Pertama kali melihat anak-anak kecil berpakaian seperti lebah, pikiran saya langsung menembus YouTube, video klipnya Blind Melon yang juga menggunakan model manusia dewasa berkostum hampir sama dengan mereka; bee girl. Maka intro lagu berjudul No Rain tersebut mendadak berdengung pelan di telinga saya.
Itu adalah malam kedua kami di Sapudi. Listrik baru menyala beberapa saat lalu. Sapudi merupakan satu dari sekian banyak pulau kecil di Indonesia yang hanya mendapat asupan listrik di malam hari. Kami berempat, saya, Nurul, Nuran dan Ayos baru saja santap malam berupa nasi, sate ayam dan mie instan di rumah Pak Harto. Menu ternikmat setelah menahan lapar seharian.
Jinggan dan Nanda, kedua bocah Sapudi, tidak membiarkan kami leha-leha begitu saja di dalam rumah setelah makan. Mereka dengan semangat mengajak kami keluar menuju salah satu taman kanak-kanak di daerah tersebut. Katanya sedang ada pesta perpisahan murid di TK tersebut. Ah, agak malas sebenarnya. Kami capek dan ngantuk luar biasa saat itu. Padahal sih baru jam 7 malam. Ngik ngok.
Tapi ya sudahlah, kami turuti saja kemauan anak-anak kecil itu. Jalanan di depan rumah Pak Harto sendiri sudah diramaikan oleh orang-orang yang berjalan menuju hajatan di TK tersebut. Pria dewasa menggunakan batik dan peci hitam. Ibu-ibu beradu dandan mengenakan setelan terbaik yang sudah disetrika hingga licin. Sedangkan Nurul, Ayos dan Nuran hanya menggunakan kaos oblong dan celana sedengkul.
Karena tidak berpakaian sepantasnya, awalnya kami hanya melihat pentas TK itu diluar pagar saja, berdesakan bersama dengan para warga yang bukan merupakan wali murid dan undangan acara tersebut. Tapi serombongan anak kecil berpakaian binatang menarik minat kami untuk masuk ke dalam dengan pedenya. Intinya sih pengen motret bentar, terus balik keluar gitu.
Setelah minta ijin memotret, Ayos mendapatkan model ‘anak sapi’ yang dia mau. Awalnya malah seorang ibu ingin mengerahkan semua ‘pasukan sapi’ yang ada untuk difoto. Hwaduh!
Sapudi adalah pulau yang terkenal sebagai penghasil sapi-sapi Madura berkualitas tinggi. Konon, tradisi karapan sapi pun bermula dari pulau kecil yang terletak di timur Kabupaten Sumenep ini. Alih-alih berwarna merah seperti sapi Madura asli, anak-anak TK ini malah diberi kostum berwarna pink. Hahaha… Yah, nyerempet dikit lah ya… Saya ingat, mereka juga mengenakan legging pink ber-merk BeBe yang sangat sering ditemukan di Factory Outlet beraliran House Music lantai 4 Tunjungan Plaza Surabaya. Gahul abisss!
Setelah puas mendapatkan oleh-oleh satu dua gambar, kami pun berniat kembali ke tempat semula. Eh tapi, seorang ibu malah menarik tangan saya, mempersilahkan kami masuk ke dalam acara. Karena kami merasa tidak memiliki anak yang sedang bersekolah di TK tersebut, awalnya kami menolak secara halus. Tapi semakin saya bilang tidak, semakin kencang tarikan si Ibu. Well, well, agak malu-malu karena salah kostum akhirnya kami mengambil tempat duduk di pinggiran dekat panggung, bersama dengan si kecil Jinggan dan Nanda juga yang berperan sebagai anak wali kami berempat. Haha!
Acara dibuka oleh dua orang bocah cilik, laki dan perempuan yang kostumnya ngga kompakan, mengucapkan salam dengan nada khas anak sekolahan. Saya dan teman-teman pun sering melantunkan salam seperti itu menyambut kedatangan bapak ibu guru ketika memasuki kelas pas jaman SD dulu. Diucapkan sekeras dan secempreng mungkin. Setelah pembukaan, giliran anak-anak kecil berseragam olah raga dan berlipstik agak berlebihan, yang memamerkan kelihaian mereka dalam ber-SKJ (Senam Kesegaran Jasmani) di atas panggung.
Sebenernya kami berniat untuk kembali ke rumah Pak Harto saat itu untuk beristirahat setelah mengelilingi Pulau Sapudi seharian. Tapi, saya heran, setiap kami berpamitan, ibu-ibu di sana tak kalah semangat melarang kami pulang. Yasudahlah, untuk menghargai keramahtamahan penduduk Sapudi, maka kami sepakat untuk meninggalkan acara setelah melihat performance pasukan Sapi and the Queen Bee. Sayangnya, hajatan ini mulai membosankan karena kami harus mendengarkan sambutan panjang kali lebar dari beberapa petinggi sekolah dan daerah tersebut. Membuat mata kami yang sudah ngga kuat melek ini, menjadi lebih ngantuk luar biasa. Diam-diam kami pun kabur dari sana dan pamit seadanya. Hehe...
Entah perasaan kami saja atau gimana, tapi waktu terasa berjalan lambat selama di Sapudi. Rasanya sudah maleeeem banget, hingga mata kami ngga mampu berkompromi, tapi lah kok setelah dicek ternyata masih belum jam sembilan!
“Ya Tuhaaan, sek jam songo?? Ayo dugem sek ae lek ngene…!” ajak Ayos lemes, sambil tetap menggelar sleeping bag. [Ya Tuhan, masih jam sembilan? Ayo dugem dulu aja…]
"Aku digegeri Jim Morrison iki lek yamene wes turu...” sambung Nuran. [Aku dimarahi Jim Morrison kalo jam segini uda tidur...]
Namun apapun itu, ngga sampai 10 menit, suara ocehan mereka pun tak terdengar lagi. Just sleeping with their own beauty.
All I can say is that my life is pretty plain
I like watching the puddles gather rain
And all I can do is just pour some tea for two
And speak my point of view
But it's not sane, it's not sane
I like watching the puddles gather rain
And all I can do is just pour some tea for two
And speak my point of view
But it's not sane, it's not sane
Jinggan dan Nanda, kedua bocah Sapudi, tidak membiarkan kami leha-leha begitu saja di dalam rumah setelah makan. Mereka dengan semangat mengajak kami keluar menuju salah satu taman kanak-kanak di daerah tersebut. Katanya sedang ada pesta perpisahan murid di TK tersebut. Ah, agak malas sebenarnya. Kami capek dan ngantuk luar biasa saat itu. Padahal sih baru jam 7 malam. Ngik ngok.
Tapi ya sudahlah, kami turuti saja kemauan anak-anak kecil itu. Jalanan di depan rumah Pak Harto sendiri sudah diramaikan oleh orang-orang yang berjalan menuju hajatan di TK tersebut. Pria dewasa menggunakan batik dan peci hitam. Ibu-ibu beradu dandan mengenakan setelan terbaik yang sudah disetrika hingga licin. Sedangkan Nurul, Ayos dan Nuran hanya menggunakan kaos oblong dan celana sedengkul.
Karena tidak berpakaian sepantasnya, awalnya kami hanya melihat pentas TK itu diluar pagar saja, berdesakan bersama dengan para warga yang bukan merupakan wali murid dan undangan acara tersebut. Tapi serombongan anak kecil berpakaian binatang menarik minat kami untuk masuk ke dalam dengan pedenya. Intinya sih pengen motret bentar, terus balik keluar gitu.
Setelah minta ijin memotret, Ayos mendapatkan model ‘anak sapi’ yang dia mau. Awalnya malah seorang ibu ingin mengerahkan semua ‘pasukan sapi’ yang ada untuk difoto. Hwaduh!
Sapudi adalah pulau yang terkenal sebagai penghasil sapi-sapi Madura berkualitas tinggi. Konon, tradisi karapan sapi pun bermula dari pulau kecil yang terletak di timur Kabupaten Sumenep ini. Alih-alih berwarna merah seperti sapi Madura asli, anak-anak TK ini malah diberi kostum berwarna pink. Hahaha… Yah, nyerempet dikit lah ya… Saya ingat, mereka juga mengenakan legging pink ber-merk BeBe yang sangat sering ditemukan di Factory Outlet beraliran House Music lantai 4 Tunjungan Plaza Surabaya. Gahul abisss!
Setelah puas mendapatkan oleh-oleh satu dua gambar, kami pun berniat kembali ke tempat semula. Eh tapi, seorang ibu malah menarik tangan saya, mempersilahkan kami masuk ke dalam acara. Karena kami merasa tidak memiliki anak yang sedang bersekolah di TK tersebut, awalnya kami menolak secara halus. Tapi semakin saya bilang tidak, semakin kencang tarikan si Ibu. Well, well, agak malu-malu karena salah kostum akhirnya kami mengambil tempat duduk di pinggiran dekat panggung, bersama dengan si kecil Jinggan dan Nanda juga yang berperan sebagai anak wali kami berempat. Haha!
Acara dibuka oleh dua orang bocah cilik, laki dan perempuan yang kostumnya ngga kompakan, mengucapkan salam dengan nada khas anak sekolahan. Saya dan teman-teman pun sering melantunkan salam seperti itu menyambut kedatangan bapak ibu guru ketika memasuki kelas pas jaman SD dulu. Diucapkan sekeras dan secempreng mungkin. Setelah pembukaan, giliran anak-anak kecil berseragam olah raga dan berlipstik agak berlebihan, yang memamerkan kelihaian mereka dalam ber-SKJ (Senam Kesegaran Jasmani) di atas panggung.
Sebenernya kami berniat untuk kembali ke rumah Pak Harto saat itu untuk beristirahat setelah mengelilingi Pulau Sapudi seharian. Tapi, saya heran, setiap kami berpamitan, ibu-ibu di sana tak kalah semangat melarang kami pulang. Yasudahlah, untuk menghargai keramahtamahan penduduk Sapudi, maka kami sepakat untuk meninggalkan acara setelah melihat performance pasukan Sapi and the Queen Bee. Sayangnya, hajatan ini mulai membosankan karena kami harus mendengarkan sambutan panjang kali lebar dari beberapa petinggi sekolah dan daerah tersebut. Membuat mata kami yang sudah ngga kuat melek ini, menjadi lebih ngantuk luar biasa. Diam-diam kami pun kabur dari sana dan pamit seadanya. Hehe...
Entah perasaan kami saja atau gimana, tapi waktu terasa berjalan lambat selama di Sapudi. Rasanya sudah maleeeem banget, hingga mata kami ngga mampu berkompromi, tapi lah kok setelah dicek ternyata masih belum jam sembilan!
“Ya Tuhaaan, sek jam songo?? Ayo dugem sek ae lek ngene…!” ajak Ayos lemes, sambil tetap menggelar sleeping bag. [Ya Tuhan, masih jam sembilan? Ayo dugem dulu aja…]
"Aku digegeri Jim Morrison iki lek yamene wes turu...” sambung Nuran. [Aku dimarahi Jim Morrison kalo jam segini uda tidur...]
Namun apapun itu, ngga sampai 10 menit, suara ocehan mereka pun tak terdengar lagi. Just sleeping with their own beauty.
Huahahaha
BalasHapusAda perlu apa kmu ke Madura Put?
BalasHapushahahahaha, cuma blogwalkin, =P
BalasHapusoohhh sapudiiii:D
BalasHapusHahahaha, Sapudi yang ramah dan juga tamah :D oh yo, video klip no rain itu modelnya bukannya anak2 ya? trus, ada sekuelnya, video klipnya Blind Melon yang judulnya Tones of Home.
BalasHapusDi video itu, si anak kecil itu udah jadi nenek tua yang hidup sebatang kara, trus suatu hari dapat paket kiriman baju lebah itu. Terus dia nari-nari tarian yang ada di lagu No Rain itu. Funny :D
@augene: ini travelogue lama, Gen... pengen mengenang wae hehehe...
BalasHapus@nuran: eh itu anak2 ya? kayak orang dewasa :))