Minggu, 25 Juli 2010

On The Way To Segara Anakan Sempu


Berawal dari ke-desperate-an saya dan seorang teman kos, sebut saja Rina, karena memang itulah namanya, yang sama-sama terjebak dalam dunia per-laporan-kuliah-an yang seakan ngga ada endingnya itu.

“Pergi yuk! Kemana gitu…,” ajak saya. Pada saat itu laporan New Product Development –sebuah tugas akhir profesi- yang harus saya kumpulkan dua hari setelahnya masih bolong-bolong berserakan di lantai kamar. Apalagi saya masih dalam rangka sakit, gara-gara seminggu sebelumnya diajakin nonton bareng World Cup di pelataran Cito jam satu pagi. -_-a


Lalu Rina menyebut Kawah Ijen. Saya mikir… mikiiiir lamaaa sekali, saya ngga tega jalan ngos-ngosan lagi kayak dulu.


“Yang lain, deh.. Sempu yuk… Sempu…,” bujuk saya. Ngga tau juga dapet ilham dari mana. Si Rina mah iya-iya aja. Yang penting jalan, hahaa... Maka dia juga berhasil mengajak satu temen deketnya sejak kecil, Mita.


Lalu kami mulai menyusun ini itu dengan kilat, siapa yang mo ikut, naik apa, dan sebagainya. Malam itu saya ngga bisa tidur, mikirin nyemplung di Segara Anakan Sempu. Padahal saya masih ngga enak badan, ngga bisa merem pula. Arrrgh... gimana bisa sembuh coba?? Laporan itu juga gimana tuh endingnyaaaa... Ini gara-gara saya sendiri sih, yang tiba-tiba ganti haluan topik di saat detik-detik pengumpulan makin mepet, karena memang ngga sreg dengan laporan yang sudah saya bikin sebelumnya. Ya ampun, sungguh gaya sekali saya ini..


Maka keesokan harinya saya ndekem di kamar, berdua sama laptop, dari subuh sampai subuh lagi, dari daftar isi sampai daftar pustaka, tanpa internet, karena memang kuota modem saya lagi abis jadi ngga bisa ikut meramaikan apdet status fesbuk yang lagi penuh diisi oleh ke-stress-an temen-temen profesi. Besoknya, muka saya kuyu, mata sayu, pipi tetep segitu-gitu, tapiii voilaaa.... this is it! Laporan saya sudah jadi dengan kecenya!! Alhamdulillaaaaah... semoga isinya bener, hoho... bener-bener gawat.. Ah, sudahlah, segera saya copy 3 kali laporan itu, jilid softcover biru, lalu tumpuk di meja kampus. And packing... packing... Sempu is calling...

Malam harinya saya dan Dipta harus menyusuri bumi Waru dulu untuk menjemput si mobil sewaan. Iyap, saya baru tau, kalo nyewa mobil dengan atas nama anak kos itu susahnya minta ampun. Kebanyakan sih mereka ngga percaya, apalagi kita ngga menyewa jasa driver dari rental itu. Beruntung, temen kuliah saya merekomendasikan rental mobil milik sodaranya di Rewwin-Waru. Nggak apa-apa deh, walo jauh, yang penting ngga pake acara ngesot ke Malang.


Kami berangkat pukul tiga pagi dari Surabaya. Menjemput Fira dan tim Saccharosa Boys dulu; Si Nurul dan Fajar Ndud. Nurul, atau mari kita panggil Lek saja, sebenernya udah pernah ke Sempu taun lalu. Begitu pula Dipta. Saya juga ngga tau kenapa mereka tergoda untuk Nyempu kedua kalinya. Fajar Ndud didaulat menjadi co-driver, menemani Dipta sepanjang jalan. Ow, barulah saya tau bahwa Dipta hobi melajukan mobil diatas kecepatan 80 km/jam... Bahkan kadang sampe menembus angka 120... dan Fajar adalah kompor terbaik buat melanjutkan acara kebut-kebutan dan salip ini-itu. They were meant for each other. Yippieee... Suara Fira selalu menggelegar mencak-mencak, tiap Dipta nekad nyalip truk segede-gede gajah dengan kecepatan mahadewa. Di bangku belakang, saya dan Lek mendadak tergabung dalam divisi pemanjat doa, sunyi, sepi, khusyu’... biar perjalanan kita selamat sampe tujuan. Hey, lalu apa kabar, The Sister-Kamu-Kamu-Lagi?? Mita and Rina? Mereka tiduuurrr dengan nikmat... Alhamdulillah...


Untuk mencapai Pulau Sempu, kita harus transit di Pantai Sendang Biru dulu. Dari Malang menuju Desa Sumbermanjing (Malang Selatan) tempat Sendang Biru berada, masih harus ditempuh sekitar dua jam. Melewati perbukitan panjang dan jalanan sempit yang berkelok-kelok. Yang ngga kuat, silahkan muntah. Tapi kami adalah traveler tangguh, yang ngga sempet mikirin mual, karena di otak kami hanya ada indomie. Yap, kita kelaparan. Sedari sholat subuh di Arjosari yang kita bahas adalah makanan, makanan, dan makanan. Apalagi jam segitu Malang lagi adem-ademnya, menambah efek keroncongan perut. Dan tentu saja belum ada warung yang buka segitu paginya. Bekal roti-rotian yang ada di tas memang sengaja tidak dibuka karena memang disiapkan untuk dimakan di Segara Anakan.


Beruntung, kami menemukan satu warung, yang walopun sebenernya menu utama mereka belum matang, tapi si pemilik bersedia memasakkan mi instan untuk kami. Hehee... Total sarapan pagi tujuh orang itu adalah 18 ribu... Heheee... Murah ya...


Setelah lambung terganjal, ada satu berita yang bikin perut mendadak mules. Lek baru saja telpon temennya yang hobi ke Sempu, nah si Temen itu mengabarkan bahwa sebulan yang lalu Sempu ditutup untuk pengunjung, dikarenakan sampah yang menumpuk, entah bulan Juli ini apa sudah dibuka kembali atau belum.


Aaaarggghhh... Padahal tinggal selangkah lagi nyampe Sendang Biru!!! Maka kami mulai berceracau, menyusun plan B kalo Sempu bener-bener ditutup. Dari Balekambang, ke Prigi, sampe ke Madura makan Bebek Songkem, ahhh ngga tau deh...


Menempuh perjalanan total 4 jam dari Surabaya, akhirnya kami nyampe juga di Pantai Sendang Biru. Saya deg-degan. Ngga kebayang kalo mesti pulang ke Surabaya tanpa menengok Segara Anakan... Huhuuhuuu.. Mobil langsung diparkir di depan rumah seorang juragan kapal, namanya seingat saya Pak Parno. Lek turun duluan, dan menghampiri si Bapak yang asik santai di depan rumahnya, lalu kembali ke rombongan membawa kabar baik. Alhamdulillah, ternyata Sempu sudah dibuka kembali... Ahheeeeyyyy...!!


Untuk menuju Pulau Sempu, diwajibkan mengurus perijinan dulu, membayar uang seikhlasnya, sekaligus mendengarkan aturan-aturan yang harus ditaati selama berada di pulau tak berpenghuni itu. Kami berangkat menggunakan kapal milik Pak Parno dengan biaya 100 ribu per kapal untuk pulang pergi. Lama penyebrangan hanya 15 menit saja. Sebentar, sudah sampai Teluk Semut, lalu perjalanan dilanjutkan dengan tracking ke dalam hutan.





Sebelum berangkat, Pak Parno memang mengingatkan kita untuk berhati-hati, karena beberapa hari ini hujan yang mengguyur menyebabkan jalur menuju Segara Anakan ’agak rusak, agak licin’. Maka setelah 5 menit masuk hutan, gantilah kata ’agak’ dengan kata ’sangat’.


Hhhooo track yang menggila dan melelahkan.... Maka saya dan Rina berterima kasih pada Lek, yang menyarankan untuk membawa sandal gunung atau sepatu kets. Jasa-jasa sepatu tidak akan kami lupa sepanjang masa. Ngga rugi, bertahun-tahun yang lalu, saya loncat dari mall satu ke mall lain demi mencari sebuah ukuran sejak saya naksir kamu pertama kali, wahai sepatu. Walopun kamu jadi jelek sekarang, ah, pokoknya i love youuu..


Bagi Anda, pendamba perjalanan yang tidak merepotkan, janganlah datang ke Sempu pada saat musim hujan. Hutan akan semakin becek, dan jelas ngga ada ojek. Kami berpelukan romantis dengan batang-batang pohon. Lalu berciuman mesra dengan ranting-ranting, dedaunan dan sarang laba-laba. Bermandikan tanah basah yang memiliki daya untuk menghisap, hoho.... Bergelantungan di akar-akar pohon, entah mirip tarzan, pemain sirkus Rusia atau penari di film India.




Pelajaran pertama, Anda tentu tahu sepatu Cr*cs kan? Jangan pakai sepatu seperti itu, merk apapun. Very bad choice. Udah ngga aman di escalator, sepatu ini terbukti ngga cocok dibuat tracking. Setidaknya itu yang terjadi pada Fira. Walopun sepasang sepatu itu kepunyaan sang pacar, tapi alam tidak peduli pada kekuatan cinta mereka berdua. Hahaaa… Fira adalah sesosok perempuan yang ditakdirkan berkali-kali kepleset dan masuk kubangan. Mwahahaa… Astagfirullah… saya pengen ngga ketawa, tapi kalo ngga ketawa ya kok mubadzir rasanya… Hihi… Abisnya si Fira ini entah kenapa hobi melangkahkan kaki di tempat yang sudah jelas terlihat sangat licin. Sekali, dua kali, tiga kali kepleset, lama-lama sandal cinta itu dicopot, sempat digantikan dengan sandal gunung punya Fajar dan Lek, tapi ya kok nasibnya ngga jauh beda :D :D Jadi sepertinya sudah menjadi kebiasaan, kalau tiba-tiba terdengar suara gedebuk. Itu pasti suara Fira ndeprok lagi. Hehehee...


Mendadak dia memang hobi luluran lumpur. Yippiiee... lagi-lagi i love my shoes!! Belilah merk yang sama dengan saya!! Huahahaa... karena sudah terbukti selamat sampai rumah kembali. Tapiii... mungkin karena saya terlalu sibuk meloncat kesana-kesini kayak belalang, terlalu khusyu ngeliatin adonan tanah-basah-super-licin untuk merancang langkah biar ngga terjerembab, maka kepala saya rajin kejedot batang pohon yang (tiba-tiba) melintang di depan hidung. Bisa dipastikan saya akan tambah pintarr!!

Ngga jarang juga kita harus ’meloncati’ batang pohon segede-gede badak yang tumbang memotong jalan. Mending kalo batangnya kering, lah ini, basah, penuh lumpur, licin. Jadi loncatnya pun pake cara manual, yaitu merayap kayak cicak. Celana jeans-branded Rina bahkan udah ngga keliatan lagi branded-nya wkwkwk...

”Manik-maniknya ilang, Min...,” ujarnya pada saya, melas. Kami memang biasa memanggil ’Min’ satu sama lain. Entah artinya apa, dan bisa berubah kapan saja sesuai mood. Tapi no problemo, temen saya ini dan juga Mita adalah cewe-cewe socialite yang tangguh, ngga pantang menyerah, walopun baju, rambut, dan sepatu mereka udah kotor ngga karuan. Maka, pelajaran kedua berbunyi pakailah aksesoris yang lusuh saja :)



Rasanya sudah lama banget kita jalan, tapi sama sekali belum bau-bau Segara Anakan. Yang ada acara babat hutan ini semakin menggila. Fajar dan Dipta rajin mencarikan jalan yang ’enak’, tapi ujung-ujungnya sama. Entahlah ini jalan yang benar atau ngga. Sudah ngga ada bedanya lagi, jalan setapak atau bukan. Wik! Pokoknya maju aja.


Ngga kebayang kalo saya harus tracking sendirian, huhu... mungkin nyasar, muter-muter, karena semua pohon tampak sama, dan jalanan yang becek ini lumayan merepotkan sekaligus menguras tenaga. Kadang tiba-tiba terdengar suara deburan ombak. Tapi terkadang juga ngga terdengar apa-apa. Cuman monyet-monyet seliweran, atau suara tokek. Atau suara Fira gedebukan. *Piss, Fir...*


Sampai kita bertemu dengan satu rombongan (lelaki-lelaki Bandung yang ehm,, ganteng...), dan mereka dengan semangat memberitahu bahwa Segara Anakan masih satu jam lagi dan medan di depan masih lebih parah dari yang sudah kita lalui. Wokeeeeee.. No pain no gain!!!

Saling menolong sangatlah penting di sini. Tapi kadang saling menolong juga membingungkan. Rina berteriak, hampir terpeleset. Saya di depannya, kaget. Menoleh ke belakang, refleks menggapai tangannya. Mendadak saya juga hampir jatuh kehilangan keseimbangan. Lalu Dipta dari arah berlawanan berusaha menahan kami berdua... Ah, saking hecticnya, tongkat kayu Rina sukses mendarat dengan cukup keras di lengan saya. Sakit, Budhe. Dan kita bertiga mendadak kayak syuting video klip, diam di tempat, berpegangan tangan erat-erat, sementara sepatu sudah hampir terjerembab, tidak ada tanah datar kering, tidak memungkinkan untuk melangkah. Stuck. Untung Dipta berbadan kecil, jadi dia dengan sigap selalu mencari alternatif jalan blusukan yang lebih ramai dengan ranting. Ah, sama aja sih, tapi paling ngga, ngga ada adegan kepleset lagi.

Sejam, dua jam berlalu, kami mulai lebih sering mendengar suara ombak. Kata Lek, ”sedikit lagi...”



Iya, emang sedikit lagi, tapi jalur trackingnya mendadak berubah drastis. Kami memasuki wilayah per-tebing-an Sakaratul Maut. Di sini memang sudah ngga ada lagi tanah basah. Semua kering, tapi huhu... jalan setapak itu hanya beberapa puluh senti lebarnya. Duh Gusti, kami semua bukan eks anak PA atau pramuka, kami hanya tahu, berjalan miring seperti kepiting sambil pegangan ranting adalah cara terbaik. Sebelah kanan kami jurang. Walopun ngga terlalu dalam, tapi kalo jatuh, maka batu-batu karang raksasa akan menerima tubuh Anda dengan tangan terbuka. Yap benar, sebelah kanan kami sudah Segara Anakan!! Oyeee... Masih samar-samar tertutup pepohonan sih, dan masih cukup jauh untuk mencapai tepi pantai. Tapi sebentar lagi pasti sampeee...


Dipta dan Fajar memilih jalan pintas, merayap-rayap ke bawah bertumpu pada bebatuan karang. Dan sampailah mereka di tepian Segara Anakan dengan sukses. Saya iri, lalu berteriak, ”Dip, Dip, aku kira-kira bisa ngga lewat situ??”

”NGGA USA, PUT!”


Hahaaa... ya sudahlah, saya mengikuti jalur yang dipimpin Lek. And tarrraaaaa.... saya sudah bisa melihat Segara Anakan dalam full version dari atas. Gilaaa, Budheee... Segara ini mirip dengan kubangan raksasa yang berisi air laut. Benarkah Leonardo Di Caprio pernah syuting di sini??? Ah, tentu saja tidak benar, karena dia syuting di Phi Phi Island Thailand. Tapi secara bentuk, Segara Anakan ini 11-12 dengan yang di film The Beach.


Pada akhirnya untuk mencapai pasir putih, saya dan Rina memilih perosotan. Karena jalannya terlalu curam, dan licin. Licin bukan karena tanah basah, tapi karena pasir-pasir. Saya ingat, Lek yang tertawa melihat aksi konyol kita kayak anak TK mainan seluncuran. Ah, sudahlah, pokoknya sekarang saya benar-benar sudah sampai di Segara Anakan. Alhamdulillah, dua jam yang tidak sia-sia...



