Rabu, 23 Februari 2011

Sekali Lagi Tentang Karapan Sapi




Seorang pemuda belasan tahun tampak resah berdiri di atas kleles ketika anggota tim lainnya berusaha menenangkan sepasang sapi yang akan dikerap. Kedua tangan kecilnya memegang masing-masing sebuah coraco, sebatang kayu berbentuk silinder sepanjang 15 cm yang diselimuti deretan paku-paku kecil. Sementara beberapa kali sapi yang ditungganginya terlihat rewel tak mau diam di garis start.

Rupanya mengatur sapi saat karapan tidak semudah yang dibayangkan. Satu tim biasanya memerlukan bantuan sepuluh hingga dua puluh orang untuk menggiring sapi-sapi balap ini. Butuh waktu hampir setengah jam bahkan lebih untuk membuat sepasang mamalia bertanduk ini benar-benar berada dalam posisi siap berlari.

Dan ketika aba-aba diteriakkan, para anggota tim dengan semangat melemparkan pukulan pecut pada tubuh sapi sebagai pemacu langkah awal. Sementara sang joki, melanjutkan tugas dengan menghantam badan sapi menggunakan coraco hingga mencapai finish. Logikanya, semakin sapi merasa marah karena pukulan tersebut, semakin kencang pula kecepatan berlarinya. Jangan salah, hal-hal seperti ini memang sudah bagian dari tradisi yang susah dihilangkan. Sebuah perlakuan brutal yang akan membuat wisawatan bergidik ngeri ketika pertama kali menonton karapan sapi.

Pagi itu matahari memang belum meninggi, namun panasnya sangat menyilaukan mata dan menyengat kulit-kulit yang telanjang. Ribuan penikmat karapan sapi baik dari Pulau Madura maupun daerah lain, tampak berlalu-lalang di Stadion Sunarto Hadiwijoyo Pamekasan untuk menyaksikan adu balap yang akan memperebutkan sebuah Piala Presiden tersebut. Beberapa memilih menonton dari tribun, sedang yang lain berdiri berdesakan di pinggir lapangan menyaksikan latihan terakhir peserta karapan sebelum acara inti dimulai .

Tanah becek dan genangan lumpur sisa hujan deras semalam rupanya cukup merepotkan penonton. Tak sedikit yang menggulung celana dan tampak berjingkat-jingkat agar alas kaki tidak terjebak di dalam genangan tersebut. Namun, semua itu seakan tidak mengganggu aura euforia di stadion yang sedang menggelar hajatan bertaraf nasional ini. Karapan sapi Piala Presiden yang hanya digelar satu tahun sekali itu, memang merupakan momen yang banyak ditunggu oleh para pemilik sapi kerap, sebagai ajang adu gengsi memperebutkan tahta sebagai yang sapi tercepat se-Pulau Madura.

Tidak gampang menjadi salah satu peserta karapan kali ini. Sebelumnya sapi-sapi tersebut harus mengantongi gelar juara karapan dari tingkat terendah hingga tingkat kabupaten. Enam pasang sapi juara dari masing-masing kabupaten, yaitu Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep, akan mendapatkan tiket untuk beradu di ajang piala presiden. Tercatat dua puluh empat pasang sapi siap unjuk gigi pamer kecepatan berlari. Tak tanggung-tanggung, pemerintah akan menyediakan kendaraan roda empat sebagai hadiah utama.

Nyatanya hadiah semahal apapun bukanlah keinginan utama dalam kompetisi ini. Memenangkan suatu karapan sama halnya dengan mengangkat harkat dan martabat pemilik sapi. Namanya akan bergaung hingga pelosok Madura. Dan hadiah-hadiah tersebut akan dilemparkan begitu saja pada sang joki dan perawat sapi.

Demi sebuah prestise, para pemilik sapi rela mengeluarkan lembaran uang yang jelas tidak sedikit untuk membeli dan memelihara sapi kerap. Seorang lelaki menceritakan pekerjaannya sebagai perawat sapi kepada saya. Pak Halil, begitu ia biasa disapa, yang sudah dua puluh tahun lebih menekuni profesi unik ini.

Sapi kerap memang bukan sapi biasa. Sehari-hari Pak Halil harus memijat dan memandikan sapi kerap yang dititipkan kepadanya dengan menggunakan air hangat. Selain itu, lelaki asli Pamekasan ini yang menyiapkan makanan untuk sapi kerap berupa pohon jagung dan minuman jamu sehat yang ia racik bersama istrinya. Tiap perawat memiliki resep jamu andalan yang berbeda-beda. Namun umumnya, minuman ini terbuat dari campuran rempah-rempah, anggur malaga serta puluhan butir telur ayam kampung.

Bila dinominalkan untuk membuat jamu pada satu sapi kerap saja bisa menghabiskan uang hingga seratus lima pulu ribu rupiah tiap harinya. Lebih mahal makanan sapi kerap ketimbang dengan manusia yang memiliknya. Segala perlakukan istimewa ini dinilai sebanding dengan rasa sakit yang akan diterima akibat pukulan pecut dan coraco pada saat sapi diadu.

“Dua kali seminggu sapi dilatih, waktu larinya dibandingkan dengan juara. Kalau sudah bagus, itu artinya sudah siap dikerap,” ujar Pak Halil. Dahulu memang panitia memberikan batasan usia dan tinggi badan untuk sapi-sapi yang dikerap, namun sejak tahun 2003 peraturan ini dihilangkan. Tidak hanya masalah fisik, umumnya pemilik dan perawat sapi juga mengadakan persiapan secara spiritual ketika akan mengikuti suatu perlombaan. Hal yang sudah lumrah dilakukan dalam karapan sapi di Madura. Semua ini dilakukan agar sapi-sapi kerap dapat menunjukkan hasil yang maksimal di lapangan.

Dengan biaya perawatan yang besar, jangan heran apabila harga seekor sapi kerap bisa mencapai angka yang tidak masuk akal bagi orang awam. Di kediaman Pak Halil, terdapat sapi kerap kecil yang baru berumur 1,5 tahun tetapi sudah ditawar hingga dua ratus juta rupiah. Akan menembus angka yang lebih dari itu apabila sapi-sapi ini mencatat banyak prestasi di lapangan.

Memilih sapi kerap bukan perkara yang mudah untuk dilakukan orang awam. Sepintas memang ciri fisik yang terlihat dari seekor sapi kerap adalah sapi jantan Madura berkulit merah bata, berbadan atletis, dada bidang dan berpunggung lurus. Disini pula letak peran seorang perawat sapi. Konon mereka memiliki kemampuan lebih untuk melihat bibit, bebet, bobot seekor sapi kerap dengan mengandalkan ketajaman naluri.

Karapan sapi piala presiden layaknya pesta rakyat yang ditunggu masyarakat Madura. Sahut-sahutan alunan musik sronen, sebuah alat musik tiup khas Madura, yang dimainkan bergantian dari tenda satu ke tenda peserta yan lain selalu berhasil memancing rasa penasaran wisatawan yang bertandang. Beralaskan tikar sederhana, delapan hingga sepuluh pria tampak bersemangat memainkan kenong, kendang, gong dan kencer. Melantunkan berbagai lagu Madura lengkap dengan mengenakan pakaian tradisional berwarna menyolok dan aksesoris khas melingkar di kepala mereka.

Nyanyian ini sengaja dimainkan dengan volume maksimal untuk menghibur sekaligus mengelu-elukan sapi jagoan mereka. Masuk dalam deretan peserta karapan sapi Piala Presiden memang menjadi kebanggaan tersendiri. Maka tak heran jika para pemilik sapi benar-benar serius menyiapkan segala detil untuk meningkatkan performa tim, seperti menampilkan grup sronen, membuat seragam anggota, hingga menghias tubuh sapi-sapi kerap yang akan beraksi.

Sehari sebelum digelarnya piala presiden ini, alunan musik yang sama juga terdengar di alun-alun kota Pamekasan. Jika para pejantan saling beradu kecepatan melintasi lapangan sepanjang 180 meter, maka sapi-sapi Madura betina unjuk gigi melalui pagelaran Sapi Sono’. Sapi-sapi betina didandani layaknya putri. Digiring mengelilingi lapangan dengan santai sambil mengikuti alunan musik sronen. Kompetisi ini memang mirip dengan pemilihan model. Penilaian dilakukan atas dasar bentuk badan dan cara jalan pasangan sapi tersebut.

Sementara di sudut tenda lain, seorang joki bernama Dayat yang saya kenal dari kediaman Pak Halil, tampak santai bercengkerama dengan anggota tim menanti kompetisi ini dimulai. Tidak ada gurat gelisah dan gugup di wajahnya. Dengan ramah, dia mengizinkan saya mengambil gambar sepasang sapi dari kabupaten Sampang, yang akan bersanding bersamanya di arena balap nanti.

Tumbuh sebagai anak seorang perawat sapi, rupanya membuat pemuda 21 tahun ini tidak asing lagi dengan dunia karapan sapi. Pekerjaan sebagai joki sapi kerap sudah dilakoni semenjak kelas 6 sekolah dasar.

“Kalau jatuh dari sapi itu sudah biasa, hanya lecet saja...,” ceritanya. Selama ini memang, panitia penyelenggara tidak pernah menetapkan batasan usia joki. Adalah hal yang lumrah bagi penduduk Madura melihat banyak anak yang di bawah umur berdiri di atas kleles memacu sapi kerap di lapangan. Mereka beranggapan bahwa semakin ringan tubuh seorang joki, maka semakin kencang pula lari sapi yang dikerap. “Yang penting punya nyali besar,” tambah Dayat sambil tertawa ringan, tampak bangga dengan profesinya.

Cerita rakyat setempat menyebutkan bahwa adu kecepatan lari sapi ini bermula dari Pulau Sapudi. Sebuah pulau kecil berdiameter 35 km yang terletak di timur Kabupaten Sumenep. Pulau ini dikenal sebagai penghasil sapi Madura terbaik hingga saat ini. Menurut penelitian, mamalia dari famili Bovidae di pulau ini disebut-sebut sebagai salah satu sapi ras murni Indonesia.

Lalu sejarah bercerita, bahwa pada abad ke-14, seorang panembahan tersohor di pulau tersebut bernama Adi Poday memperkenalkan metode pertanian menggunakan kleles, sebuah kayu yang digantungkan di leher sapi untuk membajak tanah. Alat ini kemudian berubah fungsi untuk menahan tubuh sang joki dikala balap sapi dilakukan pertanda masa pasca panen tiba. Pada akhirnya, sapi memang menjadi hewan yang spesial di Madura karena dapat membantu mengolah tanah pertanian yang terkenal tandus di daerah tersebut.

Dari pulau kecil yang penuh sapi itulah tradisi ini kemudian menyebar di seluruh pelosok Madura. Karapan yang semula dilakukan hanya untuk sebuah perayaan sebagai luapan kegembiraan pasca panen, menjadi suatu ajang adu kecepatan yang terikat oleh aturan dan kemudian berkembang menjadi simbol budaya dan pariwisata Madura.


1 komentar:

  1. salam kenal,

    unik, dari dulu karapan sapi gak ada matinya..
    sumatera barat juga punya loh, silahkan kunjungi balik untuk paket perjalanannya, dan visit sumatera barat.

    terimakasih

    BalasHapus