Sisa-sisa mendung semalam, masih tampak memayungi langit subuh di Pelabuhan Kartini Jepara. Agustus 2009, adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di musholla kecil di pojokan Taman Kartini ini. Saat itu musholla sedang direnovasi. Saya masih ingat, setahun yang lalu, kamar mandi di sana hanya ada dua buah, dengan kondisi seadanya. Sekarang tempat sholatnya sendiri sudah lebih besar, lengkap dengan beberapa kamar kecil yang tampak baru selesai dibangun.
Saya sendiri ngga nyangka, bisa kembali ke tempat ini sebegitu cepatnya. Rasanya baru kemarin saya lulus sidang skripsi, lalu dua hari kemudian, bersama tiga temen kuliah lainnya, nekad escape ke Karimunjawa dengan modal informasi seadanya. Bertemu dengan Mas Januar di Kapal Muria, keponakan Bu Pupek, seorang wanita Bugis yang saya kenal dari Ayos, yang memiliki sebuah rumah panggung di Pulau Kemujan, satu jam perjalanan darat dari Pelabuhan Karimunjawa.
Rasa capek akibat hampir 15 jam perjalanan dari surabaya, akhirnya tertebus ketika sampai di kediaman Bu Pupek menggunakan pick-up dari pelabuhan. Sudah ada cangkir-cangkir teh hangat dan sepiring roti gula-gula hijau yang menyambut kami. Entah apa nama roti itu, tapi rasanya sangat lezat, terutama ketika dinikmati di pantai depan rumah Bu Pupek sambil menyaksikan segaris bias matahari berwarna merah muda lembut yang menjadi horizon antara laut dan langit. Then we called it: pink sunset at Kemujan.
Dan hari itu, September 2010, saya melihat Kapal Muria lagi, bersandar di tepi pelabuhan Kartini Jepara. Masih teringat pesan singkat dari seorang teman di Jogja bernama Bandeenk, bukan nama sebenarnya, di kala saya sudah siap berangkat ke terminal malam itu untuk berangkat menuju Jepara.
”Pyut, jadi ber-Karimun? Dengan cuaca seekstrim ini?”
Yap, pada kenyataannya satu-satunya faktor yang sempet bikin saya maju mundur untuk berangkat lagi ke Karimunjawa bukanlah uang. Hoho... Alhamdulillah, selalu ada rezeki berkah lebaran dan rajin beli takjil tepat waktu... Namun persoalan yang lebih penting untuk dipertimbangkan adalah cuaca...
Cuaca memang sedang ngga jelas, kadang hujan, kadang panas ngga karuan, kadang angin datang, kadang juga cuma mendung-mendung gloomy. Tapi saya pikir, kalau terus meributkan masalah cuaca, yang ada malah saya ngga jadi berangkat. Alih-alih bertemu teman-teman baru satu tim di Karimunjawa, uang yang saya kumpulkan hasil salam tempel Lebaran mungkin berakhir di salah satu gerai baju di Tunjungan Plaza. Ngga asip. Maka, saya bulatkan tekad, berdoa dan puasa nonton TV beberapa hari, semoga diberi keselamatan dalam kondisi apapun. Amin.
Satu jam sudah kapal Muria meninggalkan pelabuhan Jepara. Siang itu, sangat mendung, dek ekonomi kapal dengan motto Bangga Menyatukan Nusantara ini pun tidak secerah biasanya. Gelap. Setelah lelah berbincang-bincang dengan seorang pengusaha kayu yang duduk di samping, saya pun tertidur. Hingga sebuah suara lantang suara pria menabuh gendang telinga saya.
“KAPAL MIRING KE KIRI, PENUMPANG DIHARAP BERGESER KE KANAN!!!”
Sedetik. Dua detik. Penumpang terkesima mendengarnya, namun ekspresi pria berseragam itu tampak sedang tak main-main. Saya, masih mengantuk, memang merasakan hembusan angin yang terasa berlebihan masuk melalu jendela-jendela kapal. Lalu blaaarrr..... Mendadak semua penumpang berlarian menuju lemari life jacket. Pelampung berwarna oranye mulai bertebaran di mana-mana. Saya dan teman-teman melongo. Bingung harus apa. Bukankah instruksinya, penumpang diharap bergeser ke kanan? Bukan membongkar lemari pelampung?
Seperti biji jagung yang dimasak menjadi popcorn di dalam panci tertutup. Suasana mendadak menjadi sangat riuh. Anak-anak kecil menangis. Kapal sangat gelap, yang tampak terang sekarang hanyalah warna pelampung yang sudah menempel pada badan beberapa penumpang. Hujan mengguyur deras di luar. Saya speechless. Kami berempat memutuskan untuk pindah tempat. Minggir sebelum terinjak-injak kerumunan orang, karena, yah, posisi kami tidak jauh dari yang namanya lemari life jacket itu.
Sebenarnya goyangan kapal ini, tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan yang saya rasakan ketika menyebrang Pulau Sapudi. Dan Irma, salah satu teman saya yang juga pernah mengalami rodeo boat di Sapudi, mengamini hal itu. Tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa juga, selain duduk diam. Tapi memang, suasana terlalu hectic untuk sekedar tenang-tenang saja. Bohonglah kalau ngerasa ngga deg-degan ngeliat pelampung terbang di mana-mana...
Jujur saja, saya itu juga sedang nguantuk luar biasa. Saya juga heran, kok bisa ngantuk di saat-saat genting seperti itu. Saya sandarkan kepala saya di kaki Rina, dan berusaha tidur lagi. Terdengar suara shutter kamera Irma.
”Ini kejadian langka, Mbak... harus diabadikan,” ujarnya polos. Irma memang selalu polos, sodara.
Oh bener juga sih, dokumentasi itu penting. Maka saya meraih Lumix dan mengambil satu dua gambar. Saya lihat Rury duduk di dekat Irma. Mabuk laut dia. Rina tampak was-was memperhatikan orang-orang sekelilingnya. Ini pertama kalinya dia pergi ’jauh’ dari rumah tanpa keluarga. Nah, sekalinya jauh, lah kok ada kejadian seperti ini. Saya turut prihatin. Saya pun deg-degan, Min. Tapi panik ngga akan menghentikan angin yang berhembus.
Seorang pemuda tiba-tiba melemparkan satu pelampung oranye itu pada kami berempat. Rina menangkapnya dengan cepat. Kami berpandangan bingung. Saya-Rina-Irma dan pelampung itu. Ruri masih mabuk laut.
Lalu celetukan Irma membuyarkan kebingungan kami, ”Kalau kapal jatuh, kita semua pegangan Mbak Rina aja.” Dia mengatakan sambil cengar-cengir.
Selang beberapa saat, Bapak berseragam itu datang lagi, lalu berteriak dengan kencang dan menggelegar:
“SIAPA INI YANG NYURUH PAKAI PELAMPUNG??? SAYA KAN BILANG, KAPAL MIRING KE KIRI, PENUMPANG SILAKAN BERGESER KE KANAN!! KARENA BARUSAN ADA ANGIN LEWAT!! JADI BIAR SEIMBANG! AYO LEPAS SEMUANYA! KEMBALIKAN KE LEMARI!! INI PELAMPUNG MASIH BARU!! KEMBALIKAN! TOLONG ABK, MASUKKAN KEMBALI KE LEMARI! NGGA ADA APA-APA, CUMAN ANGIN! SEMUA TENANG! KALAU CUACA MEMBURUK, KITA AKAN KEMBALI KE JEPARA!!”
Seperti kata Nuran dan Ayos, shit always happen! Jangan membayangkan yang indah-indah melulu ketika kita melakukan perjalanan. Kadang justru, hal-hal yang tak terduga seperti ini akan menjadi cerita yang bisa Anda bawa pulang. Tapi tidak sedikit pula yang meninggalkan traumatik hingga membuat Anda kapok traveling.
:)
PS: Alhamdulillah... Kami tiba di Karimunjawa dan pulang lagi ke Surabaya dengan selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar