Rabu, 18 April 2012

Another Holi Fest

Setiap tahun sepertinya saya harus posting tentang Holi Fest ya? Hehe, sudah tiga kali ini saya berandai-andai bisa datang ke festival warna di India ini. Meskipun belum tau kapan huhuhu... Yang tahun ini aja sudah lewat bulan kemarin. Hm, anyway makasi mas @kenarrox for sharing this great video. Merinding maksimal! 2500 frame per second, gans! :3

The Spices Expedition


Saya mengenal Alfonso D'albuquerque lewat buku pelajaran Sejarah pada masa Sekolah Dasar. Dia begitu memorable karena nama yang susah dilafalkan dan kerap keluar di lembar ujian. Seorang militer jenius dari Portugis ini, memimpin ekspedisi besar mengarungi Asia sedari awal abad 16. Selepas dari Malaka, Alfonso D'albuquerque rupanya mengendus aroma harum yang bernilai ekonomi tinggi tak jauh dari sana. Ya, rempah-rempah membawa ekspedisinya berlabuh di Maluku. Menorehkan  sejarah awal kedatangan bangsa kolonial di bumi Nusantara.

Fakta ini menyadarkan saya, bahwa ketertarikan orang asing terhadap Indonesia sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Antusiasme mereka kini mungkin tidak dengan cara menjajah. Tapi lihat saja bagaimana mereka begitu giat dan serius mendokumentasikan kekayaan alam budaya Indonesia. Saya lumayan cemburu. Kadang orang asing lebih mengetahui hal-hal kecil yang memiliki nilai histori panjang, daripada orang Indonesia sendiri. 

Menulis tentang rempah mungkin sama halnya belajar sejarah di bangku sekolah. Mungkin ini cara yang menyenangkan dibanding tenggelam dalam tumpukan buku saja. Rasanya mendokumentasikan rempah tidak afdol jika tidak berkunjung langsung ke Maluku. Ya, walaupun saya tidak bisa mengulang sejarah 5 abad lalu dalam potret yang nyata.


Jujur saya tidak tahu mengapa rempah Maluku begitu istimewa. Apa bedanya dengan bumbu-bumbu dapur yang tumbuh di tanah Jawa?  Namun saya rasa, Festival Teluk Jailolo pada Mei mendatang sedikit banyak bisa membantu menjawabnya.  Mengusung tema The Amazing of Golden Spice Islands, festival ini bisa menjadi reminder kejayaan Maluku Utara di masa lalu. Maka membuat dokumentasi tentang rempah adalah alasan sederhana yang mengharuskan saya untuk datang ke Festival Teluk Jailolo 2012. 

Dari informasi yang saya dapat, pengunjung festival akan diajak bertemu petani-petani rempah secara langsung. Ada pula agenda berkunjung ke kebun rempah di Jailolo. Jika saya bisa ke sana, saya tidak akan melewatkan kunjungan ke kebun cengkeh yang wanginya tersohor hingga ke negeri China. Bertandang ke pasar tradisional, bertemu petani di kebun rempah dan bersantap dalam acara adat Horom Sasadu adalah kolaborasi yang sempurna.  Festival akbar ini sepertinya mampu meracik pelajaran Sejarah dengan apik.

Marilah berandai-andai, bahwa saya bisa berkunjung ke Jailolo bulan depan. Saya tentu tidak akan menyia-nyiakan waktu berlalu begitu cepat. Lukisan alam Indonesia Timur terkenal memiliki daya hipnosis yang kuat. Ah, sungguh saya masih asing dengan berbagai nama pulau-pulau kecil di Halmahera Barat sana. Berburu sunset dan sunrise sudah wajib hukumnya. Saya yakin tak akan susah mencari pantai yang indah di Jailolo. Pantai Tanjung Arugati yang memiliki air panas alami di Desa Bobo juga salah satu tujuan saya. Kurang lengkap rasanya jika tidak menjajal bawah laut Jailolo. Maka Pastufiri bisa menjadi alternatif karena tak perlu menyelam terlalu dalam untuk melihat biota laut di perairan pulau kecil ini. Kalau memungkinkan, saya juga ingin island hopping ke Tidore.

Tubuh saya memang termasuk kategori melar. Tapi selama saya di Jailolo, saya tidak akan terlalu peduli. Bagaimana mungkin saya menolak jejeran kuliner khas pulau rempah ini. Nasi jaha yang dibakar di dalam celah bambu, ikan dabu-dabu manta yang bertabur potongan kasar tomat dan bawang, pisang mulut bebek sebagai cemilan penunda lapar. Oh, dan masih ada papeda! Untuk pertama kalinya, saya harus mencicip kuliner klasik yang mirip lem ini dalam campuran sup ikan! Yummy!  

Katakanlah saya memiliki kesempatan seminggu di Jailolo bertepatan dengan berlangsungnya festival, maka ini agenda saya:

13 Mei 2012 
Tiba di Ternate, sebaiknya saya segera menuju Pelabuhan Dufa-Dufa untuk menyebrang menuju Teluk Jailolo. Selesai mengurus perihal penginapan, saya akan mulai melakukan pendekatan ke penduduk setempat. Mencari tahu tentang keberadaan pasar tradisional, pasar ikan, kegiatan warga lokal, pantai yang bagus, dan warung kuliner yang memuaskan. Hari pertama memang sudah seharusnya saya berkenalan dengan lingkungan yang baru. 

14 Mei 2012
Memulai ritual pagi dengan berkunjung di dermaga Teluk Jailolo. Bersantai dan menanti matahari terbit di balik bukit. Pas sekali karena pukul 7 pagi akan diadakan Lomba Sapu Laut di sini. Saya harus turut serta dan berkenalan dengan wisatawan lain. Lewat tengah hari, saya akan standby di tempat berlangsungnya Pembukaan Festival Teluk Jailolo. Petinggi Halmahera Barat dan kesultanan Jailolo dijadwalkan ikut hadir. Acara ini pasti menarik karena pembukaan dilangsungkan sesuai adat yang berlaku di Jailolo. 

15 Mei 2012 
Saya perkirakan sudah banyak diver yang berjejeran di Teluk Jailolo hari ini. Agenda Fun Diving akan digelar seharian. Meskipun saya tidak punya ijin sertifikasi menyelam, tapi semoga masih ada kesempatan untuk sekedar snorkeling. Saya sih yakin, perairan Jailolo masih sangat jernih. Cukup berenang di permukaan pasti tak akan mengecewakan. 

16 Mei 2012
Hari ini tidak ada acara khusus yang diagendakan oleh panitia festival. Maka saya akan memulai perjalanan dengan berkunjung ke pasar ikan. Konon, banyak ikan-ikan di Maluku yang tidak terdapat di perairan lainnya. Sebelum siang terlalu memanas, saya akan mencari ojek untuk mengantar ke pantai-pantai andalan Jailolo, seperti Saria dan Disa. Saya juga berharap bisa ke Marimbati. Pantai ini memiliki garis pantai terpanjang di Halmahera Barat. Sebaiknya saya membeli nasi kuning untuk bekal makan siang. Yap, hari ini adalah hari pantai. Dan semoga abang ojek yang mengantar saya punya banyak rekomendasi tempat bagus.

17 Mei 2012
Here we go! Siang hari setelah bermain-main di sekitar pasar tradisional, saya akan mengunjungi pameran rempah-rempah yang diadakan oleh panitia Festival Teluk Jailolo. Akan menyenangkan kalau saya bisa berkenalan dengan para petani dan mencari tahu lebih banyak tentang istimewanya rempah Maluku Utara. Hari itu pula saya akan ikut upacara bersih laut di Pantai Bobo hingga ke Pulau Buabua, salah satu pulau tak berpenghuni di dekat Jailolo. Yang perlu diingat agenda hari ini adalah mengosongkan perut demi menyantap ikan bakar! Panitia sudah merencanakan ajang bakar-bakar ikan paling meriah. 10 ton aneka rupa ikan segar, yang bahkan belum pernah saya temui di Jawa, akan dijajakan ramai-ramai dalam Festival Ikan Bakar. Saya mau bumbu yang pedas!

18 Mei 2012
Hari ini saya siap untuk melakukan spice trip! Semoga saja panitia menyediakan akomodasi menuju salah satu perkebunan rempah seperti cengkeh dan pala, rempah yang punya efek sedatif alias ngantuk. Kalau tidak ada pun, saya akan mencari kenalan untuk bersama-sama mencari perkebunan rempah terdekat. Well, yang jelas, saya tidak akan melewatkan Horom Sasadu! Eat like local people! Menikmati jejeran makanan khas dalam sebuah rumah adat dengan tidak meninggalkan ritual bersama masyarakat lokal. Oh, I just can't wait! Kalau tidak terkantuk-kantuk karena kekenyangan, maka menjelang sore saya ke dermaga saja, menikmati warna pergantian langit dan suara laut.

19 Mei 2012
Dan inilah hari terakhir saya berada di Jailolo. Pagi hari saya akan sibuk dalam Spice Parade, bercengkerama dengan para petani rempah yang kabarnya akan menggunakan pakaian-pakaian adat. Tak hanya rempah yang mereka pamerkan, jajanan tradisional pun siap disuguhkan. Uh mantap! Kunjungan ke Jailolo ini sudah pasti tidak akan membuat saya kelaparan barang semenit saja. Sepulang dari Jailolo nanti, PR saya hanya satu, yaitu berolahraga lebih keras demi membakar lemak-lemak yang menggelembung! 

Bisa dipastikan hari ini Jailolo pasti akan riuh! Cabaret on The Sea yang ditunggu-tunggu itu akan digelar sore hari, sebagai penutup festival. Brilian! Karena panitia menggabungkan seni pertunjukan kontemporer di atas sebuah panggung alam. Dari tahun-tahun lalu, kabaret ini selalu mendapatkan animo yang luar biasa. Saya bisa membayangkan, teluk Jailolo yang sehari-harinya hanya didominasi warna biru laut dan langit, akan tampak hingar bingar oleh kostum peserta kabaret. 

20 Mei 2012
Sepertinya saya harus pulang hari ini. Festival juga sudah berakhir. Terlalu singkat memang, tapi semoga saya mengantongi banyak hal selama seminggu di Jailolo. Selebihnya semoga masih ada waktu untuk berkeliling Ternate, kota yang penuh jejak sejarah, sebelum terbang kembali ke tanah Jawa. 

Oke, itu tadi itinerary yang sudah saya buat. Pengalaman yang tak terduga biasanya tak bisa dihindari meskipun sudah menyusun rencana. Tapi justru itu yang menyenangkan! Karena sesampainya di rumah, saya sudah pasti rindu aroma harum rempah Jailolo lagi. Jadi, nikmati saja kesempatan yang ada!


Teluk Jailolo - Photo courtesy of @lostpacker (Tekno Bolang)

PS:
Artikel di atas saya tulis dalam rangka writing contest yang diadakan oleh panitia Festival Teluk Jailolo 2012. Masih ada sisa waktu sehari untuk meramaikan sayembara ini. Go get the ticket! :)

Minggu, 08 April 2012

Jember Fashion Carnaval XI: The Prototype


Ini hari Minggu dan seharusnya saya masih dijerat oleh kasur. Tapi, ya mengingat proyek yang akan saya lakukan sehubungan adanya karnaval satu ini, saya terpaksa harus bangkit dari tempat tidur juga. Dalam keadaan belum mandi, jam setengah tujuh pagi, saya buru-buru capcus ke alun-alun Jember. 

Alun-alun adalah tempat yang sangat kompleks di hari Minggu pagi. Tentu saja, sebagai pemalas, saya sangat jarang jalan-jalan pagi di sini. Hm, pernah sih, olahraga lari pagi menjelang keberangkatan ke Kalimantan Oktober lalu. Setelah ACI Detikcom usai, saya pun pensiun menjadi atlet amatir di alun-alun. 

Anyway... Pagi itu Jember Fashion Carnaval sedang melakukan launching defile prototype yang akan tampil di JFC XI pada 8 Juli 2012. Memang hanya 10 orang saja sih yang tampil pagi ini, yaiyalah namanya juga cuman promo dan pengenalan ya. Tapi antusiasme warga yang kebetulan sedang olahraga dan menghabiskan Minggu pagi di sana, ngga perlu diragukan lagi. JFC memang perhelatan yang super wah di kota ini, maka pantas saja kalau setiap tahun kehadirannya masih dan selalu dinanti. Jadi, JFC XI ini akan menampilkan 10 defiles yang ah, saya lupa dan ngga ngapalin juga sih macem-macemnya. Yang saya ingat hanyalah Planet Heredity dan Savana. :p

Berbeda dengan tahun sebelumnya, kali ini JFC melakukan sedikit kelonggaran bagi masyarakat umum yang ingin menonton parade ini dengan aman, nyaman dan tertib. Yap, kursi-kursi di catwalk VIP nanti rencananya akan dijual sebesar 100.000 ribu rupiah per kursi. Harga ini bisa murah, bisa mahal, tergantung kebutuhan juga sih ya... 

Oh iya, buat yang tertarik pingin ikut jadi peserta dan volunteer, atau kalian perwakilan dari media, boleh kunjungi web jemberfashioncarnaval.com untuk segala macam info. Bagi kalian dari luar kota yang ingin merasakan berdesak-desakan dengan warga Jember demi melihat kehebohan kostum peserta, monggo, silahkan datang ke kampung halaman saya yang menyenangkan ini pada 8 Juli mendatang. 

