Jumat, 15 Juni 2012

Menjadi Kaya, Merasa Kaya


Apa kaitannya sebuah perjalanan dengan tingkat spiritualitas seseorang?

Saya merasa, ada. Saya bukan orang yang terlalu religius. Masih kerap meninggalkan ibadah ketika di perjalanan. Subuh yang tertinggal dalam bus, dalam pesawat, dalam lelap tidur. Tapi pada proses hingga terbentuklah seorang saya pada titik ini, saya percaya bahwa perjalanan dan spiritualitas itu berhubungan erat. 

Katakanlah, dua tahun belakang, saya cukup beruntung bisa menginjakkan kaki di tempat-tempat yang belum pernah saya bayangkan. Bukan, ini bukan pamer. Jujur, saya benar-benar kagum pada bumi. Iya, bumi. Semesta. Dan kebetulan saya dilahirkan di tanah Indonesia. Tanah yang katanya, kaya. Tetapi, sekali lagi jujur, kadang saya ingin melihat kekayaan yang tak kasat mata. Kekayaan yang sebenar-benarnya itu seperti apa?  

Pada akhir Oktober 2011 lalu, saya berkesempatan singgah selama seminggu di desa Tanjung Lokang - Kalimantan Barat, yang dihuni oleh suku Dayak Punan Hovongan. Kalimantan adalah destinasi yang belum pernah melintas dalam benak sekalipun. Saya hanya selalu bermimpi untuk ke timur, sejauh-jauhnya timur negeri ini. Saya berteman dengan hutan, memetik pakis untuk dimasak di belantara, menikmati riam sungai, menikmati hujan, menikmati langkah kaki anjing, menikmati hidup tak berlistrik. Kemudian, keluar dari Tanjung Lokang, tim saya menempuh perjalanan ke Selimbau, sebuah desa berpenduduk Melayu tak jauh dari Danau Sentarum. 

Sinar matahari yang siap tenggelam menyempurnakan refleksi rumah-rumah panggung di permukaan air. Ya, Selimbau adalah kampung di atas gertak, atau jembatan kayu yang dibangun di atas sungai. Sementara terus berjalan menuju rumah kawan, telinga saya mendengar logat bahasa yang jauh berbeda dengan hari kemarin. Orang-orang, tua-muda, laki-perempuan, sibuk mandi di sungai. Tak lama, bedug sebuah masjid kuning terbesar di Selimbau ditabuh. Dan adzan maghrib pun berkumandang. 

Saya sungguh tidak mau sok religius, tapi seminggu lebih tak pernah mendengar adzan, saya hanya membantin apa yang memang saya rasakan, "Ya Allah, adzan..." Rasanya itu adalah panggilan sholat paling syahdu yang pernah saya dengar. Suara kriyet-kriyet kayu gertak dari kaki-kaki yang melangkah menuju masjid serasa menjadi kombinasi yang sempurna.

Lalu pada kesempatan lain, saya tiba-tiba sudah berada di sebuah warung gorengan, mengantre membeli pisang. Saat itu saya sendirian. Terlalu kelaparan untuk menunggu kawan pulang dari kantor. Penjual gorengan bertanya pada saya menggunakan bahasa Jawa halus. Ya, padahal saya berada di Kamalaputi, Waingapu, Sumba Timur. Tempat di mana kuda Sandel dan joki-jokinya berkeliaran di jalan. Tempat di mana merupakan habitat becak yang cukup aneh dengan pendar lampu dan musik yang berlebihan. Pada malam harinya, Mama pemilik kos memasakkan saya sepiring menu khas Sumbawa. Sayur sepat namanya. Meskipun berjudul sayur, tapi masakan ini berbahan pokok ikan bakar. Mama memang berasal dari Bima, dan sungguh luar biasa pintar memasak. Jiwa kesungkanan membuat saya menyesal tidak melahap lebih banyak masakan ikan berkedok sayur tersebut.

Pandangan saya beralih pada rajangan tomat, bawang merah dan taburan kemangi. Saya berada di homestay Ibu Fauziah. Wanita keibuan yang gemar memeluk ini baru saja menghidangkan sepiring ikan tongkol yang dimasak menjadi dabu-dabu manta. Memori saya langsung terbang jauh meninggalkan Halmahera Barat, menuju uma alang dan sayur sepat di kosan Sumba. Ikan dabu-dabu manta sungguh mirip tampilannya dengan sayur sepat. Hanya saja, dabu-dabu lebih kering dan minim kuah. Saya tak tahu bagaimana teknik membakar ikan yang dilakukan oleh Mama Kos dan Ibu Fauziah. Terpisah laut dengan jarak ribuan kilometer, namun ikan bakar mereka bertipe sama. Tak ada coreng bekas arang di badan ikan. Seakan ikan itu baru keluar dari jaring nelayan. Anehnya, ikan ini  sungguh matang dengan sempurna. 

Homestay ibu Fauziah terletak di tepi pantai terusan dari Teluk Jailolo. Halaman belakang dipenuhi dengan kepiting yuyu. Kalau malam tiba, ada suara gemerisik, yang entah berasal dari kelelawar ataupun burung lainnya. Bila ada perahu nelayan melintas, suara itu semakin keras dan terdengar seperti teriakan panik. Lama-lama saya ngeri sendiri kalau terlalu mendengarnya dengan khusyu.

Spiritualitas bagi saya, bukan hanya persoalan ibadah wajib semata. Di tiap perjalanan kadang timbul perasaan bahwa saya sedang berkomunikasi dengan Tuhan secara intim. Melalui daun-daun pakis liar yang tumbuh, melalui rerumputan yang menyelimuti savana kering, melalui riam-riam sungai, melalui rupa-rupa hewan yang melintas di jalan, melalui hujan yang mengguyur dan melalui setiap orang yang ditemui. Bagaimana komunikasi itu terjalin, mungkin hanya saya yang tahu.

Saya pernah merasa, bahwa bumi ini, Indonesia ini, sebetulnya tidak kaya. Air hanya mengalir. Pohon tumbuh. Rumah dibangun. Nyanyian dilantunkan. Hewan dikurbankan. Orang membicarakan orang. Bayi menangis. Matahari tenggelam di Barat. Dan sebagainya. Saya berpikir, bahwa setiap lakon hanya menjalankan fungsinya di semesta. Sedangkan 'kaya' adalah serentetan perasaan, komunikasi internal dengan Pencipta, ketika saya berada di tengah lakon-Nya.[]


PS:
Tulisan ini bener-bener pernah terlintas, bukan mau sok-sok berfilosofi, aduh sungguh ngga jago... Apalagi pamer sudah kesana kemari... Lah wong, kadang sampe ngga bisa tidur kalo mikirin kayak ginian. Ngga tau juga kenapa harus dipikirin sih. Mungkin umur saya menunjukkan sudah waktunya mikir yang berat-berat kali ya, hehehe... Yang jelas bagi saya perjalanan adalah suatu yang personal. Dan ya mungkin perasaan macem ini juga sifatnya personal.  :)

3 komentar:

  1. menurut aku, tulisan kamu ga ada sok2annya sama sekali kok mba. hehe bagus, bagus banget malah.
    ya justru ini menunjukkan bahwa selalu ada yang bisa kita peroleh dari setiap perjalanan.
    di alam, di perjalanan saya berdoa lebih khusyuk, bersyukur lebih banyak, dan mencintai-Nya lebih dalam :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe, nuwun, Kinch!
      Btw, ayo cepetan tulisan Merbabu (plus videonya) dikelarin! *pecut*

      Hapus
  2. hal-hal yang kamu critakan juga saya rasakan. Bedanya adalah kamu merasakan saat perjalanan itu berlangsung, aku yakin bahwa dengan melakukan perjalanan maka aku merasa mampu berhubungan dengan Tuhan secara intim maka untuk itulah aku memutuskan untuk dapat bepergian. sayangnya lingkungan tidak terlalu mendukung, hanya 1 tempat dimana aku merasa benar2 dapat berkomunikasi, ciwidey. karena itulah perjalanan pertamaku, sendiri, naik angkutan umum, bemodalkan informasi dri browsing. hingga saat ini sya msh merindukan komunikasi trsbt dn berpetualan...

    BalasHapus