Minggu, 17 April 2011

The Hakka and The Mountain Songs

“Kenapa kamu tertarik mengikuti kegiatan ini?” seorang wanita cantik yang duduk di samping saya bertanya tak lama setelah saya berkenalan dengan beliau. Kegiatan yang dimaksud adalah Jejak Petjinan. Sebuah klub heritage yang tiap dua bulan sekali memiliki agenda melancong ke berbagai sudut Pecinan di Surabaya dan mempelajari sejarah yang tertinggal di dalamnya. Siang tadi kami mengunjungi tempat perkumpulan suku Hakka/ Hwie Tiauw Ka di daerah Slompretan.

“Mmm... Karena ibu saya seorang Tionghoa, sedikit banyak ingin tahu tentang budaya leluhur,” ujar saya sambil senyam-senyum.

“Oh ya? Tinggal di mana? Marga kamu apa?” Wanita bernama Zhu Yu Ping ini kemudian berkata dengan semangat menggunakan bahasa asing, yang saya yakin adalah bahasa Hakka, kepada seorang wanita tua berambut cepak di sampingnya. Kalau saya terjemahkan kira-kira seperti ini, “Eh, mamahnya Mbak ini Cina lho ternyata…”

Si Ibu tua manggut-manggut memandangi wajah saya yang ngga Cina sama sekali itu. Lalu saya menuliskan marga keluarga ibu saya dalam lembaran kertas. Saya takut salah ucap kalau mengatakannya langsung, secara lidah ini lebih terbiasa mencecap logat Jawa turunan dari keluarga Bapak.

“Dulu tinggal di Kapasan.Tapi sekarang di Jember bersama Bapak, tapi sampai sekarang tante saya masih Kapasan," jawab saya lagi.

“Wah! Bisa jadi kamu turunan orang Hakka juga. Jangan-jangan kita bersaudara!”

Saya tertawa renyah mendengar seruan wanita yang sejak lahir hingga tamat SMP tinggal di Meizhou, Provinsi Guangdong ini. Tidak tahu apakah ada leluhur saya orang Hakka atau tidak. Lah wong saya juga baru tahu marga keluarga saya! Ini juga gara-gara dipaksa si Zhuang Wubin, buat ngubek-ngubek cerita tentang Ibu saya untuk dijadikan sebuah proyek dokumenter awal 2011 lalu. Again, I thank to you, Wubin. Kalau ngga ngerjain proyek itu, saya bakal heng-hong dan malu abis untuk kesekian kali ketika ditanya tentang marga keluarga sendiri oleh wanita yang berprofesi sebagai guru bahasa Hakka di perkumpulan Hwie Tiauw Ka ini. (Yes, you can read about My Mommy here)

“Tapi saya tidak punya nama Cina, Bu…,” sambung saya.

“Saya pun belum memiliki nama Indonesia sejak pindah kemari.” sahutnya, tertawa.

Kata “Hakka” berarti “Tamu”. Ini disebabkan karena Hakka merupakan sekumpulan orang-orang pelarian dari China bagian Utara yang menyebar hingga ke daerah Selatan. Dulunya, kumpulan Hakka ini dikenal sebagai petinggi kerajaan yang berotak cemerlang. Jika tipikal orang Tiongkok yang terkenal ulet, maka suku Hakka konon, dua kali lipat lebih ulet! Lebih rajin dalam bidang pendidikan. Lebih mudah menerima pembaharuan. Para orang tua rela menjual apa saja agar anak mereka (terutama laki-laki) bisa mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Menurut cerita yang saya dengar, 70-80% tokoh dunia yang berkebangsaan Cina berasal dari suku Hakka, sebut saja salah satunya adalah Dr. Sun Yat Sen.

Pada pelariannya, suku Hakka, yang juga dikenal sebagai orang Khek ini, banyak tinggal di daerah pegunungan, hingga muncul pepatah “di mana ada gunung, di situ ada orang Hakka”. Namun, sekarang ini sangat susah mencari orang yang murni berdarah Hakka. Kebanyakan sudah terjadi pernikahan antar suku yang berbeda. Walupun demikian, ada beberapa hal yang menjadi pemersatu suku Hakka, yaitu bahasa dan budaya. Suku Hakka memiliki bahasa sendiri yang berbeda dengan bahasa Mandarin. Bahasa inilah yang menjadi penanda mereka walaupun sedang berada di tempat asing.

“Kalau sedang berada di luar negeri, lalu tiba-tiba di jalan mendengar orang berbicara bahasa Hakka, walaupun kita tidak mengenalnya, ada perasaan lega… Seakan bertemu dengan keluarga sendiri, padahal sedang yang jauh dari rumah,” ujar Ibu Zhu Yu Ping dengan bahasa Indonesia yang agak terbata, mungkin pengaruh keseharian terbiasa menggunakan bahasa Hakka.

Karena tinggal di daerah pegununangan ini juga, orang Hakka mendapatkan stok sayuran yang melimpah. Dan kebanyakan mereka senang mengolahnya menjadi sayur asin, baik yang basah maupun kering, agar lebih tahan lama. Saya jadi ingat, ibu saya beberapa kali membawakan tante saya oleh-oleh berupa sayur asin ketika ke Surabaya. Mungkin memang dalam tubuh saya ada sedikit darah-darah Hakka kali ya! Haha!

Ada satu lagi budaya yang unik dari suku Hakka yaitu folk music. Mereka menyebutnya “San-Ko” atau “Nyanyian Gunung”. Konon, nyanyian yang semacam kidung ini dulunya dilantunkan bersahutan dari gunung satu ke gunung yang lain. Waw! Amazing! Saya tidak tahu bagaimana praktek sesungguhnya di masa lampau, tapi budaya ini hingga sekarang masih dipertahankan di Cina sana, dengan cara menggelar beberapa kontes Hakka Mountain Songs. Tentu saja tidak dinyanyikan dari gunung ke gunung, melainkan dibawakan oleh dua orang penyanyi yang bersahutan seperti sedang bermain pantun.

Perkumpulan Hwie Tiauw Ka yang pada 2011 ini berusia 191 tahun bukanlah tempat sembahyang umat tertentu. Mulanya bangunan ini adalah rumah dari seorang yang akrab dipanggil Paman Peng. Beliau merelakan kediamannya digunakan sebagai tempat berteduh orang-orang yang mengunjungi makam keluarga. Dahulu, daerah Slompretan ini dikenal sebagai Pasar Bong, di mana Bong berarti “tanah perkuburan".

Rumah Paman Peng ini kemudian direnovasi secara gotong-royong bertahun-tahun untuk dijadikan sebagai satu tempat perkumpulan untuk menghormati para leluhur Hakka yang bermukim di Surabaya. Seperti banyak diketahui bahwa daerah Utara ini adalah awal mula tempat orang Tionghoa membuka kehidupan di Surabaya, yaitu dengan berdagang, membuka toko dan sebagainya. Ini sebagai imbas dari keberadaan Kalimas, di mana sarana transportasi sungai adalah akses utama perdagangan dan perekonomian zaman dulu. Tak heran jika daerah ini dikenal sebagai Pabean, yang berarti “bea cukai”, di mana terdapat perputaran barang yang keluar dan masuk kota Surabaya melalui sungai tersebut. Dan kebanyakan orang Hakka maupun bukan, memang tinggal di daerah yang akhirnya akrab dikenal sebagai Pecinan Surabaya ini.

Sekarang, tempat perkumpulan Hakka sedang dikembangkan oleh para pengurusnya untuk dijadikan salah satu destinasi wisata heritage di Surabaya. Dengan harapan, turis domestik dan manca negara bisa berkunjung dan mengenal tentang budaya Hakka dari tempat ini. Kalau saya sendiri sih, pengen denger The Mountain Songs itu seperti apa, karena dari beberapa sumber yang saya baca, ada irama-irama khas yang dilantunkan sebagai penanda jauhnya jarak yang ditempuh sebuah nada dari gunung satu untuk didengar oleh para Hakka di gunung lainnya. Wih!

13 komentar:

  1. ow ibunya bulek orang cina ya...
    tp marganya kok ky orng jepang ya
    *keinget Hoka2 Bento :p

    nwy cerita yg menarik, keknya saya juga harus menelusuri jejak leluhur di Manado, kelamaan di Jawa sampe lupa bunya keluarga besar di Sulut.
    thx ceritanya inspiring me :)

    BalasHapus
  2. Mas Jeri: oh! bisa jadi saya juga orang Jepang! Campuran kayak es buah :D

    BalasHapus
  3. wah baguuuus :D
    mohon bimbingan suhu Putri

    buyut saya cina loh
    #rapenting

    BalasHapus
  4. @ayos: waw, tumben :)
    @dhani: apanya yang dibimbinggg, aduh pusing saya :))

    BalasHapus
  5. @lek nurul: hoho, matur nuwun.. ini asal tulis aja benernya..

    BalasHapus
  6. bedane hokian karo hakka apa, put?

    BalasHapus
  7. putri tambah sangar, koyok macan. Eaaaaaaaa :D

    BalasHapus
  8. @ mas Real: setahuku itu dua budaya yang beda sih, tapi waduh, bedane opo yo hehee... golek nang gugel sik mas :)

    @ koko uyan: #eaaaaa karepmuuu..

    BalasHapus
  9. andreas setiawan12 Mei 2011 pukul 21.57

    wah, sepertinya keluarga saya turunan dari suku hokian put... margamu apa?? ;p

    BalasHapus
  10. Wow...ngga sengaja aku nemu tulisan ini, kebetulan sy lg riset ttg suku Hakka, terima kasih imfonya sangat berguna

    BalasHapus
  11. Berkunjunglah ke kota singkawang (kal-bar)..dipastikan anda akan ketemu orang hakka asli ..tanpa campuran ..hahaahaha

    BalasHapus