Minggu, 10 Oktober 2010

Melantjong Petjinan Soerabaia: Kampung Kungfu

Setelah ketinggalan event sebelumnya, kali ini saya ngga mau kelewatan acara Melantjong Petjinan Soerabaia yang diadakan pada Minggu siang tanggal 10 Oktober kemarin. Melantjong Petjinan sendiri merupakan semacam kopdar para penghuni komunitas Jejak Petjinan, yang dikemas dalam bentuk wisata budaya untuk menelusuri jejak peranakan Tionghoa di Indonesia. Event mengunjungi Kampung Kungfu Surabaya ini merupakan acara jejalan yang kelima. Sebelumnya, komunitas ini beramai-ramai mengkhatamkan Pecinan di Tuban. Denger-denger sih, akan segera diadakan acara Melantjong Petjinan di Semarang dan Madura. Wow, great!!! Saya sendiri sudah pernah melihat ornamen-ornamen khas Cina seperti burung Hong dan naga yang terdapat pada bangunan yang nilainya sudah ratusan tahun di Sumenep ketika beberapa waktu lalu traveling ke sana, sebut saja di Masjid Agung atau di kompleks Keraton Sumenep.


Siang itu cuaca Surabaya relatif cerah. Tidak gelap gulita dirundung mendung seperti beberapa hari sebelumnya. Baguslah! Maka bersama dengan Skan, Winda dan Nate', saya langsung bablas menuju Kota Lama Surabaya, tempat meeting point ditentukan oleh para panitia.

Sekitar pukul setengah sebelas, bersama dengan 30an orang lebih lainnya, kami menyaksikan demo membuat Bakcang sebagai acara pertama. Bakcang adalah salah satu jajanan khas masyarakat Tionghoa yang terbuat dari ketan diisi dengan daging atau bisa kosongan, lalu dibungkus menggunakan daun bambu kering dan selanjutnya dikukus beberapa jam. Pada tanggal 5 bulan 5 kalender Imlek, masyarakat Tionghoa melakukan perayaan untuk mengenang salah satu pejabat kerajaan, entah siapa namanya saya lupa, yang sangat disegani rakyat dan meninggal di sebuah sungai, yaitu dengan membuat jajanan Bakcang untuk keperluan sembahyang, atau mengadakan perlombaan perahu naga. Yap, satu porsi Bakcang sangatlah cukup mengisi perut Anda jika sebelumnya memang masih kosong. Kenyang!!



Dengan menggunakan bemo yang sudah disediakan, ramai-ramai kami memulai perjalanan siang itu yaitu menuju klenteng Boen Bio. Di klenteng yang berdiri di Jalan Kapasan sejak tahun 1907 ini, kami disambut baik dan ramah oleh tiga rohaniawan Konghucu. Mereka dengan senang hati menjelaskan tentang sejarah klenteng yang awal mulanya terletak di Kapasan Dalam ini. Tidak seperti klenteng Tridarma yang ada di beberapa daerah lain, di Solo atau di Semarang misalnya, klenteng Boen Bio tidak memiliki altar Tuhan Yang Maha Esa di pintu masuknya. Tidak juga terdapat patung-patung di altar utama, namun digantikan dengan deretan Papan Arwah. Dominasi warna merah serta berbagai ornamen di dalam klenteng ini tentu memiliki banyak makna simbolis. Seperti sepasang tiang berukir naga, lambang Kirin yang terdapat pada altar, prasasti kuno, hingga jumlah anak tangga, dan sebagainya, semuanya memiliki arti yang mengacu pada ajaran agama Konghucu.

Kebetulan malam itu akan diadakan perayaan hari kelahiran Nabi Kong Zi yaitu berupa pagelaran barongsai dan drama pendek yang bercerita tentang Nabi umat Konghucu tersebut. Ada pula pementasan wayang yang rutin dilakukan dan digelar di kampung Kapasan Dalam untuk menghibur penduduk sekitar. Uniknya, di dalam klenteng ini juga terdapat foto Gus Dur. Dari beberapa sumber yang saya baca, umat Konghucu di sini memang pernah menggelar doa bersama pada saat Gus Dur wafat. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa mantan Presiden RI tersebut memang dikenal dekat dengan umat Konghucu di Indonesia. :)





Masih kenyang akibat perbuatan Bakcang, lah kok kami disuguhi sepiring gunungan lontong mie lagi. Huwooo... Maka tak ada pilihan lain selain menyantapnya. Haha... Letak warungnya sendiri berada di depan lapangan basket di Kapasan Dalam, di belakang Klenteng Boen Bio. Dari sini kemudian acara blusukan ke Kampung Kungfu dimulai. Melalui penjelasan Bapak Gunawan, warga setempat, dan Bapak Lukito, dosen arsitektur Petra, kami mendapatkan banyak pengetahuan tentang kawasan ini.



Seperti yang pernah saya baca sebelumnya dalam salah satu artikel di sawoong.com, sejak zaman Belanda, kampung ini memang mayoritas dihuni oleh etnis Tionghoa yang kemudian dijuluki sebagai Buaya Kapasan. Yap, dahulu kala kampung ini memang cukup ditakuti oleh pemerintah Belanda karena banyaknya pendekar kungfu yang kritis dan cukup sering membuat kelimpungan para meneer yang berkuasa. Pembangunan pos polisi di Kapasan ini, konon, memang sengaja untuk mengawasi para Buaya Kapasan. Skan sempat berbisik pada saya, mungkin kawasan ini dahulunya mirip dengan kampung di dalam film Kungfu Hustle. :)

Menyusuri dari gang satu ke gang yang lain, Pak Gunawan menunjukkan beberapa rumah tua bersejarah, hingga sebuah sumur umum yang dinamakan sumur Kong. Sepertinya sih memang cukup banyak yang sudah merenovasi rumah-rumah peninggalan nenek moyang itu, namun ada satu rumah yang menurut saya unik sekali. Saya lupa nama pemiliknya siapa, tapi siang itu kami diperbolehkan masuk hingga ke bagian belakang rumah mereka. Si Ibu pemilik bercerita bahwa rumah tersebut mempunyai bunker tempat persembunyian warga Tionghoa kampung Kapasan Dalam yang digunakan untuk berlindung jika terjadi peperangan. Ibu itu sendiri tidak pernah melihat bentuk bunkernya seperti apa. Yang jelas, menurut cerita turun temurun, ruang bawah tanah tersebut berada tepat di bawah meja makan di dapur.


Tidak hanya keaslian bangunan yang usianya sudah ratusan tahun yang dijaga, si Bapak pemilik rumah juga menyimpan banyak barang antik dan sebuah lukisan vintage. Sepertinya para pelantjong paling kerasan berada di rumah unik tersebut, terbukti banyak yang masih betah mendengarkan cerita si Bapak, walaupun guide kami sudah berteriak-teriak agar meninggalkan rumah tersebut dan meneruskan perjalanan. :p








Usai mengitari perkampungan yang rapat rumah itu, kami dibagi per kelompok untuk mengunjungi Hotel Ganefo yang letaknya sekitar 100 meter dari klenteng Boen Bio. Hotel Ganefo berperan penting seiring dengan keberadaan daerah Buaya Kapasan ini. Ceritanya, hotel antik ini dahulunya adalah kediaman seorang Mayor yang ditugaskan pemerintah Belanda untuk mengawasi pendekar-pendekar Tionghoa yang tinggal di kawasan Kapasan Dalam tersebut.

Hotel Ganefo letaknya agak menjorok, sehingga saya sendiri yang berulangkali melewati rute Kapasan sempat terheran-heran ada bangunan jadul dengan berbagai ornamen cantik yang masih terawat seperti itu. Sama halnya seperti di pintu depan klenteng, ketika memasuki bangunan Hotel Ganefo pun, pengunjung akan disambut oleh sepasang patung singa. Namun, menurut informasi Pak Lukito, singa di hotel ini adalah buatan Belanda, berbeda dengan di klenteng Boen Bio yang merupakan singa Cina.