And this little city is gonna be crazy again... For sure :)

Jumat, 06 April 2012

Sisa Hari Pertama (Sumba Part 2)

Eat like local people!

Tapi, sepertinya Sumba Timur tidak menawarkan banyak perbedaan menu seperti yang saya harapkan. Begitu mendarat di Waingapu, ibukota kabupaten ini, yang saya lakukan selain berteriak histeris ketika melihat kuda di pinggir jalan, adalah mencari makan siang.

"Mau makan apa?" Mas Dian bertanya. Belum sempat menjawab, sederet pilihan makanan seperti pecel, soto, gado-gado meluncur dari mulutnya. Hm, ini saya sudah ribuan kilometer dari Jawa kan ya? Sudah melewati berapa banyak pulau ya tadi dari atas pesawat?

"Di sini kebanyakan pendatang, banyak orang Solo yang buka warung, ada orang Madura yang jual bubur ayam kalau malam. Jadi mau makan apa? Ada bakso arema juga lho..." Saya akhirnya mengiyakan opsi terakhir yang dia sebuatkan. Sebenarnya sih saya sudah kangen lalapan dengan sambal yang pedas dan potongan terong goreng.

"Jangan cari bebek ya, di sini belum ada yang jual," tambahnya sembari terus mengendarai motor. Membelah jalanan Waingapu yang panas-panas menyengat. Lokasi bandara tak jauh dari pusat kota, mungkin hanya sekitar 10 menit saja. Dan hari itu hari Jumat, di mana para pegawai berkewajiban mengenakan batik. Begitu pula Mas Dian. Tentu saja, bakso Arema dan kemeja batik masih belum menguatkan persepsi saya tentang tanah Marapu. 

*

Siang yang terik, tiba-tiba berubah menjadi sore yang mendung. Kami tetap melajukan motor pinjaman itu, ke arah dermaga lama Waingapu. Tempat yang kemudian saya juluki dermaga sejuta umat. Saya selalu merindukan perjalanan yang tanpa embel-embel kerja. Tak perlu buru-buru mengejar entah itu momen penting, sunset, sunrise. Saya rindu berjalan-jalan saja. Dermaga lama itu mungkin salah satu tempat yang berhasil mengobati penyakit aneh saya. 

Dermaga ini sepertinya begitu populer. Saya melihat banyak orang menghabiskan sorenya saat itu. Mengobrol, bersantai, anak-anak kecil berlarian. Itulah mengapa saya menjulukinya dermaga sejuta umat. Beberapa pria tampak sedang memancing. Mereka berdiri, menenggelamkan kaki di laut hingga batas lutut. Aneh, karena masih ada helm yang melekat di kepala. Entah fungsinya apa. Mungkin hanya malas melepas. 

Sebenarnya dermaga tersebut tidak terlalu bagus juga sih. Jauh dari kesan eksotis yang biasanya diburu turis. Tapi paling tidak saat berada di sini, saya cukup yakin bahwa saya sudah berada di Sumba. Jauh dari Jawa. Di seberang dermaga terdapat sederet bukit karang yang menghijau. 


Pada hari-hari berikutnya, hampir setiap pagi, saat fajar memanggil atau ketika Maghrib menjelang, saya minta Mas Dian untuk mengantar ke dermaga. Lelaki ini tentu saja antusias, mengingat dia baru saja membeli filter GND yang lalu dicoba dengan kamera Nikon saya. Mungkin sebenarnya sih dia lebih semangat mencoba filter itu daripada mengantar saya duduk-duduk ngga jelas di pinggiran dermaga. Hehe...

Kami meninggalkan dermaga setelah puas mengabadikan bias cahaya matahari yang muncul di balik rimbun pepohonan. Bukanlah sebuah sunset yang sempurna, karena mendung dan senja memang bukan saudara. Tapi entah kenapa, sore di hari pertama ini begitu keren menurut saya. 




Senin, 02 April 2012

First Landing (Sumba Part 1)


Saya memang harus menerima ketika Ayos, Giri dan Lukki, memutuskan untuk tidak jadi ikut menonton Pasola di Sumba. Ayos beralasan dia harus menyicil Tugas Akhir yang bersifat sangat darurat. Sebagai teman yang cukup mengetahui lika-liku perhelatan antara dia dengan jalan menuju kelulusan, saya menerima alasan itu, bahkan dengan suka cita. Berharap ketika pulang dari Sumba, kompor yang menjadi model tugas akhirnya, sudah selesai. Duet Orkes Layar, Lukki dan Giri, bilang bahwa mereka belum punya uang cukup untuk membayar tiket ke Sumba. Saya maklum sih ya, perjalanan ke Indonesia Timur kadang terasa mencekik nominal di tabungan Anda.



Beruntung ada sesosok makhluk yang kabarnya sudah menginjakkan kaki di 25 propinsi di Indonesia, yang masih berminat menjadi travelmates saya. Bahkan ketika mengetahui bahwa jadwal Pasola maju 3 hari sebelum penerbangannya dari Jakarta, Mas Sutiknyo, atau punya panggilan keren Al Michael Tekno Bolang, nekad menghanguskan tiket dan mencari tanggal yang pas. 

"Moso adoh-adoh seko Tangerang, aku ra oleh Pasola, Put," tandasnya. Rocks tenan!

Dan saya pun berangkat terlebih dahulu menggunakan maskapai Batavia Air, the only one, yang melayani penerbangan Surabaya - Waingapu. Perjalanan yang cukup membosankan sih ya, karena harus transit dua kali di Bandara Ngurah Rai dan Eltari. Which is berarti ada tiga kali proses landing. Dan landing adalah bagian dari tahapan penerbangan yang cukup membuat saya was-was. 

Saya ingat, saya duduk di kursi 15F di bahu kanan pesawat. Sebenarnya penerbangan ini bersifat 'memutar'. Kalau dilihat di peta, Sumba sebenarnya terletak jauh sebelum Kupang, hanya belok sedikit lah ya. Makanya saya bisa melihat gugusan bumi Marapu dengan jelas dan dekat dari balik jendela mungil pesawat, kira-kira satu jam sebelum mendarat di Eltari, Kupang. 

Rasanya kok ya pingin teriak ke Om Pilot, "Pak, saya turun sini! Kanan ya, Pak!"

*
Saya melipat buklet promo wisata Sumba Barat ketika awake cabin mengumumkan bahwa pesawat akan landing di pemberhentian terakhir. Uyeah, finally… Lima jam di pesawat saja saya sudah ngga betah ya, gimana mau ke Iceland coba. 

Sumba menyambut saya dengan lanskap yang sangat cocok dibuat wallpaper laptop. Uh, bayangkan ada bukit-bukit raksasa dengan padang rumput halus yang sepertinya empuk untuk dibuat gelundungan. Beruntung memang, saya datang saat musim hujan, di mana Sumba terlihat sangat hijau di mana-mana. Dan sebenarnya, saya susah percaya ketika banyak orang menyebut Sumba sebagai pulau yang terbuat dari bebatuan karang. Saya tak sempat mengabadikannya, too bad. Well, it's not that bad sih, saya hanya sedang belajar menjadi traveler yang tidak terlalu bergantung pada kamera. They said that the best lens in the world is our own eyes. Ya tapi saya tetep bawa kamera lah ya, hahahaa…

Pesawat akhirnya mendarat mulus di Bandara Umbu Mehang Kunda. Air hujan yang merintik sejak di Kupang, tak terasa basah lagi di tanah Marapu, hanya mendung yang menggulung di atas. Saya mengambil seluruh tas yang berada di kabin. Bawaan saya memang tak terlalu banyak, mengingat saya sudah dipastikan bisa melakukan aktivitas mencuci dan menyeterika selama tinggal di sini. Hm, sebenarnya saya juga belum membeli tiket pulang ke Jawa saat itu, jadi memang belum ada target harus membawa baju sebanyak apa. 

Saya sudah bisa melihat lelaki yang menjemput saya berdiri di tengah kerumunan orang. Tentu saja tidak susah menemukan makhluk setinggi tiang listrik itu. Tidak ada The Scientist-nya Coldplay yang menjadi backsound pertemuan kami yang terakhir dilakukan saat awal 2012 itu. Hahaha! Saya hanya meringis ketika berjalan mendekatinya. 

Sebenarnya, saya memendam keinginan untuk ke Sumba sejak dua tahun lalu, kala melihat tayangan Pasola di Metro TV. Saya masih ingat persis, kali itu Trinity si Naked Traveler itu juga turut menjadi host. Setelah nonton tayangan itu, Pasola menjadi top of the list festival adat yang ingin saya datangi. 

Yah, kata orang, things happen for a reason. Every single thing. Termasuk ketika tengah tahun lalu, saya jadian dengan Mas Dian, lelaki asal Semarang yang sedang berdinas di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti Sumba Timur sejak 2010. Tuhan sepertinya menulis di buku takdir agar saya bertemu dengan lelaki ini dulu, lalu jadian, baru traveling ke Sumba, agar semuanya jadi lebih mudah dan menyenangkan. Another form of 'God save the traveler'? 

It could be. :)