Senin, 28 Maret 2011

Tentang 30 Hari yang Tidak Bisa Ditepati

Nah lho ya, ini kenapa judulnya berasa sentimentil abis? Hehe, yah sudahlah saya tidak bisa memikir kata-kata lain selain yang sudah terpampang di atas.

Alkisah, 18 Februari 2011 lalu, di atas kereta Sri Tanjung yang melaju dari Lempuyangan, saya bersama sahabat saya, Nuran Wibisono, iseng-iseng melakukan pertaruhan kecil. Ini gara-gara saya berkeluh kesah tentang ‘kebebasan’ menulis. Saya merasa tidak bisa menulis seperti dulu lagi, di mana saya bisa memasukkan ‘hahaha’ ‘hehehe’ dan segala emosi yang tercipta dalam sebuah catatan kecil untuk di-posting di sini. Beberapa bulan terakhir ini, sebenarnya saya cukup mobile kemana-mana. Biasanya sih, setelah ngapai-ngapain itu, saya selalu mencurahkan isi hati dalam sebuah tulisan. Entah itu jatuhnya bagus atau ngga. All I wanna do is making a documentation. Ya, sebenarnya sih saya tetep menulis beberapa. Tapi itu buat majalah, dan sayangnya, untuk bisa muncul di majalah saya ngga bisa sembarangan masupin berbagai emosi kan? Even cuman pengen ‘haha-hehe’. Sudah tentu dipotong sama editor. Dan parahnya lagi, saya ngga bisa mengulang menulis hal yang sama untuk versi saya sendiri.

Sementara waktu itu, Nuran mengaku bahwa tulisannya banyak yang ngga mutu. Padahal, that's so untrue, sodara-sodara. Tidak ada tulisan gombal yang tidak bisa dia kemas dalam sebuah tulisan yang cantik. Kalau kalian cewe, dan ngga kuat iman, bisa pingsan berjamaah membaca catatan-catatan cintanya. Hehe! Oiya, selain dia sudah terkenal sebagai penulis musik, saya tetap masih melihatnya sebagai bayangan sebuah roman picisan. Haha! Tak ada duanya!

Okelah berdasarkan keluh kesah kami itu, disertai bebunyian rel yang berderit (apasih!), muncul ide untuk menulis selama 30 hari penuh! Tulisan boleh aja jatuhnya ngga bagus, yang penting jadi diri sendiri, dan yang jelas tidak dihantui oleh cambuk editor, heuuu… Intinya kita bisa olah raga otak dan jari tiap hari. Waktu itu niat kami sangat mulia yaitu melatih diri untuk menghindari syndrome writer’s block.

“Mulai kapan, Ran?” tanya saya saat itu. So excited!

“Besok yo!” jawabnya.

*kriuk*

“Oke deh.” Sebenarnya sih saya bisa melakukannya sendiri, tapi mendapatkan teman yang sama-sama ‘bakal bingung mo nulis apa hari ini’ ternyata menyenangkan! Huahahaha….

Ini baru saya ketahui ketika Rina, sahabat saya yang juga menjabat sebagai pacar Nuran, bercerita tentang kegelisahan lelaki itu dikala malam menjelang siap berganti hari. Ternyata sama seperti saya, tiap jam 10 malem gitu, saya bingung banget kalau ngga nemu inspirasi apa-apa. Bahkan pernah nih, ketika seharian saya keluyuran motret, nyampe kos, saya tepar. Habis sholat Magrib, saya ketiduran, dan tiba-tiba kebangun jam 11 malem gitu karena ada bayangan Nuran melayang-layang dalam otak saya yang kira-kira ngomong gini, “Heh, kowe durung nulis opo-opo dino ikI!”

Amsyong, saya kaget dan langsung cuci muka, terus buka laptop!

Karena perjanjian ini pula, saya bela-belain bawa laptop pas harus ke Jakarta beberapa hari. Padahal saya suka males gitu ya traveling bawa laptop, mengingat ukurannya ngga sekecil netbook jaman sekarang yang cuman 10 inch. Berat, men! Tapi ya udahlah, atas nama gengsi pada diri sendiri dan pada teman saya, akhirnya saya pikul juga laptop putih itu dari Pasar Turi hingga Pasar Senen. Noh!

