Senin, 28 Februari 2011

The Scientist

"Kamu tau arti arti lagu ini?" tanya saya pada seorang teman, pagi tadi ketika secara tidak sengaja mendengarkan intro lagu Coldplay.

"Ya taulah. Scientist kan ilmuwan," jawabnya, setelah beberapa saat sebelumnya dia menjelaskan tentang detil kemunculan lagu ini dalam salah satu scene film Wicker Park.

Sungguh temen saya ini udah terkenal cerdas lho, sodara-sodara, tapi ya anak TK yang sekarang belajar bahasa Inggris juga ngerti kalo Ilmuwan itu bahasa Indonesia dari Scientist. Dan film bergenre seperti Wicker Park tentu tidak akan menampilkan Scientist, jika arti lagu ini benar-benar tentang "Ilmuwan". Setelah saya ngikik mendengar jawabannya, dan setelah temen saya bete melihat kelakuan saya, barulah saya kasih satu keyword tentang salah satu lagu favorit ini; broken heart. Mari kita tilik liriknya, dan biarkan saya sok-sok bisa menganalisa makna di balik tiap katanya.

Come up to meet you
Tell you I'm sorry
You don't know how lovely you are
I had to find you
Tell you I need you
Tell you I set you apart
Tell me your secrets
And ask me your questions
Oh, let's go back to the start
Running in circles
Calling tails
Heads on a silence apart

Nobody said it was easy
It's such a shame for us to part
Nobody said it was easy
No one ever said it would be this hard
Oh, take me back to the start

Oke, yang bisa saya tangkep dari bagian lirik ini, ada seseorang yang menyesal setelah melakukan kesalahan kemudian putus hubungan dengan kekasihnya. Namun, dia menyadari bahwa patah hati itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilewati, terlebih ketika dia sebenanya masih sayang gitu ya sama mantannya. "You don't know how lovely you are." And he (anggap saja pemeran utamanya adalah cowo, biar gampang nyebutnya) really needs to find her, say sorry, then back to the start again.

I was just guessing
At numbers and figures
Pulling the puzzles apart
Questions of science
Science and progress
Did not speak as loud as my heart
Tell me you love me
Come back and haunt me
I want to rush to the start
Running in circles
Chasing tails
Coming back as we are

Nobody said it was easy
Oh, it's such a shame for us to part
Nobody said it was easy
No one ever said it would be so hard
I'm going back to the start

Nah, baru nih di bagian ini, si cowo berusaha memperbaiki hubungan dengan menjelaskan berbagai logika permasalahan yang mereka hadapi. But science didn't speak as loud as his heart. Mungkin si Chris Martin menggunakan perumpamaan "Science", untuk menjelaskan sesuatu yang irreversible jika ternyata tidak berjalan dengan baik. Bisa terlihat juga kan dari official video lagu ini yang bergerak mundur. Sesuatu yang harus dijalani dan diperbaiki dari awal lagi untuk mendapatkan ending yang benar-benar diinginkan.

Oke, demikian ceracauan saya yang kacau hari ini tentang The Scientist. Anyway, selamat mendengarkan Coldplay :)

Minggu, 27 Februari 2011

Belanja Terus Sampai Mati*

Saat itu bulan puasa Ramadhan memasuki hari kelima belas. Pukul sepuluh pagi saya dengan malas melajukan motor menuju Jembatan Merah Plaza (JMP) ditemani Yayas, seorang teman kuliah dan anak hakim terkenal. Semalam Ibu saya sms, mengingatkan saya untuk membeli dua pasang mukena di JMP untuk hadiah lebaran Mbak yang bantu-bantu di rumah Jember.

Sebenernya tugas itu sudah jamuran umurnya. Saya enggan sekali memasuki pusat perbelanjaan di bulan puasa, terutama seperti Jembatan Merah Plaza, mall favorit ibu saya. Selain jauh dari tempat kosan, pukul lima sore JMP sudah nutup. Dan itu memaksa saya untuk pergi pagi-pagi sekali atau sore sekali demi menghindari macet dan gerahnya Surabaya. Alasan lain, tentu saja karena saya ngga tahan melihat orang sebegitu banyaknya berdesak-desakan, kayak penampakan segelas dawet ayu. Mereka memenuhi stand-stand diskonan main obok-obokan berebut barang bagus dengan harga miring.

Pusing ngeliatnya.

Beberapa tahun terakhir, ketika sudah mulai memahami sifat-sifat kota Surabaya, saya sangat menghindari pusat perbelanjaan di manapun dia berada ketika Lebaran sudah dekat. Entahlah menurut saya itu sama saja dengan mengurangi pahala puasa. Begini, Surabaya itu sudah ditakdirkan menjadi kota yang serba gerah. Bangun tidur, badan gobyos kayak abis nguli. Siangan dikit, kamar kosan berubah jadi sauna. Mau keluar, mata silau banget kena matahari. Biasanya saya mencari cara yang efektif dan efisien yaitu dengan menjadi pecinta kampus walaupun ngga ada kuliah. Dari pagi hingga sore menjelang, saya akan di kampus. Di ruang baca terutama, karena di sana, saya ngga akan kekurangan stok AC. Adem.

Nah, menembus matahari demi belanja pada H minus dikit Lebaran, adalah tindakan yang kurang bijaksana. Terutama kalo Anda sekalian pengguna motor dan angkutan umum. Dehidrasi akan melanda kerongkongan yang kering seperti minta diguyur segelas es teler. Bete satu. Sampai mall, parkiran penuh. Bete dua. Masuk ke dalam mall, begitu mau bayar, antre panjang kayak main ular tangga. Bete tiga. Males antre, batal lah baju baru dibeli. Bete empat. Kebanyakan menggerutu, puasa pun berasa ngga afdol. Bete lima.

Tapi toh, akhirnya tiba juga saat yang tidak dinantikan itu. Saya dan Yayas sengaja berangkat ’lebih pagi’ untuk menghindari panas dan macet. Tapi pukul sepuluh pagi, Surabaya sudah cukup matang. Antrean parkir motor sudah panjang. Apakah sedang terjadi transmigrasi dadakan di dalam pusat perbelanjaan di kawasan Kota Lama Surabaya itu?

Suasana di Tunjungan Plaza tidak jauh beda. Yang membedakan cuman kenyamanan tempat saja. Di JMP gerah, di TP dingin. Gerai-gerai toko baju, tidak pandang merk, berlomba-lomba menampilkan koleksi Idul Fitri di etalase. Berbagai pernak pernik berbau Ramadhan dipasang untuk mendukung suasana. Box-box baju diskon menjadi tempat keramat yang selalu ramai akan pembeli.

Maka tulisan ini juga lebih afdol dengan mendengarkan lagu jaman baheula yang dibawakan oleh Dhea Ananda. Entah judulnya apa, saya lupa. Yang jelas lirik di dalamnya bagaikan obat bius bagi anak-anak kecil macam saya saat itu. Bunyinya seperti ini: baju baru... Alhamdulillah... tuk dipakai di hari raya...

Ohh ya ya, saya ngga mau sok-sok ngga suka kalo dibeliin baju baru. Saya malah hobi merengek kepada ibu untuk melaksanakan ritual cari-baju-untuk-sholat-Ied. Untung di kota kecil yang terbina itu ada sebuah department store yang cukup kece pada jaman saya masih pake seragam merah putih. Memakai segala sesuatu serba baru dan bagus pada saat hari raya rasanya seperti benar-benar terlahir fitri kembali walopun puasanya setengah hari. :p

Beberapa mall bahkan menggelar midnite sale menjelang akhir bulan puasa. Barang branded tapi mahal, itu uda klise, sopir angkot juga ngerti. Nah, kalo dapet branded dengan harga miring, itu baru namanya prestasi. Saya pernah satu kali ikut-ikutan ritual berburu diskon dini hari. Wiih, suasana belanjanya lebih magis daripada jam normal. Antre kasirnya sadis pula!! Just like there’s no tomorrow...

