Selasa, 28 Februari 2012

Dock


"Spot pacaran di Sumba yang enak di mana, Put?" Seorang teman bertanya pada saya, malam ketika saya mengantarnya menuju Stasiun Pasar Turi. 
Saya mikir agak lama, dan akhirnya tidak menjawab juga pertanyaan itu. Mungkin memang bagi saya tidak ada spot macem itu selama saya di Sumba. Lagian, definisi spot pacaran yang enak tuh bagaimana sih?
Selama di Sumba Timur, saya cukup sering menghabiskan waktu di Dermaga Lama. Dermaga Sejuta Umat, saya menambahkannya demikian ketika pertama kali bertandang. Di sini memang banyak orang berjejer menghabiskan waktu kala fajar dan senja datang. Ada yang berolahraga, memancing, mengajak kudanya jalan-jalan atau sekedar duduk-duduk santai. 
Dermaga ini memang tidak terlalu bagus. Lagian ini toh hanya sebuah dermaga lama, di mana dermaga baru kemungkinan fasilitasnya lebih memadai. 
Tapi tempat-tak-eksotik ini saya putuskan untuk menjadi tempat tongkrongan paling enak. Duduklah sore-sore di tepiannya, siapkann sekaleng Soya Bean Naraya, dan seperangkat pemutar musik. Pasang headphone di telinga, lalu mainkan To Build Home-nya Cinematic Orchestra keras-keras. Repeat again.

Minggu, 26 Februari 2012

Batas

Sebenarnya, batasan itu harus dilewati atau sekedar diketahui untuk lalu berhenti?
Yea, I'm so sick to think about it!

Senin, 06 Februari 2012

Hello, Mr. Deer!



Baluran merupakan salah satu dari puluhan taman nasional yang berjejer di sepanjang Nusantara. Letaknya di ujung paling timur Pulau Jawa dengan luas 25000 hektar, di mana hampir setengah bagiannya berupa padang prairi. Struktur tanah yang unik dan rendahnya curah hujan membantu Baluran berevolusi selama jutaan tahun menjadi hamparan savana. Sebuah iklim yang unik dibandingkan dengan Jawa yang sebagian besar beriklim tropis.

Namun justru lanskap inilah yang biasanya diburu oleh pengunjung Baluran. Raga boleh saja berada di Jawa Timur, namun berdiri di antara padang savana yang menguning, di atas retakan tanah tandus ratusan akre, dengan puluhan satwa liar yang berlalu-lalang mampu melayangkan imaji seakan berada di tengah padang Afrika.

Hampir semua sumber mengatakan bahwa kunjungan terbaik ke Taman Nasional Baluran adalah saat kemarau panjang. Pada musim kering ini Baluran akan berubah menjadi sepotong Afrika yang ada di Pulau Jawa. 

