Eat like local people!
Tapi, sepertinya Sumba Timur tidak menawarkan banyak perbedaan menu seperti yang saya harapkan. Begitu mendarat di Waingapu, ibukota kabupaten ini, yang saya lakukan selain berteriak histeris ketika melihat kuda di pinggir jalan, adalah mencari makan siang.
"Mau makan apa?" Mas Dian bertanya. Belum sempat menjawab, sederet pilihan makanan seperti pecel, soto, gado-gado meluncur dari mulutnya. Hm, ini saya sudah ribuan kilometer dari Jawa kan ya? Sudah melewati berapa banyak pulau ya tadi dari atas pesawat?
"Di sini kebanyakan pendatang, banyak orang Solo yang buka warung, ada orang Madura yang jual bubur ayam kalau malam. Jadi mau makan apa? Ada bakso arema juga lho..." Saya akhirnya mengiyakan opsi terakhir yang dia sebuatkan. Sebenarnya sih saya sudah kangen lalapan dengan sambal yang pedas dan potongan terong goreng.
"Jangan cari bebek ya, di sini belum ada yang jual," tambahnya sembari terus mengendarai motor. Membelah jalanan Waingapu yang panas-panas menyengat. Lokasi bandara tak jauh dari pusat kota, mungkin hanya sekitar 10 menit saja. Dan hari itu hari Jumat, di mana para pegawai berkewajiban mengenakan batik. Begitu pula Mas Dian. Tentu saja, bakso Arema dan kemeja batik masih belum menguatkan persepsi saya tentang tanah Marapu.
*
Siang yang terik, tiba-tiba berubah menjadi sore yang mendung. Kami tetap melajukan motor pinjaman itu, ke arah dermaga lama Waingapu. Tempat yang kemudian saya juluki dermaga sejuta umat. Saya selalu merindukan perjalanan yang tanpa embel-embel kerja. Tak perlu buru-buru mengejar entah itu momen penting, sunset, sunrise. Saya rindu berjalan-jalan saja. Dermaga lama itu mungkin salah satu tempat yang berhasil mengobati penyakit aneh saya.
Dermaga ini sepertinya begitu populer. Saya melihat banyak orang menghabiskan sorenya saat itu. Mengobrol, bersantai, anak-anak kecil berlarian. Itulah mengapa saya menjulukinya dermaga sejuta umat. Beberapa pria tampak sedang memancing. Mereka berdiri, menenggelamkan kaki di laut hingga batas lutut. Aneh, karena masih ada helm yang melekat di kepala. Entah fungsinya apa. Mungkin hanya malas melepas.
Sebenarnya dermaga tersebut tidak terlalu bagus juga sih. Jauh dari kesan eksotis yang biasanya diburu turis. Tapi paling tidak saat berada di sini, saya cukup yakin bahwa saya sudah berada di Sumba. Jauh dari Jawa. Di seberang dermaga terdapat sederet bukit karang yang menghijau.
Pada hari-hari berikutnya, hampir setiap pagi, saat fajar memanggil atau ketika Maghrib menjelang, saya minta Mas Dian untuk mengantar ke dermaga. Lelaki ini tentu saja antusias, mengingat dia baru saja membeli filter GND yang lalu dicoba dengan kamera Nikon saya. Mungkin sebenarnya sih dia lebih semangat mencoba filter itu daripada mengantar saya duduk-duduk ngga jelas di pinggiran dermaga. Hehe...
Kami meninggalkan dermaga setelah puas mengabadikan bias cahaya matahari yang muncul di balik rimbun pepohonan. Bukanlah sebuah sunset yang sempurna, karena mendung dan senja memang bukan saudara. Tapi entah kenapa, sore di hari pertama ini begitu keren menurut saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar