Rabu, 22 Desember 2010

Terbang Naik Becak

Ini adalah potongan percakapan saya ketika menelepon Mas April. Sahabat kakak saya itu kebetulan memiliki usaha travel agent di Surabaya. Akhir-akhir ini saya sering menggunakan jasanya, walaupun pada akhirnya saya ngga pernah membeli tiket apa-apa dari dia, yang ada saya cuman curhat-curhat gitu kalau ngga dapet tiket kereta dan harus membeli tiket pesawat yang mahalnya berkali-kali lipat. Hehe... Just curhating.

Sore ini, saya mengantar Ibu sahabat saya ketika masa kuliah, membereskan kosannya. Setelah packing ini itu selama dua hari, tadi saya mengantar Ibu Bontang ke stasiun, karena beliau akan melanjutkan perjalanan menuju Bandung, menemui si sahabat saya tadi yang baru keterima kerja di sana. Perjalanan menuju stasiun sangat meriah karena HUJAN derasss... ditambah lagi tiket kereta yang kita cari udah abisss... Lalu saya berinisiatif untuk mencarikan tiket pesawat, si Ibu Bontang tidak keberatan. Tring! Saatnya menghubungi Mas April.

Saya: "Halo, Mas April ya?"
Suara cowok 1: "Iya, ini sapa?"
Saya: "Putri, mas. Adiknya Dana."

Suara cowok 1: "Siapa?"
Saya: (Mengeraskan suara, balapan dengan suara hujan) "PUTRI, Mas.. ini pake nomer temen..."

Suara cowok 1: "Oh sebentar ya..."


Suara cowok 2: "Halo.."
Saya: "Halo, Mas April?"

Suara cowok 2: "Ya... ini siapa?"

Saya: "Ini Putri, Mas! Adiknya Dana, Perdana..."

Suara cowok 2: "Ohhh... ono opo, Put?"

Saya: "Mas, aku mo nanya penerbangan ke Bandung hari ini dari Surabaya."

Suara cowok 2: "Wah... ndak ada..."
Saya: "Hah? Kok ngga ada?"

Suara cowok 2: "Iya.."
Saya: "Ha? Kok ngga ada?" (saya ulangi lagi)

Suara cowok 2: "Iya. Ngga ada."
Saya: "Ini Mas April kan ya?"

Suara cowok 2: "Iya."

Saya: "Masa ngga ada penerbangan ke Bandung mas?"

Suara cowok 2: "Semua penerbangan ke Bandung sudah diganti pake becak."


Saya: "..."


Sedetik dua detik. Saya baru nyadar bahwa suara cowok 2 dimainkan oleh kakak kandung saya sendiri. Mas April lagi pulang kampung ke Jember, dan kebetulan saat itu kakak saya main ke rumahnya. Hodemm! Saya ngamuk-ngamuk, sementara makhluk di balik telepon ngakak-ngakak puas.

Aaaanyway, Abang... Lensa bekas yang kubeli dengan mengemis padamu sudah datang sore tadi setelah kau menjahiliku. Jadi kau kumaafkan! Heheee... Tolong uangmu itu diikhlaskan saja, jangan ditagih ya.. Many thanks :)

- 18 februari 1990 me and the only brother i have -
Di sini muka saya sudah seperti adik yang teraniaya kan ya?

1982


Maaaa, selamat hari Ibu yaaaa...

Doakan anakmu ini biar cepet nggendong anak juga :p
We Love You in Every Single Day

PS: Foto ini diambil tahun 1982, jadi sudah jelas yang berada dalam gendongan Mama saya itu bukanlah @dwiputrirats, melainkan si abang Perdana.

Selasa, 21 Desember 2010

Bukan Resolusi 2011

Alih-alih menulis resolusi tahun 2011, saya lebih suka menyusun tentang apa yang sudah saya lakukan selama tahun 2010 ini. Sudah ketemu siapa aja, sudah traveling kemana aja, dan sudah bikin apa aja. Ngga banyak sih sepertinya, tapi mari kita lihat apakah di tahun 2010 ini saya sudah lebih baik dari pada tahun sebelumnya :)

1.Februari 2010
Saya traveling ke Dieng Wonosobo bersama dengan beberapa travelmates. Seingat saya, waktu keberangkatan kami adalah saat liburan long weekend dan hal itu membuat kami kesulitan mencari transportasi menuju Jogja dari Surabaya, tertahan sampai jam satu pagi di terminal Bungurasih. Gonta-ganti bus jelek-bus bagus. Butuh 12 jam perjalanan hingga badan kami benar-benar menggigil ketika menyentuh dataran tinggi Dieng. Momen paling ngga akan terlupa adalah saat mendaki Bukit Sikunir. Yeah, bukit itu sebenarnya ngga tinggi-tinggi banget, tapi kesalahan saya adalah dari awal saya ngga tahu kalau menuju bukit Sikunir itu harus jalan pake kaki. Hehe. Kisah si negeri di atas awan ini akhirnya juga bisa nampang sembilan bulan berikutnya di Travelounge - Jakarta International Airport Magazine, dalam format combo bareng Ayos The Hifatlobrain, dengan judul Dieng, The Little Shambala.


2. Maret 2010
Saya di undang ke Bali, dan untuk pertama kalinya melihat perayaan upacara pernikahan dan kikir gigi sepupu saya yang beragama Hindu. Saya memang hidup dalam keluarga besar yang multiras. Warna-warni budaya adalah hal yang sudah saya lahap sejak kecil. Secara ngga langsung, segala perbedaan inilah yang memperkaya hidup saya, dan saya selalu bersyukur diberi tempat dalam lingkaran keluarga besar ini. Kenapa saya perlu nulis ini? Karena pada Maret itulah baru pertama kalinya saya berjumpa langsung dengan si sepupu Bali tadi. Meet a new family makes me so excited :)


3. April 2010
Saya mulai hijrah ke Semarang, dua bulan di sana dalam rangka magang profesi. Banyak hal yang saya lakukan dan saya dapat selama di kota ini. Pertama kalinya naik getek juga di sini. Kalau dihitung pun, seumur-umur saya di Jember dan di Surabaya, hanya di Semarang saya rajin ngangkot dan jalan kaki. Haha! Waktu itu dilema ngga penting datang menyerang; ngga ada motor tapi pengen muter-muter kota. Ya jadilah saya, member setia angkot dan bus kota. Saya ke Jogja udah ratusan kali, tapi tetep susah ngapalin jalan. Eh tapi giliran saya dipinjemi motor sama sepupu, saya sukses melintasi Semarang bawah hingga ke Semarang atas tanpa nyasar. Yaaah... salah belok dikit-dikit aja sih :p

Dua kali ke Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang selalu bikin saya merinding melihat kubah-kubah elektroniknya yang buesar-buesar itu. Entah gimana kalo saya nyampe Masjid Nabawi di Madinah ya? Paling cuman bisa melongo kayak orang bego di pojokan. Pas di Semarang juga tiba-tiba saya berinisiatif untuk ke Solo. Ketemu dengan Mas Yusuf dan Mas Taufiq yang sebelumnya hanyalah teman sesama pecinta traveling di fesbuk.

Uniknya, saya merasa perjalanan ke Solo itu sangat Traveler's Tale banget. Saya, Nuran dan Skan yang saat itu berada di tempat berbeda, janjian buat menghabiskan weekend di Solo bertemu di rumah Mas Yusuf. Saya berangkat dari Semarang, Nuran dari Jogja, Skan dari Surabaya. Bedanya, kalo di novel Traveler's Tale diceritakan keempat sahabat sepakat bertemu di Barcelona, nah kalo kita hanya mampu janjian di Palur, Solo :D

Dari Semarang ini pula untuk pertama kali foto dan tulisan saya dalam format combo bareng Ayos, masuk Travelounge, dengan judul Kota Bandar Tua yang Molek. Terima kasih ya, suhu ayos :D

Oh iya, sepertinya saya juga menulis tentang Kotagede dan nyumbang foto untuk
The Story About Joni, tapi ngga masuk majalah mana-mana kok, 'cuman' diposting di sini dan di Hifatlobrain.

4. Mei 2010
Melihat prosesi Waisak di Borobudur. Ini juga pas saya masih di Semarang. Ceritanya seorang teknisi di kantor memamerkan hasil fotonya ketika menyaksikan Waisak di Borobudur tahun lalu. Beliau bilang, Borobudur tampak beda dari biasanya, bakal ada lampion-lampion yang diterbangkan pada malam hari, dan hal-hal lain yang bikin saya ngiler. Nah, kalau saja saya ngga magang di Semarang, ngga ketemu beliau, ngga bakal deh saya tahu tentang prosesi Waisak yang begitu sakral dan unik. Apalagi terakhir saya ke Borobudur adalah kelas enam SD. Haheee...

Weekend itu saya segera berangkat dari Semarang menuju Jogja. Berangkat subuh naik motor berdua sama Sulih dari Jogja ke Magelang. Pulang dari Waisak udah Maghrib dan kehujanan selama perjalanan ke Jogja. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, film dalam kamera lomo saya berjenis kelamin Diana F+ menunjukkan kerja sama yang baik dengan berhasil tercetak sempurna :) Hasil foto selama Waisak saya taruh di blog ini dengan caption yang ala kadarnya. Yahhh... harus banyak belajar sepertinya...


5. Juni 2010
Saya traveling ke Pulau Sapudi Madura bareng Ayos, Nuran, dan Noe. This is Bonita’s first debut. Bonita is my motorbike. Kenapa namanya jadi Bonita? Saya juga ngga tau, yang jelas dan yang paling saya ingat adalah pertanyaan dari Nuran ketika dia membonceng saya melintasi medan off-road menuju Pantai Nyi Ro'om.

He asked me
, "Put, motormu ini cewe apa cowo?"

Oh entahlah, ini pertanyaan bodoh atau jenius, karena terakhir kali saya cek di AHASS, montirnya ngga bilang bahwa dalam gen motor saya mengandung kromosom XX ataupun XY.

Dari perjalanan ini pula, baru pertama kali saya ikutan kontribusi dalam e-book yang dirilis oleh Travelista; When Will You Come Home.


6. Juli 2010
Hmm sepertinya saya ngga kemana-mana. Tapi ini bulan ulang tahun saya lhoo... Dan saya menonton animasi paling papoy selama 2010, Despicable Me, di bulan ini. Oh iya deng!!! Ternyata saya ke Pulau Sempu pada akhir Juli bersama teman-teman himasa asoy. Sayangnya, Segara Anakan udah kotor sekarang, dan akses trekking menuju kesana, astajimmm, bisa bikin berat badan turun lima kilo. Ehm, bulan ini juga ada perpisahan The Koncopleks di Daun Lada :( Enam puluh teman kuliah saya yang menjadi teman sekelas selama empat tahun. Segerombolan orang dengan berbagai macam karakter yang sering kompakan bertingkah aneh diluar kebiasaan lazim mahasiswa farmasi yang rajin-rajin dan patuh aturan :p


7. Agustus 2010
This is the final! Saya menjalani sidang profesi di ruang kuliah 2.7 dan sumpah profesi di Empire Palace Surabaya. Selesaiiii sudaaah perjalanan panjang menuntut ilmu ini! Yah, walaupun pada akhirnya saya harus mengakui bahwa saya tidak ada panggilan hati untuk menjadi farmasis, tapi terima kasih banyak tetep saya haturkan padamu fakultas!

Kuliah di farmasi sedikit banyak membentuk pola pikir. Saya jadi suka merhatiin dan mikirin detil-detil kecil, ya ini hasil didikan membuat obat yang kesalahannya ngga boleh lebih dari 2%. Bisa mati ntar yang minum obat. Banyak hal-hal kecil yang harus diperhitungkan dan sebagainya... Saya ngga suka ngeliat orang ngaret, karena pas praktikum di fakultas, saya diajarin untuk selalu menggunakan waktu secara efektif dan efisien. Makanya saya suka risih dan ngomel-ngomel kalo ngeliat temen kos saya, si Rina Fariana, hobi masuk kuliah telat, setengah jam lebih lama dari jadwal yang udah ada. Tobatlah, Min... Seperti kata bapak saya, "uang bisa dicari, tapi waktu ngga bisa diganti."

OH ternyata saya traveling deng!! Hehe, saya ke Bromo pas puasa-puasa demi ngeliat yang namanya Upacara Kasodo. Di sini saya punya travelmates baru; Bandenk, Ijo, Upo dan Niluh. Pengalaman yang ngga bakal bisa saya lupain karena harus diam duduk menggigil di pinggir bibir kawah Bromo jam satu pagi hingga subuh datang, dalam keadaan puasa pula. Untunglah opera bulan sedang bermain dengan begitu indahnya. Bintang bertebaran dimana-mana, dan penumbra setia menemani purnama. Sungguh, ini upacara agama yang ngga bakal Anda temui di manapun! Dan Bromo sedang meletus sekarang :(
Read the entire about Long Nite Kasodo here and watch the video!

8. September 2010
Karimun Jawa for the second time. ‘Sekedar’ ngegosongin kulit. Haha... Ngga deng... Di sini saya ketemu dengan teman-teman baru di Explore Karimunjawa. Sempat terjadi kekacauan pada saat menyebrang dari Jepara ke Karimunjawa menggunakan Kapal Muria. Waktu itu kapal miring ke kiri dihempas angin. Suasana kapal memang gelap dirundung mendung dan hujan yang mengguyur. Sebenernya kalau dibandingkan dengan Rodeo Boat yang saya tumpangi ketika menyebrang Sapudi, ini mah ngga ada apa-apanya. Yang bikin ngeri adalah histeria penumpang. Pada ricuh berlarian menuju lemari pelampung. Saya sedang dalam keadaan ngantuk, Ruri mabuk laut, Cupan sibuk jeprat-jepret, Rina tolah-toleh bingung. Untungnya segera ada awak kapal yang menenangkan penumpang dan berusaha meyakinkan berkali-kali bahwa tidak akan ada apa-apa. Hanya angin biasa.


9. Oktober 2010
Ikutan komunitas Jejak Petjinan, melantjong kampoeng kungfu Surabaya demi memahami budaya leluhur :) Oh iya saya ke Madura lagi, nonton Karapan Sapi Piala Presiden. Ehehehe.. niat banget ya! Kali ini saya ke Madura ngga naik motor kayak ke Sapudi dulu, haha... Entahlah lebih baik saya hemat tenaga, dan tidak bercapek-capek di jalan. Jadi saya putuskan untuk naik bus kota saja. Dan pada hari H di stadion Pamekasan, saya bertemu dengan Nuran dan Cupan, dan kami hampir diseruduk sapi ketika memotret adu balap tersebut. Cerita tentang Karapan Sapi saya ini berhasil nampang di Majalah Liburan bulan ini (Desember 2010) dengan judul Memacu Sapi Jawara. Lumayaaannn :p


10. November 2010
Menjadi bulan yang menutup masa-masa keluyuran saya sepanjang tahun 2010 dengan sempurna! I traveled to Komodo Island sponsored by Ministry of Culture and Tourism Indonesia. Oh yesss!! It was really great trip! Merasakan naik yacht berkebangsaan Amrik dengan santai dan nyaman, seakan doa saya ketika terperangkap dalam goyangan maut Rodeo Boat dan Kapal Muria dikabulkan oleh Tuhan XD
Dan saya merasa sangat Up In The Air banget di sini. Tau kan, filmnya George Clooney yang suka terbang dari satu tempat ke tempat lain demi pekerjaannya itu. Nah, dalam seminggu itu saya 5 kali naik pesawat! Hahahaaa... itu adalah rekor seumur 23 tahun ini! Pertama naik pesawat dari Jakarta ke Kupang, lalu Kupang ke Labuan Bajo menggunakan Fokker, lalu Labuan Bajo ke Denpasar, lanjut Denpasar ke Jakarta, dan setelah memulihkan diri di kos Agitha di Jakarta, saya pulang ke Surabaya via udara lagi. Hahahaaaa... Tulisan tentang Komodo, The Last Living Dinosaur on Earth bisa dibaca di Hifatlobrain atau di blog ini sebagai artikel kampanye Vote Komodo dan promosi website www.indonesia.travel yang sekarang berada di bawah asuhan KemenBudPar RI
.

11. Desember 2010
adalah bulan tenang. Ngga kemana-mana… Cuman ke Klaten aja palingan. Sama rajin cari uang buat modal ke destinasi baru lagi... Hehe, I really love this job! :)

Setelah saya susun kayak gini, kok saya keliatan freak banget ya tahun ini! XD


Yah... anggap saya sudah overdose menghirup aroma Canabis travelium atau tersengat travelbug berkali-kali. Traveling itu emang addictive. Meet someone new, feel then learn something new. Ini juga yang saya suka dari tahun 2010. Saya merasa, saya bertemu dengan lebih banyak orang baru, temen-temen di Xplore Karimunjawa, ketiga bocah Sapudi yang polos-polos, cece-koko di Jejak Petjinan, Bapak-bapak fotografer di Hunting Komodo dan beberapa orang yang semula hanya saya kenal di dunia maya. Lalu, apakah hidup saya sebegitu menyenangkannya sepanjang tahun ini? Tentu tidaaak. Tapi ya buat apa ngelist yang ngga enak buat diceritain? Oke!

Do not stop dreaming and learning. Happy new year! :D
Marilah kita mencari calon suami yang baik tahun depan.. mwahahaaa... Amen!

Senin, 13 Desember 2010

Komodo: The Last Living Dinosaur on Earth


Oke, mari kita mulai postingan ini dengan pertanyaan dari rekan saya saat mengikuti hunting di Taman Nasional Komodo, Bang Yudi @kudaliarr.

Pertanyaannya ada dua. Pertama, kenapa sih Taman Nasional Komodo harus dipilih menjadi The New Seven Wonder of Nature? Yang kedua, kalau Komodo terpilih menjadi satu dari tujuh keajaiban dunia, apa untungnya buat Indonesia yang telah melakukan promosi secara besar-besaran untuk program ini?

Sebelumnya saya jelaskan sedikit, program hunting foto dan video di Taman Nasional Komodo yang saya ikuti beberapa hari yang lalu, diselenggarakan oleh Kementrian Budaya dan Pariwisata RI untuk satu tujuan yaitu mendongkrak angka voting Komodo National Park for the New Seven Wonders of Nature in the World. Dalam ajang ini Komodo memang harus bersaing dengan 27 finalis ajaib lain di dunia, seperti Dead Sea, Grand Canyon, Bay of Fundy, Masurian Lake District, Puerto Princesa Underground River, dan sebagainya.

Hingga saat ini voting memang terus berjalan, dan hasilnya akan diumumkan tahun depan pada 11-11-2011. Sekarang komodo mengantongi angka voting pada kisaran 40-50%, dengan 90% voters berasal dari Indonesia. Tapi rupanya itu tidak cukup, sodara-sodara. Coba klik tautan berikut, lihat sendiri statistik hasil perhitungan ranking terakhir minggu ini. See, angka segitu ternyata masih harus dipompa terus agar bisa menyalip finalis-finalis yang sempat saya sebutkan tadi.

Salah satu usaha yang dilakukan oleh Kementrian Budaya dan Pariwisata adalah mengirim fotografer, videografer, media dalam dan luar negeri, plus selebriti selama beberapa hari di Taman Nasional Komodo untuk membantu kampanye Seven Wonders ini sesuai dengan bidang yang digelutinya.

Oke, karena saya hanyalah seorang travel writer dan fotografer kacangan, maka satu-satunya cara yang bisa saya lakukan (selain melakukan voting, tentu saja) adalah menceritakan pada Anda sekalian, pembaca yang budiman, betapa Komodo itu layak mendapatkan posisi satu dari tujuh keajaiban dunia. Jadi ya, saya mohon maaf lahir batin tidak membuat travelogue seperti biasa, karena menurut saya ini lebih penting daripada mengawali tulisan dengan keindahan pantai berpasir putih... Em, kalau pengen tahu masalah How to Get There and Where to Stay selama saya berada di Taman Nasional Komodo, silahkan kirim e-mail ke blog ini, insya Allah bisa saya beri rekomendasi. Atau bisa melalui tautan berikut ini dan ini.


Komodo (Varanus komodoensis), yang sering kali disebut dengan panggilan sadis The Dragon ini, merupakan spesies purba endemik yang hidup dari zaman Tertiarum, yang ‘seharusnya’ sudah punah seperti teman-teman seangkatannya, T-rex dan berbagai jenis hewan purbakala lain yang memang sudah habitatnya sekarang berpindah ke museum sebagai jejeran fosil saja. Ajaibnya, hingga zaman Twitter seperti sekarang ini, si komodo ini lah kok masih eksis gitu. Hidup dalam jumlah populasi yang stabil yaitu sekitar 2500 ekor di Indonesia, tepatnya di Taman Nasional Komodo yang mencakup tiga pulau yaitu Pulau Rinca (1100 ekor), Pulau Komodo (1300 ekor) dan Pulau Padar (100 ekor).


Dari jumlah sekian itu, perbandingan antara yang jantan dengan betina adalah 3 banding 1. Maka tidak heran jika pada musim-musim kawin (Juli-Agustus), banyak pejantan usia produktif (di atas tiga tahun) yang terlibat pertarungan sengit demi nge-date dengan seekor betina. Yang jadi looser silahkan gigit jari, sedangkan pemenang akan mendapatkan mempelai wanita dan siap bersembunyi di hutan untuk melangsungkan perkawinan. Yeap! Wisatawan yang berkunjung pada bulan Juli-Agustus mungkin, mungkin lho ya, bisa menyaksikan pemandangan raksasa-raksasa ini saling menyerang rebutan cewe. Tapi ya harus sabar tingkat internasional juga, menghadapi kenyataan jika tidak menemukan seekor komodo pun karena mereka, adalah tipikal hewan yang tidak suka memperlihatkan diri jika musim kawin tiba.

Komodo betina akan bertelur pada bulan September. Lalu dia akan menggali tanah untuk mengubur dan mengamankan calon-calon bayinya hingga tanah yang menimbunnya cukup padat dan tidak tercium oleh komodo dewasa lain. Ow yeah, mereka kanibal. Anak sendiri bisa dimakan. Selain komodo dewasa, yang menjadi predator telur adalah sekawanan babi hutan. Makanya induk betina akan berjaga selama beberapa minggu di atas gundukan tanah tersebut (Biasa disebut dalam TNK sebagai Sarang) hingga kondisi aman.


Seekor betina bisa menghasilkan 10 hingga 35 telur, dengan prosentase menetas mencapai 80%. Yah, angka yang cukup tinggi dari masalah kepunahan, bukan?? Tapi ya itu… setelah menetas pada bulan Maret-April, komodo imut-imut pemakan insect ini akan benar-benar diuji ketentraman hidupnya. Hanya dia yang mampu lolos dari predator lah yang bisa survive hingga dewasa. Diperkirakan usia komodo bisa mencapai 50 tahun, dan kalau ada komodo mati ya biasanya ngga berbekas apa-apa.

Begini, komodo akan melahap mangsa hingga tetes terakhir! Tulang pun akan dicerna dan dikeluarkan menjadi butiran kalsium. Makanya kotoran komodo pun warnanya putih. Dan dia biasanya hanya meninggalkan kenang-kenangan berupa helaian rambut dan kuku saja. Kata Pak Dacosta, polisi hutan yang saya kenal di sana, hanya dua hal itu yang tidak bisa dicerna oleh komodo.

”Kalau punya musuh, lempar saja ke Komodo, Mbak... Kalau dimakan komodo, pasti tidak ada bekasnya, hahaha...” canda lelaki Flores itu. Saya meringis maksa.


Tapi ya, serius, kita sebagai pengunjung memang harus ekstra hati-hati selama berada di dalam Taman Nasional. Jangan melakukan hal-hal spontan, jangan berisik dan terlebih lagi jangan berkunjung saat datang bulan, wahai wanita-wanita... Komodo dengan mudah mencium bau darah yang akan meningkatkan nafsu makannya, bagaikan anak kecil diberi asupan Scott’s Emulsion. Laper, Mama...

Komodo bertebaran bebas di taman nasional ini, ada yang manjat di pohon (oh yes, they can swim too), ada yang tidur-tiduran di bawah barak Ranger (sebutan untuk jagawana Komodo), ada juga yang jalan-jalan dengan gagah menjulurkan lidah bercabangnya yang berwarna merah jambu pucat, atau banyak pula yang hanya diam di tempat, tengok kanan kiri sambil pamer air liurnya yang terkenal mematikan karena mengandung enam puluh jenis bakteri itu. Beberapa kali saya sempat mengira mereka sebagai potongan kayu mati. Lah wong warnanya hampir sama, untung saya ngga inisiatif duduk di atas kayu mati palsu itu.

Komodo memiliki tiga titik lemah, yaitu mata, leher dan kepala. Makanya, tiap trekking, para Ranger selalu berbekal senjata berupa tongkat kayu panjang dengan ujung bercabang dua. Kali aja, hewan purba yang bisa mencapai panjang 3 meter dan berat 90 kg ini lagi badmood. Sodorkan saja tongkat-tongkat itu ke tiga daerah sensitif tadi, agar dia tidak menyerang kita.


Dalam Taman Nasional ini saya juga sering menemukan gerombolan rusa asik ngemil biji asam. Pohon asam memang vegetasi yang banyak tumbuh di sini, selain jarak, srikaya dan gebang. Ada anggrek juga lho di sini, tumbuh liar di batang-batang pohon. Berbagai jenis burung, seperti kakak tua, gagak, juga hewan kecil lain seperti siput unik bercangkang kuning menyolok, sempat saya lihat selama trekking di Pulau Rinca dan Komodo. So wildlife banget lah!! :D




Karena komodo berstatus sebagai predator utama, maka menjaga kelestarian rusa, babi, dan sebagainya dari perburuan liar, adalah tugas penting polisi hutan di sini. Intinya, jangan sampai komodo kekurangan makanannya sehingga beresiko menyerang penduduk desa Komodo di sekitar pulau tersebut.

Oke, apakah si naga tanpa sayap dan semburan api ini sudah cukup ajaib bagi Anda? Vote sekarang juga kalau begitu!!!

Lalu, kalau apa untungnya bangsa ini jika Komodo sudah menang voting dan resmi menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia, dengan promosi besar-besaran seperti ini?? Jawaban berikut ini berasal dari tulisan Pak Hanif dari pihak Kementrian Budaya dan Pariwisata, sekaligus orang yang memperkenalkan saya pada website pariwisata Indonesia milik BudPar www.indonesia.travel (@indtravel). Sengaja saya copas dari milis, agar kalian semua, para pembaca yang budiman, bisa turut memahami betapa promosi wisata sangat penting untuk mengangkat nama Indonesia di masa akan datang.


Untuk jangka pendek, jelas tujuan pemerintah adalah meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan asing ke Taman Nasional Komodo (TNK), dengan demikian otomatis akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, karena pendapatan sektor pariwisata bisa langsung dinikmati oleh daerah setempat, yaitu melalui hotel, airline, travel, restoran, pedagang souvenis, pengusaha kapal, guide dan sebagainya.

Sebagai catatan semenjak BudPar mempromosikan TNK secara besar-besaran mulai tahun 2008, jumlah kunjungan ke TNK pada 2009 naik hingga 67% (naik sekitar 15.000 orang), jika rata-rata pengeluaran wisatawan asing USD 1000 berarti devisa yang diperoleh adalah USD 15 juta (sekitar 140 M).

Selain itu, melalui seven wonders ini, citra Indonesia bisa meningkat di mata internasional, mereka bisa melihat keseriusan pemerintah dalam mengelola aset dunia, karena TNK merupakan warisan dunia.

Jangka panjang, tentu menjaga kelestarian lingkungan hidup. Logikanya semakin terkenal suatu destinasi, semakin banyak orang yang peduli terhadap destinasi tersebut, khususnya dalam menjaga dan memeliharanya.

Jangan sampai anak cucu kita hanya bisa melihat komodo lewat film seperti Jurrasic Park!
Namun perlu diketahui pula, bahwa kunjungan yang tidak terkontrol ke TNK dapat membuat komodo stress dan dapat membahayakan pengunjung. Menurut penelitian batas aman jumlah kunjungan ke TNK adalah 500 orang per hari, di sesuaikan dengan jumlah komodo dan jagawana yang ada di TNK.


Selain melakukan trekking di Pulau Rinca (Loh Buaya) dan Pulau Komodo (Loh Liang) yang sangat menawan itu, jangan lupa untuk mampir ke Pulau Kalong, Pulau Papagaran, Pulau Mesah, dan Pink Beach. Pastikan Anda melihat lumba-lumba juga di perairan ini. Snorkeling dan diving adalah kesempatan yang tidak boleh dilewatkan. Ada surga bawah laut yang sangat layak untuk dinikmati.

Pink beach adalah destinasi yang wajib hukumnya! Dari kejauhan sih memang tidak terlihat pink-nya yah, tapi coba mendekat dan letakkan segenggam pasir di tangan, barulah Anda akan melihat keajaiban lainnya. Pasir putih bercampur butir-butir pecahan koral merah tersebar di seluruh pantai ini. Amaziiiinggg! Anda bisa snorkeling di pantai atau trekking ke bukit teratas. Merekam gambar sebuah pantai biru jernih dengan pasir berwarna merah jambu yang dikelilingi gundukan bukit-bukit hijau. Sumpah, ngga bakal rugi mampir ke pantai ini!



Oh iya, satu lagi, jangan pernah bepergian ke Indonesia bagian Timur ini dengan tidak menikmati sunset! Ya ampun, dosa besar kalo Anda malah tidur kala matahari tenggelam! Sunset di Pulau Kalong, misalnya... Widdddiihh, sadis beraaatt!! Pada pukul 18.00-19.00 WITA, kala matahari sudah ingin menutup hari dengan hanya meninggalkan hamparan cahaya merah di langit; ribuan (entahlah saya ngga ngitung juga...) kalong akan keluar terbang dari Pulau tersebut, berhamburan, berdesakan, dan tampak sangat tergesa-gesa. Entah mereka akan pindah kemana, yang jelas keesokan harinya, dan hari-hari berikutnya, pemandangan langit merah dan ribuan kalong terbang ini akan terlihat jika kapal Anda dihentikan di depan Pulau Kalong pada jam tersebut. Kalau beruntung, mungkin Anda bisa melihat Batman juga, sapa tau ikut memeriahkan rombongan hewan nokturnal ini.




Sayangnya, tidak ada itinerary mampir ke Pulau Papagaran dan Pulau Mesah. Dari atas yacht, sambil mendengarkan cerita Pak Andi Sucirta yang pernah bertugas sebagai dokter di sana, saya hanya bisa memandang sederet kampung nelayan yang ada di dua pulau tersebut. Pulau Papagaran tampak berbeda dengan bukit-bukit merah yang menjadi background kampung kecil itu. Sedangkan Pulau Mesah menyajikan bukit-bukit batu berwarna putih yang menawan. Yap, semoga saja lain kali saya bisa menginjakkan kaki lagi di gugusan pulau di Nusa Tenggara Timur ini (Amin!)

Oke, semoga sedikit kampanye ini, mampu menggerakkan kursor Anda untuk turut voting melalui tautan berikut. Tentu saja saya ngga punya apa-apa sebagai imbalan Anda yang sudah menyumbangkan suara, tapi seriusss, yang sudah voting saya doakan bisa menginjakkan kaki di Pulau Komodo dan snorkeling di Pink Beach! :)

Senin, 06 Desember 2010

Life is an Adventure: Nutrilon's Commercial Break

Iklan susu sekarang bagus-bagus ya, hehe.. biasanya jagoan yang suka bikin iklan ngegemesin itu produknya Bebelac. Dengan backsound lagu Barry White, di situ banyak menampilkan anak-anak kecil yang pinter, lucu, cantik, dan ganteng. Yah, pokoknya cukup membuat yang masih lajang pengen nikah, yang udah nikah pengen punya anak. :p

Sampai beberapa hari yang lalu saya melihat iklan susu Nutrilon Royal. Jujur, awalnya saya ngga mengira ini commercial break untuk produk susu. Kombinasi musik dan gambarnya bikin saya stunning! Apalagi setelah membaca tagline di akhir iklan; Life is An Adventure. Hohooo... Dengarkan baik-baik juga narasi yang dibacakan seorang bocah dari awal iklan. Whaaaa... so cool... :)

Nih, kalo yang pengen liat iklannya, barusan saya nemu di YouTube:



I want to live my life to the absolute fullest
To open my eyes to be all I can be
To travel roads not taken, to meet faces unknown
To feel the wind, to touch the stars
I promise to discover myself
To stand tall with greatness
To chase down and catch every dream
Life is an adventure

Jumat, 12 November 2010

Scott vs Ramona!!


Berikut tips nonton Scott Pilgrim vs The World:
  1. Konsentrasi. Karena film ini bergerak cepat, kamu akan ketinggalan banyak detil-detil seru dan lelucon yang ngga murahan, kalo mikirin hal lain. Dont blink your eyes lah, kalo bisa :p
  2. Pasang volume max. Jangan pedulikan tetangga kamar kos yang ribut, karena semua musik yang ada di film ini ngga afdol kalo ngga didengerin keras-keras!! Dari backsound Universal di awal film, sampe The Ramona Song di bagian ending... Semuanya asip!
  3. Udah sih itu aja... happy watching!
I heart this movie, a lot! :D

Selasa, 09 November 2010

Awas Jatuh, Om!





All these pictures are taken when I saw Jogja Java Carnival on Oct 16, 2010.

Senin, 08 November 2010

Flying Like a Fish

Kite Festival at Parangkusumo Beach


If I have the belief that I can do it,
I shall surely acquire the capacity to do it,
even if I may not have it at the beginning.
Gandhi


:)

Minggu, 07 November 2010

Cerita Dari Barak Pengungsian


Dan radio Pak Bardi ternyata sudah dua minggu mati tidak berfungsi. Baru menyala hari ini setelah salah seorang relawan membelikan baterai untuk 'harta kecil' yang selalu tergantung di leher beliau.

Membaca rangkaian pendek twit mbak @deelestari ini dibarengi dengan mendengarkan lantunan Iris and Jasper dari Hans Zimer lewat headset bagaikan nonton tearjecking movie bagi saya :(
Semoga keadaan segera membaik. Amin.

Jumat, 05 November 2010

Dieng: The Little Shambala


Ini adalah sebuah kisah tentang kota suci yang didatangi para brahmana untuk bersemadi. Berada di salah satu dataran paling tinggi di dunia, menyimpan kearifan lokal yang meretas zaman, inilah kisah tentang shambala kecil bernama Dieng.

Saya masih terkantuk-kantuk di dalam bis butut menuju Dieng akibat tidak tidur semalaman. Semilir angin yang masuk dari sela-sela jendela yang terbuka semakin membuat kelopak mata berat untuk diangkat. Sejak sampai di stasiun Purwokerto pukul 20.00 WIB saya memang tidak sempat memejamkan mata. Seorang teman dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) yang datang menjemput, langsung mengantar saya untuk mengisi perut di sebuah warung pinggir jalan. Kami biasa menyebutnya angkringan, modelnya sama seperti warung koboi yang tersebar di seluruh pelosok Jogjakarta dan Solo. Ini memang warung serba ada, segala macam minuman hangat dingin dan rupa gorengan tersaji di depan mata. Siap dipilih sebagai lauk pendamping sego kucing yang dibungkus mungil.

“Kamu harus coba mendoan Purwokerto! Sangat orisinal, sangat enak!” kata Jajang, seorang teman baru yang saya dapatkan dalam perjalanan ini. Rencananya saya akan bermalam di Kopkun, koperasi milik Unsoed yang dikelola oleh para mahasiswa. Jajang, pria berambut gondrong penggemar sastra ini adalah salah satu pengurusnya.

Makan di angkringan memang sangat adiktif. Obrolan tak jelas arah sembari disela segelas kopi tubruk membuat kami rela duduk berlama-lama. Tanpa terasa tangan pun mencomot potongan mendoan. Lagi dan lagi.

Obrolan warung kopi pun kami lanjutkan di dalam Kopkun. Ruangan yang tidak terlalu besar seukuran dua kamar kos dengan sebuah kamar mandi di dalam ini mendadak menjadi begitu ramai. Teman-teman lain bergabung, menambah renyah obrolan saya dengan Jajang. Mata saya tidak sempat layu karena lelucon yang keluar tanpa filter dari mulut kami. Itu memberikan energi tambahan bagi tubuh saya yang sebelumnya lelah tertekuk dalam perjalanan kereta selama sepuluh jam dari Stasiun Gubeng Surabaya.

Tidak terasa adzan subuh bergema. Teman mengobrol kami tumbang satu persatu. Itu memang lumrah bagi dunia aktivis mahasiswa, daur hidup mereka berputar terbalik. Malam-malam panjang biasa dilewati dengan diskusi dan obrolan, paginya terlelap hingga matahari berpendar di atas ubun-ubun. Maka setelah melewati acara ngobrol marathon, yang tersisa pagi itu tinggal saya dan Jajang. Iseng saya lontarkan ide,”Jang, ada obyek wisata nggak dekat sini yang bagus untuk difoto?” Sebagai penggemar baru dalam dunia fotografi, Jajang pun memberikan beberapa opsi. Tanpa perdebatan, kami putuskan untuk bersepeda menembus kabut menuju pemandian air panas Pancuran Pitu yang berada di komplek wisata Baturraden, kaki Gunung Slamet.


Ternyata pagi hari di Purwokerto sangat dingin. Jaket ala kadarnya yang membungkus tubuh saya tidak mampu menahan hembusan angin yang datang dari depan. Untung saja jarak antara Kopkun dengan pintu gerbang Wana Wisata Baturraden tidak telalu jauh. Kami mencapainya dalam waktu duapuluh menit saja. Karena masih terlalu pagi, kami masuk tanpa membayar tiket. Untuk hari biasa setiap pengunjung tiga ribu rupiah, sedangkan pada hari libur lima ribu rupiah per orang.

Dari pintu gerbang menuju mata air panas kami harus melewati jalanan berkelok naik turun. Memang jalurnya sudah beraspal, tapi jangan harap mudah saja dilewati, karena jika musim hujan tiba akan berubah menjadi licin. Sepanjang jalan yang kami lihat adalah jajaran pohon pinus dan pakis yang lebat. Sangat hening dan hanya ada suara sisa hewan nokturnal yang kesiangan. Dari puncak-puncak pohon saya bisa mendengar suara tonggeret yang bersahut-sahutan, seakan menemani perjalanan saya dan Jajang menuju mata air.

Ternyata motor bebek lansiran tahun 2000 yang membawa kami tidak bisa dibawa hingga lokasi mata air panas. Kami harus turun, memarkir motor, dan melanjutkan perjalanan dengan cara trekking melewati jalan setapak batu. Kondisi tubuh yang loyo dan kandungan kafein kopi tubruk yang hilang tak berbekas semakin menambah berat jalur yang kami lewati. Pasokan energi ekstra justru datang dari sinar matahari pagi dan senyawa oksigen murni yang memenuhi rongga paru-paru. Ini adalah jalur kebugaran yang seharusnya dilewati para aktivis kampus dengan gaya hidup tidak sehat.

Setelah trekking selama setengah jam, akhirnya saya dan Jajang sampai juga. Ini benar-benar menyenangkan. Sebuah air terjun mini dengan bentuk yang atraktif membuat saya berdecak kagum. Ada sekitar tujuh buah pancuran berwarna kuning dengan gradasi menarik yang membuat saya tidak bisa melewatkannya tanpa menekan shutter kamera. Saya amati bentuknya sangat sensual, seperti pahatan alami yang membentuk relief serupa tujuh buah yoni.


Seperti banyak sumber air panas di Pulau Jawa, pancuran kecil ini juga sarat belerang. Itulah mengapa warna bebatuan di sekitarnya menjadi kuning. Menurut Jajang, mandi di sini memiliki khasiat menyembuhkan, hal ini yang membuat Pancuran Pitu populer di kalangan wisatawan lokal. Namun karena saya datang terlalu pagi dan weekdays jadi tidak ada pengunjung lain yang terlihat selain kami berdua.

Jajang terlihat sudah sangat lelah, meski ditutup-tutupi, ia tetap saja jatuh terlelap di bawah pohon sawo kecik yang ada di dekat lokasi pancuran. Tanpa membangunkannya, saya menjelajah tempat ini sendiri. Tubuh saya juga sangat lelah, namun rasa syukur dan penasaran yang besar membuat saya bersemangat, seperti baterai yang fully recharged.

Selain pancuran serupa tujuh buah yoni yang sudah khatam diabadikan, saya mendengar suara gemericik air di sisi lain. Setelah mencari kesana kemari, ternyata ada tangga kayu yang menuntun saya turun ke bawah. Di muka tangga tersebut ada papan sederhana bertuliskan “Gua Sarabadak”, tanpa pikir panjang saya ikuti jalur tersebut.


Suara gemericik air semakin besar ketika saya hampir sampai di ujung tangga paling bawah. Namun karena terhalang oleh sebuah batu karang yang besar, saya tidak bisa melihat wujud pancuran tersebut. Baru, setelah melewati batu penghalang tadi, saya melihat sebuah dinding air yang mengalir slow motion. Gua Sarabadak ternyata adalah cekungan kecil yang ditutupi oleh membran tipis air yang turun perlahan melewati batuan stalaktit putih seperti pualam, membentuk tirai lembut yang menarik untuk dilewati jika saya tidak membawa kamera digital. Selanjutnya ratusan galon air jernih ini akan mengalir membentuk sebuah sungai kecil di bawah rerimbunan pohon bambu yang lebat.

Pemandangan seperti ini sama seperti yang saya dapatkan dalam lorong sempit menuju air terjun Madakaripura di Probolinggo, Jawa Timur. Hanya saja pancuran Sarabadak lebih kecil, lebih indah, dan lebih syahdu. Saya menatap pemandangan di depan saya lekat-lekat. Semilir angin dan gesekan dahan-dahan bambu di ujung yang lain membuat saya terbenam dalam suasana hening yang khidmat.

Pada Jajang yang masih mendengkur di bawah pohon sawo kecik, saya haturkan tabik dan rasa terimakasih yang teramat sangat.

Bis reyot yang mulai saya tumpangi dari ujung pasar Wonosobo ini mulai bergerak naik dan meliuk-liuk. Menggoyang seluruh badan dan muatan. Membuat saya tersadar dari tidur panjang. Saat memicingkan mata keluar jendela, saya melihat pemandangan yang sangat spektakuler; ngarai sempit berlapis-lapis yang diapit bebukitan penuh ladang berwarna-warni. Awan dalam formasi cotton candy pun terlihat sangat dekat dan bisa dijangkau tangan. Sekejap mata saya kembali segar dan berkhayal berada di New Zealand, sebuah negeri subur penuh ladang dan sapi yang sering saya lihat di televisi.

Tapi suara kriyet-kriyet bis butut dan barisan orang-orang berkulit cerah dengan pipi bersemu merah di jalanan membuyarkan lamunan saya tentang New Zealand, lantas seketika menjatuhkan saya pada realita bahwa ini masih di Jawa, di Wonosobo, di dataran tinggi Dieng. Saya amati sekali lagi, penduduk Dieng memang punya ciri khas: tinggi badan sedang, kulit sawo muda, dan mata yang cenderung sipit. “Memang ada beberapa desa yang penduduknya sipit, katanya dulu kami keturunan Cina,” kata seorang ibu sipit asli Dieng yang duduk di samping saya sejak tadi.

Saya pandangi lagi ibu di samping, ia berpipi merah dan mengenakan beberapa lapis pakaian. Itu pun masih dibalut dengan jaket tebal dan kerudung yang menahan udara dingin masuk dari lubang telinga. Saya jadi sadar, udara mulai menjadi dingin sejak saya bangun. Bus reyot ini membawa saya semakin naik, lapisan oksigen semakin tipis, udara dingin pun masuk lewat sela-sela jendela bus yang tidak bisa ditutup rapat.

Kaos tipis yang saya kenakan sangat tidak membantu, sedangkan untuk mengeluarkan jaket berarti saya harus membongkar tas yang ada di bawah jok, begitu repot jadi urung dilakukan. Saya pun mendekap tubuh yang mulai meradang dengan kedua tangan. Ah sekalian aklimatisasi, pikir saya ringan.

“Wah, kalau bulan Februari seperti ini sih masih hangat, coba saja datang di bulan Agustus, rumput di luar bisa menjadi batangan es...,” ujar Bu Siti enteng, menertawakan tingkah laku saya yang menggigil kedinginan sembari menggulungkan selimut di badan. Padahal saat itu masih sekitar pukul tiga sore, suhu normal di dataran tinggi ini sudah berkisar 5 - 15 derajat, dan akan turun lebih ekstrim hingga nol derajat memasuki musim kemarau. Maka membayangkan datang ke Dieng pada bulan Agustus mungkin sama halnya dengan ikut uji nyali adu adrenalin seperti tayangan di televisi. Badan saya yang sudah sangat Surabaya tidak bisa menerima batas dingin ini.

Sebagai pemilik sebuah homestay sederhana di Dieng Kulon tempat saya menginap, Bu Siti, benar-benar menjamu tamunya dengan ramah dan terbuka. Sambil menyajikan sepiring kentang goreng panas dan segelas teh hangat ia bercerita bagaimana memulai usahanya. Jujur saja, tubuh saya yang menggigil kedinginan dan perut yang sudah meraung minta diisi membuat french fries sederhana ini benar-benar istimewa, mungkin yang paling lezat di dunia.


Selanjutnya Bu Siti berkisah, homestay dan hostel dengan harga terjangkau memang sudah banyak berjejer di sekitar dataran tinggi ini. Seiring melonjaknya tingkat kunjungan wisatawan di kawasan Dieng Plateau, Dinas Pariwisata setempat pun kemudian berinisiatif memberikan training pengelolaan usaha bersertifikat untuk warga pemilik usaha penginapan. Hal ini penting, mengingat beberapa tahun silam, banyak pihak yang mempermainkan harga sewa kamar yang justru akan mengurangi kenyamanan wisatawan yang datang.

Berada di tempat dengan ketinggian lebih dari 2000 mdpl, maka Dieng Plateau adalah salah satu dataran paling tinggi di dunia, nomor dua setelah Tibetan Plateau di Nepal. Secara umum, bentuk Dieng seperti cawan raksasa yang berdinding perbukitan dan gunung. Terletak pada 2093 meter di atas permukaan air laut membuat atmosfer Dieng selalu dingin.

Saat sore tiba, maka saksikanlah pemandangan menarik yaitu serbuan kabut yang turun dari puncak-puncak gunung. Tunggu beberapa saat hingga waktu maghrib tiba, maka daratan cawan ini akan penuh terisi oleh kabut tebal.

Dingin itu sudah pasti, maka bagi traveler kota seperti saya, memakai baju berlapis jaket tebal adalah wajib hukumnya. Penduduk lokal lebih suka mengurungkan tubuhnya di balik sarung, menyembunyikan pipi merah mereka dalam kelambu kain bermotif kotak. Seperti deskripsi orang Sawang dalam novel Laskar Pelangi, membuat saya berpikir ternyata orang laut dan gunung sama saja, mereka suka bersembunyi di balik sarung.



Beberapa sumber menyebutkan bahwa kata ‘Dieng’ berasal dari bahasa Sansekerta, namun ada pula yang menyatakan bahwa kata tersebut diambil dari bahasa Sunda Kuno. ‘Di’ yang berarti tempat, dan ‘Hyang’ adalah Dewa. Entah mengapa orang zaman dahulu memberi nama seperti itu, mungkin ini adalah sebuah tempat yang paling pas bagi dewata dan manusia untuk bertemu; tidak terlalu jauh dari langit tapi masih bisa digapai para petapa.

Memang pada masanya ini adalah sebuah dataran suci dimana para brahmana Hindu bersemadi mengasingkan diri menjalin koneksi dengan para dewa dewi. Syahdan Dieng adalah tempat paling populer bagi para petapa muda untuk menempa jiwa. Jejak sejarahnya masih bisa dilihat hingga hari ini, salah satunya adalah sebuah rekonstruksi pondokan yang digunakan sebagai tempat mengaso para brahmana, situs ini bisa kita temui di pelataran Candi Arjuna.


Saya membayangkannya sebagai sebuah Shambala, kota suci yang banyak dicari para avonturir zaman pertengahan. Sebetulnya ini adalah sebuah hikayat purba tentang tempat bersemayam para manusia suci yang jauh dari angkara murka duniawi, mungkin semacam miniatur surga yang ada di bumi. Sebuah utopia.

James Redfield, dalam novelnya, The Secret of Shambala, menggambarkan kota di atas awan ini penuh dengan kedamaian abadi dan ilmu pengetahuan murni, hanya bisa digapai para pencari kebenaran sejati. Mitos ini akhirnya banyak melahirkan ekspedisi pencarian hebat yang selalu gagal. Ada yang menyebut kota mitikal ini terletak di sekitar kawasan Himalaya dan Afghanistan. Sementara Anand Khrisna dalam novel spiritualnya, Shambala, lebih suka memperkirakan gerbangnya terletak di India Utara yang penuh hutan pinus.

Saya pribadi, sudah bisa merasakan aura Shambala kecil di Dieng. Apalagi alunan world music berupa komposisi tabla yang indah dan magis milik Ravi Shankar dan Deepak Ram terus menerus mengalun dari MP3 Player, melengkapi perjalanan saya dalam merasakan aura magis yang terserak dalam sejarah panjang Dieng. Tak salah lagi, ini adalah tempat yang tepat bagi Anda para penganut New Age untuk menghabiskan waktu.

Namun Dieng hari ini tidak lagi menjadi jujukan para peziarah saja, sudah banyak pelancong yang datang dan pergi setiap saat. Konon, kawasan plateau ini sendiri sudah populer sebagai tempat berlibur sejak zaman kiwari. Hal ini tersebut dalam salah satu tembang di Serat Centhini, sebuah literatur Jawa Kuno yang dibuat pada abad ke 19. Serat kuno ini pula yang menginformasikan keberadaan tiga candi yang sudah lenyap dan tidak diketahui lagi letaknya di masa kini, yaitu Candi Duryudana, Candi Dahyang Durna dan Candi Sakuni.


Memang di wilayah Dieng banyak sekali candi Hindu peninggalan Dinasti Sanjaya yang diberi nama berdasarkan tokoh wayang yang diambil dari Kitab Mahabarata, seperti Candi Arjuna, Candi Sembrada, Candi Srikandi, Candi Puntadewa. Selain itu masih ada beberapa kompleks candi lain di kawasan Dieng, seperti Gatutkaca dan Dwarawati. Dari berbagai peninggalan ini diketahui pula bahwa dahulu masyarakat Dieng adalah pemuja Dewa Siwa. Hal ini tampak pada relief candi tersebut maupun prasasti-prasasti peninggalan yang kini diletakkan dalam Museum Kailasa.

Tempat konservasi berbagai artefak budaya yang terletak di depan kompleks Candi Arjuna ini memang baru, diresmikan oleh pemerintah pada tahun 2008 silam. Museum yang tergolong rapi dan bersih dengan bentuk bangunan modern ini juga menyuguhkan pemutaran film berdurasi pendek yang menceritakan tentang Dieng dan berbagai fenomena alam serta budaya di dalamnya. Berbagai artefak dan prasasti ditata dan dirawat dengan baik. Masuk museum Kailasa pada hari biasa dikenakan tiket 20.000 per orang.


Dari museum ini pula didapatkan berbagai cerita mengenai penduduk lokal Dieng yang kebanyakan berprofesi sebagai petani. Selain kentang sebagai komoditi utama pertanian, Dieng juga dikenal sebagai penghasil buah Carica yang memiliki rasa khas dan menyegarkan. Walaupun masuk dalam famili pepaya, namun pohon ini hanya bisa tumbuh dan berbuah dalam lingkungan bertemperatur rendah. Oleh penduduk setempat, buah ini kemudian diolah dan dikemas menjadi manisan, selai atau sirup Carica, menjadi buah tangan utama wisatawan yang berkunjung ke Dieng.

Melihat matahari terbit adalah kegiatan yang kudu dilakukan. Wisatawan dapat menikmati dua model sunrise sekaligus di Dieng, sebuah hal yang mungkin tidak bisa didapatkan dari daerah lain, yaitu golden sunrise dan silver sunrise.

Seperti namanya, golden sunrise, cahaya matahari yang berpendar keemasan muncul di sela-sela pegunungan. Pemandangan ini dapat disaksikan melalui gardu pandang di Desa Tieng ataupun lebih tinggi lagi yaitu dengan mendaki Bukit Sikunir yang lebih dulu tersohor di kalangan wisatawan mancanegara itu. Bukit ini berada di Desa Sembung, sebuah desa tertinggi di kawasan Dieng Plateau. Sedangkan fenomena silver sunrise yang muncul sekitar pukul tujuh pagi dapat dinikmati di kompleks Candi Arjuna, 30 menit dari Bukit Sikunir.

Menyaksikan matahari terbit dari Bukit Sikunir seakan turut merasakan betapa magisnya tempat semayam para dewa ini. Sinar matahari yang merekah mampu mengalahkan lelah dan dingin yang dirasakan ketika mendaki bukit ini. Dari puncak ini juga dari kejauhan terlihat Puncak Merapi, Gunung Sumbing serta Gunung Sindoro yang menjulang di antara selimut empuk awan putih, layaknya kumpulan arum manis yang menggenang. Ini adalah sebuah pemandangan yang tidak akan bisa disaksikan setiap hari, terlebih lagi di musim hujan. Lalu ketika matahari telah benar-benar bangun dari tidurnya, mata Anda akan dimanjakan dengan menyaksikan deretan panjang bukit-bukit hijau di sekeliling Sikunir ini. Tak ada lagi yang saya rasakan ketika berada di desa ini, selain benar-benar seperti berada di kahyangan.


Mencapai puncak Sikunir sebenarnya bukanlah hal yang susah karena tidak memerlukan peralatan atau ketrampilan khusus. Namun, udara dingin yang menyesakkan hingga kondisi jalan setapak yang licin, curam dan gelap adalah hal yang cukup merepotkan sekaligus menguras tenaga. Untuk itu kondisi tubuh yang fit dan alas kaki yang tepat harus benar-benar dipersiapkan dengan baik sebelum memutuskan untuk mengejar matahari dari bukit ini.

Di kawasan Dieng Plateau juga dapat ditemukan beberapa kawah yang masih aktif mengeluarkan gas dan lumpur panas. Beberapa diantaranya yang sempat saya kunjungi adalah Kawah Sikidang dan Sileri.

Bau belerang yang menyengat sudah dapat tercium dari pintu masuk kawasan kawah Sikidang. Konon kata Sikidang sendiri berasal dari kata ‘kidang’ dalam ahasa Jawa yang berarti kijang. Dinamakan seperti itu karena keluarnya gas dan lumpur panas di kawasan ini sering melompat-lompat berpindah dari satu titik ke titik yang lain, seperti langkah seekor kijang.



Pemandangan yang lebih menakjubkan lagi akan tampak ketika berdiri beberapa meter dari bibir kawah Sileri. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan lumpur panas mendidih yang luasnya sekitar dua hektar. Kawah Sileri tercatat beberapa kali pernah meletus dan menyemburkan lumpur panas tersebut ke udara dengan ketinggian yang tidak terukur. Wisatawan memang hendaknya harus ekstra hati-hati jika melakukan kunjungan ke beberapa kawah yang masih aktif ini, antara lain dengan tidak mendekat ke bibir kawah, tidak melewati pembatas dan tidak merokok di area sekitar kawah.



Selain kawah aktif, terdapat juga sebuah kawah mati yang terisi air sehingga menyerupai sumur raksasa karena diameternya yang sangat besar yakni melebihi 90 meter dan kedalaman ratusan meter. Sumur ini dinamakan Sumur Jalatunda. Beberapa orang percaya bahwa air sumur tersebut mempunyai manfaat lebih sebagai penyembuh. Tidak bisa saya bayangkan bagaimana cara mengambil air dari dalam sumur yang dikelilingin tebing curam ini.

“Sejak dulu saya sering turun ke bawah... kalau-kalau ada orang sakit yang minta air sumur ini,” ujar Pak Muji, pria separo baya yang bersama putri kecilnya berjualan batu di sekitar sumur. Batu-batu tersebut kemudian ditawarkan kepada wisatawan yang datang seharga 500 rupiah per biji. Menurut kepercayaan penduduk setempat, apabila seseorang berhasil melemparkan batu melewati sumur dan menyentuh dinding tebing di seberang, maka apa yang diinginkannya akan terkabul.

Salah satu hal menarik lain yang perlu dilakukan saat bertetirah ke Dieng Plateau adalah bertemu dengan anak-anak berambut gimbal yang ada di Desa Tieng. Sebenarnya mereka adalah anak biasa, tapi sejak lahir rambut mereka gimbal alami, tidak seperti anak normal lainnya. Kasus anak dengan rambut gimbal ini memang sangat unik dan hanya ada di Dieng. Entah bagaimana menjelaskannya secara medis dan saintifik, yang pasti penduduk lokal memiliki versi sendiri terkait dengan rambut gimbal yang menyerang anak desa mereka secara acak.


Versi paling populer menurut kepercayaan masyarakat sekitar, terutama masyarakat Wonosobo, bahwa bocah gembel adalah anak keturunan dan kesayangan dari Kiai Kolodete. Konon sang kiai yang diyakini sebagai leluhur masyarakat Dieng itu juga berambut gembel dan sangat terganggu dengan rambutnya. Karena itu Kiai Kolodete berpesan kepada keturunannya bahwa ia akan selalu menitipkan rambut gembelnya agar dia tenang di akhirat. Masih menurut cerita, Kiai Kolodete sendiri tidak mencukur rambutnya karena sumpahnya, “Hanya akan mencukur rambutnya sampai daerah yang ia bangun maju”.

Tapi anugerah menjadi gimbalese ini tidak bertahan sampai tua. Pada umur tertentu akan diadakan ruwatan khusus untuk memotong rambut si kecil. “Nanti kalo aku udah gede rambutnya mau dipotong,” kata Sinta, seorang anak perempuan berambut gimbal yang saya ajak bicara. Sinta masih sangat kecil, umurnya sekitar empat tahun, sehingga belum cukup umur untuk diruwat. Biasanya proses ruwatan dilakukan saat sang anak mau masuk sekolah.

Setelah prosesi upacara yang melibatkan tetua desa dihelat, maka anak-anak kecil berambut gimbal ini pun terbebas dari rambut yang bergumpal dan berwarna merah itu. Selain bentuknya yang tidak modis, rambut jenis ini juga tidak mungkin disisir.

Satu hal yang pasti jika rambut gimbal ini terus dipelihara, sudah barang tentu akan memupuskan harapan para remaja wanita Dieng untuk menjadi model iklan shampoo di televisi. []

Well, terimakasih buat yang sabar membaca deretan 3000 kata di atas. Versi ringkas tulisan saya dan Ayos Purwoaji ini bisa dinikmati pula lewat majalah Travelongue edisi November 2010. Bisa di-download atau baca online di link ini, atau comot saja free-magz tersebut kalo kebetulan Anda bosan menunggu penerbangan di bandara Soekarno Hatta :)

Nasibmu Kini, Cangkringan...

Wukirsari, Cangkringan, Sleman

Ayook, Cangkringaaan!! Cepet sembuuuh...! Biar keponakan saya bisa sekolah lagi, biar saya bisa menggigil lagi kalau tidur di sana, biar saya bisa main ke sawah lagi, biar bisa melihat puncak merapi lagi tiap pagi...

Duh, merapi... sudah yaa... jangan batuk lagi...

Acha lagi ngungsi :(