Karena ini musim hujan, maka bisa jadi keberangkatan saya dan seorang teman perjalanan menuju Baluran seperti sedang bertaruh dengan alam. Kondisi cuaca yang tidak menentu dan cenderung hujan setiap hari membuat saya was-was, apakah saya bisa merasakan sensasi alam baluran di musim hujan? 
Dengan menempuh delapan jam perjalanan dari Surabaya, kami pun memutuskan berangkat menggunakan bus umum jurusan Situbondo. Karena ini sebuah pertaruhan, maka bayangan Baluran di kala musim penghujan tak hentinya menghantui sejak berangkat dari rumah.
Swiss Winasis, seorang teman yang juga menjabat sebagai petugas Pengendali Ekosistem Hutan taman nasional ini, menyambut kedatangkan kami dengan agak pesimis. "Kalau hujan-hujan seperti ini, jarang ada hewan yang keluar ke savana. Mereka sudah punya asupan air dari hutan, jadi tidak perlu repot jalan keluar,” kata Swiss.
Swiss bercerita panjang lebar tentang saat pertama kami tiba di Batangan, pos masuk taman Nasional Baluran. “Kalo musim hujan, yang bertambah banyak ya kupu-kupu, karena bunga-bunga sedang bermekaran," sambung Swiss yang sudah tiga tahun bertugas di Baluran itu.
Saya tidak perlu meragukan kebenaran teorinya lagi. Deru suara motor bebek yang kami sewa sepertinya berhasil mengejutkan ratusan kupu-kupu yang tengah berjemur di sepanjang  evergreen, yaitu sebuah kawasan yang tidak pernah mengering sepanjang tahun. Selalu tampak hijau dan terasa teduh. Kawasan ini memang sebuah keajaiban di tengah iklim Baluran yang kering kerontang.
Kupu-kupu kecil ini melayang spontan, berhamburan. Sayap-sayapnya menampar lembut wajah saya yang tak kalah kaget melihat banyak spesies cantik multiwarna di udara. Tak lama setelah motor yang saya tumpangi lewat, gerombolan Ornithoptera itu tampak kembali mendaratkan kaki-kaki rapuhnya di tempat semula. Melanjutkan aktivitasnya yang sempat terganggu oleh kedatangan kami.
Motor bebek kembali melaju menembus jalanan basah yang permukaannya dipenuhi guguran bunga-bunga kecil berwarna merah muda. Di sisi kiri terlihat bayangan Gunung Baluran yang tampak semakin dekat. Sementara awan mendung yang sedari tadi bergulung menurunkan hujan, sedikit demi sedikit tergeser oleh cahaya matahari senja.
Sambil terus menembus hutan, menghirup sisa aroma tanah yang menguar bekas hujan menjadi kenikmatan adiktif tersendiri bagi saya. Hingga seekor elang besar tiba-tiba melintas rendah, merentangkan sayap lebarnya di atas kepala, mengagetkan kami. Disusul dua-tiga ekor kelelawar besar yang tampak mulai bergegas mencari makan. Perasaan saya campur aduk. Kaget dan takjub melebur menjadi satu saat itu.
Menyusul beberapa meter di depan, sepasang ayam hutan berwarna hijau terlihat berjalan hilir mudik memamerkan bulu warna-warni yang menutupi tubuhnya. Karena tak mau ketinggalan moment ini untuk diabadikan, mesin motor kemudian dimatikan pada jarak yang lumayan jauh.
Saya berjalan mengendap-endap seperti pencuri demi menemukan lokasi terdekat yang tepat untuk memotret duet ayam fashionista ini. Cara seperti ini memang harus dilakukan sebelum satwa yang kita incar menyadari adanya manusia di sekitar sana. Dan benar saja, setelah mengambil beberapa gambar, ayam-ayam ini terbirit-birit merangsek masuk ke hutan begitu mendengar suara berisik mendekat. Ada pula yang buru-buru hinggap ke atas ranting pohon. Baru kali ini saya melihat ada ayam bisa terbang setinggi itu lalu berkokok keras di sela-sela rimbunnya pohon.
Konon pada medio 1950, kaisar Jepang pernah berkunjung ke Baluran hanya untuk melihat ayam hutan. Saat itu para ranger sibuk mengatur bagaimana ayam-ayam ini bisa keluar saat sang kaisar melintas. Akhirnya ditaburkanlah biji jagung di sepanjang rute sang kaisar. Ayam-ayam mungil berkaki pendek ini pun muncul. Dengan rakus mereka melahap biji jagung yang disebar itu. Dan membuat mereka acuh pada Kaisar yang sedang melintas.
Meninggalkan evergreen, lagi-lagi saya harus dibuat ternganga oleh seekor merak hijau yang kepalanya timbul tenggelam di antara ladang bunga Kapasan. Saat kami mendekat, merak cantik itu tersadar dan langsung terbang tanpa mengizinkan shutter kamera saya menangkap gambar untuk saya bawa pulang. Ah, ini memang bukan kebun binatang, di mana saya bisa dengan mudah memotret satwa dalam kurungan.
Karena memiliki keragaman tipe hutan, hal tersebut menarik berbagai jenis burung untuk membangun habitat di taman nasional ini. Tentu ini menjadi semacam surga tersendiri bagi mereka para pelancong yang suka melakukan birdwatching. Tentu tak cukup mengkhatamkan Baluran yang seluas ribuan hektar hanya dalam satu atau dua hari, apalagi jika benar-benar ingin melihat 190 species burung yang ada.
Saya tidak bisa membayangkan lalu lintas keramaian satwa liar yang muncul ketika kemarau, tiba, seperti yang orang-orang banyak ceritakan. Saat musim seperti ini saja, sudah banyak burung-burung berwarna-warni terbang bebas di kanan kiri. Seperti mencemooh kamera saya yang kesulitan menangkap gambaran mereka. Ini bahkan belum setengah hari kami berada di sini. Saya pun mulai merasa bahwa tidak ada yang salah dengan Baluran di kala musim hujan.
***
Jantung Taman Nasional Baluran terletak pada savana Bekol. Membutuhkan waktu hampir satu jam dengan kendaraan bermotor untuk mencapainya terhitung dari pos pintu masuk di Batangan. Savana ini merupakan tempat berkumpul segala jenis satwa pada musim kemarau, termasuk spesies langka seperti Banteng Jawa yang merupakan maskot Taman Nasional Baluran. Semua berpusat di Bekol karena hanya savana ini yang masih memiliki genangan air di masa kering.
Saya sendiri belum pernah melihat banteng secara langsung kecuali di televisi. Selama di Baluran pun, saya tidak menemukan satwa tersebut kecuali fosil kepala banteng dan kerbau liar dipajang tak berdaya di dinding sebuah pos ranger. Dengan kepala sebesar itu, saya hampir bisa membayangkan seperti apa ukuran tubuh mereka. Dua tanduknya begitu runcing, cukup untuk membuat matador yang paling pemberani sekalipun berlari lintang pukang menyelamatkan diri.
Menurut petugas Taman Nasional ini jumlah Banteng Jawa di Baluran sedang berada dalam posisi yang mengkhawatirkan. Selain karena perburuan liar dan predator, salah satu penyebabnya adalah terjadi invasi Acacia nilotica yang merubah feeding ground banteng tersebut.
Pohon akasia berduri ini telah menjadi momok tersendiri bagi kelangsungan hidup Taman Nasional Baluran. Mereka tumbuh subur  dan liar mengalahkan vegetasi asli Baluran, dan akan terlihat semakin segar dan lebat dikala musim hujan tiba. Petugas Taman Nasional bahkan menyebutnya sebagai spesies neraka saking merepotkannya untuk dibasmi.
Walaupun kecil kemungkinan melihat banteng, tapi saya masih berharap bisa bertemu rusa. Nyatanya salah satu alasan yang membuat saya tertarik mengunjungi Baluran adalah sebuah scene dalam film nasional berjudul King. Film garapan Ari Sihasale itu sempat melakukan pengambilan gambar dari helikopter di atas wilayah taman nasional ini. Dalam film tersebut, tampak puluhan rusa berlarian di tengah padang rumput.
Masalahnya saat ini Bekol bukan lagi berupa savana lapang, sejauh mata memandang yang ada hanyalah padang bunga Kapasan dengan latar Gunung Baluran menjulang. Saya semakin ragu untuk bisa bertemu dengan keluarga rusa. Mengingat batang bunga kapasan setingi satu meter lebih. Cukup tinggi untuk menyembunyikan kawanan rusa.
Flora cantik berwarna kuning ini sebenarnya dianggap sebagai tanaman yang mengganggu vegetasi utama di Baluran, yaitu rumput savana. Secara rutin, petugas taman nasional memangkas ribuan batang bunga kapasan demi mengembalikan Bekol menjadi savana seperti sedia kala.
Saya tidak tahu butuh waktu berapa lama untuk membersihkan bunga-bunga seluas ratusan hektar itu. Masalahnya, meski sudah dipotong berulang kali, bunga ini bisa tumbuh lagi dengan cepat.
Saat melintas di samping rerimbunan bunga kapasan, saya melihat beberapa bayangan berwarna cokelat berkelebat. Secara reflek saya berteriak histeris mencoba menghentikan teman yang sedang mengemudikan motor.
“Rusa! rusa! Berhenti! Ada rusa…”
Terkejut dengan komando yang saya berikan. Teman saya menghentikan motor sedapat-dapatnya. Ternyata menekan rem saja tidak cukup di jalan yang licin penuh lumpur itu, apalagi akhirnya kami tahu ban motor ini sudah aus. Alurnya habis sehingga tidak bisa mencengkeram tanah dengan sempurna. Akhirnya kami jatuh terjerembab. Dan tiga pasang rusa yang tadi lari menjadi diam. Memperhatikan kami yang bangun dengan payah.
Saya hanya tersenyum menatap balik tiga rusa itu. “Hello, Mister Deer…,” ucap saya lirih. Rusa-rusa itu bahkan masih saja terdiam beberapa menit, menatap lugu dan tampak terkesima dengan tingkah laku kami.
Tanpa pikir panjang segera saya arahkan lensa tele saya dan menjepret sebisanya. Sepersekian detik kemudian rusa-rusa cantik itu tersadar. Mereka kembali merangsek masuk di rerimbunan bunga kapasan. Tentu saja ini adalah pengalaman yang luar biasa. Adventurous. Akhirnya saya bisa bertegur sapa dengan rombongan rusa anggun di sebuah sore yang sempurna.
