt tanpa esmosi. Yaaah... Look at this picture!




Salah satu gang di kota lama, dan gang-gang lainnya yang bernasib sama, tergenang rob. Rob adalah banjir yang diakibatkan naiknya air laut. Ketika berdiri di depan rob, kami ditegur oleh seorang ibu dan anak kecil yang melintasi rob dengan memakai sepatu boat. Waw... Amazing... Sepertinya sepatu itu termasuk kebutuhan primer penduduk daerah sini.


“Mbak, jangan lewat situ, licin... nanti kepleset...,” ujar beliau melihat usaha kami mencoba melintasi rob. Maka kami berdua mencoba alternatif gang lain, yang ujung-ujungnya bernasib sama, bahkan lebih parah. Akhirnya kami kembali ke gang awal, dan memilih melintasi rob dengan berjalan timik-timik di pinggiran jalan yang masih bisa terselamatkan dari genangan air. Pake acara manjat-manjat tempat sampah segala, waseeeklaaah... Semoga ngga ada yang liat... Berakhir dengan teriakan ‘hore’ yang jayus ketika kami mendarat di seberang lautan dengan selamat dan alas sandal penuh lumpur. Tolong ngga usah dipertanyakan, kenapa kami harus repot-repot ngelewatin rob yang sungguh kotor itu, karena kami juga ngga tau harus menjawab apa, haha... Ide itu mengalir begitu saja, tanpa ada yang protes, hoho...


Setelah berjalan ngga tau arah sampai kaki gempor, tiba-tiba kami mendengar ‘klakson’ kereta api. Tenaaaang, kami tidak sedang berdiri di tengah rel dan menunggu diseruduk kereta, hoho... Melanjutkan lagi berjalan beberapa meter, saya sudah bisa melihat sebuah polder besar. Yap, ternyata memang kami sudah di dekat Stasiun Tawang. Kami memang ada rencana ke stasiun, untuk melihat jadwal kereta menuju Jogja.




Setelah itu kami duduk santai sambil makan kue leker di depan polder Tawang. Setau saya polder itu dibangun untuk menampung air ketika laut sedang pasang. Walopun gosipnya, stasiun Tawang masih tetap saja sering kebanjiran. Polder ini dilengkapi dengan taman, jogging track, berbagai ayunan, dan pohon-pohon palm serta jejeran lampu-lampu cantik agar polder ini tampak ciamik. Sepertinya juga polder itu dimanfaatkan dengan baik oleh para pencari kutu air. Yah, saya ngga tau sebenernya hewan apa kutu air itu. Saya taunya kutu air itu penyakit jamur di kulit kaki kalau kita sering berada di tempat lembab. Tapi si Bapak bilang, kutu air itu digunakan sebagai makanan ikan cupang. Waktu saya tengok isi baskomnya, saya menemukan jutaan hewan sebesar pasir sibuk berenang-renang membentuk koloni menjadikan isi baskom berpola dan berwarna merah tua dan hijau.




Tipikal kegiatan hari Minggu pagi, banyak anak-anak kecil main bola, ada yang jogging dan bersepeda mengelilingi tepian polder. Dan untuk ukuran hari Minggu, polder ini ngga terlalu ramai layaknya Simpang Lima atau Alun-Alun di Jember. Jadi masih asik lah kalau cuman pengen santai sambil ngeliatin bapak-bapak nyari kutu air.


Nah, sayangnya, saya dan Sulih harus menyaksikan pemandangan super nggilani, yang bikin saya ilfil berat, dan miris ketika membaca spanduk-spanduk promosi wisata bertuliskan Semarang Pesona Asia tadi. Owmaigaaaat, kami berdua ‘terpaksa’ harus menyaksikan orang lagi asik BAB di pojokan polder. Astagaaannagaaa, ya kok ngga sungkaaan gitu??? Banyak orang olah raga, banyak anak kecil main, dan yang terpenting, kenapa pas ada saya dan Sulih?!! Kenapa ngga nanti sore atau besok saja??? Lagian ini tuh polder, bukan kali, bukan WC umum.... Haduuuh.... Mendadak stress, kami berdua langsung cabut jauh-jauh dari sana.


Masalah rob mungkin masih bisa dimaklumi sebagai jalan takdir kota ini yang memang bersebelahan dengan laut, tapi kejadian di polder bener-bener ngga masuk akal dan sangat disayangkan. Yaaaah... semoga ini pertanda kami berdua akan segera mendapatkan rejeki (?) dan semoga Semarang masih bisa membuat semua orang Asia ‘benar-benar terpesona’ tanpa suguhan macam tadi.

Minggu, 25 April 2010

Di Dalam Angkot yang Asik Ngetem

Alkisah, hari Sabtu kemarin saya diajak temen-temen kos ke Lawang Sewu. Yap mungkin ini adalah bangunan Belanda paling spooky di Semarang, tapi kali ini saya ngga pengen menceritakan kisah-kasih para kompeni di balik tiap ruangan seribu pintu itu. Toh di sana saya juga jarang mendengarkan cerita si Mas Sela, guide yang mengantar kita keliling Lawang Sewu. Hehehee… Saya lebih suka nggerecokin temen-temen saya dengan sering bertanya, “Eh, Mas Sela bilang apa tadi???”

Ceritanya, seusai dari Lawang Sewu, saya memisahkan diri dari rombongan. Teman-teman saya masih mau melanjutkan acara karaokean, sedangkan saya harus menjemput seorang sahabat yang datang dari Jogjakarta di terminal Banyumanik. Yap, dari Lawang Sewu saya naik angkot oranye jurusan Karang Ayu. Saya duduk depan di samping pak sopir yang lama banget ngetemnya. Tidak ada penumpang selain saya di situ.

Sopir : “Mbak, rumahnya di Karang Ayu?”

Saya : “Nggak, Pak, cuman mau oper.”

Sopir : “Mau kemana?”
Saya : “Ke Sampangan.”

Sopir : “Kalau mau, saya anter sampe Sampangan deh, Mbak.. Ngga usah nunggu penumpang kayak gini. Yaaa... kasih dua puluh ribu aja, deh... Ngga ada penumpang ini, Mbak...”

Saya : ”Ngga usah, Pak. Saya oper aja.”
Sopir : ”Lima belas deh...”
Saya : ”Ngga usah, Pak...”

Sopir : ”Ganti uang bensin aja deh, Mbak...”

Saya, sambil meringis maksa: ”Ngga usah, Pak... Karang Ayu aja...”
Sopir : ”Ngga ada penumpang ini, Mbak...”

Saya, dengan ngga ikhlas: ”Ya, sabar aja, Pak...”


10 menit, 15 menit… ternyata memang ngga ada penumpang. Si Sopir dengan ngga rela akhirnya melajukan angkot yang cuman berisi saya itu. Hahaaa, lah piyeeee? Masa gara-gara ngga ada penumpang, terus saya yang harus berdosa dan masuk neraka???


Turun di Karang Ayu, lagi-lagi saya menaiki angkot kuning yang lagi ngetem. Kali ini di dalam sudah ada sekitar empat penumpang. Ngga lama setelah saya masuk, muncul dua cowok yang masih berseragam SD. Yang badannya lebih kecil mengintip isi angkot kemudian berbisik-bisik pada temannya yang lebih tinggi.


Sopir: “
Ngopo, Le?” [Ada apa, Nak?]
Anak SD berbadan kecil: “
Ki langsung mangkat ra, Pak? Lek ra langsung, aku ra sido numpak!” [Ini angkotnya langsung berangkat ngga, Pak? Kalo ngga, aku ngga jadi naik]
Sopir: “
Iyo, langsung, bar ngene...” [Iya, langsung, sebentar lagi]

Kedua anak SD itu pun termakan rayuan gombal si Sopir. Mereka, dengan masih asik menyeruput es teh dalam plastik, masuk ke dalam angkot dan duduk pas di depan saya.
Penumpang di dalam angkot dibuat tersenyum geli tapi lega dengan celetukan si anak SD bersuara melengking itu. Rupanya memang angkot ini sudah ngetem bertahun-tahun sebelum saya datang, (bahkan mungkin sebelum Belanda bikin Lawang Sewu) dan penumpang yang semuanya cewe-cewe kecuali anak-anak SD itu, ngga berani negur si Sopir yang berbodi atletis dan berwajah ngga asik itu.

Seorang Ibu berbaju ungu yang duduk di samping saya pun langsung mamujinya, “
Pinter kowe, Le...”
Saya : “Sampun dangu to, Bu?” [Sudah lama ta, Bu?]
Ibu : “Nggih mpun dangu, Mbak… Kok mboten mangkat-mangkat, lah kulo kalah kale cah cilik niki, kendel yo…” [Iya, sudah lama, Mbak… Kok ngga berangkat-berangkat ni angkot… Lah saya kalah sama anak kecil ini, berani ya…]
Si Ibu tersenyum sambil terus memperhatikan si anak kecil yang mendadak jadi selebritis angkot itu.

Ibu : “
Mirip kale yugo kulo, Mbak…” [Si anak itu mirip sama putra saya, Mbak]
Dan si Ibu mulai bercerita dengan bahasa Jawa super halus (dengan suara ekstra pelan) yang untungnya bisa saya denger sedikit-sedikit. Intinya sih, beliau kangen dengan anaknya yang sedang menempuh sekolah dasar di sebuah pondok pesantren. Katanya sudah tiga minggu beliau ngga sempet menjenguk anaknya itu. Dan hari ini rasa kangen berat ingin bersua dengan putra tersayang harus tertunda akibat ulah sopir yang hobi ngetem ini. So, saya sih maklum kalau si Ibu berkali-kali memuja-muji anak kecil kurus itu bak pahlawan sambil terus tersenyum bungah.

Sampai akhirnya si Ibu bertanya pada si anak: ”
Kelas pinten to, Le?” [Kelas berapa kamu, Nak?]
Anak SD berbadan kecil: ”
Gangsal, Bu...” [Lima, Bu...]
Anak SD yang lebih tinggi, langsung menyenggolnya dan berbisik tapi dengan suara keras: ”Heh, awak dewe iki kelas enem!!!” [Heh, kita tuh kelas enam!]


Bwahahahahhaahaa.... saya ngga bisa nahan ketawa mendengar si anak kecil kerempeng itu salah menyebutkan nama kelasnya sendiri. Mendadak saya ingat bertahun-tahun lalu, ketika saya juga masih duduk di bangku sekolah dasar, saya sering lupa
gangsal itu lima atau empat? Sekawan itu empat atau lima? Saya juga sering terbolak-balik antara ingin mengatakan ’mboten’ tapi yang keluar ’sanes’, sebenernya artinya mirip tapi maksudnya beda. Hoho...

Dan saya kaget ketika si Ibu ikutan ketawa heboh, sambil mukul-mukul bahu saya. Saya yakin, beliau tambah kangen sama anaknya melihat gelagat si anak kecil yang sekarang cuman bisa meringis malu-malu itu. Huhu... Saya juga yakin, saya kangen berat sama motor saya di Surabaya. Si Motor nggak akan membiarkan saya dijajah oleh angkot yang kayak ngga punya roda ini.


FYI, si sopir masih melanjutkan acara ngetemnya...

Kamis, 22 April 2010

Ketika Sebuah Blog Harus Bernama

Halo!

Akhirnya saya punya blog, hoho... Beberapa hari ini saya memang lagi kreatif tingkat dewa. Saya kecanduan nulis note, entah untuk sekedar di-save di dokumen atau saya publish ke fesbuk. Pokoknya otak dan jari saya kayak ikutan senam kesegaran jasmani tiap hari. Ada yang selesai sampai akhir, tapi banyak juga yang ngga beres, hehee…


Yap, ternyata bikin blog itu ngga ribet. Tapi yang susah adalah mencari nama blog. Dua jam ini saya melototin laptop sampai mata saya panas, mengklik sana-sini, mencari inspirasi nama yang pas untuk blog saya.

Saya memang pencinta traveling, tapi saya ngga pengen blog saya stuck di situ saja. Jadi saya mereject beberapa alternatif nama blog yang berbau jalan-jalan.

Saya masuk ke folder musik, saya cari musisi-musisi favorit saya seperti Maroon 5, John Mayer, Sixpence None The Richer… tapi semua judul lagu mereka pake bahasa linggis… *hahahaaa ya iyaaalaaah…*


Bukannya saya ngga mau menggunakan bahasa Inggris sebagai nama blog. Tapi saya ngga berani sok-sok-an internasional sementara nanti isi postingan saya mungkin banyak pakai bahasa aneh dan amburadul, yah… walaupun toefl saya bisa dibilang termasuk kategori lumayan, lima ratus sekian puluh sekian… *hwahahaha sombong itu ngga perlu, tapi penting*


Kemudian saya masuk ke folder foto, mencari-cari objek yang menarik yang mungkin bisa dijadikan sebagai nama blog ini. Hampir saja saya menggunakan nama limunsarsaparilla.blogspot.com ketika melihat foto botol limun pas saya mampir di sebuah warung di Kotagede minggu lalu. Hoho... menurut saya nama ini unik, sama uniknya dengan rasa sarsaparilla itu sendiri. Tapi ya kok sepertinya bukan saya banget gitu. Ini lebih cocok dipake kalo saya pengen jadi master kuliner kayak Pak Bondan.


Lalu saya klik folder film. Tapi ngga nemu apa-apa. Parahnya lagi saya masuk ke folder drug designer, which is semua file kuliah saya ada disitu. Mendadak pusing, mual, pengen muntah melihat sejarah panjang seluruh mata kuliah saya selama empat tahun yang punya tagline ‘killing you softly’ itu. Karena ini adalah folder bertegangan tinggi, jadi saya memutuskan keluar dari sana dan asal saja masuk ke folder master.



Ini lagi, saya jadi bingung ngapain saya membaca judul master software yang saya punya. Saya klik saja salah satunya. Dan tipikal semua software, pasti menemukan file notepad dengan nama Read Me.


Waw, tiba-tiba saya jatuh cinta dengan nama file ini. Chemistry pun langsung terbentuk diantara kita berdua *hahahaa*. Walaupun akhirnya saya translet ke bahasa Indonesia menjada ’baca saya’, tapi saya pikir itu ngga cukup. Maka saya tambahi embel-embel ’saja’, di mana nama blog ini menjadi baca-saya-saja. Kesannya emang maksa banget: orang lain harus baca blog ini, ngga boleh mampir ke yang lain. Hwahahaaa.... Iya kalo postingan saya bagus, lah kalo ngga penting?? Ngga apa-apa lah, toh dari lubuk hati yang paling dalam, semua blogger juga pengen tiap postingannya dibaca. Jadi anggap ini merupakan salah satu bentuk kejujuran saja. Sebenernya sih, ngga ada imej yang ingin saya ciptakan dari blog ini. Saya cuma pengen nantinya tulisan-tulisan saya yang biasa saja tapi suka lebai itu, menjadi lebih rapi kalau diposting ke sini.


Yap, ditutup dengan doa dan harapan, semoga blog ini bukan emosi sesaat. Semoga saya rajin bikin tulisan, yang walaupun simpel dan ngga asik, pokoknya harus dibaca dengan ikhlas! Hoho...


Setidaknya, pura-puralah ikhlas kalau ketemu saya....


Oke, hepi reading, guys!


- dpr -