Kami langsung menceburkan diri di air yang dingin dan jernih itu. Tidur-tiduran di pasir. Foto-foto. Satu hal yang bikin males adalah males mikirin kembali ke Sendang Biru. Hahaa... trackingnya itu lho... Astagaaa... Masih ada dua jam horor yang menanti kami semua. Fajar malah meminta Dipta langsung membawa mobilnya di Segara Anakan. Yaa nenek-nenek juga bakal tiap hari ke sini kalo segitu gampangnya, Om... Hehe... Sudahlah, mari kita nikmati jerih payah ini.


Memang mungkin sebaiknya tracking di lakukan pada saat musim panas. Tapi dari pengalaman Dipta tahun lalu, saat itu matahari sangat ngga bersahabat. Panasnya minta ampun. Jadi memang semua ada plus minus-nya, tergantung kebutuhan saja. Toh, sama-sama menguras tenaga.



Di Pulau Sempu ini, selain ada Segara tersembunyi, ada juga Telaga Lele, tempat minum hewan-hewan liar karena disini satu-satunya sumber air tawar, lalu Telaga Asat yang tidak ada airnya, dan malah akan ditumbuhi rerumputan tebal nan empuk jika musim panas tiba. Ada juga beberapa pantai, seperti Pantai Kembar, Pantai Pasir Panjang, yang kalo ngga salah sih, langsung berhadapan dengan Samudra Hindia. So, kalo benar-benar ingin mengitari Pulau Sempu, tentu saja ngga cukup sehari. Silahkan camping di Pulau sunyi-sepi ini, jangan lupa membawa persediaan air yang cukup dari Sendang Biru dan atur jadwal dengan kapal penjemput. Di dalam hutan memang tidak ada sinyal, tapi di sekitar teluk Semut, sms dan telpon sudah bisa berjalan dengan normal.


Demikian reportase panjang ini, yang tentu saja sangat memorable bagi saya, terutama juga bagi The Sister-Kamu-Kamu-Lagi. Sesampainya di Surabaya, mereka ngga pernah berhenti terheran-heran (sambil mengusapkan Counterpain pada kaki yang gempor) karena ngga nyangka bisa sampe Segara Anakan. Asik to? Mita en Rina mau lagi??



July is dressed up, and playing her tune… Maka, marilah berlibur dengan hepi sebelum melaksanakan ibadah sidang profesi :)

Terima kasih banyak travelmates!! Rina, Dipta, Nurul, Fajar, Mita en Fira :)

6 komentar:

  1. Salam kenal....waw keren banget...aku bacanya ngga ketinggalan satu katapun lho...cara menyampaikannya santai dan lucu...apalagi fotonya bagus-bagus...jadi pengen ke segara anakan, tp kyknya ngga kuat nyali deh...

    BalasHapus
  2. bisaaa... pasti bisaaa... if u think u can, u can, hhehee... jangan lupa pake sepatu kets ya... :)

    BalasHapus
  3. Cukup satu kata,..seruu

    Masa' gk ada satu orang pun yang motoin kmu Put,..
    Fotomu di posting ini gak ada blas... :D

    BalasHapus
  4. wah ini aku udah baca yang di notes mbak di FB :)
    seru yaaaaa

    BalasHapus
  5. baca : http://imankurniadi.wordpress.com/2010/03/01/the-miraculous-journey-of-martian-kids-say-hello-to-sempu-island/

    sempu itu tidak hanya sekedar segoro anakan thok kok, :)

    BalasHapus
  6. kata siapa sandal gunung bisa membantu mbak? saya kok malah jadi korban pertama yg sandal gunungnya harus jebol setelah baru beberapa puluh meter masuk hutan...
    hehehe...
    tapi memang pada dasarnya sandal Trac**r itu sudah uzur seh...
    udah gitu hilang lagi...
    hehehe...
    tapi rasanya memang gak sia2 pengorbanan sandal, telapak kaki penuh luka, dan badan pegal2 setelah sampai di Segara Anakan...
    hehehe...

    BalasHapus