***
Taman Nasional Baluran ini memiliki berbagai fasilitas menginap yang cukup memadai. Salah satu yang cukup populer adalah sebuah resor di tepian Pantai Bama. Dengan tarif Rp. 350.000 per malam ini adalah harga yang cukup murah bagi sebuah penginapan yang menawarkan konsep perfect hideaway. Tidak ada satu pun sinyal yang bisa ditangkap di pantai ini. 
Pantai Bama adalah salah satu tempat favorit satwa-satwa seperti kijang, kerbau, dan rusa untuk mencari sumber mineral. Pantai ini dipenuhi oleh kelompok kera abu-abu (Macaca fascicularis), dikelilingi oleh hutan mangrove yang lebat, dan menjadi spot terbaik untuk menyaksikan sunrise. Bila air laut sedang tidak pasang, bibir pantai akan berubah menjadi Padang Lamun yang kemudian banyak dimanfaatkan oleh nelayan sekitar untuk mencari berbagai jenis ikan.
Dari pinggir pantai ini pula, saya bisa menyaksikan bayangan rerimbunan hutan Taman Nasional Bali Barat yang tampak dari kejauhan terpisah oleh selat Bali. Pada akhir pekan, pantai ini akan dipenuhi penduduk yang tinggal di sekitar taman nasional untuk berwisata.
Saat tiba di Pantai Bama, kami direpotkan oleh serangan empat ekor kera dewasa. Saya sontak kebingungan ketika melihat gerombolan kera abu-abu ini berhasil menyandera ransel merah milik teman perjalanan saya. Suara sobekan kain ransel menyadarkan saya bahwa mereka sedang tidak bercanda. Apalagi ketika seekor pejantan memamerkan taring tajamnya, menyeringai. Seperti tahu persis bahwa saya sedang ketakutan saat itu.
Terakhir saya tahu dari Pak Supono, seorang petugas yang menjaga penginapan di Pantai Bama, mengatakan bahwa kera-kera menjadi nakal karena terlalu sering dimanjakan turis. Karena sering diberi makan, timbul keberanian bagi satwa itu untuk memaksa. “Sudah saya bilang, buat pengunjung tidak perlu kasih makan kera, tapi selalu saja diabaikan…” kata Pak Supono.
Setelah ransel yang terkoyak itu berhasil diselamatkan, tanpa perlu pikir panjang lagi kami segera meninggalkan Pantai Bama dan kembali ke savana Bekol untuk bermalam.
Penginapan di Bekol ini cukup murah, satu kamar bertarif Rp. 35.000 rupiah per orang. Dan handphone kami masih bisa menerima sedikit sinyal di daerah ini, meski seringkali timbul tenggelam. Sedangkan listrik hanya bisa dirasakan pada pukul 6 sore hingga 11 malam saja. Lewat dari itu, praktis penginapan dan daerah sekitarnya tampak gelap gulita dan nyaris sunyi senyap jika saja tidak ada suara hewan-hewan liar bersahutan dari dalam hutan.
Sebenarnya jika tertarik, pengunjung bisa melakukan night safari untuk melihat aktivitas satwa nokturnal, seperti gerombolan anjing hutan. Tapi toh kami lebih tertarik mencoba night photography di halaman depan penginapan. Minimnya cahaya membuat Baluran menjadi tempat yang pas untuk merekam pergerakan ribuan bintang dengan foreground berupa bayangan hitam segitiga Gunung Baluran.
Saat fajar menyingsing, hal ternikmat yang bisa saya rekomendasikan adalah berjalan keluar dari penginapan, melemaskan kaki di sepanjang jalan tanah savanna Bekol, atau sekedar menghirup mewahnya kabut pagi. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan racun polusi.
Memotret bulir-bulir air embun yang menggantung di pucuk daun adalah kesenangan saya yang lain. Melihat dari dekat barisan siput-siput berjalan lambat, berhenti untuk mengunyah dedaunan basah dengan sabar menggunakan mulut mereka yang ompong. Dan seketika ketenangan merasuk saat gendang telinga mendengar kicauan burung-burung pagi yang berlalu-lalang.
Sementara itu pucuk-pucuk perdu tampak dikuasai oleh gerombolan burung layang-layang asia (Hirundo rustica) yang bertengger menghangatkan diri. Dan petal-petal bunga Kapasan sendiri masih menguncup, seperti belum puas tertidur lelap setelah diguyur dinginnya air hujan sepanjang sore. Di kejauhan tampak samar pergerakan tanduk-tanduk rusa yang tenggelam oleh rimbunnya kebun bunga kuning ini. Kelompok kera abu-abu juga mulai gemerisik di balik lebatnya pepohonan hingga bergelimpangan di tengah jalan aspal menikmati sinar matahari yang hangat menembus bulu-bulu halus mereka.
Saat fajar menyingsing, maka sekali lagi kehidupan telah kembali di Baluran. Sama seperti siklus ribuan tahun yang lalu, saat manusia belum menjamah taman firdaus ini. Saya bersyukur dalam hati, dan hanya berharap agar siklus ini berjalan lestari. Ribuan tahun lagi. []   
PS: Maturnuwun Ayos Purwoaji atas tambahan foto dalam artikel ini :)