Melihat database dalam blog ini, terhitung saya rajin ngepost tiap hari pada minggu pertama. Lalu bolong satu, ini kejadiannya pas di Jakarta, benar-benar tidak bisa menyentuh laptop karena jadwal saya padat banget saat itu. *Ditoyor Nuran kebanyakan alesan!*

Lalu delapan tulisan berikutnya, saya posting dengan rajin setiap hari. Hingga suatu hari, saya minta izin ke Nuran buat ngga posting selama beberapa hari, karena harus dinas ke Baluran dan saya benar-benar tidak ingin membawa laptop ke hutan yang ngga ada listriknya! Waktu itu saya bilangnya, "hutang menulis yang pasti akan saya bayar."

Hingga saya pulang ke Surabaya dan nyampe kos, kamar saya ternyata KEBANJIRAN! Dan kok ya KEBETULAN laptop saya ikut main basah-basahan. Huaaaa… saya lemes bukan main. Makin lemes ketika setelah dari service centre, laptop saya dinyatakan almarhum beserta hardisk internal yang terkandung di dalamnya. Dua hari sejak itu saya linglung. Tidur masih sore, bangun masih gelap. Pagi-pagi nyari sarapan, siang makan lagi, malam ya jelas makan lagi. Kehilangan yang mendalam ini bikin saya healthy living banget.

Yang jelas hutang tulisan saya makin menggunung. Sekarang udah tanggal 28 Maret 2011, seharusnya acara 30 hari menulis itu sudah berakhir sekitar 21 Maret kemarin. Yah, saya mohon maaf kepada partner saya, karena ngga bisa menepati 30 hari itu. Untung yah, taruhan ini ngga ada embel-embelnya semacam, “Kalo ngga bisa nulis 30 hari penuh, kudu makan mie babi selama 30 hari!” Modyar guwe! Pindah agama aja sekalian!

Saya menyesal ngga bisa nulis penuh. Even my writing is just a crap. Tapi saya udah punya bayangan waktu itu, wahhh pasti bakal keren gitu kalau proyek ini berhasil. Pelajarannya adalah banyak hal yang tidak terduga yang bisa terjadi kapan saja. *Yaeyalah, Puuuttsss… Uda tau!! Ngga mutu tenan pelajaranmu!*

Namun, saya percaya dengan banyak menulis, sedikit banyak bisa menambah kekayaan diksi, membuat otak kita terlatih untuk merangkai sebuah kalimat. Semua karena terbiasa. Dan untuk membuat tulisan yang bagus, otomatis saya harus banyak membaca banyak hal. Lalu mengawinkan creativity dan knowledge di atas tuts keyboard. Ah ya, lagi-lagi ini hanya pelajaran ngawur!

So meski 30 hari itu gagal, saya masih berharap bisa blogging sepanjang hari. Menulis apa saja yang terlintas di otak saya. Ngaplot foto-foto saya yang kampungan dengan caption seadanya. Okelah, semoga kali ini saya ngga banyak cingcong…

Cheers!

Selasa, 22 Maret 2011

Listen to The Traveltune

Nah setelah ngomongin travelmate, marilah kita menyinggung traveltune! Yeay, saya adalah pecinta musik. Everyday is my music day. Including ketika saya melakukan perjalanan. Sebuah mp3 player Creative yang jelas-jelas bukan punya saya, sudah menemani telinga saya hingga kemana-mana (haha! maksudnya ya di Jawa-Jawa situ aja sih). Ngga tau rasanya kurang afdol kalau ngga bawa benda kecil hitam itu turut serta ketika traveling.

Yang sebenarnya saya maksud traveltune di sini bukan lagu tentang perjalanan lho ya. Saya lebih suka mendefinisikan traveltune sebagai lagu yang akan mengingatkan saya pada sebuah destinasi. Ini ga harus dari playlist dalam mp3 aja sih. Kadang bisa bersumber dari pengamen yang kita temui di jalan, dari lagu-lagu absurd yang diputar oleh kondektur bus, dan sebagainya.

Em... contohnya nih, salah satu traveltune yang memorable adalah lagu band Domino yang apalah itu judulnya saya kurang tahu. Pokoknya ada lirik, "aku terperangkaaaap, di antara dua hati, mencintaimu, mencintaimu..."

Lagu ini menjadi 'berkesan' karena mengingatkan saya saat berada di atas KLM Wahyu Akbar, yang kemudian kita sebut sebagai The Rodeo Boat, saat melintas perairan Madura selama 3 jam demi mencapai sebuah pulau kecil penuh sapi bernama Sapudi.

Naik rodeo boat bukanlah pengalaman yang ingin saya ulang. Kapal kayu kecil berkapasitas 50an penumpang sedang beradu perang memecah ombak yang sedang tinggi-tingginya. Kanan kiri merapal doa. Anak kecil mabuk laut, dan seorang ibu gemuk heboh bertakbir keras-keras. Bahkan wanita dewasa di belakang saya beberapa kali tampak menangis. Saya panik dalam diam. Itu adalah tiga jam terlama dalam hidup saya. Saya sebal bukan main karena ngga bisa tidur dan harus mengatur tubuh saya yang melorot naik turun digoyang kapal, mendengar teriakan ibu gemuk tadi, melihat anak kecil muntah dan merasakan mesin kapal yang berkali-kali mati. Tidak terlihat daratan saat itu. Hanya gambaran langit dan laut biru gelap yang berganti-ganti secara kilat dari balik pintu kapal.

Di saat-saat tidak menyenangkan itu, sebuah handphone qwerty milik seorang penumpang, berdering keras memainkan lagu Domino. Suaranya pecah dan mengganggu telinga saya. Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Saya sedang tidak ingin mendengar lagu apa-apa saat itu, saya cuman ingin segera keluar dari rodeo boat ini. Maka sodara, silahkan ganti lirik 'di antara dua hati' tadi menjadi 'di antara hidup mati'.

Selama ini sih saya beranggapan bahwa dengan mendengarkan traveltune tertentu bisa membantu proses penulisan sebuah catatan perjalanan. Biar emosinya itu bisa dapet gitu ya. Bikin jari kita kesurupan di atas tuts keyboard sambil mendengarkan lagu itu berulang-ulang. Err... sebenarnya ngga harus gitu juga sih, tapiii... itulah yang saya lakukan untuk memperlancar mood menulis. Siapa bilang menulis itu gampang? Apalagi untuk orang 'berbau obat' seperti saya yang dulunya cuman rajin nulis laporan praktikum di dalam berbagai laboratorium kampus.

Tapi apapun itu gunanya, bagi saya traveltune itu semacam dokumentasi juga. Sebuah melodi yang ketika didengar, mampu melemparkan imaji pada memori yang terjadi dalam perjalanan menuju sebuah destinasi. Dari satu memori, lalu menjalar mengingat peristiwa yang lain. Entah itu pada teman-teman yang baru kita kenal, makanan asing yang baru kita rasakan, suasana rumah tempat kita menumpang tidur dan mandi, daaan sebagainya.

Marilah saya ceritakan satu traveltune lagi yang masih fresh from the oven. While My Guitar Gently Weeps, lagu lawas milik The Beatles yang kemudian dinyanyikan ulang oleh Santana bareng India Arie. Lagu ini adalah traveltune saya ketika di Baluran beberapa minggu yang lalu. Sebelum ke Baluran saya belum pernah mendengarnya, meski untuk versi yang lawas sekalipun.

Maka di sebuah kantor kecil nan berantakan, yang malam itu tampak dikuasai oleh seorang petugas pengendali ekosistem hutan bernama Swiss Winasis, adalah pertama kalinya saya mendengar lagu ini diputar berrrrulang-ulang. Kala itu, saya memaksakan diri untuk tidur di sebuah sofa setelah dijejali berbagai cerita horor oleh Mas Swiss, yang tragisnya, terjadi di seputar kantor tempat saya akan menghabiskan malam. Heuhuhu... Saya sebal sekaligus merinding bukan main. Langsung memasang mp3 player di kuping dan (pura-pura) tidur. Padahal masih ada satu cerita puncak yang kepengen buanget dia ceritakan katanya. Grrrr... Ngga minat! Akhirnya dia menyerah, dan kembali pada laptop dan sebotol temulawaknya, yang semula saya kira minuman keras karena warnanya mirip, haha.. Ditemani oleh istri terbarunya, Mbak Ismi, Mas Swiss mengerjakan tugas kantor sambil terus-menerus memutar lagu Santana ini, sampai saya hapal nadanya dalam beberapa jam saja.

Yaudah jadinya sekarang kalau saya ngedengerin lagu While My Guitar Gently Weeps ini langsung keinget suasana kantor PEH Baluran dan dua teman baru saya itu. Kapan-kapan kudu nulis chapter tentang a lovely wildlife couple, Mbak Ismi dan Mas Swiss di blog ini. Yes! Semoga ngga dibaca sama mereka nanti, haha!

Oke deh sekian dulu tulisan saya yang ngga mutu ini, kalau terus-terusan ngomongin traveltune ya bisa panjang dan sudah pasti bakal ngebosenin. Jangan remehkan tiap nada yang Anda dengar selama perjalanan, karena itu bisa menjadi automatically reminder yang mungkin suatu hari berguna. And I believe that every journey has its own song. Yah kecuali Anda pelupa berat dan kurang peka sama bunyi-bunyian. Oke, selamat mendengarkan traveltunes favorit! Selamat bernostalgia kembali.

:)


Senin, 21 Maret 2011

Karena Naif Cuma Satu


Oh yes, saya lagi suka banget sama lagu terbarunya Naif. Liriknya sih sebenernya mengandung berbagai gombalism (yang saya suka! haha!), tapi ya lagu ini simpel banget, easy listening juga, jadi dengan mudah bisa nyantol di otak. Dan semakin naksir ketika melihat tone colour video klipnya! Dreamy abisss... Haha, yo jangan heran dan jangan bosen, saya emang gampang jatuh cinta sama gambar-gambar dreamy feel. Anw, David Naif ternyata tambah berumur tambah ganteng ya? :)

Selasa, 15 Maret 2011

What is a Travelmate to You?

Saya bukanlah tipikal alone traveler, atau solo traveler, atau apalah itu istilahnya… Saya tidak suka bepergian sendiri. Awal mula saya menggemari jalan-jalan malah kayak bawa rombongan se-RT. Saya pernah naik ke Ijen bersama lebih dari 10 orang teman. Dan hepi-hepi aja tuh... Namun, beberapa traveler yang saya kenal menganggap bepergian rame-rame itu riweh, ribet, ngga efisien. Dalam perkembangannya pun, saya agak terpengaruh juga dengan pandangan itu. Saya menemukan kemudahan-kemudahan ketika traveling dengan sedikit orang. Terutama dalam pengambilan keputusan di tengah jalan.

Sekarang pun sepertinya saya sudah jarang bepergian sekampung kayak jaman kuliah dulu. Tapi tetep lah, saya bukan penikmat solo traveling. Setidaknya, kalau jalan-jalan ke luar kota harus ada satu travelmate. Ya maksimal empat orang gitu ya… Versi saya seperti itu…

Saya bisa ngomong seperti ini, setelah merasakan ngga enaknya muter-muter sendiri dalam rangka ngerjain assignment di Bali selama seminggu. Apalagi traveling saya kala itu tergolong ‘wah’ banget, karena saya harus mereview tiga resort jetset di Kintamani, Ubud, dan Banyuwedang. Prinsip saya, bahagia itu baru beneran terasa jika bisa dibagi dengan yang lain. Apalah artinya menginap gratisan di resort mewah seharga jutaan rupiah per malam, jika hanya dilewatkan dengan laptop dan suara kodok di luar.

Ya, saat itu saya berpikir aja, bagaimana bisa traveler-traveler itu berkeliling dunia sendirian? Tidakkah ingin tertawa bersama, apes bersama, jatuh bersama, atau tertipu bersama? Well, tapi saya pernah mendengar seorang traveler yang baru saya kenal di Jakarta bernama Mbak Ulil mengatakan, “kamu harus nyoba solo traveling kapan-kapan, karena dari situ kamu bisa menemukan jati diri.” Saat itu Mbak Ulil baru saja menghabiskan 1,5 bulan traveling sendirian di negeri orang. Masalah ucapannya tadi, saya belum tau juga kebenarannya hehe… Sejauh ini saya belum kepengen bepergian sendirian.

Sebenernya sih yang paling krusial bukan masalah kuantitas. Tapi lebih pada kualitas orang yang bepergian bersama kita. Yang namanya ‘ngerepotin’, mau berjumlah satu atau sepuluh ya tetep aja judulnya ‘ngerepotin’. Saya ngomong seperti ini bukan berarti saya ngga pernah ngerepotin travelmate saya ya… Haha… I dont know, hanya mereka yang bisa menilai. Selama ini saya lebih nyaman bepergian dengan orang-orang yang sudah lama saya kenal. Saya memang tipikal orang yang susah meninggalkan comfort zone. Harusnya sih ngga gitu ya… Tapi beneran, bukannya mo pilih-pilih atau gimana, tapi keberadaan seorang travelmate itu penting demi kelancaran perjalanan kita. Ngga harus sepikiran dalam semua hal juga sih, tapi paling tidak, sama-sama mengerti kebiasaan masing-masing, lalu bersedia untuk saling bertoleransi.

Misal nih, si Anu adalah tipikal traveler yang males mandi. Dua hari sekali membersihkan diri mungkin terasa sudah berlebihan baginya. Lalu si Itu, travelmate-nya, adalah orang yang ngga suka segala sesuatu berbau jorok. Dia merasa ngga nyaman pergi kemana-mana sembari mikirin rambut si Anu ngga dikeramasin selama tiga hari lebih. Sedangkan rambut berkontribusi besar menyumbang kuman pada tubuh manusia. Saya yakin, si Itu dan si Anu ngga bakal bepergian bareng lagi. Yaa, ini contoh ngawur aja sih. Alangkah baiknya, jika Anda mengenal travelmate terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk bepergian bareng. Kasus ini mungkin lebih berlaku untuk perjalanan yang sangat jauh dan membutuhkan banyak waktu. Jangan sampai berangkat bertiga, pulang sendiri-sendiri.

Travelmate, bagi saya, semacam rumah portable yang bisa berjalan berdampingan ketika saya berada di tempat seasing apapun. Yang namanya rumah, pastilah tempat yang nyaman di mana kita bisa bebas menjadi diri sendiri. Ngga perlu sungkan minta bantuan, ngga butuh jaim, dan ngga sulit berpendapat. Ya begitulah pandangan saya terhadap seorang teman perjalanan. Tapi bukan berarti saya ngga mau jalan dengan orang baru lho ya…

Oh iya, setelah laptop putih saya dinyatakan meninggal dunia pada usia ke-5 beberapa hari yang lalu, saya menemukan kebahagiaan tersendiri sebagai 'bukan penganut solo traveling'. Beberapa foto perjalanan saya memang hilang, musnah, dilahap air. Tapi alangkah senangnya mendengar teman perjalanan saya masih menyimpan file-file foto dari kamera saya. Ahey!! Bayangin kalo saya pergi sendirian, siapa juga yang mau nampung data foto yang ngga ada hubungan dengan dia sama sekali. Haha, kalau file hilang, yowes!

Sekali lagi, ini semua tergantung pada selera masing-masing traveler ya… Kalau Anda sangat nyaman bepergian sendirian, ya monggo silahkan. Kalau lebih senang rame-rame satu kantor diajak semua, ya tidak dilarang. Sekali lagi juga ini bukan masalah gaya traveling ya… Mau pake ransel, pake koper atau kresek, itu sih masalah teknis yang ngga perlu diributin.

Ok, selamat menikmati dunia dengan travelmate gila Anda! :)

Minggu, 13 Maret 2011

Disaster in My Bed Room

Well, langsung saja, kamar saya kebanjiran.

Bukan, bukan akibat hujan. Karena tidak ada jejak yang mengindikasikan hal tersebut ulah air bocor dari genteng dan sebagainya. Tapi ini semua akibat ulah bejat rembesan air dari kamar mandi yang memang posisinya berada di samping kamar saya. Ini sebenarnya berita lama. Beberapa waktu lalu, tiba-tiba ada genangan air yang berasal dari balik lemari baju saya. Siapa juga yang ‘pipis’ di sana?? Ternyata setelah saya lakukan investigasi, ada tembok yang retak di bagian bak mandi yang menyebabkan air bisa masuk ke dalamnya ‘menembus’ tembok kamar saya dan meninggalkan genangan air. Tapi, sebenernya banjir ini hanya terjadi JIKA air di bak mandi penuh dan amber, karena letak retak si tembok berada di dekat bibir bak. Bisakah Anda membayangkan? Ah, ya pokoknya gitu deh!

Waktu itu sih, saya udah laporan Pak Kos... Tapi ya, begitulah... Beliau termasuk laki-laki kurang tanggap terhadap bencana kecil. Ini memang udah biasa sih, temen saya yang kamarnya kebanjiran gara-gara bocor genteng aja ngga pernah ditanggepin. So, yang bisa saya lakukan adalah woro-woro ke teman-teman agar bak mandi jangan sampai diisi penuh karena bisa membahayakan kamar saya. Nah, entah siapa yang khilaf, ternyata seharian kemarin, ketika tiada orang di dalam kamar kos saya, kran bak mandi dihidupin tapi ngga dimatiin sampe air meluber.

Semalem itu saya baru pulang ke kos sekitar pukul 12 dini hari. Kamar kosan ini saya tinggal ke Situbondo dalam keadaan kosong (dan berantakan) sedari hari Kamis. Saya datang dalam keadaan capek, ngantuk, dan dekil. Rencana sempurna saya begitu sampai di kosan adalah mandi keramas terus tidur.

Tapi ya siapa sangka, ketika berada di depan kamar, keset saya sudah dalam keadaan basah. Perasaan udah ngga enak nih…

Begitu saya buka kunci kamar. Benar, sodara-sodara! Seluruh pojok kamar saya dilanda air bah! Buset! Ketika saya melangkah, sampai bisa menimbulkan sound effect 'kecipak-kecipuk'. Ya Tuhaaaaaaan! Saya duduk di kasur dengan lemes. Don’t know what to do.

Saya ingat, hari Kamis subuh, saya baru saja pulang dari Jember, naruh barang, packing, lalu dua jam kemudian berangkat lagi ke Situbondo. Jadi banyak barang yang masih saya lempar suka-suka di lantai. Dan merekalah yang jadi korban keganasan musibah air bak ini. Tas (beserta isinya), sajadah, mukenah, berbagai majalah dan uang kertas menggenang. Dan aaaaaaaaarrrgghhh!! Laptop!!!!! %$#$#$#@**@#@!!!

Laptop ini berada di dalam tas laptop. Dan ketika saya pegang-pegang, keseluruhan tas berwarna hitam itu saya sudah basah! Laptop saya keluarkan, dan sisi kanannya memang sudah basah. Huhuhuuhuhuuuuu…

Saya harus membersihkan banjir banding ini dulu, sebelum menyalakan listrik, daripada ada musibah kesetrum yang bisa saja terjadi kalau saya nekad. Oh iya, setrika saya basah lho. Semua bagian, sampe kabel-kabelnya. Hadeuh…

Maka saya pun memanggil bala bantuan. Tapi nasib lagi weekend ya. Banyak yang pulang. Temen saya, Rina masih keluar sama keluarganya. Si Leny pasti lagi mudik ke Malang. Satu-satunya harapan adalah pembantu kos, Mbak Rofik.

Sudah ngga usah ditanya lagi bagaimana histeria Mbak Rofik melihat kamar saya yang mirip laut. Kami berdua langsung melaksanakan kerja bakti dini hari. Mengeluarkan segala barang yang basah, mengeluarkan air-air yang menggenang, dan mengeringkan kamar. Pupus sudah harapan saya untuk mandi lalu tidur cepat.

Sekitar pukul dua pagi, setelah acara bersih-bersih itu selesai, saya langsung mandi. Completely tired. Masuk ke kamar, mulai berdoa agar laptop saya baik-baik saja. Dan yah… laptop saya memang bisa menyala, tidak ada data yang hilang, sound masih oke, tapi beberapa kali layar laptop tiba-tiba menghitam. Begitu pula ketika saya menulis catatan ini. Tiba-tiba pet! Mati, lalu hidup lagi. Ya Tuhaaan, sepertinya dia sedang sekarat. Dan saya ngga punya ruang cukup dalam hardisk eksternal untuk menampung data dalam memori internal. Hiks!

Ya udah deh, saya beneran ngga mood ngapa-ngapain. Males beres-beres barang-barang saya yang seabrek terlantar di luar kamar. Cuman pengen tidur.

PS:

Oh iya, siang ini saya mengungsi di kamar sebelah, karena (AKHIRNYA) kamar saya dan kamar mandi sinting itu diperbaiki oleh beberapa tukang.

Oh iya lagi, happy one hundred post! Agak-agak miris gimana gitu menghadapi kenyataan bahwa postinga ke-100 saya adalah tentang bencana. Tapi ya udah lah, mungkin saya harus pindah kos… Ahhhh, males sekali mikirnya…

Doain laptop saya yang jelek tapi berjasa tinggi ini bisa selamat...