Rabu, 21 September 2016

Pedas Menyengat dari Jogja

Benarkah orang aseli Jogja itu hanya doyan makanan manis tanpa campur tangan cabai rawit? Kalau menilik selera masakan keluarga mertua saya dari Godean, bisa jadi memang benar sih. Lantas, apakah kuliner Jogja yang dipadati pengunjung hanya kisaran gudeg saja? Ternyata tidak juga. Setelah tinggal beberapa bulan di Sleman, saya akhirnya menemukan cukup banyak warung yang melejit karena keberanian menggunakan cabai di dalam kuliner andalannya.

Mangut Lele Mbah Marto
Mencari warung Mangut Lele Mbah Marto memang butuh kejelian. Informasi dari mulut ke mulut kompak mengatakan bahwa warung legendaris ini terletak di dekat pintu keluar Insitut Seni Indonesia (ISI) Jalan Parangtritis. Memang tidak salah, tapi tidak ada signage tentang warung ini saat saya sudah berada di depan ISI. Bertanya pada warga lokal sekitar adalah opsi terakhir yang harus dilakukan.

Mbah Marto menggunakan kediamannya untuk dijadikan warung. Rumah sederhana di tengah gang sempit itu hanya diisi beberapa meja dan kursi panjang untuk tempat pembeli. Datang dan masuklah ke dalam dapurnya untuk mengambil sendiri menu masakan yang diinginkan. Tidak perlu sungkan, karena memang beginilah aturan tak tertulis di warung ini. Anda akan menemukan Mbah Marto yang biasa ditemani kerabatnya, sedang bercengkrama di dapur sambil sesekali menyapa pelanggan dengan bahasa Jawa halus.

Menu spesial warung ini adalah mangut lele, yaitu lele yang diasap dan dimasak menggunakan kuah santan pedas. Seporsinya dihargai 10000 rupiah (tahun 2012-an). Selain itu juga terdapat gudeg dengan daun pepaya, garang asem ati, dan opor ayam. Mbah Marto hanya membuka warungnya untuk jam makan siang, yaitu 11.00-16.00 saja. Jika sudah berada di sepuataran ISI, jangan sungkan untuk bertanya pada warga sekitar. Jangan menyerah jika harus tersasar terlebih dahulu, karena itulah sensasi untuk menemukan warung kuliner milik Mbah Marto.


 
Entok Slenget Kang Tanir
Entok dalam Bahasa Jawa adalah itik manila, sedangkan slenget berarti menyengat. Kang Tanir memberi nama warung sesuai dengan spesialisasinya memasak rica-rica itik pedas yang mampu menyengat lidah pembelinya. Lokasi warung ini terletak di daerah Turi yang sejuk. Dari pusat kota Yogya perlu setidaknya 45 menit berkendara menuju warung ini. Meskipun jauh, dijamin tidak akan menyesal berkunjung kemari. Kanan kiri jalan dipenuhi dengan hamparan sawah dan kebun salak pondoh. Pada akhir pekan, jalanan menuju Turi akan disesaki oleh kendaraan yang hendak berwisata di lereng Gunung Merapi di Kaliurang.

Warung Kang Tanir buka pukul 16.30 sore, di mana udara Turi menjadi semakin dingin menjelang gelap. Pas sekali jika memesan sepiring entok slenget dengan nasi panas. Anda bisa meminta tingkat kepedasan yang sesuai dengan toleransi lidah. Pertama, Kang Tanir akan mengambil beberapa cabai rawit untuk ditumbuk kasar. Lalu dimasukkan ke dalam satu wajan berisi potongan entok yang telah direbus sebelumnya. Setelah ditambah kecap dan bumbu lainnya, semua campuran itu dimasak dengan api yang besar. Entok slenget dibandrol 25000 rupiah per porsi termasuk nasi, sepiring potongan kubis mentah dan timun segar plus teh atau jeruk hangat. Jika hendak berkunjung di akhir pekan, pastikan Anda datang lebih awal. Karena hanya dalam waktu 2-3 jam, stok daging entok bisa ludes seketika.
Lokasi: Pasar Agropolitan Pules, Donokerto, Turi, Sleman.





Penyetan Mas Kobis
Sekitar 10 tahun lalu, warung Penyetan Mas Kobis hanya menempati sepetak poskamling di daerah Universitas Negeri Yogyakarta. Warung ini menjadi andalan mahasiswa-mahasiswa terutama yang doyan pedas. Namun sekarang, warung ini sudah memiliki tempat yang luas dan banyak cabang sehingga menjangkau berbagai kalangan.

Penyetan Mas Kobis menyediakan menu berupa ayam, tahu tempe, telur, ikan nila, ati ampela dan lele dengan kisaran harga 5000 – 12000 rupiah. Buka sedari jam 11.00 – 23.00. Jangan lupa selalu cantumkan seberapa pedas sambal yang Anda inginkan. Dua atau dua puluh cabai pun akan tetap dilayani. Cabai-cabai ini ditumbuk kasar dengan bawang putih lalu ditambah sedikit minyak goreng panas. Kemudian lauk yang Anda pesan akan digeprek atau dihancurkan di dalam cobek berisi sambal bawang tadi. Bahkan jika Anda memesan terong atau kol goreng pun akan turut digeprek juga. Hasil akhir penampakan menu di warung ini memang terkesan berantakan. Tapi itulah ciri khas penyetan Mas Kobis sedari bertahun-tahun lalu. Meskipun tak menarik dilihat, bukan berarti tak sedap di lidah, bukan?
Lokasi: Pusat di Jalan Alamanda sebelah timur Fakultas Teknik Universitas Negeri Yogyakarta


Waikabubak At a Glance

Desember 2014
 
Setahun terakhir, Sumba, sebuah pulau di antara gugusan kepulauan Nusa Tenggara Timur mendadak ramai dikunjungi wisatawan, terutama dari kancah domestik. Kebanyakan mereka tergiur menikmati Sumba setelah booming sebuah film nasional garapan Mira Lesmana yang mengambil lokasi syuting di pulau tersebut. Selain suguhan alam yang memanjakan mata, budaya Marapu yang dianut penduduk lokal juga menjadi daya tarik tersendiri.

Plesiran kali ini akan membawa kaki kamu ke Waikabubak, ibukota Kabupaten Sumba Barat. Sumba memiliki dua bandar udara yaitu di Waingapu (Sumba Timur) dan Tambolaka (Sumba Barat). Pilihan paling dekat adalah mendarat di Tambolaka lantas lanjut jalan darat menggunakan travel atau mobil sewaan selama satu jam menuju Waikabubak.

Kampung Tarung dan Kampung Waitabar
Kedua kampung ini terletak di pusat kota Waikabubak sehingga sangat mudah akses untuk mencapainya. Tarung dan Waitabar merupakan representasi kampung asli Marapu yang masih eksis hingga abad ini. Keduanya terletak bersebelahan, sehingga wisatawan bisa langsung menuju Waitabar dari Tarung dengan berjalan kaki saja.

Pengunjung bisa melihat jejeran hunian tradisional beratap alang-alang kering yang dalam bahasa lokal disebut uma alang. Meskipun tampak rapuh, namun alang-alang ini kuat hingga belasan tahun terpapar hujan dan sengatan panas. Lain soal jika terhempas angin kencang. Di bagian tengah rumah terdapat sebuah tungku yang zaman dulu digunakan sebagai pusat kehidupan karena tidak ada listrik. Berbagai ritual harus dilaksanakan jika pemilik rumah hendak merenovasi. Sekedar mengganti alang-alang pun ada aturannya. Untuk memasang 1 tiang kayu penyangga rumah, pemilik harus memotong kurban terlebih dahulu.

Uma alang tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal, karena kegiatan spiritual juga dilakukan di dalamnya. Bagian bawah biasa digunakan untuk menampung hewan peliharaan. Lalu lantai atasnya digunakan untuk tempat tinggal utama, dan bagian paling atas atau menara yang menjulang tinggi digunakan untuk menyimpan barang-barang berharga. Ada yang mengatakan juga bahwa bagian tersebut tempat berdiamnya roh leluhur.

Pada perkembangannya, banyak sekali uma alang di kampung lain yang kini menjadi rumah dinding bata atau sekedar mengganti atap daun menjadi seng. Selain uma alang, salah satu budaya Marapu di Sumba adalah mengubur jenazah keluarga di sebuah kubur batu yang terletak di halaman rumah. Pengunjung bisa melihat banyak kubur batu bertebaran di kedua kampung ini.


Lapangan Pasola Lamboya dan Pantai Kerewe
Apakah kamu pernah mendengar tentang Pasola? Sebuah perayaan paska panen di Sumba di mana para pemuda lokal saling melemparkan tombak ke kubu lawan sembari berkuda. Pasola digelar di beberapa desa terutama di Kabupaten Sumba Barat dan Barat Daya. Salah satu yang terdekat dengan Waikabubak adalah gelaran Pasola di kecamatan Lamboya, hanya berkendara selama 60 menit saja. Menarik apabila kedatanganmu tepat saat perayaan ini yaitu sekitar Februari – Maret.

Pasola Lamboya dilaksanakan di sebuah lapangan padang rumput yang begitu luas dan kerap disebut bukit Hobba Kalla. Pemadangan dari sini begitu menyejukkan mata. Kamu bisa menikmati lanskap persawahan, atap-atap uma alang yang menyembul di balik pepohonan serta melihat Pantai Kerewe dari kejauhan. Hanya butuh 30 menit saja untuk mencapai pantai tersebut.

Biasanya, para penonton Pasola kerap berkunjung ke Pantai Kerewe setelah perayaan berakhir. Mereka berenang dan menikmati ombak yang cukup bersahabat. Pada hari-hari biasa, pantai ini cukup sepi. Kamu bisa duduk-duduk di bibir pantai sembari menyeruput kelapa muda yang biasa dijajakan anak-anak kampung sekitar. Segar baru petik dari pohonnya dan murah lagi!

Taman Nasional Manupeu Tanah Daru
Pulau Sumba memiliki dua taman nasional yang masih relatif baru usia berdirinya yaitu Taman Nasional Laiwangi Wanggameti dan Manupeu Tanah Daru. Kalau kamu mencari obyek menarik di sekitar Waikabubak, maka menjelajah Air Terjun Lapopu adalah keharusan.

Air terjun alami ini adalah bagian dari zona wisata Taman Nasional Manupeu Tanah Daru yang terletak di kecamatan Wanokaka. Akses kendaraan roda empat terbilang cukup mudah karena jalan aspal sudah dibangun akhir tahun lalu. Hanya memakan waktu kurang dari satu jam saja dari pusat kota Waikabubak. Kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki sepanjang 400 meter dan melewati jembatan bambu. Sebelum masuk ke area air terjun, wisatawan wajib lapor di pos jaga yang tersedia serta membayar retribusi sebanyak 5000 rupiah. Sedangkan mereka yang dari manca negara ditarik 100000 rupiah. Untuk kepentingan penelitian, izin harus melalui kantor balai taman nasional tersebut lebih dahulu dan mengurus simaksi.

Jangan heran, bila kamu tak kuasa untuk berenang di air terjun berundak ini. Begitu segar! Arus sungainya pun relatif tenang dan dangkal. Cocok untuk yang doyan bermain air. Apalagi bila datang di tengah hari, saat mentari menyengat kulit. Suara derasnya air yang jatuh dari ketinggian begitu syahdu beradu dengan cicit burung-burung. Taman Nasional Manupeu Tanah Daru juga disebut surga untuk birdwatching. Untuk kegiatan tersebut, wisatawan perlu didampingi petugas dari taman nasional yang mengetahui lokasi-lokasi strategis untuk melihat burung endemic seperti kakatua jambul jingga dan julang Sumba.

Rabu, 14 September 2016

Sembilan Candi di Lereng Gunung Ungaran


Agustus 2013

Matahari masih malas muncul saat saya dan keluarga tiba di pelataran parkir Candi Gedong Songo, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Kami memang sengaja berangkat setelah subuh untuk menghindari kemacetan yang mengular di musim liburan. Jarak tempuh dari pusat kota Semarang menuju candi ini kurang lebih dari 40 km, tak sampai satu jam berkendara. Tentu saja, kalau tidak ada acara mampir-mampir.

Candi Gedong Songo terletak di lereng gunung Ungaran, sekitar 1200 meter di atas permukaan laut. Kebun-kebun sayur bertebaran di kanan kiri jalan. Bunga-bunga hias pun juga tumbuh subur. Selama perjalanan beberapa kali kami melihat petani sayur yang siap menjajakan hasil panennya. Sawi, bawang daun, tomat nampak segar di dalam karung-karung dagangan. Dari aplikasi smartphone, pagi itu suhu tercatat 18 derajat. Dingin dan begitu sejuk.

Dalam bahasa Jawa, Gedong Songo berarti Sembilan Gedung. Candi-candi Hindu di sini dahulunya berada terpisah-pisah menjadi sembilan kompleks. Namun sekarang, wisatawan hanya bisa menikmati lima kompleks saja, sedangkan empat kompleks lain hanya tinggal puing kenangan saja.

Dari segi ukuran, candi-candi di sini tak terlalu besar dan lebih mirip dengan candi Arjuna di Dataran Tinggi Dieng, Wonosobo. Karena kesamaan ukuran dan topografi alam itu pula banyak sumber bacaan yang menyebut bahwa candi Gedong Songo masih bersaudara dengan candi Arjuna. Sama-sama dibangun masa Dinasti Sanjaya, sekitar abad ke-8. Relief Dewa-Dewi di dinding batu juga tak terlalu tampak karena dimakan usia. Meskipun demikian Candi Gedong Songo masih memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Terutama bagi mereka yang jenuh tersengat terik mentari di Semarang dan sekitarnya.

Dari komplek Candi Gedong pertama hingga kelima, kami berjalan mengikuti jalan setapak yang telah disediakan dengan rapi oleh pengelola. Candi Gedong pertama tercatat berdiri di sekitar ketinggian 1208 meter di atas permukaan laut. Semakin lama memang semakin menanjak dan menguras tenaga, namun pengunjung dapat beristirahat di warung-warung di tengah rimbunnya hutan pinus. Menghangatkan diri dengan segelas teh panas dan sepiring mie rebus, sembari menikmati pemandangan kebun-kebun lombok, kubis dan sawi yang berada di areal candi. 

Candi Gedong kelima berada di area tertinggi yaitu 1300 meter di atas permukaan laut. Dari atas sini, pengunjung bisa melihat Candi Gedong ketiga yang nampak cantik berlatar belakang hutan pinus penuh kabut. Masing-masing kompleks candi memiliki jumlah candi yang berbeda-beda, walaupun hanya satu hingga tiga candi saja yang masih berdiri. Misalnya pada Candi Gedong keempat, dari puing-puing yang tersisa, seharusnya kompleks itu terdiri atas 9 candi. Bisa dibayangkan ramainya Candi Hindu di lereng Gunung Ungaran ini pada belasan abad lalu. Apabila dijumlah, mungkin saja terdapat puluhan candi di kompleks Gedong Songo ini.

Tak terlalu banyak kompleks Candi di Jawa yang lengkap dengan suguhan pemandangan alam dataran tinggi ditambah hembusan angin sejuk seperti di Gedong Songo ini. Di antara kompleks Candi Gedong ketiga dan keempat, pengunjung akan melewati sumber air panas belerang yang dikelola menjadi sebuah pemandian mini. Konon, air seperti ini bisa menyembuhkan berbagai penyakit kulit seperti jerawat dan gatal-gatal karena jamur.

Bagi yang tak kuat berjalan jauh dan menanjak, ada opsi menggunakan jasa kuda di sini. Tarifnya tak sampai 100 ribu untuk rute candi Gedong pertama hingga terakhir, lantas kembali lagi ke pintu masuk. Pengelolaan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam di Candi Gedong Songo ini boleh diacungi jempol, padahal tiket masuk wisatakan lokal hanya 7.500 rupiah saja per orang. Taman-taman di kompleks candi sangat dirawat, begitu pula dengan penataan areal warung dan penjaja souvenir. Untuk kuliner yang populer di sini, pengunjung bisa menyantap Sate Kelinci dengan harga per porsi 15.000 rupiah yang bisa ditemukan pada hampir semua warung di Gedong Songo.


Tepat setelah menapaki candi tertinggi, saya dan keluarga akhirnya tergoda menikmati semangkok mie rebus yang asapnya mengepul-ngepul. Perut semakin keroncongan saat mencium aroma bumbu yang tersiram air panas. Nikmat sekali! Setelah tenaga terkumpul kembali, kami turun menuju parkiran. Rupanya, keputusan untuk berangkat ke Gedong Songo sepagi mungkin sudah sangat tepat. Meskipun perjalanan dari candi ke candi diliputi kabut tebal, namun hal itu malah menambah efek mistis cagar budaya tua ini. Semakin siang, pengunjung yang datang semakin membludak. Beberapa keluarga menyewa tikar dan asyik piknik di taman-taman candi. Untuk sekedar memarkir pun pengunjung bermobil harus bersabar menunggu ada tempat kosong dari mobil lain yang meninggalkan area. Maka, datang sepagi mungkin adalah tips terbaik menuju Gedong Songo jika Anda ingin menikmati kesyahduan pemandangan di sekitar candi. []