Jumat, 31 Agustus 2012

Setahun Lalu di Lasem


Sepeda jengki tua itu melintas begitu saja di depan mata saya. Seorang kakek yang mengendarainya sempat melambai dan tersenyum lebar. Saya agak terlambat sekian detik membalas sapaan ramah tersebut. Konsentrasi terlalu fokus pada deretan truk dan bis yang menghambat kaki saya untuk menyebrang jalan. Perlu beberapa saat untuk berhasil mengingat siapa kakek berkacamata tadi.

Memori saya lalu melompat pada kunjungan kemarin sore. Sebuah pintu kayu jati bercat merah menyolok, dengan kaligrafi China berwarna kuning keemasan terukir di atasnya. Letak rumah tersebut di Jalan Babagan, salah satu daerah yang dipenuhi dengan jejeran rumah berarsitektur Tiongkok di Lasem. Saya berkenalan dengan penghuni rumah berpintu apik itu. Seorang lelaki peranakan Tionghoa berusia lanjut yang memiliki nama Indonesia, Junaedi. Orang yang juga baru saja menyapa saya di tepi jalan raya Lasem.

Kediaman Pak Junaedi mengingatkan saya pada banyaknya sumber bacaan yang mengatakan bahwa Lasem bagaikan Little Tiongkok di Jawa. Rasanya tidak adil jika saya setuju begitu saja, sementara dua kaki ini belum pernah sama sekali menginjak tanah di Cina. Pun ini adalah kunjungan pertama saya di Lasem. Namun memang arsitektural kota kecil ini sangat unik dibandingkan daerah lain di sekitarnya. Ada pula folklore yang kerap terdengar jika Anda berkunjung ke Lasem.

Disebutlah seorang peranakan bermarga Han yang tinggal di Lasem ratusan tahun lalu. Han Wie Sing jatuh sakit dan meninggal ditengah carut-marut perilaku anak-anaknya yang gemar menghabiskan harta keluarga demi berjudi. Bahkan, dana yang dikumpulkan dari para saudara dan tetangga untuk menguburkan sang ayah pun berakhir mengenaskan di meja perjudian. Uang sudah tak punya, sementara jenazah harus segera dikuburkan. Maka di suatu malam, anak-anak Han Wie Sing sepakat membawa jenazah sang ayah yang hanya dibungkus sehelai tikar, ke sebuah tanah perkuburan. Tidak ada peti mati, tidak ada prosesi.

Di tengah perjalanan, hujan mendadak jatuh mengguyur bumi dengan begitu lebatnya. Kilat dan petir berkali-kali datang menyambar. Anak-anak Han Wie Sing ngeri ketika terjebak dalam hujan petir itu. Alih-alih segera mengubur jenazah, mereka mencari tempat berteduh. Ah, tapi mereka tak cukup sabar untuk menanti hujan reda. Keduanya sepakat untuk pulang dan meninggalkan jenazah di tanah tersebut dengan maksud menguburkannya esok hari.

Tapi sayangnya, jenazah itu sudah hilang ketika mereka datang kembali, digantikan sebuah nisan tanpa nama. Konon, saat itu juga terdengar sebuah suara murka seorang laki-laki yang melarang marga Han keturunannya untuk menginjakkan kaki di Lasem. Meski telah berlalu tiga ratus tahun lalu, namun kutukan marga Han ini kabarnya, masih dipercaya hingga detik saya berada di Jalan Babagan dan mendengar cerita ini digulirkan.

Penasaran membawa kaki saya mengunjungi makam Han yang tersohor. Melewati komplek pekuburan Muslim, menyendiri di tengah-tengah hamparan sawah, berdiri sebuah nisan besar berwarna putih yang secara arsitektural tak jauh beda dengan makam Cina lainnya. Saya tak tahu apakah di dalamnya adalah jenazah Han Wie Sing yang kerap disebut dalam folklore tadi, atau seorang Han lainnya. Yang pasti folklore ini seakan menciptakan identitas lain untuk Lasem, yakni sebagai sebuah kota terlarang bagi marga Han. Entah benar atau tidak, namun cerita ini tetap diturunkan dan dituturkan sebagai bahan pembelajaran hidup pada generasi berikutnya.

“Mari silahkan masuk! Rumah ini pernah dibuat untuk syuting film Ca Bau Kan dan Karma,” ucap Pak Junaedi, ketika saya mengutarakan kekaguman pada tiap sudut rumah tua ini. Hijau muda menjadi dominasi tiap ruangan yang ada di dalamnya. Sangat kontras dengan pintu kayu di depan. Pemilihan warna memang cukup berperan penting dalam budaya Tionghoa. Masing-masing memiliki makna dan maksud sesuai yang diinginkan oleh si pemilik rumah. Seperti warna merah menyala yang merepresentasikan keinginan penghuni rumah untuk mendapatkan kemakmuran dan keberuntungan.

Hampir seluruh kampung di Lasem memiliki model arsitektur rumah khas Tiongkok seperti kediaman Pak Junaedi. Dua buah daun pintu kayu di depan dengan ukiran tulisan China di atas permukaannya, melekat tepat di tengah tembok besar bagai benteng yang mengelilingi seluruh kediaman tersebut. Luas satu rumah bisa mencapai 1000 meter persegi, atau bahkan lebih! Ironisnya, rumah seluas lapangan tersebut hanya dihuni satu hingga dua orang saja. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana orang-orang lanjut usia ini menghabiskan hari-hari mereka. Just like living in a lonely planet.

Begitu pintu kayu terbuka, maka saya seperti bermain dengan mesin waktu yang mampu mengantar imaji pada wujud arsitektur ratusan tahun lalu. Halaman depan menjadi semacam karpet merah sebelum memasuki ruang tamu yang terbuka. Beberapa kursi kuno tertata rapi di tiap sudut ruangan tersebut. Lukisan portrait leluhur pertama di pajang di sisi kanan dan kiri ruangan tersebut. Dua buah kaca vintage penuh ukiran tergantung di tembok, bersanding di sebelah wajah pemilik rumah.

“Ini buyut saya dari Tiongkok, beliau menikah dengan wanita asli Lasem. Saya adalah generasi ke empat yang tinggal di rumah ini.” Pak Junaedi menunjuk dua lukisan hitam putih berukuran extra besar di ruang tamu. Tepat di tengahnya terdapat sebuah pintu menuju ruangan di dalam rumah. Saya melihat sebuah altar sederhana berdiri di tengah ruangan temaram. Ada bingkai foto leluhur keluarga di atasnya. Melewati altar, kaki saya di bawa masuk ke ruangan belakang di mana terdapat dapur, sumur dan kamar mandi. Selebihnya adalah halaman yang ditumbuhi oleh pepohonan.

Rumah Tiongkok ini umumnya didesain mengikuti feng shui yang menganut aturan utara sebagai lambang air, timur mewakili elemen kayu, selatan sebagai api, dan barat yang menggambarkan logam. Mungkin karena hal itulah, rumah-rumah tradisional lainnya juga memiliki bentuk, tatanan, dan detil ornamen yang sama persis. Yang membedakan hanyalah warna cat pintu depan, warna tembok di dalam rumah, serta modifikasi halaman depan dan belakang.

Rumah Pak Sigit Witjaksono, contohnya. Karena berprofesi sebagai seorang pembatik, maka beliau menyulap halaman belakang rumah menjadi sebuah studio batik sederhana. Siang itu seorang wanita tua bernama Sumini yang membukakan pintu. Tidak ada kaligrafi Cina terukir di atas permukaan kayu jati tersebut. Sengaja dihilangkan oleh tuan rumah demi mematuhi aturan pemerintah masa Orde Baru lalu. Berbeda dengan rumah Pak Junaedi yang lebih simple, kediaman Pak Sigit tampak sangat meriah. Dinding ruang tamunya dipenuhi oleh foto leluhur dan keturunan yang ditata acak termasuk portrait Gus Dur dan Bung Karno. Ditambah lagi kedatangan saya juga disambut oleh suara lagu-lagu Mandarin yang diputar dengan volume maksimal.

