Senin, 21 Februari 2011

A Documentary Project About My Mother


Mari saya jelaskan dahulu ‘proses kreatif’ di balik pengerjaan proyek dokumenter ini…

Akhir Januari 2011 lalu, seorang fotografer Singapore bernama Zhuang Wubin sedang mengadakan pameran beserta peluncuran sebuah photobook tentang Chinese Muslim di Indonesia yang dia kerjakan selama kurang lebih 3 tahun. Selain dua kegiatan tadi, Wubin juga menggelar sebuah workshop fotografi tentang Chinatown di Surabaya. Namun, karena sepertinya Wubin adalah tipikal fotografer yang anti-ribet dan lebih nyaman bekerja sendiri, maka peserta workshop ini pun dibatasi dengan cara seleksi portfolio terlebih dahulu. Disusul pengerjaan proyek selama 3 hari, dan diakhiri dengan melakukan presentasi kecil-kecilan di CCCL – Pusat Kebudayaan Prancis Surabaya.

Well, I never did something called documenter-photography before. Saya adalah penikmat dan penggemar berat dreamy feel picture. Haha!! So, it was quite difficult for me. Tapi ya saya tetep ngirim portfolio, demi menimba ilmu baru. Live curious gitu ya kalo kata NatGeo. Oke, setelah lolos, maka masih ada sesi ‘ngobrol’ sama si Wubin. Dia langsung nodong kita dengan berbagai pertanyaan yang terkait dengan ide proyek documenter yang rencananya akan dibuat. And I had no plan, sodara!

Fortunately, beberapa hari sebelumnya saya gemar keliling pecinan untuk sebuah assignment majalah. Jadi saya ngoceh dikit tentang Kampung Kungfu di Kapasan Dalam. Semacam raw material, yang saya sendiri masih belum tahu, what kind of story to be told. Setelah ngobrol lagi dengan Wubin, maka kita sepakat untuk mengambil tema Old Photography. Kebetulan memang saya kenal cukup baik dengan pengurus Karang Taruna di Kampung tersebut, and yes, beliau masih memiliki stok foto lama kampung tersebut sekitar tahun 60-an.

Namun sayangnya, proyek ini terlalu random dan ngga jelas. Saya bahkan ngga ngerti mau nyeritain apa dari foto-foto lama tersebut. Tentu saja, semua ini bikin saya diomelin Wubin! Hahaha!

“How could you photograph something like this???” And the bla, and the bla. Mampus deh saya! Haha!

Oke, skip sejenak… Beberapa minggu sebelumnya, saya sempat pulang ke rumah Jember dan iseng-iseng melihat beberapa album foto lama milik ibu saya. Kebanyakan udah hampir rusak bahkan ada yang sangat amat rusak sekali, hingga ngga kelihatan objek fotonya, hanya tampak pulau-pulau kecil absurd, seperti koloni amoeba yang tampaknya gemar membelah diri kemana-mana. Maka, saya berinisiatif untuk membawa beberapa harta benda masa lampau yang masih bisa diselamatkan, untuk di-scan di kosan Surabaya.

Nah, pas Wubin bingung melihat ketidakjelasan proyek saya, muncul ide dadakan, yang sebenarnya juga masih random, untuk mengerjakan proyek old photograph milik pribadi. Maka saya, dengan ngga yakin dan hampir desperate, mengeluarkan beberapa lembar foto milik ibu saya itu. Foto portrait dengan background merah tersebut menjadi pilihan pertama yang mampu meluluhkan hati om fotografer Singapore ini.

“This is more interesting, you know…”

Awalnya saya agak ogah-ogahan untuk mengangkat foto pribadi ini menjadi sebuah dokumenter. Sedangkan si Wubin kayaknya naksir berat sama kehidupan ibu saya. Oh iya, saya belum bilang ya. Ibu saya terlahir dengan nama Tjoa Hwa Tjee, seorang Chinese, yang dulunya beragama Katolik. She converted into Muslim pas nikah sama bapak saya yang seorang Jawa. So yes, I was born as half Chinese-half Javanese. Ngga percaya, kan? Hahaaha! Ngga apa-apa, ngga maksa kok…

Dengan sisa hari yang mepet, saya harus bongkar-bongkar album foto lama di rumah tante saya di daerah Kapasan, untuk kemudian saya foto ulang. Yap, walaupun lebih gampang dimasukkan dalam scanner, ternyata memotret foto lama itu ada kesenangan tersendiri lho…

“You could see ‘the age’,” said Wubin.

Dan ternyata emang bener. Ketika satu foto lama diletakkan di atas selembar kertas putih, saya bisa melihat frame yang sudah menguning di sekelilingnya. Ternyata cara ini lebih ampuh untuk melihat ke-vintage-an sebuah foto lama. Jangan lupa untuk melihat catatan atau stampel foto studio dibaliknya! Capture it too, dan satu kenang-kenangan itu akan menambah point plus sebuah foto lama. Begitu kata Om Wubin, sodara-sodara. Hari gini kan udah jarang sekali kita temukan foto-foto baru dengan caption di balik kertasnya. Atau mungkin lebih tepatnya, kita sudah mulai meninggalkan tradisi mencetak foto.

Di akhir presentasi saya harus ngaku ke Wubin kalau proyek ini memang menarik, haha! Dari teknik memotret sampai berburu cerita tentang beberapa foto pada ibu saya. Padahal beliau ada di Jember, dan yang harus saya lakukan adalah menjelaskan detil foto melalui telpon, untuk mengorek informasi dibaliknya. Malah Ibu saya berkali-kali histeris, ”Ohhhh itu tuh, pas Mama sekolah di Cor Yesu Malang! Ya ampuuun, kemana ya temen-temen Mama?!”

Dari workshop ini saya mendapat beberapa ilmu baru. Ternyata mengerjakan dokumenter tidak ’semudah’ membuat sebuah travel photography. Ini juga yang sepertinya membuat Wubin ilfil sama foto-foto travel. Haha... Karena dalam dokumenter, kita dituntut untuk mengambil gambar yang bisa bercerita. Dan untuk menemukan satu cerita, kita harus ’masuk’ dalam kehidupan kertas tak bernyawa tersebut. Nah, ini juga teknik yang gampang-gampang susah, menurut saya. Proyek saya ini menjadi sedikit mudah, karena saya bisa leluasa bertanya kepada keluarga saya sendiri. Mungkin pengalaman yang berbeda akan saya dapatkan jika menggarap dokumenter dari orang yang belum pernah saya kenal. Start from zero. Mungkin akan saya coba lain kali, karena membuat sebuah foto dokumenter ternyata asik juga, walaupun masih harus belajar lagi :)

Oke, begitulah proses terbentuknya proyek dokumenter tentang ibu saya. Dan hasil pekerjaan saya juga empat peserta lain pada saat workshop Wubin bisa dilihat completely by clicking this SITE.

Enjoy! :)

PS: Big thanks to Ibu Wardah Dianawati, Zhuang Wubin, and CCCL Surabaya.

2 komentar: