Jumat, 25 Februari 2011

Let's Talk About Dream (part 2)

Lagi-lagi, harus saya akui bahwa saya naksir tulisan Mas Luthfi Nur Rosyidi! Saya pernah lho mencoba untuk menulis sesuatu yang nonjok abis seperti ini, tapi yaaa... setiap manusia diberi kelebihan dan kekurangan masing-masing, harap maklum kalau pada akhirnya yang bisa saya lakukan cuman kopas saja. Saya emang kroco tulen.

Entahlah, tulisan-tulisan kayak gini, lagi happening banget dalam diri saya. Sesuatu yang menyangkut dare to dream, work hard, learn more dan sebagainya. Makanya ngga butuh waktu lama untuk menyukai tulisan yang baru di-publish 2 hari lalu ini. Apalagi menurut Mas Luthfi, tulisan ini merupakan kelanjutan dari versi sebelumnya, yang juga sempat saya posting di sini. Pada chapter ini, beliau menulis tentang keberanian seorang sahabat ketika harus dihadapkan pada kenyataan untuk membunuh mimpinya sendiri.

Entah kebetulan atau tidak, seminggu yang lalu dalam perjalanan menuju Surabaya dari Jogja, sahabat saya, Nuran Wibisono, pernah berkata, "Orang yang paling jahat adalah mereka yang membunuh mimpi orang lain."

Nah, lantas bagaimana jika diri kita sendiri yang ternyata 'harus' membunuh mimpi? Karena, lagi-lagi, semua merupakan pilihan. Life is about choices, and the decisions we make. Yah, saya pribadi hanya bisa berharap bahwa apa yang saya lakukan selama ini merupakan pilihan terbaik. Yasudah, untuk lebih jelasnya silahkan membaca tulisan ciamik ini!

Bagaimana ku memulainya...

Sesaat ku tertegun. Seorang sobat karib mengabariku akan keputusan yang diambilnya. Cukup mencengangkan. Karena aku tak pernah mengira akan secepat dan sesederhana itu dia akan mengambilnya. Apalagi untuk kategori manusia super ruwet seperti dirinya.

Beberapa saat yang lalu datang satu permintaan darinya, permintaan yang berat, dan aku tak bisa menyanggupinya. Dia berkata, "Luth, ceritakan padaku, bagaimana caranya menjalani sisa hidup dg sebuah pengetahuan, bahwa Tuhan menguji kita dengan tak memberikan mimpi terbesar yg kita inginkan".

Aku tak bisa menjawab. aku tahu bagaimana rasa terpenggalnya sebuah asa. apalagi asa yang sudah dipelihara lama, dilahirkan dari lubuk jiwa, selalu dipupuk dan dipagari dari segala mangsa. Melihatnya dicerabut dari akarnya pastinya butuh satu ketabahan tak hingga, apalagi jika dengan terpaksa tangan kita sendiri yang harus membunuhnya.

Pernah suatu ketika dia berkata "sakit hati itu menyehatkan jiwa", aku tak sependapat dengannya. Bagiku sakit ya sakit, sehat ya sehat. dan sakitnya dia pastinya adalah sakitku juga. Kami bersahabat karena sama-sama pemimpi. Kami bersahabat karena sama-sama percaya kepada asa. Ketika dia berhenti menjulurkan tanganuntuk menggapai mimpi terbesarnya, maka yang terbunuh bukan hanya sebagian jiwanya, tapi juga sebagian rasa percaya yang ku pelihara. rasa percaya bahwa aku bisa.

Kembali kuberkata, menarik mimpi kedalam terangnya hari memanglah butuh seni tersendiri, dan terkadang menuntut proses yang abadi. Dan siapa yang tak punya mimpi maka sebenarnya dalam hidupnya dia mati.

Mungkin aku masih tak terima. Tapi terkadang memang kenyataan yang tersaji tak mau diajak kompromi. Sedangkan kita juga tidak punya daya tawar untuk bernegosiasi. Akan hal ini sungguh aku terlarut dalam emosi. Tapi kemudian aku mencoba menyesuaikan jarak agar mendapat sudut yang berbeda, yang mampu membuatku melihat sedikit lebih menyeluruh, bukan hanya fokus kepada drama pembunuhan anak kandung jiwa dan kesedihan di dalamnya.

Aku mendapati, ada kalanya ketika mimpi yang kita pelihara menjadi lebih besar dari kita, menjadi lebih kuat dari kita, menjadi lebih superior dari kita, maka bukannya kita yang memagarinya dari mangsa, tapi kita yang dipagari dari apa yang ditawarkan dunia. kita ditawan oleh obsesi. Kita dikendalikannya.

Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan keberanian dan kekuatan yang luar biasa untuk membunuh mimpi itu. dan memang itulah yang seharusnya. bukan karena tekanan fakta yang memaksa. tapi karena memang pilihan sadar untuk menjaga agar jiwa kita tidak dimangsa oleh asa. dan untuk itu, tidak ada kata lain selain salut sebesar-besarnya bagi kawan-ku yang telah berani mengubur mimpinya dengan tangannya sendiri.

Kawan, yang kau hadapi bukanlah ujian tentang tidak tercapainya mimpi, tapi anugerah kekuatan dan kecerdasan menukar satu mimpi dengan berjuta kesempatan yang akan segera tersaji. Tabahmu, tabahku kawan. Bahagiamu bahagiaku. Semoga kita tetap dimasukkan dalam golongan orang-orang yang bermimpi, tapi tak pernah dikungkung oleh mimpi. Barokallahu!


Yang menunggu kesempatan ngopi sebelum kau pergi


Luthfi Nur Rosyidi
Dinihari 23 februari

2 komentar:

  1. boleh bermimpi, asal jangan jadi obsesi.

    kalau kata guru saya, ketika kita sudah mulai menginginkan sesuatu, maka pada saat itupula kita harus melepaskannya...

    BalasHapus