Kamis, 28 Agustus 2014

Minggu ke-39: Bertemu Anak Lanang (3-End)

Sudah part 3 ajaaaa... Berasa nulis sinetron stripping... Maafkan pemirsa, sesungguhnya saya ingin segera menyelesaikan tulisan sedari part 1. Tapi apa daya, sebagai Ibu newbie, hampir 24 jam saya harus berada di dekat si bayi. Bisa menyentuh laptop selama 2 jam saja sudah Alhamdulillaaah banget. 

Oke, lanjut ya... dan saya janji ini part yang terakhir. Hehe...

Hampir tidak ada yang bisa saya lakukan di dalam bilik ICU selain mencoba miring kiri kanan dan bengong. Saya ingin tidur lama hingga waktu observasi selesai. Sayangnya, tidak semudah itu untuk ngantuk walaupun saya merasa lemas. Mungkin momen itu bisa menjadi enam jam terlama dalam hidup saya.

Jam dinding menunjukkan pukul 2 siang tapi tidak ada tanda-tanda saya akan dikeluarkan dari ICU. Pada saat seorang perawat memberi segelas teh hangat (yang saya minum dengan rakusnya), saya sempat bertanya kapan bisa kembali ke ruang rawat biasa. 

"Sebentar lagi ya, Mbak, nunggu Mbak diseka dulu," ujarnya.

Pukul 3 sore, perawat yang sama menyeka badan saya dengan air hangat. Ini menjadi prosesi mandi yang paling sakit yang pernah saya rasakan terutama saat saya harus berganti pakaian dalam keadaan terlentang dan menahan pedih luka bekas operasi. 

Dua orang perempuan yang saya kenal sebagai bidan di rumah sakit ini, masuk ke ICU dengan mendorong sebuah kasur. Haduh, ngga bisa ya pake kasur yang saya tidurin ini aja? Dengan susah payah saya memindah tubuh dari satu kasur ke kasur lain. Kemudian cita-cita keluar dari ICU akhirnya tercapai jua. 

Di depan pintu kamar 105, berdiri suami saya yang baru sah menjadi seorang ayah. Kening saya dicium begitu dua bidan tadi keluar kamar. Ihik, romantisnya setahun sekali, perlu diabadikan di dalam blog ini. Saat itu hanya ada kami saja di dalam ruang rawat, lalu bayinya kemana? Saya sudah  request untuk rawat gabung bersama si bocah agar mempererat bonding antara ibu dan anak.

"Ada di ruang bidan, sebentar lagi dibawa kesini kok," ujar Mas Dian. Lantas dia bercerita apa yang terjadi di luar  saat saya berada di dalam ruang operasi. 

"Prosesnya sebentar banget, dokter kandungan masuk terus 15 menit kemudian dokter anak keluar ngabarin bayinya sehat. Abis itu aku adzanin di ruang bidan. Eh, dia melet-melet, lidahnya panjang banget." Sayangnya, prosesi tersebut tidak diabadikan dalam bentuk video. Huhu.. saya menyesaaaal sekali. Suami juga nggak kepikiran buat merekamnya. Hanya ada satu foto yang diambil oleh kakak saya. Ya sudahlah ya, daripada nggak ada dokumentasi sama sekali.

Lantas Mas Dian juga bercerita betapa dia bosen nunggu masa observasi saya kelar. "Semua keluarga pulang setelah melihat bayi. Aku di kamar nonton tivi sampai ketiduran di kasur ini, hehe... Masuk ke ICU juga ngga boleh. Oh iya, aku juga makan semua makanan yang dikasih rumah sakit untuk pasien, hehe..."

Tidak lama setelah itu, orang tua saya datang dan memberikan selamat. Lantas seorang bidan masuk ke kamar sembari mendorong kereta bayi. Dan untuk kedua kali, setelah pertemuan sangat singkat di ruang operasi, akhirnya saya bisa menatap wajah anak lanang ini dengan puas.

Dia sedang tidur dan tampak baru saja dimandikan. Ada sapuan bedak tipis di wajahnya. Well, adegan memberi bedak ini hanya berlangsung saat di rumah sakit. Karena saya dan suami sepakat tidak mendandani anak lelaki kami, apalagi dengan bedak yang semakin cemong katanya tampak semakin segar. No... no... 

Saat itu juga saya segera meminta bidan untuk membantu proses menyusui. Bayi kami pun diangkat dari tempat tidurnya lantas diletakkan di samping kanan saya. Oke, here we go... Tahan saja deh sakitnya harus miring ke kanan, demi memberikan asupan kolostrum yang sangat berharga untuk anak saya. 

Momen breastfeeding yang pertama kali itu terasa sangat sakral bagi saya. Apalagi saat tahu bahwa sang bayi tidak kesulitan menghisap ASI. Ada perasaan terharu, senang dan merinding sekaligus mengetahui bahwa ada makhluk hidup yang menggantungkan hidupnya pada saya sejak pagi itu. Deg-degan? Tentu saja. Saya yang pemalas, slengekan, manja dan keras kepala ini akhirnya punya tanggung jawab menjadi... seorang ibu. Duh Gustiii... piye iki? Semoga selalu dilimpahkan kemudahan. Amiiin...

Kami lantas memberi nama Danendra Arsa Nugroho pada si mungil berpipi bulat itu. Kalau boleh, saya tuliskan secarik doa dari makna deretan kata tersebut di blog ini: bahwa Ayah dan Bunda bersyukur mendapat anugrah dan titipan yang tidak terganti dari Allah SWT. Kami berharap kamu akan tumbuh menjadi pemimpin yang bijaksana dalam setiap lingkup kehidupanmu kelak. Selamanya, kami berhutang kebahagiaan atas hadirmu. Karena itulah mulai saat itu kami memanggilmu Arsa: our happiness. []

Arsa, beberapa menit setelah dilahirkan sedang mendengarkan kumandang Adzan dari ayahnya.

Jumat, 15 Agustus 2014

Minggu ke-39: Bertemu Anak Lanang (2)

Di atas kasur saya didorong kesana kemari dan melewati beberapa pintu. Ruang operasi rumah sakit ini letaknya sangat terisolir, pikir saya saat itu. Hingga akhirnya saya dimasukkan ke dalam sebuah ruangan yang sangat benderang. Suhu di dalamnya mirip kulkas. Saya bergidik kedinginan. Seorang operator ruang operasi menyapa dan menanyakan beberapa hal untuk basa-basi sembari memasang kabel ini itu di lengan saya. 

Sebentar lagi... perut saya dibedel-bedel. Lagi-lagi ketakutan itu muncul. Rasa sakit pasca operasi cesar kabarnya melebihi kontraksi melahirkan per vagina. Duh, Gusti... paringi power.

Beberapa orang bermasker dan berseragam hijau mulai memasuki ruangan yang dinginnya kurang ajar itu. Salah satunya bertindak sebagai dokter anastesi. Tubuh saya dimiringkan ke kanan dan diposisikan meringkuk. Lantas seorang lelaki memegang badan saya kuat-kuat sembari berujar, "sebentar lagi Mbak dibius, suntik dua kali di punggung, usahakan jangan berontak ya."

Dan saat itu saya baru inget kabar burung yang mengatakan bahwa suntik bius itu sakit sekali. Haduh, ngga ada waktu untuk mempersiapkan mental jadi saya cuma menjawab dengan lirih, "Oh oke.."

Nervous setengah mati sembari merapal doa semoga saya tahan sakitnya. Dokter anestesi mulai mengusap punggung lokasi penyuntikan. 

"Sudah, Mbak, sebentar lagi kaki Mbak akan merasa kesemutan," ujar lelaki yang memegangi kaki dan tangan saya tadi. 

HLOH? Sudah beneran nih, kok ngga berasa sakitnya?? Hahahaha... Di saat-saat seperti saya masih sempetnya tersenyum girang karena merasa menang. Badan saya kembali ditelentangkan, selembar kain dibentangkan di atas leher, sehingga saya tidak bisa melihat bagaimana proses ubek-ubek perut itu terjadi. 

Batas pandangan saya hanya lampu yang terletak di langit-langit saja. Saat kaki mulai kesemutan, saya memilih memejamkan mata. Sayup-sayup saya mendengar suara dokter obgyn yang baru datang. 

Oke, sebentar lagi...

Saat itu memori saya kembali ke belakang, saat saya masih lajang, saat saya melakukan berbagai hal yang dulu tidak kepikiran untuk dilakukan ketika traveling. Pada awal kehamilan, saya selalu menerka-nerka, sesakit apa melahirkan itu? Saya pernah bertahan dalam suasana tidak enak ketika melakukan perjalanan, dan berhasil melaluinya. Saya pasti juga bisa melewati masa kesakitan saat melahirkan. 

Tapi kenyataannya saya harus dioperasi di ruangan sedingin ini. Cita-cita untuk melahirkan normal harus ditunda dulu. Keinginan untuk IMD pun harus diikhlaskan karena kebijakan rumah sakit tidak mengizinkan pasien operasi untuk IMD. Ya sudah, selama bayi saya tidak diberi susu formula sebagai pengganti IMD, saya terima. Saya pun harus rela tidak bisa mendengar suami melantunkan adzan di telinga sang bayi karena Mas Dian tidak diperbolehkan masuk ke ruang steril itu. 

Ah, apapun... sebentar lagi saya menjadi Ibu. 

Meskipun sudah kebal dari rasa sakit, namun saat itu saya bisa merasakan isi perut ini seperti digoyang-goyang atau diobok-obok, ya semacam itulah. Lalu suara-suara pun muncul, "yak, bagus, tarik, yak oke... ketuban hampir habis, tapi plasenta masih bagus nih..." 

1 detik, 2 detik, oweeeek... bayi saya menangis... 

"Bu, ini bayinya laki-laki ya," ujar seorang bidan sembari menggendong bayi saya yang masih telanjang. 

Alhamdulillah. Pelan-pelan air mata saya menetes juga. 

Bidan langsung membawa sang bayi untuk dibersihkan. Perjalanan saya untuk menimangnya masih cukup panjang. Saya masih berada di dalam ruangan itu kira-kira 30 menit pasca melahirkan untuk dijahit dan sebagainya.

Sedang apa bayi saya? Bagaimana reaksi Mas Dian di luar sana? Orang tua dan keluarga besar saya yang super ribut itu apakah juga ada di luar?

Setelah semua beres, operator kamar operasi membawa saya ke ICU. Saya ditempatkan di salah satu bilik yang hanya terpisah kelambu dengan pasien lain. Saya yang tak sadar sepenuhnya, tiba-tiba mual.

"Mas, muntah, Mas..." lalu.. howeekk... Saya pun mengeluarkan isi perut. Untung seorang perawat segera mengambil plastik. Tapi kayaknya sih hanya air saja yang keluar, karena sebelum operasi saya harus puasa sedari jam 9 malam. 

Setelah muntah, saya pun tertidur. Saat itu jam dinding menunjukkan waktu hampir pukul 8 pagi. 

Sepertinya saya sudah tidur cukup lama, namun rupanya belum ada satu jam terlelap. Badan saya terasa kaku, terutama bagian bawah pinggang. Clekit-cletkit mulai timbul. Dan saya haus luar biasa namun belum diperbolehkan untuk minum apa-apa. 

Ruangan ICU hanya dijaga oleh beberapa perawat yang sedang sibuk ngerumpi. Suara salah satu dari mereka terlalu keras untuk ukuran ruang perawatan seperti ini. Seorang perawat laki-laki nampak mendekat.

"Mbak, sudah bangun? Latihan bergerak ya, badannya dimiringkan ke kanan ke kiri," ujarnya.
"Oh, oke Mas. Ini sampai kapan saya di ICU?" tanya saya.
"Ya observasi aturannya 6 jam pasca operasi, Mbak," tambahnya lantas berlalu mengecek pasien lainnya.

Duh, 6 jam, sendirian. Mas Dian mana sih kok ngga ke sini? Batin saya. Baru saya sadar bahwa pasien lainnya pun juga sendirian tanpa ditunggu oleh keluarganya. Mungkin memang ngga boleh masuk ya... Hm... Sesuai perintah Mas perawat, saya mulai coba-coba memiringkan badan dengan berpegangan pada kasur. 

Oke. Ternyata. Susah. Dan. Sakit. HUHUUHUUUU... Tidur aja deh. 

Sukses memejamkan mata cukup lama, ketika bangun saya melihat Mas Dian dadah-dadah dari pintu ICU. Saya bingung mau berucap apa. Terlalu banyak yang ingin ditanyakan, tapi apa daya jarak kasur dan pintu ICU cukup jauh jadinya saya membalas dengan melambaikan tangan juga. 

Lantas pintu ICU ditutup kembali oleh perawat. 

Hffftt... 

to be continued lagi deh ya.. hehe..

Selasa, 15 Juli 2014

Minggu ke-39: Bertemu Anak Lanang (1)

5 Mei 2014, saya masih ingat, dokter kandungan bertubuh subur itu memberi informasi tentang indeks ketuban saya yang rendah ditambah kepala janin belum terkunci di panggul. Jika tak ada kontraksi dan pembukaan dalam satu minggu ke depan, maka opsi caesar harus dilakukan. Kaget, karena saya mampu menghadapi vonis tersebut dengan cukup tenang. Apalagi tidak ada suami di samping, tidak ada sandaran bahu untuk tersedu-sedu. Masih ada waktu satu minggu untuk berusaha lahiran secara normal dan terus merapalkan doa-doa.

Sesampainya di rumah, saya segera browsing tentang kasus ketuban sedikit alias oligohidramnion. Memang sangat beresiko pada hidup janin, persis seperti yang dikatakan sang dokter. Kebanyakan ibu hamil yang mengalaminya pun melahirkan di meja operasi. Mas Dian, suami saya, buru-buru mengganti jadwal perjalanan yang semula akan ke Jember sekitar tanggal 12 Mei menjadi 3 hari sebelumnya. Tak bisa menggeser hari lagi karena dia masih harus berdinas di Kupang dan Bandung secara berurutan.

"Kalo memang harus segera lahiran, jangan dipaksa nunggu aku." Begitu pesannya. Saya amini, namun dengan tidak ikhlas. Suami saya harus mendampingi saat melahirkan, karena itu keinginan terbesar saya semenjak hamil. Saya ingin melihatnya mengumandangkan adzan di telinga si bayi kelak. Selama 9 bulan lebih, saya selalu membisikkan cita-cita tersebut pada janin yang masih di perut.
"Tunggu ayahmu ya kalau mau lahir..."

Setibanya Mas Dian di Jember, kami segera ke dokter kembali. Tenggat waktu seminggu pun telah berlalu namun janin saya masih nyaman di dalam rahim. Gerakannya pun masih aktif. Sayang, indeks ketuban saya nampak semakin rendah. Saya langsung membayangkan janin saya megap-megap di dalam.

Dokter menyarankan saya untuk melakukan tes CTG untuk mengetahui gerakan jantung janin. Maka malam itu pun kami ke rumah sakit untuk tes CTG. Dari grafik hasil tes tersebut, sudah bisa ditebak oleh sang dokter bahwa detak jantungnya kurang stabil. Namun dari grafik tersebut juga diketahui bahwa sudah mulai ada tanda kontraksi rahim walaupun tidak sekuat untuk melakukan pembukaan jalan lahir. Maka, sekali lagi dokter membolehkan saya menunggu agar bisa melahirkan secara normal, hanya dalam tiga hari. Lewat dari itu resikonya bermacam dari ketuban keruh, janin keracunan hingga kematian. Hati saya tentu maknyes.

Daripada tambah stress memikirkannya, malam itu kami masih sempat jalan-jalan ke alun-alun karena Mas Dian ingin mencoba lensa manual jadul terbarunya. Lumayan, saya punya foto kenang-kenangan masa hamil H-3 melahirkan. Acara jalan-jalan murah meriah itu mampu jadi mood booster sebelum mengabarkan berita kepada orang tua kami. 



14 Mei 2014, tidak ada yang berubah. Janin masih aktif bergerak, tidak ada sakit karena kontraksi, hingga sore hari saya periksa bidan pun, kepala janin masih belum terkunci di panggul. Setelah berbagai usaha dilakukan, sore itu, saya dan Mas Dian diantar kakak saya, meluncur ke rumah sakit Jember Klinik. Kami menyerahkan surat pengantar operasi dari dokter dan lantas mengurus berbagai administrasi di meja pendaftaran. Bidan berkata bahwa saya akan dioperasi besok pagi sekitar pukul 7. Perasaan saya saat itu, hm... luar biasa tenang. Apapun yang terjadi, at least, Mas Dian sudah di samping. Sesuai keinginan di awal kehamilan. 

Maka, malam itu pun saya dan Mas Dian mulai menginap di salah satu kamar rawat. Saya masih sempat jalan-jalan melemaskan kaki mengelilingi rumah sakit. Siapa tahu, tiba-tiba dalam hitungan menit, sang bayi merangsek masuk ke panggul lantas saya dibopong ke ruang bersalin dan oweeek.. oweeek.. lahirlah... :)

Namun, Tuhan belum menghendaki skenario seperti itu. 

Malam hari, orang tua dan keluarga besar saya berkumpul di rumah sakit. Pakde, budhe, paklik, bulik, para sepupu sudah lengkap. Beberapa bermuka muram sembari berulang menanyakan keadaan saya. Jujur saja, I'm totally fine. Apalagi saya belum diinfus jadi masih bebas kesana kemari. Kamar Anthurium 105 itu sangat riuh dengan segala percakapan keluarga besar. Saya agak was-was ada pengusiran di kamar ini oleh perawat rumah sakit saking ramainya suasana di dalam. 

Begitulah karakter keluarga Ayah saya. Gemar berkumpul, berceloteh, tertawa dan berbagai kegiatan ramai-ramai lainnya. Dulu, saya berharap bisa lahiran di Surabaya agar lebih sepi. Hanya ada suami dan orang tua saja agar saya lebih konsentrasi pada lahiran. Somehow, suasana sunyi akan membuat pikiran saya lebih rileks. Tapi, yah.. lagi-lagi skenario saya harus diganti. 

Seluruh keluarga saya agak terkejut saat pintu dibuka oleh bidan dan dokter kandungan. Saya kira mereka bakal marah-marah melihat pengunjung sebanyak itu. Tapi rupanya tidak hehehe... Seluruh keluarga kecuali suami, lantas keluar ruangan dengan kesadaran sendiri. Usai memeriksa detak jantung janin, dokter menginformasikan bahwa jadwal operasi saya maju menjadi setengah 6 pagi. Hm, baiklah... lebih cepat mungkin lebih baik. 

Sekitar pukul 9 malam, seluruh keluarga meninggalkan saya dan suami. Satu per satu mereka menyalami dan mencium pipi saya serta menyelipkan doa-doa manis. Dibalik berbagai kehebohan yang sering dilakukan oleh keluarga besar saya, tidak bisa dipungkiri bahwa kami semua saling menyayangi dan mengasihi dalam ikatan yang kuat. Hal ini pernah saya rindukan saat saya pertama kali lebaran di kota suami yang begitu sepi. 

Tak lama setelah itu, dua bidan datang untuk memasang infus. FYI, ini adalah operasi dan rawat inap pertama saya seumur hidup. Alhamdulillah, selama 26 tahun, orang tua merawat saya dengan begitu baik sehingga tak pernah sebelumnya saya merasakan menginap di kasur rumah sakit dan dipasangi berbagai instrumen. Salah satu bidan, menyarankan mandi sekitar pukul 4 pagi karena setelah operasi saya tidak boleh mandi selama beberapa hari. 

Malam itu, saya tidak bisa tidur. Kerasa juga deh deg-degannya... walopun mungkin saya lebih tak nyaman karena ada jarum infus yang tertancap. Rasanya tidak bebas. Saya tengok suami, dia sudah pulas di sofa. Pukul tiga pagi saya membangunkannya, meminta tolong untuk diambilkan mukenah. Di atas kasur, saya melaksanakan sholat malam, berdoa untuk kelancaran operasi beberapa jam lagi. Usai sholat, saya dan suami ngobrol ngalor ngidul karena sama-sama tak bisa tidur. Saat hampir pukul empat pagi, saya bersiap untuk mandi dan berganti kostum operasi. Pengalaman mandi dengan tangan terinfus ternyata merepotkan ya... 

Pukul 5 pagi, dua bidan semalam datang lagi. Ada yang menyuntikkan antibiotik di lengan bawah, yang mungkin untuk uji alergi. Suntikan ini sepertinya suntikan paling nyeri seumur-umur bertemu dengan jarum injeksi. Alhamdulillah tidak ada reaksi gatal, tapi nyut-nyutan minta ampun. Yang kedua, mereka memasang kateter untuk menampung urin. Masya Allah sakit banget rasanya! Badan saya terkejut, hingga bidan menyuruh saya rileks, agar kateter bisa segera terpasang. Hfft! Bidan-bidan ini bekerja begitu cepat sehingga saya baru sadar bahwa sebentar lagi saya akan dibawa ke ruang operasi. Deg-degan, meeeen!

Kasur pun didorong keluar kamar. Rupanya orang tua saya sudah datang. Kami tak sempat berbincang, saya hanya mencium tangan suami, Mama dan Ayah. Meminta restu dan sekaligus meminta maaf. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi nanti di meja operasi. Membayangkan berbagai hal membuat perjalanan menuju ruang operasi terasa sentimentil dalam benak saya. Beberapa kali, mata saya panas karena menahan tangis. Saya tak ingin cengeng mewek-mewek, namun beberapa tetes air mata akhirnya lolos juga. 

to be continued... biar ga kepanjangen aja sih :p

Selasa, 06 Mei 2014

38 Weeks: The Hardest Week?

Entah ini bakal menjadi minggu terberat atau tidak? 

Semalam setelah pulang kontrol dari dokter kandungan, perasaan saya campur aduk karena divonis indeks ketuban saya rendah atau dalam istilah medis disebut oligohidramnion (bila indeks ketuban kurang dari 5 cm). Dari empat titik kuadran di perut, hanya terdeteksi satu kantung ketuban dengan indeks 4 cm. Tiga titik lainnya (sepertinya) kosong melompong. 

Posisi kepala bayi saya tersayang juga masih belum ingin mengunci di panggul, walopun letaknya sudah oke di bawah. Dia masih floating gitu... 

Karena dua kondisi tadi, dokter menyarankan agar saya segera mengambil keputusan untuk operasi cesar. Pada saat itu, saya masih bersikap biasa saja. Tenang, inhale exhale. Saya sendiri malah heran kok bisa setenang itu, mana tanpa dampingan suami pula. Mungkin ini salah satu efek belajar Hypnobirthing sedari trimester awal, bahwa bayi akan menentukan sendiri ingin dilahirkan dengan cara apa. Orang tua harus tetap tenang, ikhlas dan selalu berpikir positif dengan segala perubahan yang terjadi baik di dalam maupun di luar rahim. Alhamdulillah, afirmasi ini bekerja dengan baik saat dokter melontarkan kata sectio cesar. 

Ngga tanggung-tanggung, dokter menyarankan operasi esok hari. Lalu saya utarakan bahwa sang Ayah baru akan sampai Jember kira-kira tanggal 12 Mei. Dokter pun sedikit melunak dengan memberi  kesempatan satu minggu, dengan catatan saya rajin melakukan monitoring gerakan bayi. Sedikit saja gerakan bayi terasa lemah dan perut terasa sepi, saya harus buru-buru lapor ke rumah sakit agar segera dilakukan tindakan.

Apa hubungan gerakan janin dengan ketuban kurang? Ketuban adalah salah satu media tumbuh kembang janin selama di rahim. Jumlahnya harus pas tidak kurang dan tidak berlebihan, karena masing-masing ada resikonya. Bagaimana janin bisa berkembang dengan baik, bila medianya tidak mumpuni. Istilah singkatnya demikian. Untuk lebih jelasnya tentang oligohidramnion mungkin bisa digugling sendiri ya, daripada saya salah kata dan persepsi. 

Usai dari dokter, saya segera telepon suami. Kebetulan dia sedang dinas luar kota di Kupang. Minggu depan memang dia sudah ambil cuti untuk pulang ke Jawa, namun sebelumnya dia harus melewati seminggu di Kupang dan Bandung dulu untuk rapat. Rencana beberes rumah Surabaya sebelum lahiran pun batal. Mas Dian memajukan tiket kereta agar segera sampai di Jember. 

Lalu apa rencana saya? Setuju operasi? Bertahan normal?

Saya serahkan sepenuhnya kepada sang bayi yang tersayang. Seminggu ini saya pusatkan beberapa usaha untuk memperbaiki posisi kepala janin agar bersedia masuk panggul dengan cara melakukan berbagai gerakan yang mendukung yang sudah dipelajari saat senam hamil. Contohnya, sujud, nungging, pelvic rocking menggunakan birthing ball dan tentu saja jalan kaki. Selain itu, saya juga berusaha menambah volume air ketuban dengan meningkatkan asupan air putih dan elektrolit yang di dapat dari air kelapa muda, juga memperbanyak buah dan sayur. Cara ini memang tidak paten dan entah teruji klinis atau tidak. Tapi, paling tidak, itulah yang saya dapatkan dari browsing sana sini untuk meningkatkan volume ketuban. 

Tidak lupa juga saya lakukan pencatatan gerakan bayi yang tiap setengah jam harus minimal ada empat kali gerakan. Gerakan bayi di minggu-minggu hamil tua ini, memang saya rasakan tak sama seperti trimester lalu. Dulu, saya sampai beraduh-aduh saking sakitnya tendangan si janin. Mungkin karena rahim masih cukup luas untuk dia berekspresi ya. Sekarang, lebih kalem namun frekuensinya masih aman. Alhamdulillah. 

Usaha lain yang saya lakukan dengan kontrol jantung janin dua hari sekali di bidan rumah sakit tempat rencana dilahirkan. Alhamdulillah juga, tadi diperiksa pun masih batas wajar. Masih ada yang ketinggalan? Yap, komunikasi dengan janin, agar menjadi satu tim yang kompak dalam persalinan nanti. 

Saya berharap minggu ini tidak seberat yang terlihat. Hingga tulisan ini ditulis saya masih bisa tertawa, berolahraga dengan santai dan tidak bermuram durja menyalahkan keadaan. Setidaknya seminggu ini saya tahu, saya akan berusaha sebaik mungkin. Apapun yang diinginkan si bayi untuk melihat dunia. Insya Allah saya dan suami siap. []

Kamis, 10 April 2014

The Strongest Woman in My World

Ada satu hal yang harus saya syukuri di saat tengah hamil seperti ini, bahwa saya masih mempunyai seorang Ibunda, yang biasa saya panggil Mama. 

Apa hubungannya?

Dalam kasus saya, banyak sekali hubungannya. Seperti yang pembaca budiman sudah tau (pura-puranya ini blog pembacanya jutaan ya... hehe), bahwa saya menikah dengan seorang lelaki yang memiliki pekerjaan berlokasi beberapa pulau dari Jawa. Karena saya punya tanggung jawab di Surabaya, otomatis untuk sementara ini kami harus menjalani long distance marriage. Hih, mana enaknya? Ngga enak, trust me. Tetapi kadang, pilihan paling jelek pun harus diambil demi rencana-rencana yang lebih indah nantinya. 

Ketika saya positif hamil, praktis perhatian orang tua dan mertua pun jadi meningkat beberapa level. Mungkin bukan karena posisi si jabang bayi sebagai cucu pertama kedua belah pihak. Saya sih melihat mereka prihatin dengan keadaan saya yang berbadan dua namun tinggal sendirian di sebuah kontrakan nun jauh di pojokan Surabaya. 

Mama jadi sering mengunjungi saya selama berminggu-minggu meninggalkan rumah di Jember. Saya ingin sekali tidak merepotkan beliau yang rambut putihnya sudah dimana-mana itu, tapi apalah daya... Saya lahir dari rahim seorang wanita yang keras kepala in a good way ya. Mama tentu tidak tega meninggalkan saya mual-mual seorang diri atau kerepotan masak karena mendadak saya jadi males nongkrong berlama-lama di dapur. Pada awal kehamilan, saya masih harus mengurus proyek video yang membuat saya harus tahan banting bolak-balik kontrakan ke tengah kota Surabaya, which is cukup jauh. 

Saya berjanji setelah proyek selesai, akan kembali ke rumah orang tua di Jember dan hanya pergi ke Surabaya saat kontrol dokter saja. Bagaimana pun kontrakan tidak bisa ditinggal begitu saja dalam keadaan Surabaya sedang rajin-rajinnya diguyur hujan. Banjir, bocor dan halaman yang penuh ilalang liar menjadi momok bagi saya saat harus meninggalkan kontrakan berminggu-minggu. 

Sebenarnya Mama tidak keberatan berlama-lama di Surabaya dan membantu saya selama hamil. Apalagi Mama saya senang plesir dan sering bosan dengan rutinitas di rumah Jember yang begitu-begitu saja. Ditambah adik lelaki Mama yang berdomisili di Surabaya sedang menderita stroke. Kerap kali, saat Mama datang dari Jember, beliau membawa banyak bahan makanan untuk stok Om saya itu mengingat istri Om saya tidak terlalu bisa memasak. Saat saya bilang 'membawa banyak bahan makanan', itu benar-benar buanyak dan berat. Padahal sering Mama saya hanya seorang diri berangkat dari Jember ke Surabaya menggunakan kereta dengan gembolan super berat. Saya hanya bisa mengomel karena tidak tega Mama menguras tenaga seperti itu. Tapi Mama saya lagi-lagi bersikap cuek dan santai. Adalah kegembiraan tersendiri jika Mama bisa bagi-bagi lauk dan membuatkan berbagai masakan untuk adiknya yang tengah sakit keras. 

"Mama ini ngga punya apa-apa, jadi cuman bisa masakin Om. Di Surabaya apa-apa mahal, ikan jelek-jelek, mending belanja di Jember terus dibawa ke sini, " ujarnya ketika saya meminta untuk sekali-kali hanya membawa dompet saja saat bertandang ke Surabaya. 

Saat memasuki trimester kedua, ternyata istri kakak saya positif hamil anak pertama juga. Kebetulan kakak saya dan istrinya masih tinggal bersama Mama dan Ayah di rumah Jember. Jadilah saya semakin ngga bisa egois untuk membiarkan Mama berlama-lama di rumah Surabaya. Sebagai orang tua, Mama harus bersikap adil memberikan perhatian untuk anak-anaknya yang sama-sama tengah mengandung. Pada suatu makan malam di rumah Jember, Ayah saya berangan-angan agar saya kembali ke rumah mereka saja. 

"Kasian Mama bolak-balik," ujar Ayah. 

Salah kalau Ayah mengira saya tidak memikirkan semua ini. Pada akhirnya memang saya memutuskan untuk melahirkan di Jember. Mama rupanya agak bersedih karena frekuensi mengunjungi adiknya yang sakit pun jadi berkurang sejak saya meninggalkan Surabaya. 

8 April 2014 kemarin lusa, Mama berulang tahun yang ke-53. Saya berharap bisa memberikan lebih dari sekedar ucapan dan doa. Tapi saya tak pernah tahu apa yang harus saya berikan. Dibelanjakan beberapa potong baju baru pun tidak akan melegakan. Saya hanya merasa berhutang terlalu banyak pada beliau, terutama saat masa kehamilan ini. Sungguh ingin berterima kasih melebihi apapun. 

"Saat hamil dan menyusui memang paling lebih enak kalau dekat dengan ibu sendiri, terutama kalau baru pertama kali melahirkan," kata seorang bidan di rumah sakit tempat saya mengikuti senam hamil.

Saya harus mengamini pernyataan tersebut. Bukan berarti dekat dengan mertua tidak enak lho... Tapi ada bonding yang tidak terganti yang muncul selama Mama membantu saya melewati masa kehamilan. Makanya saya bersyukur luar biasa masih punya seorang ibu (dan mau direpotin putrinya). 

Semoga dengan melahirkan cucu yang sehat untuk Mama, bisa menjadi hadiah yang berarti. []

Minggu, 06 April 2014

34 Weeks of Pregnancy: Waiting and Waiting

Dua minggu lagi resmi membawa si janin selama 9 bulan di dalam rahim. Well, semakin senang, excited ngeliat kalender (teuteup), dan rada bingung plus... bosan. Apalagi kalau ngeliat status temen-temen pada plesiran ke sana kemari, sedangkan saya hanya sibuk tidur-tiduran sambil pegang hape. Hahahaa... 

Entahlah, frekuensi ngantuk semakin meningkat. Perut mudah lapar tapi tak boleh diisi terlalu kenyang. Mengapa? Karena nanti sayanya jadi mual. Mungkin karena lambung udah sempit terdesak badan si bayi. Pernah suatu malam kira-kira seminggu lalu, saya tidak bisa tidur karena perut mulas luar biasa, sampai keluar keringat dingin. Mencoba tidur berbagai posisi juga tidak bisa segera terlelap, dari miring ke kiri sampai nungging-nungging. Jadinya saya berusaha menahan sembari ditelpon suami sepanjang malam sekedar melupakan sakit.

Saat itu, yang saya gumamkan dalam hati hanya satu, "jangan lahir dulu, Nak... belum cukup bulan... santai-santai dulu ya di dalam. Ayahmu juga belum datang." Lewat tengah malam, akhirnya saya bisa terlelap. Esok harinya, badan lemas dan perut mual laiknya hamil muda. 

Alhamdulillah, saat dibawa ke dokter, si bayi tidak ada masalah. Malah lewat layar USG saya bisa melihat, kaki-kaki mungilnya sedang berputar-putar seperti sedang mengayuh sepeda. :')

Mengapa bisa semulas itu? Kalau Braxton Hicks kok kayaknya bukan ya? Mungkin lebih karena saya kebanyakan makan keju pada sore harinya. Sudah lama tidak makan susu dan turunannya membuat perut saya bekerja lebih giat untuk memproduksi enzim pencerna keju. Yap, saya memang termasuk golongan yang tidak mengonsumsi susu ibu hamil. Hal-hal semacam itu memang keyakinan masing-masing lah ya. Tapi saya tau persis kondisi badan saya saat dihantam susu hingga mengambil keputusan ini. 

Buat yang ngga doyan susu atau intoleran, tidak mengonsumsi susu ibu hamil selama masa mengandung, bukan masalah kok. Dokter obgyn saya juga tidak ambil pusing dan tidak menyarankan harus minum susu bumil. Mau beli silahkan, ngga mau beli juga ngga bakal kenapa-kenapa. Gitu prinsipnya. 

Hmm... cerita apa lagi ya.. Minggu ini berat janin sudah 2,1 kg. Kalo versi saya sih, paling berasa membawa 'gembolan' besar bukan saat jalan kaki, tapi ketika tidur. Apalagi jika posisi badan ingin diubah, misal dari miring ke kiri lalu ke kanan. Rasanya berbagai benda di dalam rahim ikut bergerak. Tentu hal semacam ini, tidak bisa saya lakukan dengan cepat. Musti slow motion dulu, agar yang di dalam perut menyesuaikan diri kalau emaknya bosen di satu posisi. 

Ini sudah bulan April, dan Insya Allah bulan depan, bakal benar-benar bertemu si bayi. Walaupun saya bosan luar biasa dengan kegiatan akhir-akhir ini, tapi saya berusaha menikmati masa-masa akhir kehamilan. Gerakan-gerakan janin yang katanya bakal dikangenin nanti. Memang kadang timbul iri kalau melihat teman-teman terdekat pada asik jalan-jalan, pengen nemplok ikutan gitu. Ditambah kalau suami sudah ikut plesiran bersama kawan kantornya, rasanya ngga adil kalau saya bengong sendirian di kamar. Tapi apalah daya, sudah memutuskan untuk hamil, ya harus terima plus minusnya. Insya Allah rejeki yang di dalam rahim ini tidak terganti. Amiiinn... 

Nanti kita jalan-jalan kalau sudah lahiran ya, Nak :) 

*teuteup*

Rabu, 19 Maret 2014

Entering The Last Trimester: A New Chapter For Us

Leaving my-very-happy second trimester and start counting the days! Seminggu lagi sudah resmi membawa janin ini selama 8 bulan di dalam rahim. Artinya, kurang lebih tinggal dua bulan saja sebelum bear-benar mendengar suara rengekan si bayi. 

Sejauh ini saya disibukkan dengan proses pindahan dokter. Setelah berembug panjang lebar dengan suami dengan mempertimbangkan permintaan kedua belah pihak orang tua, akhirnya kami memutuskan InsyaAllah akan menjalani persalinan di kampung halaman saya, Jember. 

Karena selama 7 bulan awal, saya dan suami tak pernah mengira perubahan ini, otomatis saya agak kelabakan mencari dokter dan rumah sakit di Jember yang paling sreg dengan keinginan hati. Apalagi selama di Surabaya pun saya tak pernah berganti dokter kandungan saking sudah nyamannya sedari awal. 

Rupanya keluar dari zona nyaman memang tak pernah gampang. Terbukti saya jadi gampang kepikiran ini itu selama hampir sebulan, susah tidur juga (walaupun mostly karena perut saya sudah membesar), dan menjadi sangat tidak stabil. Perubahan ini tampak sangat sederhana dan  mudah dilakukan di mata orang lain, tapi sebagai calon ibu, wajar kalau saya mempunyai keinginan pribadi bila menyangkut jabang bayi saya sendiri. Melakukan transfer dokter bagi saya berarti sudah siap menghadapi perbedaan 'tangan', sikap dan mungkin juga keilmuan. Well, sekali lagi, manusia hanya berencana saja. Apapun itu semoga membawa kebaikan untuk keluarga kecil kami. Alhamdulillah, segala 'drama' ini sudah berhasil kami lewati dengan lapang dada.

Saya juga sudah mulai berbelanja ini itu untuk keperluan sang bayi. Lumayan untuk mood booster. Namun, hal yang menyenangkan ini akan berubah menyeramkan sesampainya di meja kasir. Hahaha... Kebutuhan si mungil jaman sekarang memang macam-macam ya, lucu-lucu lagi, sebagai orang tua harusnya memang pandai-pandai mengontrol keinginan pribadi. Yang dibeli harusnya yang butuh saja. Sejauh ini sih seperti itu, entah nanti kalau bayinya sudah lahir. :p

Memasuki trimester akhir, bukan persoalan belanja keperluan bayi melulu ya. Justru saya berusaha mengisi otak dengan artikel-artikel yang bermanfaat untung menghadapi persalinan. Berjam-jam di depan laptop, membaca ini itu. Lalu sedikit banyak mulai mempraktekkan senam hamil untuk kekuatan badan. Dan tentu saja, masih berlatih relaksasi dari Hypnobirthing hampir setiap hari. 

Menjalani kehamilan sebesar ini dengan kondisi jauh dari suami, rupanya tak semudah bayangan saya. Di trimester awal dan kedua, semua tampak oke. Namun, hormonal imbalance semakin menjadi-jadi memasuki trimester akhir. Jadi lebih sering kangen si calon ayah, kepingin ditemenin belanja, jalan kaki pagi atau mencari makanan yang diidam-idamkan. Mungkin suami saya juga sudah bosan tiap kali saya nanya kapan dia bisa pulang. Saya pun kadang sudah bosan melihat kalender hampir tiap saat, dan melakukan kegiatan yang itu-itu saja. 

Anyway, bayi saya sudah bisa apa saja di dalam rahim? Yang jelas, gerakannya makin luar biasa kencang. It's good, kata dokter. Bukti bahwa dia tumbuh sehat hingga menjadi aktif bermain di dalam kolam ketuban. Beratnya pun sudah melaju (cukup kencang), sehingga sekarang saya menjadi agak was-was tiap ingin melahap sesuatu. Sayangnya, keinginan untuk nyemil berbagai macam makanan ringan selalu datang hampir tiap saat. Kalau sudah seperti itu, biasanya saya langsung rebahan di kasur dan mensugesti diri agar tidur saja. Sembari berniat bahwa saya akan melahap semuanya tanpa mikir A, B, C begitu persalinan dilewati. :9

Kamis, 13 Februari 2014

Menjadi Nominator Lomba Foto Sadar Wisata 2013


Sebelumnya, mari saya tegaskan dulu bahwa pengumuman ini sudah lebih dari 6 bulan lalu usianya. Hehehe... jadi pemenangnya pun sudah ketauan kira-kira bulan Oktober 2013 lampau ya. Tapi berhubung belum saya dokumentasikan di dalam blog, jadilah hari ini saya niat posting walaupun beritanya sudah basi. 

Jadi, Lomba Foto Sadar Wisata adalah salah satu lomba foto yang rutin diselenggarakan tiap tahun oleh Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Nah, kira-kira sejak 2009 atau 2010 gitu ya, saya rajin ngikuti lomba foto ini secara diam-diam dan tak tahu diri hahaa... Ya, gimana ngga tahu diri, wong megang kamera aja baru kemarin lusa udah nekat ikut-ikutan lomba taraf nasional. Saya ingat betul, foto batch pertama yang saya kirim salah satunya bertema pantai di Karimun Jawa, tempat berlibur sehari setelah dinyatakan lulus sidang skripsi. Apakah saya berhasil menggondol belasan juta rupiah sebagai pemenang? Tentu sajaaa... tidak. 

Mungkin terlihat bodoh dan percuma, saat saya kembali mengikutkan beberapa foto batch kedua pada tahun berikutnya. Lalu ada peningkatan kah? Masih tetap tidak ada yang lolos juga. Entah mengapa, saya masih ngga menyesal membuang uang untuk mencetak foto-foto lalu mengirim ke panitia di Jakarta dan lantas menerima kenyataan kalau ngga menang. Kenapa? Karena dengan seperti itu saya bisa lebih belajar lagi, bagaimana sih mengambil foto yang bagus JIKA dinilai dari kacamata Kemenparekraf. 

Dari ikut lomba-lomba ini juga saya akhirnya nyadar bahwa foto yang menarik itu sifatnya relatif. Bagi kita si pengambil foto, mungkin foto A udah sangat super teknik motretnya  tambah lagi tingkat kesusahan pengambilan momen patut diapresiasi. Tapi setelah sampai di tangan orang lain, dalam hal lomba tentu saja para juri, bisa jadi foto A tersebut biasa aja, klise, dan tidak menarik. Kita mau protes sampe kayang pun ngotot kalo foto A buagus buanget juga ngga bakal ada hasilnya. Karena ya seperti itulah seni berkompetisi. Masih banyak variabel di dunia fotografi yang berpengaruh pada sebuah karya. Jika sekiranya kita ngga gampang nrimo, ya mungkin lebih baik ngga usah ikut lomba ya. 

Pada saat Lomba Foto Sadar Wisata digelar lagi pada 2013, saya sempat ragu apakah mau ikut lagi atau tidak. Saya lupa, sudah berapa batch foto saya yang dikirim untuk ikut berkompetisi pada lomba ini (dan masih kalah aja). Iseng liat-liat stok foto terbaru, dan memilih beberapa untuk (mungkin) diikutkan lomba. Hingga hampir hari terakhir pengumpulan, saya masih bimbang dan memang ngga seambisius tahun-tahun sebelumnya.

Pernah denger kutipan ini ngga, a quitter never wins and a winner never quits? Lah kok pas ada aja yang ngetwit kayak gitu pas saya ragu ikutan lomba. Dari stok foto yang sudah saya pilah-pilah dan berusaha mengambil pelajaran dari tahun-tahun lalu, akhirnya saya kirim juga beberapa karya saya, dengan embel-embel nothing to lose yang penting usaha dan nyoba. 

Ndilalah, beberapa bulan kemudian saya mendapat email dan sms bahwa saya masuk sebagai 30 nominator Lomba Foto Sadar Wisata 2013. Wuidih! Seneng banget dong ya! Apalagi foto yang lolos adalah foto dari kampung kelahiran sendiri di Jember.

Dari foto tersebut saya berusaha menggambarkan suasana pagi saat nelayan pulang melaut di Pantai Papuma. Meskipun saya sering plesir ke Papuma, karena merupakan pantai paling 'dekat' pusat kota, namun saya ngga pernah ke sana saat subuh-subuh. Pada saat itu, kebetulan suami saya (yang statusnya masih calon) datang bertandang ke Jember bersama keluarganya untuk nembung atau melamar saya gitu deh. Hehehe... Keesokan harinya kami berdua piknik dadakan ke Papuma setelah subuh berkumandang. Perjalanan kira-kira 40 menit menggunakan motor dengan sangu dua kamera yaitu Nikon d5000 milik saya dan Canon poket milik si (calon) suami, yang saya lupa serinya. :p

Karena suami saya baru membeli handphone HTC OneV, jadilah dia lebih banyak memotret dengan gadget tersebut. Dan karena saya malas membongkar kamera besar (baca: DSLR), akhirnya saya pun lebih sering menggunakan poket Canon. Foto yang lolos menjadi 30 nominasi di lomba ini adalah salah satu hasil poket Canon. 

Dari sini saya belajar lagi, bahwa alat bukanlah segala-galanya. Terbukti bertahun-tahun sebelumnya saya selalu menyerahkan hasil foto dari DSLR untuk lomba, eh lah kok yang masuk nominasi akhirnya malah dari kamera kecil yang sering kali disepelekan. Sekarang jaman makin canggih ya, mirrorless juga sudah banyak yang mumpuni dan harganya malah jauh di atas DSLR entry level. 

Dengan menjadi nominator, otomatis ini pertama kalinya foto saya dicetak besar mungkin sekitar 20R dan dipamerkan di hadapan orang banyak. Waktu itu sih pamerannya di Grand Indonesia di Jakarta. Sayangnya, saya tidak bisa hadir, kecuali ada tiket pesawat gratis dari panitia untuk rute SUB-CGK PP yaa hahaha... Padahal pengen banget foto narsis di depan karya saya sendiri. 

Seorang teman di Yogyakarta, Lingga Binangkit, yang juga menjadi salah satu nominator, pun tidak bisa berangkat ke Jakarta. Mungkin kami adalah contoh fotografer kere yang ngga mampu beli tiket transpor ke Jakarta ya, hahahahaa... Tapi beruntungnya, salah seorang teman Lingga ada yang datang ke pameran dan memotretkan hasil karya kami yang sedang dipajang di sana. Terima kasih, teman Lingga! :D

Walaupun akhirnya saya tidak menang, tapi saya sudah cukup bisa berbangga diri bisa masuk nominasi. Apalagi kalau melihat 'riwayat kerajinan' saya ikut lomba ini sejak beberapa tahun lalu. :p

Apakah tahun ini saya akan ikut lagi? Hahaha, entahlah, karena selain tak punya stok foto terbaru, mungkin saya akan disibukkan dengan kelahiran si anak pertama... :D


Foto saya yang tengah tentang suasana nelayan di Papuma yang pulang melaut


PS:

Rabu, 12 Februari 2014

Selamat Ulang Tahun, (Calon) Bapaknya Anak-Anak

Norwegian Wood versi Bromo, 2013

12 Feb 2014

Dua tahun lalu, masih bisa barengan ya, ulang tahun di Waingapu. Setahun setelahnya, kita ulang tahun di mana ya, Jember atau Semarang gitu kan? Waktu itu status sudah sah suami istri, belum seminggu sih sahnya hehe... Tahun ini kudu sabar dulu, terpisah jarak ratusan kilometer, Jember - Waingapu. 

Doa memang selalu terlantun setiap saat untuk kesehatan; rejeki yang tidak ada tandingannya. Tapi tahun ini, di usia 30 tahun, lumayan spesial ya. Sembari menanti kehadiran anak pertama di bulan Mei, terselip doa agar kelak menjadi Bapak yang terbaik buat anak-anak. Ngga perlu diperlihatkan untuk orang lain, cukup untuk keluarga kecil kita sendiri yang tau. 

Semoga derajat kesabaran dan keimanan (beserta kegantengan) ikut meningkat seiring bertambahnya usia (dan rambut putih). Jangan khawatir Sayang, aku bakal semakin rajin mencabuti uban-uban di kepala. Tarifnya masih 5000 rupiah per uban kan?

*ternyata matre* :p

Semoga ulang tahun depan, kita bertiga bisa berkumpul dalam satu atap, mungkin sekedar makan pisang goreng dan minum Naraya dingin, sembari gelimbungan di kasur bersama si anak pertama yang pasti sudah mulai merangkak-rangkak dan hobi memporak-porandakan isi kamar. 


Selamat ulang tahun, (Bapak) Dian Prasetyo Nugroho. We love you :)

Selasa, 11 Februari 2014

The Second Trimester: More Than Enough

More than enough?

Maksudnya piye?

Begini, saat memasuki trimester kedua, itulah saat-saat yang menyenangkan terjadi sehingga trimester ini berasa sangat cepat berlalu. Tiba-tiba saja, pada saat saya menulis postingan ini, usia kandungan saya sudah menuju minggu ke-27, yaitu awal mula trimester tiga.

Pada trimester kedua saya resmi bebas dari flu, batuk, pilek, nyeri pinggang, dan mual muntah. Dan hey, tekanan darah saya pun naik yang biasa cuman 90/70, sudah bisa menyentuh 100/80. Prestasi banget! 

Satu-satunya "kerepotan" yang harus saya lakukan adalah makaaaan. Yap, makaaan sesering mungkin. Ini dikarenakan kenaikan berat badan saya iriiit banget. 3 bulan pertama hanya mentok naik 2 kilogram. Mau ngga mau, berat badan harus didorong terus demi pertambahan gizi si janin. Well, sungguh saya ngga sedang melakukan program diet apapun. Makan saya juga sudah banyak, 4 kali sehari malah. Di trimester kedua ini saya lagi doyan kue-kuean tepung gitu. Dari jajanan pasar hingga menu sarapan orang ameriki ya, pancake. Es krim pun tak kekurangan stok, selalu ada di freezer

Ngemil menjadi kegiatan yang super syahdu. Apalagi kalau saya sudah pengeeen banget sesuatu, lalu sesuatu itu tersedia di hadapan saya. Bahagianyaaa... lebih dari cukup! :D

Pada trimester kedua ini juga, saya dan suami sempat satu minggu di Yogyakarta karena suatu urusan berkaitan dengan aplikasi beasiswa S2 si suami. Wah, karena sudah lebih dari setaun ngga ke Jogja, maka kami pun rela menerobos hujan demi berwisata kuliner. Sudah kangen berat sama berbagai bakmi godog! Selama satu minggu itu saya ngerepotin suami yang sedang flu untuk makan ini itu dan turut menikmati pancake dengan topping es krim. :p

Di hari Minggu pagi yang selo, kami berdua sempat jalan-jalan di UGM, melewati mantan kampus (dan mantan-mantan kenangan si suami :p). Itung-itung ngelemesin kaki ya olah raga pagi di UGM, dan ngenalin janin ke kampus ayahnya. Sekalian juga deh saya foto-foto maternity. *halah*

Abisnya, ngga punya foto pas hamil :p

Setelah pulang dari Jogja, suami masih ada waktu seminggu lagi di Surabaya. Hasyek!! Maka, kepingin makan ini itu pun semakin lancar prosesnya. Tinggal ambil kunci motor, ngeng ngeeeng, berangkatlah kita ngemil. 

Cemilan favorit saya selama trimester kedua ini adalah es krim tutty fruity dan terang bulan pisang keju yang meleleh di lidah saat masih ngepul-ngepul... MasyaAllah nikmatnyaaaa... (sekali lagi) lebih dari cukup! :D

Sudah makan segitu banyaknya ternyata berat badan saya naiknya juga masih irit banget hahahaa... Hingga minggu ke-24, saya 'baru' naik 5 kg sejak awal positif hamil. Sempet deg-degan juga janinnya gimana. Tapi Alhamdulillah, so far kata pak dokter, janin dalam kondisi normal dan sehat. Saya juga belum disuruh naikin berat badan yang drastis gitu. Mungkin masih dalam rentang yang wajar ya. Tapi, tiap ketemu temen atau saudara gitu ya, selalu dibilang badan saya ngga kayak orang hamil. Hiks. Udah ada 1257 orang kayaknya yang komen kayak gitu :| 

Eniwei, seiring perkembangannya, si janin sudah pinter banget nendangin perut ibunya. Kadang saya berasa lagi ditinjuin segala. Entah ni anak lagi latian apa gitu ya di dalem. Lucu saat direkam, perut saya kayak ada gelombangnya, tapi kalau gerakan dia mengenai tulang saya, lumayan juga nyerinya. +_+

Tapi kalau ngga ada gerakan, saya malah sibuk nyariin dia. Hehehe... rempong ya emaknya. Semakin lama juga, saya sering ngerasain kangen sama anak sampe pingin punya mesin USG sendiri... hahaha... Kontrol ke dokter yang rutin sebulan sekali jadi berasa lamaaa banget saking kepingin ketemu di layar monitor. 

Belum lahir, tapi sayangnya udah kebangetan ini :p Eniwei, perjuangan (makan) masih akan berlanjut demi perkembangan si bebi!  Beberapa malam terakhir, saya agak susah tidur karena perut yang mulai nampak offside. Anggap saja ini pemanasan sebelum berucap selamat datang trimester akhir, minggu depan. :)

Sabtu, 08 Februari 2014

Setahun dan Seratus


Subuh tadi ditelepon Mas Dian dan dengan suara yang masih berat karena terkantuk-kantuk, dia berujar, "Selamat ulang tahun buat kita berdua, hehe..."

Well, ternyata sudah setahun kami membina biduk rumah tangga. 

(((biduk)))

Dengan segala keterbatasan yang dimiliki, ternyata memang tidak ada yang lebih baik dari keputusan untuk menikah pada 8 Feb 2013 lalu. Seperti kata orang-orang tua, jalan masih panjang. Perkawinan bukanlah hal gampang dan remeh, tapi tentu saja, Allah sudah berpesan bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan dan jalan keluar. 

Semoga, ya, semoga, apa yang menjadi rencana keluarga kecil ini dapat dicapai pada waktu yang tepat. Amin. 

Anywaaaay... 100 days to go!  Estimasi kelahiran yang ada di perut saya sekarang, hehe.. Semakin excited, deg-degan campur aduk! Apapun itu sehat terus ya, Nak. We love you so much :*

Selasa, 28 Januari 2014

Cerita Tiga Bulan Pertama (2-end)

Apakah saya bisa dikatakan selamat dari 'penderitaan' morning sickness?

Bisa iya, bisa tidak. Memasuki minggu ke delapan, badan saya lebih gampang drop. Padahal minggu-minggu sebelumnya, saya masih bisa menyetir motor dan mengurus proyek video di Pemkot Surabaya. Bolak-balik yang melelahkan karena lokasi cukup jauh dan proses negosiasi dengan klien yang kadang makan ati. Mungkin saya memang tak cocok bekerja dengan plat merah. Entahlah. 

Suami, orang tua dan mertua mulai mewanti-wanti agar tak ambruk terlebih stress. Apalagi hamil muda masih rentan tertimpa banyak problem, seperti keguguran dan embrio tak berkembang atau biasa dikenal blighted ovum. Tentu saja, yang bisa mengukur seberapa lelah dan seberapa kuat badan ini, ya pasti saya sendiri.

Alih-alih mual dan muntah, 'penyakit' yang lebih banyak mengganggu kehamilan saya di trimester awal adalah pusing, batuk dan nyeri pinggang. Saya memang pernah beberapa kali mual hingga harus dimuntahkan, tapi hitungannya tak sampai sebulan, itu pun tak setiap hari. Sehingga boleh sih dikatakan saya cukup selamat dari 'derita' morning sickness. Apalagi mendengar tetangga yang berdiri-pun-tak-mampu hingga menginjak bulan kelima. Atau seorang teman yang wajib nongkrong di depan toilet setiap jam 9 malam karena memasuki waktu rutin isi makan malamnya akan keluar dari perut. Memang setiap kehamilan itu unik, tak perlu dibanding-bandingkan. Cukup berucap Alhamdulillah masih bisa begini begitu selama trimester awal.

Nah, seperti yang sudah saya sebut tadi. Gangguan yang paling membekas dan terasa sakit banget adalah pusing, batuk dan nyeri pinggang. Di 3 bulan awal, terhitung 2 kali saya ke dokter obgyn dengan keluhan batuk dan pilek yang berkepanjangan. Saya sampe keheranan dari mana asalnya batuk dan pilek ini karena setelah dinyatakan hamil saya jarang banget jajan aneh-aneh. Lalu saya pun menyalahkan cuaca Surabaya yang sedang labil-labilnya. Puanas menyengat buanget sampai hampir menyentuh 40 derajat Celcius. Saya masih ingat hari-hari kepanasan itu benar-benar menyiksa. Apalagi suhu tubuh ibu hamil sendiri pun sudah lebih tinggi daripada yang tidak hamil.

Batuk yang saya derita bisa sampai 2-4 minggu. Sembuh hanya beberapa minggu lantas muncul kembali. Saya hampir desperate ngurusin batuk yang satu ini. Riaknya banyak banget dan hampir selalu keluar tiap kali saya batukkan. Ada yang bilang bahwa batuk berkepanjangan adalah bawaan bayi. Duh, coba batuknya batuk duit ya, hehe... Sebenarnya memang susah dijelaskan secara logika ya, bawaan bayi tuh seperti apa prosesnya. Yang dokter bisa katakan hanya penurunan daya tahan tubuh yang kerap terjadi sepanjang kehamilan. Saat menulis postingan ini, usia kandungan saya masuk 24 minggu,  dan sudah sebulan saya terbebas dari batuk yang ketiga. Alhamdulillah, ngga mau lagi Ya Allah. 

Nah, di bulan-bulan awal saya juga mengalami nyeri pinggang yang anehnya cuman di bagian pinggang kiri sampai pantat kiri aja. Paling terasa sakit banget saat berdiri setelah duduk berlama-lama, atau naik motor lebih dari setengah jam. Saking nyerinya, cara jalan saya pun hampir terseret-seret.  Bersin pun pinggang saya terasa nyeri! Klop banget, apalagi masa-masa itu saya sedang menderita batuk parah. Ketika saya curhatkan ke dokter, beliau berujar bahwa semua nyeri pinggang itu akibat pembesaran rahim yang kadang 'menyenggol' urat-urat saraf. Saya diresepkan anti nyeri, yang hanya saya minum dua kali, lantas nyeri pinggang pun pudar hingga saat ini. Alhamdulillah.

Kalau masalah pusing, sebagian penyebabnya mungkin karena tekanan darah saya yang relatif rendah ya, meskipun belum hamil. Jadi saya sudah terbiasa gitu ya dengan tensi 90/70 di kehidupan sehari-hari. Nggak pusing ataupun lemas. Namun, kondisi tersebut agaknya tidak sama saat sudah berbadan dua. Di trimester awal, tiap kali kontrol sebulan sekali ke dokter tensi saya tak lebih dari angka tersebut. Alhasil, setiap pagi saya mumet bin nggliyeng. Dokter tak meresepkan penambah darah karena kasus anemia itu berbeda dengan tensi rendah. Karena penasaran, saya sempatkan tes hemoglobin di laboratorium klinik, sekaligus tes gula darah, kolesterol dan asam urat, according to nyeri pinggang dan pantat yang saya ceritain tadi. Hasilnya, Hb saya bagus dan jauh dari kategori anemia. Gula darah normal, asam urat pun begitu. Hanya saja, kolesterol udah hampir melewati batas normal nih. Mungkin kebanyakan nasi padang yah T_T

Seiring dengan berjalannya waktu, pusing tiap pagi pun menghilang. Tensi saya sudah sekitar 100/80 sekarang ini. Senang rasanya, lama kelamaan semua yang bikin badan sakit ini sudah membaik. Terutama batuk ya, karena guncangannya yang maha dahsyat itu saya takutkan menggangu janin. Tapi Alhamdulillah, everything's fine.

Lalu apakah tiga bulan pertama selalu bercerita tentang sakit ini dan sakit itu? Well, kebanyakan wanita jika ditanya tentang pengalaman hamil muda mungkin itulah yang membekas ya. Tapi tenang saja, lepas dari tiga bulan pertama, masa-masa bahagia, takjub, dan kagum terhadap perkembangan janin akan segera tiba hingga semua yang sudah terjadi terasa layak dinikmati. :)



Senin, 20 Januari 2014

Pagi dan Laut

Seperti biasa, selepas sholat Subuh pukul 5 pagi, saya selalu membuka jendela-jendela kamar. Tentu saja karena udara pagi sangat segar dan terasa sejuk saat dihirup. Beberapa hari ini angin kencang memang sedang melanda Surabaya, kecepatannya, menurut berita sih 40-45 km/jam. Tak tahu pastinya, tapi cukup membuat pohon turi di halaman rumah bergoyang menyeramkan. 

Pagi ini, sembari menikmati angin dingin yang masuk, saya kembali merapatkan selimut. Karena lokasi perumahan ini tak jauh dari kawasan mangrove Surabaya, sudah pasti tiap pagi rumah-rumah berpohon akan disambangi burung-burung kecil. 

Saya susah memejamkan mata kembali. Tiba-tiba saja, saya rindu laut di pagi hari. Udara pagi ini mirip sekali dengan udara tepian laut saat fajar hampir menjelang. Terasa basah dan sepi. Suara dedaunan yang berderik kencang seakan-akan sama dengan suara hempasan ombak di bibir pantai. Lantas, ingatan saya melompat-lompat antara ke pantai Tanjung Bira di Sulawesi dan Dermaga Waingapu di Sumba Timur. 

Saya sering membaca kicauan teman-teman yang hobi bepergian, tentang kerinduan akan suatu destinasi. Tapi saya tak pernah membayangkan bagaimana rasa sebenarnya kangen terhadap tempat, hingga pagi ini datang.