Minggu, 13 November 2011

Telepon di Bandara

Leaving West Borneo

8 November 2011 
Maskapai Singa terbang ternyata lumayan memuaskan hari itu. Tidak menunda jadwal penerbangan. Tepat waktu melandas di Soekarno Hatta dari Bandara Supadio Pontianak. Segera setelah turun dari pesawat dan mengurus lapor transit, saya menyantap semangkuk nasi soto ayam seharga lima puluh ribu rupiah di sebuah restoran. Mahal memang, tak begitu sedap juga rasanya. Tapi apa mau dikata, perut saya sudah melilit minta diberi asupan di dalam bandara. 

Penerbangan lanjutan menuju Surabaya masih pukul delapan malam, tapi saya sudah duduk manis di ruang tunggu sejak dua jam sebelumnya. Sesekali saya menepuk kedua pipi yang mendingin karena suhu ruangan yang cukup rendah. Melihat orang-orang yang seliweran, saya semakin yakin bahwa saya adalah makhluk terdekil di ruang A3 itu. 

"Mah, aku tambah item," ucap saya lewat telepon pada Ibu di Jember.
"Lho kan udah biasa, tiap pulang dari mana-mana selalu tambah item," Ibu saya berujar dengan nada yang sangat wajar. Saya tertawa seketika.
"Mamah takbeliin tas manik-manik bikinan orang Dayak, bisa buat arisan, Ayah aku oleh-olehi peci dari serat kayu," saya berujar sembari memandang tas plastik hitam yang sedari bandara Supadio Pontianak saya tenteng begitu saja. Sengaja tidak saya ikut masukkan dalam bagasi, takut peci Ayah saya rusak, dan manik-manik tas untuk Ibu saya mbrodhol terkena tumpukan barang. 

Sebenarnya saya jarang membelikan buah tangan pada keluarga. Tapi untuk kali ini, saya tidak ingin melupakan perjalanan 20 hari di Kalimantan yang sudah terlewati. Saya ingin mengingatnya kembali dengan memberikan sedikit sentuhan petualangan kemarin di rumah sendiri. Rasa kangen keluarga tiba-tiba menyelinap perlahan. Padahal saya belum tahu kapan bisa pulang ke Jember. 

Tak lama setelah menerima telepon Ibu, sebuah nama terpampang di layar, memanggil-manggil saya. 

"Halo... Bapak..."
"Assalamualaikum... Dimana, nak?"

Logat Bapak Hajau langsung melayangkan badan saya kembali ke Kedamin, Putussibau. Lelaki 59 tahun inilah yang menjadi juru batu sampan kami selama seminggu menyusuri sungai Kapuas, sungai Bungan dan sungai Bulit. Meskipun sudah berumur setengah abad lebih, jangan ragukan kekuatannya menarik sampan kami, melewati berbagai riam yang menggila di sepanjang sungai. Beliau adalah seorang Dayak Punan Hovongan yang lahir dan besar di Tanjung Lokang, sebuah desa terakhir di ujung sungai Bungan, dekat dengan perbatasan Kalimantan Timur. Beliau meninggalkan Tanjung Lokang setelah memeluk agama Islam dan mengikuti putra-putrinya yang membangun keluarga di Putussibau.

"Kalau bukan karena kampung sendiri, rasanya ndak akan saya mudik ke Lokang lagi," begitu ucapan yang pernah saya dengar dari mulut beliau. Dan setelah merasakan sendiri, dua hari perjalanan susur sungai yang saya lewati untuk mencapai desa yang dihuni oleh Dayak Punan Hovongan tersebut, rasanya wajar jika Bapak mengatakan hal tersebut.

"Saya sudah sampai di Jakarta, Pak. Bapak apa kabar?"
"Baik... Bagaimana dengan Anty dan Ian?"
"Kami menggunakan pesawat yang berbeda, Pak, mereka akan tiba di Jakarta sekitar pukul tujuh."
"Oh ya sudah, hati-hati ya, Putri... Besok Bapak kembali ke Tanjung Lokang, mengantarkan tentara."

Saya hanya mampu geleng-geleng kepala, dan menyelipkan pesan semoga sampai dengan selamat. Padahal Bapak masih cidera kaki saat membawa sampan kami kembali ke Putussibau. Lelaki-lelaki di Tanjung Lokang memang 'berbeda'. Telapak kaki mereka lebar dan begitu tebal. Sering kali mereka berjalan melewati bebatuan di pinggir sungai tanpa alas kaki. Padahal, alamakjang, batu-batu itu begitu tajam di kaki saya. Saya pernah mencoba bertelanjang kaki melewati jalanan berbatu di sungai Bulit, dan tidak ingin mengulangi kebodohan itu lagi. 

Jangan mencari lelaki bergelambir lemak di sana. Tubuh mereka hanya berbalut otot-otot keras. Pada suatu sore, Mas Ian dan beberapa teman dari Pontianak diajak bertanding sepak bola melawan lelaki Tanjung Lokang. Tapi 'tim kami' malah kabur perlahan.

"Gila aja tanding ama mereka, kalo badan gua ketubruk badan segede itu, bisa cidera tahunan!" bisik Mas Ian. Saya dan Mbak Anty hanya bisa ngakak dan memaklumi ketakutannya. Mas Ian memang berotot, tapi bikinan gym ibu kota, tidak sealami lelaki Tanjung Lokang. Hahaha. Mungkin satu-satunya lelaki berperut tambun di Tanjung Lokang adalah Mas Fajar, pegawai Taman Nasional Betung Kerihun di Resort Tanjung Lokang yang berasal dari Jogjakarta. Hehehe, no offense, mas :)

Lepas memutuskan telepon dari Bapak Hajau, ganti putra semata wayang beliau menghubungi saya. Bang Saleh begitu kami memanggilnya.

"Halo! Assalamualaikum!" Guru honorer ini menyapa dengan begitu semangat. Bang Saleh adalah motoris sampan kami. Dia sebenarnya juga enggan mudik ke Tanjung Lokang sejak lima tahun terakhir. Tapi pada kesempatan tersebut, Bapak Hajau sendiri yang memintanya langsung untuk menjadi motoris sampan, dan mengantar kami menyusuri sungai selama tujuh hari. 

"Aku mengajar Penjaskes di sekolah dasar," begitu dia pernah berkata di awal perkenalan kami. Ah, tak heran lagi saya. Lelaki Tanjung Lokang memang terbukti selalu bugar! 

Bang Saleh mengatakan dari telepon bahwa dia baru pulang berburu burung untuk dimakan. "Daripada ndak ada lauk."

"Dapat, Bang?" tanya saya.
"Dapat lah! Sepuluh ekor!" teriaknya begitu gembira. "Ini istriku sedang memasaknya."

Keluarga Bapak Hajau dan Bang Saleh menjadi begitu dekat dengan kami. Mungkin karena Bapak menganggap kami, yang masih muda dan lelet ini, seperti anak sendiri. Dan Bang Saleh adalah sosok lelaki yang supel dan begitu humoris. Selama lebih dari seminggu, tidak pernah saya melihat mereka marah. 

"Putri, aku dah bicara sama Anty, aku minta kalian mengajariku membuka internet. Itu kan ada kode-kodenya. Tolong lah aku diajari, agar aku bisa membaca tulisan kalian tentang Tanjung Lokang dan Data Opet di internet..." ujar Bang Saleh. Saya begitu terharu mendengar permintaannya. Inilah yang saya inginkan ketika melakukan perjalanan. Bertemu dengan orang-orang yang bisa mengajari saya banyak hal di luar bangku sekolah atau kuliah. Bang Saleh begitu rendah hati, tidak malu meminta tolong pada yang jauh lebih muda demi menjadi maju. 

Saya masih ingat, Bang Saleh yang begitu cerewet, tampak sangat terpana ketika mendengar Mbak Anty sedang menjelaskan masalah pajak dan inflasi kepada Bang Herman, seorang bendahara desa Tanjung Lokang. 

"Aku diam, karena aku ndak ngerti Anty ngomongin apa. Hahaha...," akunya. Saya memberikan kaos ACI berwarna merah padanya sebagai kenang-kenangan, walaupun ukurannya terlalu kecil, hingga ia akhirnya menghibahkan pada sang istri. 

"Iya, Bang, nanti aku ajari. Nanti Abang bisa lihat wajah Abang ada di internet," ucap saya. 

"Ah, ya begitu bagus, Putri. Oh iya, berapa tiket untuk terbang ke Surabaya dari Pontianak?" tanyanya penasaran.

"Kira-kira delapan ratus ribu, Bang, kenapa? Abang mau ke Jawa?"

"Ah mahal kali! Ke Tanjung Lokang hanya lima ratus ribu dari Putussibau!"

"Ahahahaa... Bohong kau, Bang! Yang betul lima belas juta!"

Lima belas juta memang bukan fiktif. Perjalanan susur sungai memang tidak murah. Makanya saya bersyukur mendapatkan destinasi yang 'mahal', karena entah kapan bisa ke Tanjung Lokang dengan biaya sendiri. Lebih lagi, saya bersyukur masih bisa merasakan kenyamanan sebuah keluarga meskipun bersama orang yang berbicara dengan bahasa dan logat berbeda seperti mereka.

Sebuah pengumuman boarding menghentikan perbincangan saya dengan Bang Saleh sejenak. Saya menyimak dengan seksama. 

Lalu Bang Saleh berkata, "itu suara apa, Putri?"

"Ah, sial, penerbanganku ke Surabaya mundur satu jam, Bang!"

4 komentar:

  1. Top. Nunggu tulisan berikutnya, kayaknya makin menarik ceritanya.

    BalasHapus
  2. lagi lagi lagi lagi

    uh emang role model remaja Jember :3

    BalasHapus
  3. dari sebuah topik sederhana "Mandi" dan "Telepon di Bandara" bisa menjadi tulisan yang menarik gini, menarik banget , buat hiburan dikala bosen sama kerjaan :)

    BalasHapus