“Kalau ngomong sama Bapak, suaranya harus keras. Pendengaran Bapak kurang bagus.” Ibu Sumini, yang sudah 23 tahun bekerja sebagai pengrajin batik pesisiran di sini, bertutur menggunakan bahasa Jawa halus. Maka lewat kediaman ini, saya kini melihat Lasem dari sudut pandang identitas yang lain lagi. Yaitu sebagai salah satu kota penghasil batik pesisiran.

“Meski sudah tua, tapi saya ini suka karaoke!” kata Pak Sigit sembari mematikan televisi 14 inch di ruang tamu. Senyum selalu terkembang di wajah kakek berusia 82 tahun ini. Masih tampak bugar, kala saya bertandang ke rumahnya. Beliau mengenakan batik berwarna merah cerah hasil desain sendiri. Dalam sejarah perbatikan, Lasem terkenal sebagai daerah penghasil warna merah secerah darah ayam. Pak Sigit berbangga hati ketika menyebutkan bahwa 10 hingga 20 tahun lalu tidak ada kota-kota batik lain seperti Yogyakarta dan Solo yang mampu menghasilkan warna merah seperti Lasem. Penelitian menyebutkan bahwa keunikan tersebut adalah pengaruh dari kandungan mineral pada sumber air di Lasem yang tidak terdapat pada daerah lainnya.

“Tapi sekarang teknologi sudah maju, banyak daerah yang sudah bisa membuat warna merah darah ayam,” ujar Pak Sigit yang juga memiliki nama Njo Tjoen Hian ini. Batik Lasem juga dikenal memiliki corak yang khas, yaitu gabungan dengan nuansa Tiongkok, seperti adanya gambar burung Hong dan singa. Yang terkenal adalah motif batik Tiga Negeri. Dalam perkembangannya, Pak Sigit juga menambahkan huruf-huruf Mandarin, yang bila dirangkai artinya akan membentuk sebuah kata mutiara, di atas batik produksinya. Tak banyak pembatik yang bekerja di studio sederhana miliknya. Saya hitung tak sampai sepuluh wanita berada di sana.

Kakek yang mengaku pernah berakting menjadi ayah Ferry Salim dalam Ca Bau Kan ini juga sedikit banyak mengungkit sejarah Lasem yang beliau kutip dari Babad Badrasanti. Kitab berbahasa jawa kuno tersebut tersebut juga memuat tentang kedatangan Laksamana Ceng Ho pertama kali di kota pesisir ini. Dalam ekspedisi Ceng Ho ini, seorang gadis, anak dari nahkoda kapal yang dikenal sebagai Putri Campa, menikah dengan petinggi kerajaan Lasem yaitu Pangeran Badranala. Putri Campa inilah yang konon, berperan dalam sejarah perbatikan di Lasem, sehingga tampak kental bernuansa Tiongkok.

Lasem adalah contoh daerah pesisir utara Jawa dengan sejarah dan ragam budaya yang tak habis jika dikuliti dalam sehari saja. Sudut-sudut kota kecil ini kaya akan peninggalan kerajaan, jejak kekuasaan Belanda, hingga tanda pendatang dari Tiongkok. Kekayaan arsitektural adalah bukti nyata bahwa kota ini memiliki catatan cerita masa lalu yang panjang. Satu klenteng saja bisa memuat kisah yang berlembar-lembar. Sementara di Lasem terdapat tiga klenteng tua yang keindahan detil bangunannya masih terjaga dan sangat terawat.

Cu An Kiong contohnya. Sebuah klenteng yang dipercaya sebagai klenteng tertua di Lasem, berdiri di Jalan Dasun tepat menghadap ke sebuah sungai kecil. Di dalamnya terdapat patung Dewi Laut, sebagai dewi pelindung para pendatang yang tinggal menetap di Lasem. Klenteng cantik ini masih mempertahankan berbagai ornamen kuno penuh makna dan bernilai tinggi. Ukiran kayu sebagai pintu klenteng disebutkan asli buatan tangan para pendatang dari Tiongkok berabad lalu. Ditambah pula deretan lukisan yang digambar langsung di permukaan dinding sebagai ‘kitab’ pencerita sejarah berdirinya klenteng.

Jangan heran bila menemukan kantor polisi bergaya kolonial di pinggir Jalan Raya Lasem. Bangunan dan rumah-rumah indische juga memiliki detail yang tak kalah menarik dibandingkan rumah peranakan Tionghoa. Sebuah rumah bergaya kolonial yang sempat saya kunjungi bahkan memiliki lebih dari lima desain cetakan ubin yang berbeda-beda pada tiap sudut ruangan di dalamnya. Menurut Pak Slamet, sang penjaga rumah, ubin seperti itu sudah tidak bisa diproduksi lagi. Walaupun terkesan berantakan karena bermain tabrak pattern serta warna, namun pemandangan di rumah yang konon dibangun pada tahun 1800an ini, menjadi keunikan tersendiri. Susah untuk ditemukan pada rumah-rumah modern zaman sekarang sekalipun katanya menganut gaya Eropa. Rumah indische umumnya memiliki ornamen khas yang berpola serba melengkung, entah itu pagar rumah, kursi, tiang penyangga ataupun lampu teras. Persamaan dengan rumah tradisional Tionghoa, hanya satu, rumah indische juga memiliki luas yang tak kira-kira.

Namun, miris ketika melihat sebagian besar rumah-rumah kuno ini ditinggal penerusnya dalam keadaan tak terawat, lantai mulai tertutup debu, daun-daun kering berserakan, pohon mati hingga rumput liar menjulang di halaman depan, cat-cat tembok yang mengelupas, ornamen besi yang semula cantik kini menjadi onggokan berkarat, banyak kayu dimakan rayap bahkan dicuri oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Lalu rasa salut saya mulai timbul, melihat beberapa orang yang sudah berusia lanjut tetapi masih berusaha merawat rumah leluhurnya sebaik mungkin. Meskipun itu artinya, mereka harus tinggal seorang diri di dalamnya.

Bayangkan ratusan tahun lalu, kota kecil yang dihimpit oleh Surabaya dan Semarang ini, merupakan salah satu daerah di pesisir Pantai Utara Jawa yang begitu sibuk. Lasem, berada di titik koordinat perdagangan yang sangat menggiurkan bagi para saudagar besar untuk bersandar. Tak berlebihan mungkin, bila dahulu kala Lasem pernah diduga sebagai daerah favorit untuk menyelundupkan opium di Pulau Jawa karena letaknya yang strategis.

Lasem kini mungkin tak lagi seramai dan sejaya ratusan tahun lalu. Bagi sebagian orang, kota tua ini tak lebih dari jalur lewat kendaraan raksasa yang melaju di sepanjang Pantura. Ya, saya menemukan sebuah buku di Jalan Dasun yang berjudul Lasem: Negeri Dampoawang Yang Terlupakan. Tapi melupakan kota kecil ini mungkin tak bisa dilakukan begitu saja oleh sebagian orang lain, karena bagaimanapun Lasem memiliki peran penting yang tak bisa dihapus dari catatan sejarah panjang akan kedatangan leluhur Tionghoa di Nusantara. [Mei 2011]






















3 komentar:

  1. Trima kasih tulisannya,memberi gambaran tentang Lasem bagian utara. Saya baru seminggu lewat sehari di Lasem. Begitu membaca tulisan ini, ada gambaran tentang Lasem bagian utara.

    BalasHapus
  2. rumah saya di soditan situ. sekarang aya masih study di Filsafat UGM. kalo masih tertarik dengan lasem, mungkin kapan2 kita bisa komunikasi.

    salam
    Akid A.H

    BalasHapus
  3. batik yang masih ada unsur cina, warnanya cerah ya.. unik!

    BalasHapus