Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Mata saya terpejam pelan. Bukan, saya bukan sedang menghitung jumlah domba agar cepat terlelap. Saya bahkan tidak ngantuk. Hanya tak tega, ketika melihat jejeran warung nasi Padang di sepanjang jalan raya menuju Cirebon, sedangkan perut saya hampir ngga bisa diajak kompromi. Kosong melompong sedari pagi, sementara bayangan bumbu rendang seakan sudah siap mencecap lidah. Maka saya mencoba untuk terlelap, sembari menghitung berapa warung Ampera yang sudah saya sia-siakan tadi. Hanya dilihat melalui jendela bus saja. Entahlah saya berada di mana saat itu. Indramayu sepertinya.
Beberapa kali mulut saya mengutuk bis ber-AC yang gemar ngetem ini, memasukkan satu demi per satu penumpang, hingga tampak over load. Perut saya lapar. Dan Cirebon tak kunjung sampai. Pengalih perhatian hanyalah TV di dalam bus, yang sedang memutar satu full album seorang artis cilik dengan wajah memelas, menyanyikan berbagai lagu berbahasa Sunda. Sebelumnya, mereka menampilkan Fa’ang dan kawan-kawan sedang plesir ke Mesir sambil membawakan berbagai hits andalan Wali.
Setelah bosen mengomentari berbagai penyanyi di TV itu, temen saya, yang duduk di samping kanan, mulai tertidur. Dia hanya bangun ketika ada suara pengamen masuk ke dalam bus. Menyalakan Mino HD, dan merekam performance mereka dalam sebuah layar kecil. Yap, dia sedang menggilai video dokumenter. Dan jreng, begitu gitar pengamen sampai pada nada terakhir, teman saya lalu mematikan camcorder, melepas kaca matanya, dan melanjutkan ritual tidur yang tertunda. Sigh...
Beberapa kali mulut saya mengutuk bis ber-AC yang gemar ngetem ini, memasukkan satu demi per satu penumpang, hingga tampak over load. Perut saya lapar. Dan Cirebon tak kunjung sampai. Pengalih perhatian hanyalah TV di dalam bus, yang sedang memutar satu full album seorang artis cilik dengan wajah memelas, menyanyikan berbagai lagu berbahasa Sunda. Sebelumnya, mereka menampilkan Fa’ang dan kawan-kawan sedang plesir ke Mesir sambil membawakan berbagai hits andalan Wali.
Setelah bosen mengomentari berbagai penyanyi di TV itu, temen saya, yang duduk di samping kanan, mulai tertidur. Dia hanya bangun ketika ada suara pengamen masuk ke dalam bus. Menyalakan Mino HD, dan merekam performance mereka dalam sebuah layar kecil. Yap, dia sedang menggilai video dokumenter. Dan jreng, begitu gitar pengamen sampai pada nada terakhir, teman saya lalu mematikan camcorder, melepas kaca matanya, dan melanjutkan ritual tidur yang tertunda. Sigh...
Di mana persisnya Cirebon itu, saya pun tak tahu. Bukan lupa membuka google map, bukan sengaja ngga browsing dulu. Tapi perjalanan ini bersifat suka-suka saja. So we didn’t plan anything. Sebenernya juga, saya agak-agak males pergi dadakan to nowhere kayak gini. Apalagi saya sudah mengantongi tiket untuk kami pulang menuju Surabaya. Tapi ternyata separo hati saya merindukan traveling yang bener-bener traveling. Not doing some assignments. Just breathing a new atmosphere. And my friend couldn’t stop saying about Cirebon since I met him at Harmoni’s bus shelter. This is such a great temptation!
Dan yeahh, saya pun masuk lubang buaya... Setelah melewati perundingan singkat, kami sepakat untuk tidak menyia-nyiakan tiket pulang yang sudah di tangan. Jadi tema besar perjalanan aneh ini adalah memanfaatkan sisa waktu 24 jam sebelum kereta membawa kami pulang dari Jakarta menuju Surabaya. Seperti sudah digariskan saja, kereta yang akan kami tumpangi itu ternyata dijadwalkan berhenti beberapa menit di Stasiun Cirebon. So, dari sana lah kami akan pulang kembali ke Kota Pahlawan.
And here we are... Stuck on the crazy bus. Lebih dari lima jam sejak meninggalkan terminal Pulau Gadung, tapi masih ngga jelas kapan bisa menjejakkan kaki di Cirebon. Jika ditempuh dengan kereta, maka Gambir-Cirebon hanya berjarak tiga jam saja, dengan selembar tiket seharga 90.000 rupiah. Yeah, problema utama saat itu terletak pada angka sembilan puluh itu.
So, nikmatilah perjalanan murah Anda, nikmati Tobat Maksiat kebanggaan Wali, nikmati segala detil ngetem dan kelaparan yang Anda rasakan. Then I swear by the moon and the star in the sky, sesampainya di Surabaya saya akan makan malam berupa sebungkus nasi Padang dan teh botol Sosro. Period.
Dan yeahh, saya pun masuk lubang buaya... Setelah melewati perundingan singkat, kami sepakat untuk tidak menyia-nyiakan tiket pulang yang sudah di tangan. Jadi tema besar perjalanan aneh ini adalah memanfaatkan sisa waktu 24 jam sebelum kereta membawa kami pulang dari Jakarta menuju Surabaya. Seperti sudah digariskan saja, kereta yang akan kami tumpangi itu ternyata dijadwalkan berhenti beberapa menit di Stasiun Cirebon. So, dari sana lah kami akan pulang kembali ke Kota Pahlawan.
And here we are... Stuck on the crazy bus. Lebih dari lima jam sejak meninggalkan terminal Pulau Gadung, tapi masih ngga jelas kapan bisa menjejakkan kaki di Cirebon. Jika ditempuh dengan kereta, maka Gambir-Cirebon hanya berjarak tiga jam saja, dengan selembar tiket seharga 90.000 rupiah. Yeah, problema utama saat itu terletak pada angka sembilan puluh itu.
So, nikmatilah perjalanan murah Anda, nikmati Tobat Maksiat kebanggaan Wali, nikmati segala detil ngetem dan kelaparan yang Anda rasakan. Then I swear by the moon and the star in the sky, sesampainya di Surabaya saya akan makan malam berupa sebungkus nasi Padang dan teh botol Sosro. Period.
ahahahha... saya sedang makan nasi padang loh mbak ! yummmyy :p
BalasHapus