Yah, rupanya, beberapa setan masih belum benar-benar terpenjara di bulan Ramadhan. Simak saja sebagian lirik Efek Rumah Kaca ini: Atas bujukan setan, hasrat yang dijebak jaman, kita belanja terus sampai mati.

Saya juga ngga paham sejarah awalnya, hingga belanja menjelang Lebaran (mungkin) bisa disejajarkan derajat pahalanya dengan melakukan Sholat Taraweh full selama satu bulan Ramadhan. Rayuan gombal diskon mungkin lebih berasa efeknya ketimbang bujuk manis pria picisan mana pun. Kalau udah ngeliat diskonan, yang ada tuh barang yang semula ngga butuh, jadi ’dibutuh-butuhkan’. Itu manusiawi menurut saya, hehee... maka yang kuat iman adalah yang menang.

Kecuali profesi Anda setenar pedangdut Dewi Persik, kalo dipikir-pikir lagi, siapa sih yang bakal memperhatikan kostum kita sampe sebegitu detilnya? Memakai model apa? Payet yang gimana? Desainernya siapa? Tapi banyak yang ngga peduli tuh, buktinya mall-mall masih sangat rame tiap Lebaran datang. Rasa puas terhadap diri sendiri mungkin lebih penting daripada pandangan orang lain. Kalau ada yang perhatian, anggap saja itu bonus.

Bisa jadi, ini semua karena efek THR. Saat zakat sudah dikeluarkan, dan dompet masih dirasa tebal, maka pelampiasannya bisa dengan belanja. Apalagi bila dihubungkan dengan mudik di kampung. Mari kita bicara kampung dalam konteks sebenarnya. Kalo Anda bekerja di Jakarta, lalu berkata akan mudik ke ’kampung’ Surabaya, ya itu namanya kebohongan publik.

Saya ambil satu kisah. Bulan puasa lalu seorang Tante saya, yang terkenal rock en roll abis, mudik ke sebuah desa kecil di sekitaran Ternate bersama seorang putrinya, via kapal laut dengan bawaan sebanyak delapan belas koper!! Yap, dua perempuan dan delapan belas koper.

Konon, desa pesisir di Ternate sana, tempat kelahiran beliau ini, memang tidak pernah terjamah oleh investor-investor shopping centre. Lah wong sinyal henpon aja datang dan pergi sesukanya. Nah, maka dari itu, Tante saya ini selalu membawa oleh-oleh dari Jawa, dari Darmo Trade Centre lebih tepatnya. Berbagai pakaian, mukena, sarung, sepatu, kerudung, siap ditebar secara cuma-cuma untuk keluarga besar di sana.

Bisa saya bayangkan ketika semua koper dibuka, serempak seluruh keluarga berhamburan menanti jatahnya. Nah, menurut saya, ini baru yang namanya belanja Idul Fitri, belanja untuk membahagiakan sanak saudara dengan ikhlas. Bagi beliau, ribuan kilometer yang ditempuh, ditemani dengan delapan belas koper, terombang-ambing di atas laut lebih dari tiga malam bukanlah masalah gawat. Melihat sang ibunda yang sudah ompong tertawa bahagia menggunakan mukena baru hasil jerih payah beliau bekerja di Jawa, maka delapan belas koper rasanya mungkin seringan menggendong satu backpack.


*Judul postingan ini diambil dari sebuah lagu Efek Rumah Kaca - Belanja Terus Sampai Mati

Jumat, 25 Februari 2011

Let's Talk About Dream (part 2)

Lagi-lagi, harus saya akui bahwa saya naksir tulisan Mas Luthfi Nur Rosyidi! Saya pernah lho mencoba untuk menulis sesuatu yang nonjok abis seperti ini, tapi yaaa... setiap manusia diberi kelebihan dan kekurangan masing-masing, harap maklum kalau pada akhirnya yang bisa saya lakukan cuman kopas saja. Saya emang kroco tulen.

Entahlah, tulisan-tulisan kayak gini, lagi happening banget dalam diri saya. Sesuatu yang menyangkut dare to dream, work hard, learn more dan sebagainya. Makanya ngga butuh waktu lama untuk menyukai tulisan yang baru di-publish 2 hari lalu ini. Apalagi menurut Mas Luthfi, tulisan ini merupakan kelanjutan dari versi sebelumnya, yang juga sempat saya posting di sini. Pada chapter ini, beliau menulis tentang keberanian seorang sahabat ketika harus dihadapkan pada kenyataan untuk membunuh mimpinya sendiri.

Entah kebetulan atau tidak, seminggu yang lalu dalam perjalanan menuju Surabaya dari Jogja, sahabat saya, Nuran Wibisono, pernah berkata, "Orang yang paling jahat adalah mereka yang membunuh mimpi orang lain."

Nah, lantas bagaimana jika diri kita sendiri yang ternyata 'harus' membunuh mimpi? Karena, lagi-lagi, semua merupakan pilihan. Life is about choices, and the decisions we make. Yah, saya pribadi hanya bisa berharap bahwa apa yang saya lakukan selama ini merupakan pilihan terbaik. Yasudah, untuk lebih jelasnya silahkan membaca tulisan ciamik ini!

Bagaimana ku memulainya...

Sesaat ku tertegun. Seorang sobat karib mengabariku akan keputusan yang diambilnya. Cukup mencengangkan. Karena aku tak pernah mengira akan secepat dan sesederhana itu dia akan mengambilnya. Apalagi untuk kategori manusia super ruwet seperti dirinya.

Beberapa saat yang lalu datang satu permintaan darinya, permintaan yang berat, dan aku tak bisa menyanggupinya. Dia berkata, "Luth, ceritakan padaku, bagaimana caranya menjalani sisa hidup dg sebuah pengetahuan, bahwa Tuhan menguji kita dengan tak memberikan mimpi terbesar yg kita inginkan".

Aku tak bisa menjawab. aku tahu bagaimana rasa terpenggalnya sebuah asa. apalagi asa yang sudah dipelihara lama, dilahirkan dari lubuk jiwa, selalu dipupuk dan dipagari dari segala mangsa. Melihatnya dicerabut dari akarnya pastinya butuh satu ketabahan tak hingga, apalagi jika dengan terpaksa tangan kita sendiri yang harus membunuhnya.

Pernah suatu ketika dia berkata "sakit hati itu menyehatkan jiwa", aku tak sependapat dengannya. Bagiku sakit ya sakit, sehat ya sehat. dan sakitnya dia pastinya adalah sakitku juga. Kami bersahabat karena sama-sama pemimpi. Kami bersahabat karena sama-sama percaya kepada asa. Ketika dia berhenti menjulurkan tanganuntuk menggapai mimpi terbesarnya, maka yang terbunuh bukan hanya sebagian jiwanya, tapi juga sebagian rasa percaya yang ku pelihara. rasa percaya bahwa aku bisa.

Kembali kuberkata, menarik mimpi kedalam terangnya hari memanglah butuh seni tersendiri, dan terkadang menuntut proses yang abadi. Dan siapa yang tak punya mimpi maka sebenarnya dalam hidupnya dia mati.

Mungkin aku masih tak terima. Tapi terkadang memang kenyataan yang tersaji tak mau diajak kompromi. Sedangkan kita juga tidak punya daya tawar untuk bernegosiasi. Akan hal ini sungguh aku terlarut dalam emosi. Tapi kemudian aku mencoba menyesuaikan jarak agar mendapat sudut yang berbeda, yang mampu membuatku melihat sedikit lebih menyeluruh, bukan hanya fokus kepada drama pembunuhan anak kandung jiwa dan kesedihan di dalamnya.

Aku mendapati, ada kalanya ketika mimpi yang kita pelihara menjadi lebih besar dari kita, menjadi lebih kuat dari kita, menjadi lebih superior dari kita, maka bukannya kita yang memagarinya dari mangsa, tapi kita yang dipagari dari apa yang ditawarkan dunia. kita ditawan oleh obsesi. Kita dikendalikannya.

Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan keberanian dan kekuatan yang luar biasa untuk membunuh mimpi itu. dan memang itulah yang seharusnya. bukan karena tekanan fakta yang memaksa. tapi karena memang pilihan sadar untuk menjaga agar jiwa kita tidak dimangsa oleh asa. dan untuk itu, tidak ada kata lain selain salut sebesar-besarnya bagi kawan-ku yang telah berani mengubur mimpinya dengan tangannya sendiri.

Kawan, yang kau hadapi bukanlah ujian tentang tidak tercapainya mimpi, tapi anugerah kekuatan dan kecerdasan menukar satu mimpi dengan berjuta kesempatan yang akan segera tersaji. Tabahmu, tabahku kawan. Bahagiamu bahagiaku. Semoga kita tetap dimasukkan dalam golongan orang-orang yang bermimpi, tapi tak pernah dikungkung oleh mimpi. Barokallahu!


Yang menunggu kesempatan ngopi sebelum kau pergi


Luthfi Nur Rosyidi
Dinihari 23 februari

Kamis, 24 Februari 2011

Mabuk Laruku

Ketika saya tinggal di Jogja beberapa hari, tepatnya di kamar kosan adik sepupu, saya selalu tidak diizinkan untuk mendengarkan playlist yang 'saya banget'. Sebut saja, John Mayer atau Coldplay. Dua penyanyi favorit saya, yang selalu tersedia di playlist mp3 player maupun Winamp. Namun sdik saya bilang, lagu-lagu mereka bikin ngantuk, ngga cocok diputer keras-keras di dalam kamarnya. Haram.

Tempat kosan ini sebenernya bersifat turun-temurun. Kakak sepupu saya pernah tinggal sekitar 12 tahun lalu, kemudian disusul kakak kandung saya di tahun 2000, nah kemudian giliran si Apin, adik sepupu saya merupakan generasi ketiga yang menempati kosan Pringwulung ini. Karena masih sering menjadi tempat persinggahan ketika di Jogja, maka hardisk komputer Apin juga menyediakan file-file dari kakak sepupu dan kakak kandung saya, terutama lagu-lagu.

Saya selalu mendengarkan banyak lagu 'baru' yang everlasting banget di kamar ini. Sebut saja Dream Theater. Lebaran tahun lalu, saya dicekoki lagu Count of Tuscany yang durasinya sembilan belas menit itu! Beberapa bulan setelah itu, saya 'kerasukan' Wishful Thinking-nya John Petrucci yang terus-terusan di puter di Jet Audio komputer Apin. Nah, pas kemarin saya ke Jogja dalam rangka nonton Grebeg Maulud, lagi-lagi saya didoktrin untuk mendengarkan berbagai greates hits-nya Bon Jovi dan satu lagu Laruku. Seperti yang pernah terjadi sebelumnya, berbagai playlist 'aneh' itu akhirnya juga menjadi favorit saya sampai pulang ke Surabaya.

Salah satunya ya Laruku ini, dalam 2 hari saya bisa memutar hingga 30-an kali. Haha! Saya beneran mabuk Laruku! Sudah lama juga ngga mendengarkan lagu-lagu mereka, terakhir sepertinya SMP ketika saya banyak bergaul dengan Rere, teman saya pecinta berbagai manga dan lagu band Jepang. Pas SMP dulu juga, berbagai serial drama Jepang di TV mulai menjadi tontonan favorit saya, kayak Beach Boys, Anchor Woman, Beautiful Life daaaan sebagainya.

Maka ketika mendengar lagu Laruku ini untuk pertama kalinya, gendang telinga saya pun merespon dengan cukup baik. Saking baiknya hingga saya replay terus dan bikin adik saya, si empunya komputer, geleng-geleng kepala. Ini seperti nostalgia masa SMP, ketika masih doyan mendengarkan berbagai J-Pop soundtrack kartun dan serial drama.

Lagu Hitomi No Juunin ini kalo dalam bahasa Inggris artinya In Your Eyes, yeah... agak-agak gimana gitu ya kalau dilafalkan dalam bahasa Jowo Suroboyoan, hehe... Dan saya ngga tau apa ini official video-nya atau bukan, tapi yaaa silahkan mencoba untuk streaming dan menikmati lagu yang easy listening ini :)




Oke, ini potongan liriknya yang sangat cocok digunakan untuk merayu pasangan :)

I want to be by your side forever, gazing at your smile
I want to live each changing moment in your eyes
If one day I can take you out to a brilliant season
To where the flowers are, blooming in the sky like snow...

Rabu, 23 Februari 2011

Sekali Lagi Tentang Karapan Sapi




Seorang pemuda belasan tahun tampak resah berdiri di atas kleles ketika anggota tim lainnya berusaha menenangkan sepasang sapi yang akan dikerap. Kedua tangan kecilnya memegang masing-masing sebuah coraco, sebatang kayu berbentuk silinder sepanjang 15 cm yang diselimuti deretan paku-paku kecil. Sementara beberapa kali sapi yang ditungganginya terlihat rewel tak mau diam di garis start.

Rupanya mengatur sapi saat karapan tidak semudah yang dibayangkan. Satu tim biasanya memerlukan bantuan sepuluh hingga dua puluh orang untuk menggiring sapi-sapi balap ini. Butuh waktu hampir setengah jam bahkan lebih untuk membuat sepasang mamalia bertanduk ini benar-benar berada dalam posisi siap berlari.

Dan ketika aba-aba diteriakkan, para anggota tim dengan semangat melemparkan pukulan pecut pada tubuh sapi sebagai pemacu langkah awal. Sementara sang joki, melanjutkan tugas dengan menghantam badan sapi menggunakan coraco hingga mencapai finish. Logikanya, semakin sapi merasa marah karena pukulan tersebut, semakin kencang pula kecepatan berlarinya. Jangan salah, hal-hal seperti ini memang sudah bagian dari tradisi yang susah dihilangkan. Sebuah perlakuan brutal yang akan membuat wisawatan bergidik ngeri ketika pertama kali menonton karapan sapi.

Pagi itu matahari memang belum meninggi, namun panasnya sangat menyilaukan mata dan menyengat kulit-kulit yang telanjang. Ribuan penikmat karapan sapi baik dari Pulau Madura maupun daerah lain, tampak berlalu-lalang di Stadion Sunarto Hadiwijoyo Pamekasan untuk menyaksikan adu balap yang akan memperebutkan sebuah Piala Presiden tersebut. Beberapa memilih menonton dari tribun, sedang yang lain berdiri berdesakan di pinggir lapangan menyaksikan latihan terakhir peserta karapan sebelum acara inti dimulai .

Tanah becek dan genangan lumpur sisa hujan deras semalam rupanya cukup merepotkan penonton. Tak sedikit yang menggulung celana dan tampak berjingkat-jingkat agar alas kaki tidak terjebak di dalam genangan tersebut. Namun, semua itu seakan tidak mengganggu aura euforia di stadion yang sedang menggelar hajatan bertaraf nasional ini. Karapan sapi Piala Presiden yang hanya digelar satu tahun sekali itu, memang merupakan momen yang banyak ditunggu oleh para pemilik sapi kerap, sebagai ajang adu gengsi memperebutkan tahta sebagai yang sapi tercepat se-Pulau Madura.

Tidak gampang menjadi salah satu peserta karapan kali ini. Sebelumnya sapi-sapi tersebut harus mengantongi gelar juara karapan dari tingkat terendah hingga tingkat kabupaten. Enam pasang sapi juara dari masing-masing kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep, akan mendapatkan tiket untuk beradu di ajang piala presiden. Tercatat dua puluh empat pasang sapi siap unjuk gigi pamer kecepatan berlari. Tak tanggung-tanggung, pemerintah akan menyediakan kendaraan roda empat sebagai hadiah utama.

Nyatanya hadiah semahal apapun bukanlah keinginan utama dalam kompetisi ini. Memenangkan suatu karapan sama halnya dengan mengangkat harkat dan martabat pemilik sapi. Namanya akan bergaung hingga pelosok Madura. Dan hadiah-hadiah tersebut akan dilemparkan begitu saja pada sang joki dan perawat sapi.

Demi sebuah prestise, para pemilik sapi rela mengeluarkan lembaran uang yang jelas tidak sedikit untuk membeli dan memelihara sapi kerap. Seorang lelaki menceritakan pekerjaannya sebagai perawat sapi kepada saya. Pak Halil, begitu ia biasa disapa, yang sudah dua puluh tahun lebih menekuni profesi unik ini.

Sapi kerap memang bukan sapi biasa. Sehari-hari Pak Halil harus memijat dan memandikan sapi kerap yang dititipkan kepadanya dengan menggunakan air hangat. Selain itu, lelaki asli Pamekasan ini yang menyiapkan makanan untuk sapi kerap berupa pohon jagung dan minuman jamu sehat yang ia racik bersama istrinya. Tiap perawat memiliki resep jamu andalan yang berbeda-beda. Namun umumnya, minuman ini terbuat dari campuran rempah-rempah, anggur malaga serta puluhan butir telur ayam kampung.

Bila dinominalkan untuk membuat jamu pada satu sapi kerap saja bisa menghabiskan uang hingga seratus lima pulu ribu rupiah tiap harinya. Lebih mahal makanan sapi kerap ketimbang dengan manusia yang memiliknya. Segala perlakukan istimewa ini dinilai sebanding dengan rasa sakit yang akan diterima akibat pukulan pecut dan coraco pada saat sapi diadu.

“Dua kali seminggu sapi dilatih, waktu larinya dibandingkan dengan juara. Kalau sudah bagus, itu artinya sudah siap dikerap,” ujar Pak Halil. Dahulu memang panitia memberikan batasan usia dan tinggi badan untuk sapi-sapi yang dikerap, namun sejak tahun 2003 peraturan ini dihilangkan. Tidak hanya masalah fisik, umumnya pemilik dan perawat sapi juga mengadakan persiapan secara spiritual ketika akan mengikuti suatu perlombaan. Hal yang sudah lumrah dilakukan dalam karapan sapi di Madura. Semua ini dilakukan agar sapi-sapi kerap dapat menunjukkan hasil yang maksimal di lapangan.

Dengan biaya perawatan yang besar, jangan heran apabila harga seekor sapi kerap bisa mencapai angka yang tidak masuk akal bagi orang awam. Di kediaman Pak Halil, terdapat sapi kerap kecil yang baru berumur 1,5 tahun tetapi sudah ditawar hingga dua ratus juta rupiah. Akan menembus angka yang lebih dari itu apabila sapi-sapi ini mencatat banyak prestasi di lapangan.

Memilih sapi kerap bukan perkara yang mudah untuk dilakukan orang awam. Sepintas memang ciri fisik yang terlihat dari seekor sapi kerap adalah sapi jantan Madura berkulit merah bata, berbadan atletis, dada bidang dan berpunggung lurus. Disini pula letak peran seorang perawat sapi. Konon mereka memiliki kemampuan lebih untuk melihat bibit, bebet, bobot seekor sapi kerap dengan mengandalkan ketajaman naluri.

Karapan sapi piala presiden layaknya pesta rakyat yang ditunggu masyarakat Madura. Sahut-sahutan alunan musik sronen, sebuah alat musik tiup khas Madura, yang dimainkan bergantian dari tenda satu ke tenda peserta yan lain selalu berhasil memancing rasa penasaran wisatawan yang bertandang. Beralaskan tikar sederhana, delapan hingga sepuluh pria tampak bersemangat memainkan kenong, kendang, gong dan kencer. Melantunkan berbagai lagu Madura lengkap dengan mengenakan pakaian tradisional berwarna menyolok dan aksesoris khas melingkar di kepala mereka.

Nyanyian ini sengaja dimainkan dengan volume maksimal untuk menghibur sekaligus mengelu-elukan sapi jagoan mereka. Masuk dalam deretan peserta karapan sapi Piala Presiden memang menjadi kebanggaan tersendiri. Maka tak heran jika para pemilik sapi benar-benar serius menyiapkan segala detil untuk meningkatkan performa tim, seperti menampilkan grup sronen, membuat seragam anggota, hingga menghias tubuh sapi-sapi kerap yang akan beraksi.

Sehari sebelum digelarnya piala presiden ini, alunan musik yang sama juga terdengar di alun-alun kota Pamekasan. Jika para pejantan saling beradu kecepatan melintasi lapangan sepanjang 180 meter, maka sapi-sapi Madura betina unjuk gigi melalui pagelaran Sapi Sono’. Sapi-sapi betina didandani layaknya putri. Digiring mengelilingi lapangan dengan santai sambil mengikuti alunan musik sronen. Kompetisi ini memang mirip dengan pemilihan model. Penilaian dilakukan atas dasar bentuk badan dan cara jalan pasangan sapi tersebut.

Sementara di sudut tenda lain, seorang joki bernama Dayat yang saya kenal dari kediaman Pak Halil, tampak santai bercengkerama dengan anggota tim menanti kompetisi ini dimulai. Tidak ada gurat gelisah dan gugup di wajahnya. Dengan ramah, dia mengizinkan saya mengambil gambar sepasang sapi dari kabupaten Sampang, yang akan bersanding bersamanya di arena balap nanti.

Tumbuh sebagai anak seorang perawat sapi, rupanya membuat pemuda 21 tahun ini tidak asing lagi dengan dunia karapan sapi. Pekerjaan sebagai joki sapi kerap sudah dilakoni semenjak kelas 6 sekolah dasar.

“Kalau jatuh dari sapi itu sudah biasa, hanya lecet saja...,” ceritanya. Selama ini memang, panitia penyelenggara tidak pernah menetapkan batasan usia joki. Adalah hal yang lumrah bagi penduduk Madura melihat banyak anak yang di bawah umur berdiri di atas kleles memacu sapi kerap di lapangan. Mereka beranggapan bahwa semakin ringan tubuh seorang joki, maka semakin kencang pula lari sapi yang dikerap. “Yang penting punya nyali besar,” tambah Dayat sambil tertawa ringan, tampak bangga dengan profesinya.

Cerita rakyat setempat menyebutkan bahwa adu kecepatan lari sapi ini bermula dari Pulau Sapudi. Sebuah pulau kecil berdiameter 35 km yang terletak di timur Kabupaten Sumenep. Pulau ini dikenal sebagai penghasil sapi Madura terbaik hingga saat ini. Menurut penelitian, mamalia dari famili Bovidae di pulau ini disebut-sebut sebagai salah satu sapi ras murni Indonesia.

Lalu sejarah bercerita, bahwa pada abad ke-14, seorang panembahan tersohor di pulau tersebut bernama Adi Poday memperkenalkan metode pertanian menggunakan kleles, sebuah kayu yang digantungkan di leher sapi untuk membajak tanah. Alat ini kemudian berubah fungsi untuk menahan tubuh sang joki dikala balap sapi dilakukan pertanda masa pasca panen tiba. Pada akhirnya, sapi memang menjadi hewan yang spesial di Madura karena dapat membantu mengolah tanah pertanian yang terkenal tandus di daerah tersebut.

Dari pulau kecil yang penuh sapi itulah tradisi ini kemudian menyebar di seluruh pelosok Madura. Karapan yang semula dilakukan hanya untuk sebuah perayaan sebagai luapan kegembiraan pasca panen, menjadi suatu ajang adu kecepatan yang terikat oleh aturan dan kemudian berkembang menjadi simbol budaya dan pariwisata Madura.


Selasa, 22 Februari 2011

Sapi and The Queen Bee


Pertama kali melihat anak-anak kecil berpakaian seperti lebah, pikiran saya langsung menembus YouTube, video klipnya Blind Melon yang juga menggunakan model manusia dewasa berkostum hampir sama dengan mereka; bee girl. Maka intro lagu berjudul No Rain tersebut mendadak berdengung pelan di telinga saya.

All I can say is that my life is pretty plain
I like watching the puddles gather rain
And all I can do is just pour some tea for two
And speak my point of view
But it's not sane, it's not sane

Itu adalah malam kedua kami di Sapudi. Listrik baru menyala beberapa saat lalu. Sapudi merupakan satu dari sekian banyak pulau kecil di Indonesia yang hanya mendapat asupan listrik di malam hari. Kami berempat, saya, Nurul, Nuran dan Ayos baru saja santap malam berupa nasi, sate ayam dan mie instan di rumah Pak Harto. Menu ternikmat setelah menahan lapar seharian.

Jinggan dan Nanda, kedua bocah Sapudi, tidak membiarkan kami leha-leha begitu saja di dalam rumah setelah makan. Mereka dengan semangat mengajak kami keluar menuju salah satu taman kanak-kanak di daerah tersebut. Katanya sedang ada pesta perpisahan murid di TK tersebut. Ah, agak malas sebenarnya. Kami capek dan ngantuk luar biasa saat itu. Padahal sih baru jam 7 malam. Ngik ngok.

Tapi ya sudahlah, kami turuti saja kemauan anak-anak kecil itu. Jalanan di depan rumah Pak Harto sendiri sudah diramaikan oleh orang-orang yang berjalan menuju hajatan di TK tersebut. Pria dewasa menggunakan batik dan peci hitam. Ibu-ibu beradu dandan mengenakan setelan terbaik yang sudah disetrika hingga licin. Sedangkan Nurul, Ayos dan Nuran hanya menggunakan kaos oblong dan celana sedengkul.

Karena tidak berpakaian sepantasnya, awalnya kami hanya melihat pentas TK itu diluar pagar saja, berdesakan bersama dengan para warga yang bukan merupakan wali murid dan undangan acara tersebut. Tapi serombongan anak kecil berpakaian binatang menarik minat kami untuk masuk ke dalam dengan pedenya. Intinya sih pengen motret bentar, terus balik keluar gitu.

Setelah minta ijin memotret, Ayos mendapatkan model ‘anak sapi’ yang dia mau. Awalnya malah seorang ibu ingin mengerahkan semua ‘pasukan sapi’ yang ada untuk difoto. Hwaduh!

Sapudi adalah pulau yang terkenal sebagai penghasil sapi-sapi Madura berkualitas tinggi. Konon, tradisi karapan sapi pun bermula dari pulau kecil yang terletak di timur Kabupaten Sumenep ini. Alih-alih berwarna merah seperti sapi Madura asli, anak-anak TK ini malah diberi kostum berwarna pink. Hahaha… Yah, nyerempet dikit lah ya… Saya ingat, mereka juga mengenakan legging pink ber-merk BeBe yang sangat sering ditemukan di Factory Outlet beraliran House Music lantai 4 Tunjungan Plaza Surabaya. Gahul abisss!

Setelah puas mendapatkan oleh-oleh satu dua gambar, kami pun berniat kembali ke tempat semula. Eh tapi, seorang ibu malah menarik tangan saya, mempersilahkan kami masuk ke dalam acara. Karena kami merasa tidak memiliki anak yang sedang bersekolah di TK tersebut, awalnya kami menolak secara halus. Tapi semakin saya bilang tidak, semakin kencang tarikan si Ibu. Well, well, agak malu-malu karena salah kostum akhirnya kami mengambil tempat duduk di pinggiran dekat panggung, bersama dengan si kecil Jinggan dan Nanda juga yang berperan sebagai anak wali kami berempat. Haha!

Acara dibuka oleh dua orang bocah cilik, laki dan perempuan yang kostumnya ngga kompakan, mengucapkan salam dengan nada khas anak sekolahan. Saya dan teman-teman pun sering melantunkan salam seperti itu menyambut kedatangan bapak ibu guru ketika memasuki kelas pas jaman SD dulu. Diucapkan sekeras dan secempreng mungkin. Setelah pembukaan, giliran anak-anak kecil berseragam olah raga dan berlipstik agak berlebihan, yang memamerkan kelihaian mereka dalam ber-SKJ (Senam Kesegaran Jasmani) di atas panggung.

Sebenernya kami berniat untuk kembali ke rumah Pak Harto saat itu untuk beristirahat setelah mengelilingi Pulau Sapudi seharian. Tapi, saya heran, setiap kami berpamitan, ibu-ibu di sana tak kalah semangat melarang kami pulang. Yasudahlah, untuk menghargai keramahtamahan penduduk Sapudi, maka kami sepakat untuk meninggalkan acara setelah melihat performance pasukan Sapi and the Queen Bee. Sayangnya, hajatan ini mulai membosankan karena kami harus mendengarkan sambutan panjang kali lebar dari beberapa petinggi sekolah dan daerah tersebut. Membuat mata kami yang sudah ngga kuat melek ini, menjadi lebih ngantuk luar biasa. Diam-diam kami pun kabur dari sana dan pamit seadanya. Hehe...

Entah perasaan kami saja atau gimana, tapi waktu terasa berjalan lambat selama di Sapudi. Rasanya sudah maleeeem banget, hingga mata kami ngga mampu berkompromi, tapi lah kok setelah dicek ternyata masih belum jam sembilan!

“Ya Tuhaaan, sek jam songo?? Ayo dugem sek ae lek ngene…!” ajak Ayos lemes, sambil tetap menggelar sleeping bag. [Ya Tuhan, masih jam sembilan? Ayo dugem dulu aja…]

"Aku digegeri Jim Morrison iki lek yamene wes turu...” sambung Nuran. [Aku dimarahi Jim Morrison kalo jam segini uda tidur...]

Namun apapun itu, ngga sampai 10 menit, suara ocehan mereka pun tak terdengar lagi. Just sleeping with their own beauty.

Senin, 21 Februari 2011

A Documentary Project About My Mother


Mari saya jelaskan dahulu ‘proses kreatif’ di balik pengerjaan proyek dokumenter ini…

Akhir Januari 2011 lalu, seorang fotografer Singapore bernama Zhuang Wubin sedang mengadakan pameran beserta peluncuran sebuah photobook tentang Chinese Muslim di Indonesia yang dia kerjakan selama kurang lebih 3 tahun. Selain dua kegiatan tadi, Wubin juga menggelar sebuah workshop fotografi tentang Chinatown di Surabaya. Namun, karena sepertinya Wubin adalah tipikal fotografer yang anti-ribet dan lebih nyaman bekerja sendiri, maka peserta workshop ini pun dibatasi dengan cara seleksi portfolio terlebih dahulu. Disusul pengerjaan proyek selama 3 hari, dan diakhiri dengan melakukan presentasi kecil-kecilan di CCCL – Pusat Kebudayaan Prancis Surabaya.

Well, I never did something called documenter-photography before. Saya adalah penikmat dan penggemar berat dreamy feel picture. Haha!! So, it was quite difficult for me. Tapi ya saya tetep ngirim portfolio, demi menimba ilmu baru. Live curious gitu ya kalo kata NatGeo. Oke, setelah lolos, maka masih ada sesi ‘ngobrol’ sama si Wubin. Dia langsung nodong kita dengan berbagai pertanyaan yang terkait dengan ide proyek documenter yang rencananya akan dibuat. And I had no plan, sodara!

Fortunately, beberapa hari sebelumnya saya gemar keliling pecinan untuk sebuah assignment majalah. Jadi saya ngoceh dikit tentang Kampung Kungfu di Kapasan Dalam. Semacam raw material, yang saya sendiri masih belum tahu, what kind of story to be told. Setelah ngobrol lagi dengan Wubin, maka kita sepakat untuk mengambil tema Old Photography. Kebetulan memang saya kenal cukup baik dengan pengurus Karang Taruna di Kampung tersebut, and yes, beliau masih memiliki stok foto lama kampung tersebut sekitar tahun 60-an.

Namun sayangnya, proyek ini terlalu random dan ngga jelas. Saya bahkan ngga ngerti mau nyeritain apa dari foto-foto lama tersebut. Tentu saja, semua ini bikin saya diomelin Wubin! Hahaha!

“How could you photograph something like this???” And the bla, and the bla. Mampus deh saya! Haha!

Oke, skip sejenak… Beberapa minggu sebelumnya, saya sempat pulang ke rumah Jember dan iseng-iseng melihat beberapa album foto lama milik ibu saya. Kebanyakan udah hampir rusak bahkan ada yang sangat amat rusak sekali, hingga ngga kelihatan objek fotonya, hanya tampak pulau-pulau kecil absurd, seperti koloni amoeba yang tampaknya gemar membelah diri kemana-mana. Maka, saya berinisiatif untuk membawa beberapa harta benda masa lampau yang masih bisa diselamatkan, untuk di-scan di kosan Surabaya.

Nah, pas Wubin bingung melihat ketidakjelasan proyek saya, muncul ide dadakan, yang sebenarnya juga masih random, untuk mengerjakan proyek old photograph milik pribadi. Maka saya, dengan ngga yakin dan hampir desperate, mengeluarkan beberapa lembar foto milik ibu saya itu. Foto portrait dengan background merah tersebut menjadi pilihan pertama yang mampu meluluhkan hati om fotografer Singapore ini.

“This is more interesting, you know…”

Awalnya saya agak ogah-ogahan untuk mengangkat foto pribadi ini menjadi sebuah dokumenter. Sedangkan si Wubin kayaknya naksir berat sama kehidupan ibu saya. Oh iya, saya belum bilang ya. Ibu saya terlahir dengan nama Tjoa Hwa Tjee, seorang Chinese, yang dulunya beragama Katolik. She converted into Muslim pas nikah sama bapak saya yang seorang Jawa. So yes, I was born as half Chinese-half Javanese. Ngga percaya, kan? Hahaaha! Ngga apa-apa, ngga maksa kok…

Dengan sisa hari yang mepet, saya harus bongkar-bongkar album foto lama di rumah tante saya di daerah Kapasan, untuk kemudian saya foto ulang. Yap, walaupun lebih gampang dimasukkan dalam scanner, ternyata memotret foto lama itu ada kesenangan tersendiri lho…

“You could see ‘the age’,” said Wubin.

Dan ternyata emang bener. Ketika satu foto lama diletakkan di atas selembar kertas putih, saya bisa melihat frame yang sudah menguning di sekelilingnya. Ternyata cara ini lebih ampuh untuk melihat ke-vintage-an sebuah foto lama. Jangan lupa untuk melihat catatan atau stampel foto studio dibaliknya! Capture it too, dan satu kenang-kenangan itu akan menambah point plus sebuah foto lama. Begitu kata Om Wubin, sodara-sodara. Hari gini kan udah jarang sekali kita temukan foto-foto baru dengan caption di balik kertasnya. Atau mungkin lebih tepatnya, kita sudah mulai meninggalkan tradisi mencetak foto.

Di akhir presentasi saya harus ngaku ke Wubin kalau proyek ini memang menarik, haha! Dari teknik memotret sampai berburu cerita tentang beberapa foto pada ibu saya. Padahal beliau ada di Jember, dan yang harus saya lakukan adalah menjelaskan detil foto melalui telpon, untuk mengorek informasi dibaliknya. Malah Ibu saya berkali-kali histeris, ”Ohhhh itu tuh, pas Mama sekolah di Cor Yesu Malang! Ya ampuuun, kemana ya temen-temen Mama?!”

Dari workshop ini saya mendapat beberapa ilmu baru. Ternyata mengerjakan dokumenter tidak ’semudah’ membuat sebuah travel photography. Ini juga yang sepertinya membuat Wubin ilfil sama foto-foto travel. Haha... Karena dalam dokumenter, kita dituntut untuk mengambil gambar yang bisa bercerita. Dan untuk menemukan satu cerita, kita harus ’masuk’ dalam kehidupan kertas tak bernyawa tersebut. Nah, ini juga teknik yang gampang-gampang susah, menurut saya. Proyek saya ini menjadi sedikit mudah, karena saya bisa leluasa bertanya kepada keluarga saya sendiri. Mungkin pengalaman yang berbeda akan saya dapatkan jika menggarap dokumenter dari orang yang belum pernah saya kenal. Start from zero. Mungkin akan saya coba lain kali, karena membuat sebuah foto dokumenter ternyata asik juga, walaupun masih harus belajar lagi :)

Oke, begitulah proses terbentuknya proyek dokumenter tentang ibu saya. Dan hasil pekerjaan saya juga empat peserta lain pada saat workshop Wubin bisa dilihat completely by clicking this SITE.

Enjoy! :)

PS: Big thanks to Ibu Wardah Dianawati, Zhuang Wubin, and CCCL Surabaya.

Minggu, 20 Februari 2011

Cirebon: Stuck On The Bus

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Mata saya terpejam pelan. Bukan, saya bukan sedang menghitung jumlah domba agar cepat terlelap. Saya bahkan tidak ngantuk. Hanya tak tega, ketika melihat jejeran warung nasi Padang di sepanjang jalan raya menuju Cirebon, sedangkan perut saya hampir ngga bisa diajak kompromi. Kosong melompong sedari pagi, sementara bayangan bumbu rendang seakan sudah siap mencecap lidah. Maka saya mencoba untuk terlelap, sembari menghitung berapa warung Ampera yang sudah saya sia-siakan tadi. Hanya dilihat melalui jendela bus saja. Entahlah saya berada di mana saat itu. Indramayu sepertinya.

Beberapa kali mulut saya mengutuk bis ber-AC yang gemar ngetem ini, memasukkan satu demi per satu penumpang, hingga tampak over load. Perut saya lapar. Dan Cirebon tak kunjung sampai. Pengalih perhatian hanyalah TV di dalam bus, yang sedang memutar satu full album seorang artis cilik dengan wajah memelas, menyanyikan berbagai lagu berbahasa Sunda. Sebelumnya, mereka menampilkan Fa’ang dan kawan-kawan sedang plesir ke Mesir sambil membawakan berbagai hits andalan Wali.

Setelah bosen mengomentari berbagai penyanyi di TV itu, temen saya, yang duduk di samping kanan, mulai tertidur. Dia hanya bangun ketika ada suara pengamen masuk ke dalam bus. Menyalakan Mino HD, dan merekam performance mereka dalam sebuah layar kecil. Yap, dia sedang menggilai video dokumenter. Dan jreng, begitu gitar pengamen sampai pada nada terakhir, teman saya lalu mematikan camcorder, melepas kaca matanya, dan melanjutkan ritual tidur yang tertunda. Sigh...




Di mana persisnya Cirebon itu, saya pun tak tahu. Bukan lupa membuka google map, bukan sengaja ngga browsing dulu. Tapi perjalanan ini bersifat suka-suka saja. So we didn’t plan anything. Sebenernya juga, saya agak-agak males pergi dadakan to nowhere kayak gini. Apalagi saya sudah mengantongi tiket untuk kami pulang menuju Surabaya. Tapi ternyata separo hati saya merindukan traveling yang bener-bener traveling. Not doing some assignments. Just breathing a new atmosphere. And my friend couldn’t stop saying about Cirebon since I met him at Harmoni’s bus shelter. This is such a great temptation!

Dan yeahh, saya pun masuk lubang buaya... Setelah melewati perundingan singkat, kami sepakat untuk tidak menyia-nyiakan tiket pulang yang sudah di tangan. Jadi tema besar perjalanan aneh ini adalah memanfaatkan sisa waktu 24 jam sebelum kereta membawa kami pulang dari Jakarta menuju Surabaya. Seperti sudah digariskan saja, kereta yang akan kami tumpangi itu ternyata dijadwalkan berhenti beberapa menit di Stasiun Cirebon. So, dari sana lah kami akan pulang kembali ke Kota Pahlawan.

And here we are... Stuck on the crazy bus. Lebih dari lima jam sejak meninggalkan terminal Pulau Gadung, tapi masih ngga jelas kapan bisa menjejakkan kaki di Cirebon. Jika ditempuh dengan kereta, maka Gambir-Cirebon hanya berjarak tiga jam saja, dengan selembar tiket seharga 90.000 rupiah. Yeah, problema utama saat itu terletak pada angka sembilan puluh itu.

