Kamis, 19 Januari 2012

What The Hell Am I Doing Here?


Pernahkah pertanyaan semacam ini muncul ketika kamu traveling ke suatu tempat yang begitu asing? Ini bukan benar-benar umpatan atau semacam penyesalan. No. Kalau saya sendiri sih menganggap kalimat di atas seperti perasaan heran bercampur takjub mungkin ya...


Dulu, sekitar pertengahan 2010, saya dan ketiga teman lelaki saya, sempat melakukan perjalanan spontan ke Pulau Sapudi, salah satu dari 76 pulau kecil di sekitar Madura. Kami menggunakan dua motor dari Surabaya, dan beralih moda transportasi menjadi kapal motor ketika sampai di Sumenep. Dua motor kesayangan dinaikkan pula di atas kapal. 

Pulau Sapudi seperti apa, orang lokalnya seperti apa, saya ngga ada bayangan sama sekali. Perjalanan menggunakan kapal motor itu mungkin masih menjadi pengalaman yang tak terlupakan seumur hidup saya. Saya bahkan sempat menuliskannya sebagai chapter tersendiri dalam e-book When Will You Come Home. Kapal motor tersebut bergerak bagaikan rodeo. Penumpang muntah karena tak tahan mabuk laut, kardus yang semula tersusun rapi jadi berhamburan diombang-ambing ombak, suara mesin mati lalu hidup lagi, ibu-ibu gemuk meneriakkan nama Tuhan, mbak di belakang saya menangis ketakutan. Itu adalah perjalanan 3 jam paling luama dalam hidup saya.

Penumpang masih harus menggunakan jukung kecil untuk benar-benar sampai di daratan. Di pinggir dermaga, saya tertegun sambil melihat motor Supra andalan saya diangkat dari kapal motor , lalu diletakkan di atas jukung. Motor saya bersanding dengan kardus-kardus yang berantakan tadi. Melihat pemandangan ini, saya bertanya dalam hati, "aku ini lagi ngapain sih bisa nyampe sini?" 

Kejadian berikutnya pada saat saya sedang melaksanakan tugas yang menyenangkan sebagai salah satu petualang (amatir) Aku Cinta Indonesia Detikcom Oktober 2011 lalu. Saya dan tim kebagian mengubek-ubek beberapa destinasi di Kalimantan Barat. Ada dua peristiwa yang begitu memorable. 

Pertama, ketika kami turut mengejar buntak. Saat itu kami berada di sebuah desa kecil di Kedungkang, masih dalam wilayah Taman Nasional Danau Sentarum. Desa ini dihuni oleh masyarakat Dayak Iban. Tak banyak sih, hanya tiga atau empat puluh kepala keluarga saja. 

Kami menggunakan speed boat dari Selimbau untuk menuju tempat ini. Saya baru tahu bahwa Danau Sentarum bentuknya menyerupai labirin raksasa! Di tengah danau banyak tumbuh kayu-kayu putat yang bergerombol membentuk semacam hutan kecil. Lika-liku ini menyebabkan tim kami sempat tersesat dua kali. Desa yang kami tuju ternyata terletak di balik hutan kayu putat yang entah di belokan mana saya juga ngga hafal! Semua tikungan tampak sama di mata saya. Air danau yang hitam dan hutan beranting kering. Desa tersebut begitu sepi. Sepiii sekali. Entahlah, aura di sini terasa berbeda dibanding tempat lainnya.

Malam hari, kami diajak untuk turut mengejar buntak oleh penduduk desa. Rupanya ladang jagung dan padi sedang diserang buntak atau biasa saya sebut belalang. Ya, belalang cokelat sebesar jari telunjuk orang dewasa. Penduduk sedang giat menangkap buntak-buntak yang menghabiskan ladang mereka di malam hari. Penasaran, kami pun ikut perburuan ini. Lagi-lagi, kami masuk ke hutan, hanya berbekal senter. Saya lupa bahwa yang dimaksud ladang oleh orang Dayak, pastilah di atas bukit. Oh my… Ironis, saya hanya menggunakan sandal jepit kesayangan yang telah saya pakai sejak 2009 lalu, pasti… beralas super halus. Dan malam itu, tanah begitu licin akibat guyuran hujan. Sempurna. Ketika saya memutuskan untuk melepas sandal, yang ada kaki saya digigit semut api. Ahhh…. mamaaaa…

Saya ingat, saya hampir tak kuat mendaki bukit ini. Nafas begitu tersengal-sengal. Capek perjalanan panjang sebelumnya masih belum mereda. Cahaya-cahaya senter dari penduduk sudah tampak, tapi masih sangat jauh. Itu adalah rombongan yang telah berangkat terlebih dahulu. Suasana ini macam di film-film horor saja. Gelap.

Akhirnya kaki ini sampai juga di ladang yang dimaksud. Saya berusaha berdiri dengan seimbang mengingat ladang ini bentuknya miring karena tepat berada di lereng bukit. Tidak ada tanah datar. Tubuh saya seketika merinding melihat ribuan belalang cokelat asik menggigiti daun-daun jagung. Tak menyisakan apa-apa. Buntak-buntak ini ada kalanya terbang bersamaan, menimbulkan suara yang mirip hujan. Seram. Mual. Karena tadi saya sempat mencicip buntak goreng yang dimasak oleh penduduk.



  
Hujan pelan-pelan merintik. Saya dan tiga teman saya dipersilahkan untuk naik ke sebuah pondok panggung, tempat para petani beristirahat. Sementara penduduk lain tetap memburu buntak. Kegiatan, yang menurut saya, percuma. Kasihan, gara-gara buntak, panen tahun ini pasti kacau. Di dalam pondok yang tampak ringkih itu saya hanya bisa tertegun dan lagi-lagi bertanya, "saya ini lagi ngapain sih?" 

Kenapa saya ngga tidur aja di kosan Surabaya? Haha!

Kejadian kedua adalah bermalam di Data Opet, seperti yang sudah saya sebutkan di postingan super panjang tentang "Mandi". Data Opet bukanlah nama desa. Data Opet adalah sebuah dataran di tengah hutan, di pinggiran Sungai Bulit. Konon, dulunya nenek moyang masyarakat Dayak Punan Hovongan pernah tinggal di sana sebelum bermigrasi ke Tanjung Lokang. Makanya, masih banyak goa (liang) dan situs yang dikeramatkan di sekitaran Data Opet ini. Kami berniat mengunjungi beberapa di antaranya.

Perjalanan dari Tanjung Lokang ke Data Opet memakan waktu 3 jam menggunakan sampan bermesin tempel. Jangan tanyakan soal riam. Itu adalah makanan kami sehari-hari selama di sungai. Adegan sampan ditarik menggunakan tali demi melewati riam? Itu wajib hukumnya! Ya, karena memang ngga ada cara lain. Rombongan kami cukup banyak, karena memang dibutuhkan banyak tenaga untuk melewati riam-riam sungai ini.

Di sini, di Data Opet, di tengah hutan adalah pertama kalinya saya merasakan berkemah. Ya, jaman sekolah dulu saya memang ngga pernah ikut persami dan kawan-kawannya. Pengalaman pertama selalu mendebarkan, begitu pula acara camping ini. 

Saya dan Mbak Anty, travelmate satu tim ACI, menempati sebuah tenda dome. Sayangnya ada satu tenda dome lain yang tertinggal di Tanjung Lokang. Jadilah Mas Ian, travelmate saya juga, tidur di atas dan di bawah alas terpal bersama bapak-bapak penduduk Tanjung Lokang yang menjadi motoris. Apes memang, terlebih hari itu cukup dingin.



Jujur, saya tidak pernah berada di hutan pada malam hari. Ya iyalah, mau ngapain juga gitu ya? Saya sih bukan termasuk orang yang takut gelap. Tapi hutan punya atmosfer lain ya. Gelapnya itu maksimal banget. Bahkan bayangan pohon saja, hanya terlihat samar. 

Hujan mengguyur begitu derasnya, ketika saya hendak terlelap. Mbak Anty sudah tidur. Tapi saya masih terjaga di sampingnya. Hujan ini terasa nikmat. Suara ribut tetesan air yang menghantam bagian atas tenda terdengar menyenangkan. Di balik punggung, saya bahkan bisa merasakan derasnya air yang mengalir. Sebegitu dekatnya tubuh saya dengan hujan ini.  

Ya ampun, what the hell am I doing here? Orang rumah sedang apa ya? Ibu saya ngeri ngga ya kalau tau saya di hutan antah berantah, hanya berlindung di dalam sebuah tenda kecil berwarna biru, tanpa sinyal handphone, tanpa listrik, ngga mandi pula…

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang sering datang secara mendadak. Ketika pada suatu momen, saya terdiam dan mereka ulang apa yang sudah dilalui. Terlebih saat bayangan orang-orang yang jauh tiba-tiba terlintas. Mungkin homesick. Mungkin juga terpana atas apa yang sedang menimpa. Kadang perjalanan memang selalu memiliki bumbu-bumbu yang mengejutkan. Entah itu menyenangkan, atau menyebalkan. Nikmati saja… 

5 komentar:

  1. Hahaha. samaa.

    Saya pernah mengalaminya Ketika berkemah pada saat malam waktu sedang slusupan sendirian mendaki masuk keluar hutan.

    Bermalam di tenda yang dididiran di pinggir sungai pada sebuah lembahan di tengah hutan.

    Tidur hanya ditemenin parang di sebelah kiri dan senter di sebelah kanan serta headlamp yang nempel di kepala.

    Di luar rasanya sepi sekali, dingin kabut serasa masuk sampai ke tenda. Tidak berani bergerak, karena takut bisa mengundang makhluk lain yang ngga saya kenal.

    Sambil merapal ayat kursi, berharap tidak ada wewegombel, macan, atau pemberontak bersenjata laras panjang tiba-tiba datang

    "what the hell am i doing here." gumam saya sampai subuh. :))

    Tulisan yg bagus, Put :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasi, Mas Ipung!
      Aku tergelitik membaca ini:

      "Sambil merapal ayat kursi, berharap tidak ada wewegombel, macan, atau pemberontak bersenjata laras panjang tiba-tiba datang.."

      Beruntung aku lupa, bahwa di hutan banyak makhluk2 seperti itu, jadi ga sempat kepikiran... hahaa... *sujud syukur*

      Hapus
  2. Perjalanan yang tentu melelahkan. Selebihnya mengasyikkan.hehe

    BalasHapus
  3. Kadan "What The Hell Am I Doing Here?" itumerupakan awal perjalanan yang seru plus menarik , mungkin yang terseru di hidup kita :D

    BalasHapus