Senin, 02 April 2012

First Landing (Sumba Part 1)


Saya memang harus menerima ketika Ayos, Giri dan Lukki, memutuskan untuk tidak jadi ikut menonton Pasola di Sumba. Ayos beralasan dia harus menyicil Tugas Akhir yang bersifat sangat darurat. Sebagai teman yang cukup mengetahui lika-liku perhelatan antara dia dengan jalan menuju kelulusan, saya menerima alasan itu, bahkan dengan suka cita. Berharap ketika pulang dari Sumba, kompor yang menjadi model tugas akhirnya, sudah selesai. Duet Orkes Layar, Lukki dan Giri, bilang bahwa mereka belum punya uang cukup untuk membayar tiket ke Sumba. Saya maklum sih ya, perjalanan ke Indonesia Timur kadang terasa mencekik nominal di tabungan Anda.



Beruntung ada sesosok makhluk yang kabarnya sudah menginjakkan kaki di 25 propinsi di Indonesia, yang masih berminat menjadi travelmates saya. Bahkan ketika mengetahui bahwa jadwal Pasola maju 3 hari sebelum penerbangannya dari Jakarta, Mas Sutiknyo, atau punya panggilan keren Al Michael Tekno Bolang, nekad menghanguskan tiket dan mencari tanggal yang pas. 

"Moso adoh-adoh seko Tangerang, aku ra oleh Pasola, Put," tandasnya. Rocks tenan!

Dan saya pun berangkat terlebih dahulu menggunakan maskapai Batavia Air, the only one, yang melayani penerbangan Surabaya - Waingapu. Perjalanan yang cukup membosankan sih ya, karena harus transit dua kali di Bandara Ngurah Rai dan Eltari. Which is berarti ada tiga kali proses landing. Dan landing adalah bagian dari tahapan penerbangan yang cukup membuat saya was-was. 

Saya ingat, saya duduk di kursi 15F di bahu kanan pesawat. Sebenarnya penerbangan ini bersifat 'memutar'. Kalau dilihat di peta, Sumba sebenarnya terletak jauh sebelum Kupang, hanya belok sedikit lah ya. Makanya saya bisa melihat gugusan bumi Marapu dengan jelas dan dekat dari balik jendela mungil pesawat, kira-kira satu jam sebelum mendarat di Eltari, Kupang. 

Rasanya kok ya pingin teriak ke Om Pilot, "Pak, saya turun sini! Kanan ya, Pak!"

*
Saya melipat buklet promo wisata Sumba Barat ketika awake cabin mengumumkan bahwa pesawat akan landing di pemberhentian terakhir. Uyeah, finally… Lima jam di pesawat saja saya sudah ngga betah ya, gimana mau ke Iceland coba. 

Sumba menyambut saya dengan lanskap yang sangat cocok dibuat wallpaper laptop. Uh, bayangkan ada bukit-bukit raksasa dengan padang rumput halus yang sepertinya empuk untuk dibuat gelundungan. Beruntung memang, saya datang saat musim hujan, di mana Sumba terlihat sangat hijau di mana-mana. Dan sebenarnya, saya susah percaya ketika banyak orang menyebut Sumba sebagai pulau yang terbuat dari bebatuan karang. Saya tak sempat mengabadikannya, too bad. Well, it's not that bad sih, saya hanya sedang belajar menjadi traveler yang tidak terlalu bergantung pada kamera. They said that the best lens in the world is our own eyes. Ya tapi saya tetep bawa kamera lah ya, hahahaa…

Pesawat akhirnya mendarat mulus di Bandara Umbu Mehang Kunda. Air hujan yang merintik sejak di Kupang, tak terasa basah lagi di tanah Marapu, hanya mendung yang menggulung di atas. Saya mengambil seluruh tas yang berada di kabin. Bawaan saya memang tak terlalu banyak, mengingat saya sudah dipastikan bisa melakukan aktivitas mencuci dan menyeterika selama tinggal di sini. Hm, sebenarnya saya juga belum membeli tiket pulang ke Jawa saat itu, jadi memang belum ada target harus membawa baju sebanyak apa. 

Saya sudah bisa melihat lelaki yang menjemput saya berdiri di tengah kerumunan orang. Tentu saja tidak susah menemukan makhluk setinggi tiang listrik itu. Tidak ada The Scientist-nya Coldplay yang menjadi backsound pertemuan kami yang terakhir dilakukan saat awal 2012 itu. Hahaha! Saya hanya meringis ketika berjalan mendekatinya. 

Sebenarnya, saya memendam keinginan untuk ke Sumba sejak dua tahun lalu, kala melihat tayangan Pasola di Metro TV. Saya masih ingat persis, kali itu Trinity si Naked Traveler itu juga turut menjadi host. Setelah nonton tayangan itu, Pasola menjadi top of the list festival adat yang ingin saya datangi. 

Yah, kata orang, things happen for a reason. Every single thing. Termasuk ketika tengah tahun lalu, saya jadian dengan Mas Dian, lelaki asal Semarang yang sedang berdinas di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti Sumba Timur sejak 2010. Tuhan sepertinya menulis di buku takdir agar saya bertemu dengan lelaki ini dulu, lalu jadian, baru traveling ke Sumba, agar semuanya jadi lebih mudah dan menyenangkan. Another form of 'God save the traveler'? 

It could be. :)



4 komentar:

  1. Ahayyyyy akhirnya kita bertemu ya puttt... Masih terbayang ketika saya menunggu di depan BRI paling besar di waikabubak..(petuha dari putri Turun di depan BRI paling besar mas)..di tengah teriknya matahari Sumba dan seabregnya barang bawaan saya..ha ha ha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Om Michael aaakkkk aaakkkk *jeritan groupies*

      Hapus
    2. ahayyyy.. dan Ratih pun ternganga aku menyebut nama Michael saat berjabat tangan ha ha

      Hapus
  2. loh?sejak kapan namaku jd Dian? :p

    BalasHapus