Saya merasa beruntung mengikuti acara ini, karena beberapa orang bilang, memasuki Hotel Ganefo untuk sekedar numpang-lewat-lihat-lihat, itu cukup susah izinnya. Kami sendiri hanya diberi waktu 15 menit per kelompok untuk mengitari hotel, tidak boleh berisik, apalagi merekam video isi bangunan. Untungnya untuk foto-foto masih diperbolehkan. :)

Mengingat sejarahnya sebagai kediaman biasa, pasti membuat orang bertanya-tanya, lha kok ada rumah dengan begitu banyak kamar?? Yah, kecuali Pak Mayor dulu punya banyak sodara dan kerabat yang ditampung dalam satu rumah. :)

Well, jujur saja, bangunan ini (menurut saya) cukup spooky, terlalu sepi juga, dengan berbagai cermin-cermin besar yang tampak usianya sudah tidak muda lagi tergantung di dinding, lalu penerangan yang kurang terang, ditambah dengan rimbunnya sebatang pohon beringin di taman belakang, hm... mungkin ini menjadi pilihan terakhir saya kalau harus menginap di salah satu hotel di Surabaya. Hahaa... Beruntung lagi, kami boleh masuk ke salah satu kamar di sana. Dua ranjang besi, kamar mandi extra large, jendela dengan tralis besi sejajar, dan langit-langit yang tinggi akan Anda nikmati jikalau menginap di salah satu kamar di sana.

Acara melantjong petjinan ini kemudian ditutup di Jalan Bibis, salah satu kediaman panitia penyelenggara. Oh iya, saya lagi hoki, terpilih sebagai salah satu dari tiga orang yang berhak mendapatkan kaos melantjong petjinan secara cuma-cuma. Hoooo... terima kasih banyak, selain wawasan bertambah, lumayan lah, bisa balik modal :p

Mates: Siska Herwinda, Winda Savitri, Nathalia :)

13 komentar:

  1. aku baru tau ada acara model beginian
    ini ikut club gitu ato gimana kok bisa tau ada acara beginian, trus bisa join segala ?!

    BalasHapus
  2. hey, bobby!! :)
    ini gabung dari fesbuk awalnya, siapa aja bisa gabung kok... cari aja di fesbuk Jejak Petjinan...
    :)

    BalasHapus
  3. kapan-kapan km yg jadi guidenya anak sacharosa put, hehe.

    *kaose tak pek opo'o:D

    BalasHapus
  4. Bagus Mbak.... thank you banget sharingnya....

    BalasHapus
  5. wah wah sudah posting :D
    ikutin juga kisah saya di blog saya mba www.ericova.com tentang melancong petjinan kemarin..tapi masih sbeagian yang saya post :p

    BalasHapus
  6. initnya ajakin saia ke sini kalo ke SBY.. kemaren ga ksini pas ke SBY..

    BalasHapus
  7. wah bagus sekali lokasinya, boleh dong ikutan slm kenal dari bloge rudis

    BalasHapus
  8. Keren Mbak, thnx sharing nya. saya yg tinggal di surabaya malah belom pernah blusukan ke kampung petcinan ini, tahunya kembang jepun doang

    BalasHapus
  9. for all:
    terima kasih sudah membaca yaaaa :)

    BalasHapus
  10. hi,there

    I will be visiting sarubaya in February 2013,i have this special hobby in visiting old hotels,especially colonial ones. I wonder if you would recommend this ganefo hotel for me to stay while I'm in sarubaya.Some nice pics you took anyway.

    Bianca

    biancakuo@yahoo.com.tw

    BalasHapus
  11. Di bangunan terakhir aktifitas astralnya padat sekali ya..
    Boleh saya ikutan

    BalasHapus
  12. Sangat menarik sekali, dibeberapa bangunan terutama di bangunan terakhir aktifitas astralnya sangat padat jg ya (Pantesan kerasa spooky ya)..
    Pingin ikutan

    BalasHapus