So, nikmatilah perjalanan murah Anda, nikmati Tobat Maksiat kebanggaan Wali, nikmati segala detil ngetem dan kelaparan yang Anda rasakan. Then I swear by the moon and the star in the sky, sesampainya di Surabaya saya akan makan malam berupa sebungkus nasi Padang dan teh botol Sosro. Period.

Sabtu, 19 Februari 2011

Just Another Story About Boat


Sisa-sisa mendung semalam, masih tampak memayungi langit subuh di Pelabuhan Kartini Jepara. Agustus 2009, adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di musholla kecil di pojokan Taman Kartini ini. Saat itu musholla sedang direnovasi. Saya masih ingat, setahun yang lalu, kamar mandi di sana hanya ada dua buah, dengan kondisi seadanya. Sekarang tempat sholatnya sendiri sudah lebih besar, lengkap dengan beberapa kamar kecil yang tampak baru selesai dibangun.

Saya sendiri ngga nyangka, bisa kembali ke tempat ini sebegitu cepatnya. Rasanya baru kemarin saya lulus sidang skripsi, lalu dua hari kemudian, bersama tiga temen kuliah lainnya, nekad escape ke Karimunjawa dengan modal informasi seadanya. Bertemu dengan Mas Januar di Kapal Muria, keponakan Bu Pupek, seorang wanita Bugis yang saya kenal dari Ayos, yang memiliki sebuah rumah panggung di Pulau Kemujan, satu jam perjalanan darat dari Pelabuhan Karimunjawa.

Rasa capek akibat hampir 15 jam perjalanan dari surabaya, akhirnya tertebus ketika sampai di kediaman Bu Pupek menggunakan pick-up dari pelabuhan. Sudah ada cangkir-cangkir teh hangat dan sepiring roti gula-gula hijau yang menyambut kami. Entah apa nama roti itu, tapi rasanya sangat lezat, terutama ketika dinikmati di pantai depan rumah Bu Pupek sambil menyaksikan segaris bias matahari berwarna merah muda lembut yang menjadi horizon antara laut dan langit. Then we called it: pink sunset at Kemujan.

Dan hari itu, September 2010, saya melihat Kapal Muria lagi, bersandar di tepi pelabuhan Kartini Jepara. Masih teringat pesan singkat dari seorang teman di Jogja bernama Bandeenk, bukan nama sebenarnya, di kala saya sudah siap berangkat ke terminal malam itu untuk berangkat menuju Jepara.

”Pyut, jadi ber-Karimun? Dengan cuaca seekstrim ini?”

Yap, pada kenyataannya satu-satunya faktor yang sempet bikin saya maju mundur untuk berangkat lagi ke Karimunjawa bukanlah uang. Hoho... Alhamdulillah, selalu ada rezeki berkah lebaran dan rajin beli takjil tepat waktu... Namun persoalan yang lebih penting untuk dipertimbangkan adalah cuaca...

Cuaca memang sedang ngga jelas, kadang hujan, kadang panas ngga karuan, kadang angin datang, kadang juga cuma mendung-mendung gloomy. Tapi saya pikir, kalau terus meributkan masalah cuaca, yang ada malah saya ngga jadi berangkat. Alih-alih bertemu teman-teman baru satu tim di Karimunjawa, uang yang saya kumpulkan hasil salam tempel Lebaran mungkin berakhir di salah satu gerai baju di Tunjungan Plaza. Ngga asip. Maka, saya bulatkan tekad, berdoa dan puasa nonton TV beberapa hari, semoga diberi keselamatan dalam kondisi apapun. Amin.

Satu jam sudah kapal Muria meninggalkan pelabuhan Jepara. Siang itu, sangat mendung, dek ekonomi kapal dengan motto Bangga Menyatukan Nusantara ini pun tidak secerah biasanya. Gelap. Setelah lelah berbincang-bincang dengan seorang pengusaha kayu yang duduk di samping, saya pun tertidur. Hingga sebuah suara lantang suara pria menabuh gendang telinga saya.

“KAPAL MIRING KE KIRI, PENUMPANG DIHARAP BERGESER KE KANAN!!!”

Sedetik. Dua detik. Penumpang terkesima mendengarnya, namun ekspresi pria berseragam itu tampak sedang tak main-main. Saya, masih mengantuk, memang merasakan hembusan angin yang terasa berlebihan masuk melalu jendela-jendela kapal. Lalu blaaarrr..... Mendadak semua penumpang berlarian menuju lemari life jacket. Pelampung berwarna oranye mulai bertebaran di mana-mana. Saya dan teman-teman melongo. Bingung harus apa. Bukankah instruksinya, penumpang diharap bergeser ke kanan? Bukan membongkar lemari pelampung?

Seperti biji jagung yang dimasak menjadi popcorn di dalam panci tertutup. Suasana mendadak menjadi sangat riuh. Anak-anak kecil menangis. Kapal sangat gelap, yang tampak terang sekarang hanyalah warna pelampung yang sudah menempel pada badan beberapa penumpang. Hujan mengguyur deras di luar. Saya speechless. Kami berempat memutuskan untuk pindah tempat. Minggir sebelum terinjak-injak kerumunan orang, karena, yah, posisi kami tidak jauh dari yang namanya lemari life jacket itu.

Sebenarnya goyangan kapal ini, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang saya rasakan ketika menyebrang Pulau Sapudi. Dan Irma, salah satu teman saya yang juga pernah mengalami rodeo boat di Sapudi, mengamini hal itu. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa juga, selain duduk diam. Tapi memang, suasana terlalu hectic untuk sekedar tenang-tenang saja. Bohonglah kalau ngerasa ngga deg-degan ngeliat pelampung terbang di mana-mana...

Jujur saja, saya itu juga sedang nguantuk luar biasa. Saya juga heran, kok bisa ngantuk di saat-saat genting seperti itu. Saya sandarkan kepala saya di kaki Rina, dan berusaha tidur lagi. Terdengar suara shutter kamera Irma.

”Ini kejadian langka, Mbak... harus diabadikan,” ujarnya polos. Irma memang selalu polos, sodara.

Oh bener juga sih, dokumentasi itu penting. Maka saya meraih Lumix dan mengambil satu dua gambar. Saya lihat Rury duduk di dekat Irma. Mabuk laut dia. Rina tampak was-was memperhatikan orang-orang sekelilingnya. Ini pertama kalinya dia pergi ’jauh’ dari rumah tanpa keluarga. Nah, sekalinya jauh, lah kok ada kejadian seperti ini. Saya turut prihatin. Saya pun deg-degan, Min. Tapi panik ngga akan menghentikan angin yang berhembus.

Seorang pemuda tiba-tiba melemparkan satu pelampung oranye itu pada kami berempat. Rina menangkapnya dengan cepat. Kami berpandangan bingung. Saya-Rina-Irma dan pelampung itu. Ruri masih mabuk laut.

Lalu celetukan Irma membuyarkan kebingungan kami, ”Kalau kapal jatuh, kita semua pegangan Mbak Rina aja.” Dia mengatakan sambil cengar-cengir.

Selang beberapa saat, Bapak berseragam itu datang lagi, lalu berteriak dengan kencang dan menggelegar:
“SIAPA INI YANG NYURUH PAKAI PELAMPUNG??? SAYA KAN BILANG, KAPAL MIRING KE KIRI, PENUMPANG SILAKAN BERGESER KE KANAN!! KARENA BARUSAN ADA ANGIN LEWAT!! JADI BIAR SEIMBANG! AYO LEPAS SEMUANYA! KEMBALIKAN KE LEMARI!! INI PELAMPUNG MASIH BARU!! KEMBALIKAN! TOLONG ABK, MASUKKAN KEMBALI KE LEMARI! NGGA ADA APA-APA, CUMAN ANGIN! SEMUA TENANG! KALAU CUACA MEMBURUK, KITA AKAN KEMBALI KE JEPARA!!”

Seperti kata Nuran dan Ayos, shit always happen! Jangan membayangkan yang indah-indah melulu ketika kita melakukan perjalanan. Kadang justru, hal-hal yang tak terduga seperti ini akan menjadi cerita yang bisa Anda bawa pulang. Tapi tidak sedikit pula yang meninggalkan traumatik hingga membuat Anda kapok traveling.

:)

PS: Alhamdulillah... Kami tiba di Karimunjawa dan pulang lagi ke Surabaya dengan selamat. And shit happened today adalah saya ngga bisa aplot gambar. Arrggh blogspot iki kenopo toh?

Kamis, 17 Februari 2011

It's Okay

Februari memang belum berakhir. Awal bulan lalu saya pernah ngetwit, bahwa bulan ini harus seru melebihi Januari kemarin. Well, ternyata sesuatu yang berlebihan itu memang ngga baik ya... Nyatanya separo bulan ini harus dilewati dengan 'terlampau seru'. Up and down. Up and down. Gloomy then funny. Funny then empty. Pernah dengar ini ngga: there's always a little pain behind every "it's okay". Ah yes, sepertinya saya sedang mengalaminya.

-Jogja-

Sabtu, 05 Februari 2011

Let's Talk About Dream

Tulisan ini saya sadur sesuai dengan aslinya. Sebuah catatan kecil yang dibuat oleh Luthfi Nur Rosyidi, seorang teman di facebook, yang sebenarnya saya belum pernah bertemu sekali pun dengannya. Hehe... Tulisan ini dibuat September tahun 2010, namun baru saya baca beberapa hari yang lalu saat muncul di home facebook saya. And I adore it. Dari dulu saya pengen bisa mengungkapkan perasaan seperti yang ada di tulisan ini tentang beruntungnya orang-orang yang mampu dan mau bermimpi. Tapi ah, yaa.. karena saya kroco, saya ngga pernah bisa menuangkannya melalui tuts keyboard... Dan beruntunglah Mas Luthfi yang memiliki kemampuan menuliskannya dengan baik, dan beruntunglah saya karena sempat membacanya. Such a mood booster for me :)

So yasudah, silahkan menikmati catatan ini dan selamat bermimpi...

Jernih tidaklah dikaitkan kepada air di muara yang diam, tapi kepada air yang di pegunungan yang mengalir deras mencari takdirnya..
Suatu anugerah yang luar biasa bagi manusia ketika dia tahu apa yang diinginkannya dalam hidup dan memperjuangkannya. Sesuatu yang diidamkan, dituju, diperjuangkan. Dan semakin nyata keinginannya itu, semakin besarlah anugerah yang sebenarnya didapatkannya. Bahkan ‘mempunyai keiinginan’ itu sendiri terkadang lebih dibutuhkan bagi manusia daripada ‘memiliki apa yang diinginkan’.

Maksud saya, mempunyai keinginan dan memperjuangkan menggapai keinginan itu sendiri adalah anugerah, sedangkan mendapatkannya hanyalah sebuah akhir dari perjalanan yang seringkali akhir dari cerita indah itu sendiri. Jelas kemudian dibutuhkan keinginan berikutnya yang diperjuangkan. Seperti seseorang dari dusun terpencil dengan ekonomi yang sangat terbatas, bermimpi bersekolah sarjana, dan memperjuangkannya, maka setiap detik perjalanannya menggapai mimpi itu adalah anugerah. dan kala dirinya sudah bertahtakan toga kemenangan, maka baginya kewajiban untuk menentukan mimpi barunya, dan meraihnya.

Contohnya mudah lainnya, seseorang yang punya cita-cita untuk meniti karier hingga puncak hierarki sebuah organisasi, akan jauh lebih bersemangat hidupnya, juga akan jauh lebih banyak karya yang dihasilkannya, ketika dia ada dalam perjalanannya untuk mencapai apa yang diinginkannya. Bandingkan dengan yang sudah memiliki sebuah jabatan yang diidamkan, dan sudah tidak lagi punya hal lain yang benar-benar diingininya, maka jabatan itu dengan pelan-pelan akan menenggelamkan dirinya. Tanpa mimpi selanjutnya, hidupnya sebenarnya telah berakhir. Dia mati dalam hidup.

Tak heranlah jika seorang karib jiwa sempat bercerita, bahwa dia jatuh cinta dengan perjalanannya menggapai mimpinya. Karena memang demikianlah seharusnya saya rasa. Selama kita menggenggam keinginan kita dan memperjuangkannya, selama itu pula sebenarnya kita hidup hidup yang sebenarnya.

Maka berbahagialah setiap jiwa yang menuruti keinginan hatinya, memperjuangkan mimpinya, melangkah maju menyeberangi keraguan-keraguan, kekhawatiran dan ketakutan mereka. Karena keinginan dan perjuangan itu sendiri patut dirayakan. Karena kebahagiaan bisa kita dapatkan baik di dalam tetes gutasi air di rimba belantara, ataupun di butiran pasir padang pasir, atau dimana saja di tempat kita mengikuti aliran hasrat jiwa kita. karena mendapatkan apa yang kita perjuangkan adalah keniscayaan.

***

Teruntuk semua jiwa yang sedang menggapai mimpi dan keinginannya, terkhusus bagi dua karib jiwa yang telah mengambil langkah berani dan sedang dalam awal perjalanan memenuhi takdir, dan terkhusus lagi, bagi karib dua jiwa tersebut.

Luthfi

3 Syawal 1431

Kamis, 03 Februari 2011

Masup Enji!!


"Masuk NG itu prestige tersendiri, apalagi kalo yang versi internasional!"

Kata-kata ini diucapkan dengan begitu meyakinkan oleh Om Bernard, salah seorang wildlife photographer nyentrik di Indonesia. Malam awal November 2010 itu kami serombongan sedang menanti kedatangan pesawat yang akan membawa kami pulang ke Jakarta dari Bandara Ngurah Rai Denpasar Bali. Saya, Om Bernard dan Mas Kris dari Kompas, lagi iseng-iseng duduk beralaskan trolley di depan Starbucks bandara. Kami sibuk chit chat tentang berapa nilai (rupiah) sebuah foto dan artikel dalam majalah A sampe Z. Kebetulan kedua orang tersebut sudah makan asam garam di dunia ini, while I'm just a (cute) newbie there.

Dan memori di depan Starbucks itu kembali terngiang ketika tadi malam, secara ngga sengaja saya menemukan foto saya nampang di halaman depan webnya NG Indonesia. Hwahahahaa... Om Bernard ternyata ngga main-main sodaraaa...

Dan saya ngga bisa berhenti terpukau melihat nama saya mejeng di sana. Kebetulan foto ini baru saya ambil kemarin lusa di Pasar Atum pas lagi rame-ramenya pengunjung berbelanja kebutuhan menjelang Imlek. Setelah itu iseng-iseng saya aplot ke galeri pribadi di Fotokita.net. Biasanya sih kalau udah di-aplot ke Fotokita, ya udah terpasang gitu aja, ngga ada terusannya. Eh tapi, ternyata foto saya loncat ke web NG Indonesia, hehehe... Langsung saya pencet tombol print screen! Haha ini penting! Sebelum kegeser dengan foto harian lainnya, saya harus segera mengabadikan momen ini untuk dipamerkan ke anak-anak saya nanti :D

"Ini lho, foto mama kamu pernah masuk enji..."
Mwahahaha... Padahal sih cuman foto lepas aja ya, di web yang masih Beta pula... dan semua orang pun sebenernya bisa saja nampang di sana, tapi oh tapi saya senengnya bukan main!

Ah, sudahlah! Postingan ini emang norak abisss... Namanya juga baru pertama kali, hehe... Maafkan ya kalau Anda terganggu dengan kehebohan ini! Saya memang lagi hepi dan butuh pelampiasan! XD

Rabu, 02 Februari 2011

Imlek 2562

All these picture was taken yesterday, when every corner in Atom Market looks so busy welcoming Chinese New Year 2011, the year of Rabbit :)