Saya memang harus menerima ketika Ayos,
Giri dan Lukki, memutuskan untuk tidak jadi ikut menonton Pasola di Sumba. Ayos
beralasan dia harus menyicil Tugas Akhir yang bersifat sangat darurat. Sebagai
teman yang cukup mengetahui lika-liku perhelatan antara dia dengan jalan menuju
kelulusan, saya menerima alasan itu, bahkan dengan suka cita. Berharap ketika
pulang dari Sumba, kompor yang menjadi model tugas akhirnya, sudah selesai.
Duet Orkes Layar, Lukki dan Giri, bilang bahwa mereka belum punya uang cukup
untuk membayar tiket ke Sumba. Saya maklum sih ya, perjalanan ke Indonesia
Timur kadang terasa mencekik nominal di tabungan Anda.
Beruntung ada sesosok makhluk yang
kabarnya sudah menginjakkan kaki di 25 propinsi di Indonesia, yang masih
berminat menjadi travelmates saya. Bahkan ketika mengetahui bahwa jadwal
Pasola maju 3 hari sebelum penerbangannya dari Jakarta, Mas Sutiknyo, atau
punya panggilan keren Al Michael Tekno Bolang, nekad menghanguskan tiket dan
mencari tanggal yang pas.
"Moso adoh-adoh seko Tangerang, aku
ra oleh Pasola, Put,"
tandasnya. Rocks tenan!
Dan saya pun berangkat terlebih dahulu
menggunakan maskapai Batavia Air, the only one, yang melayani
penerbangan Surabaya - Waingapu. Perjalanan yang cukup membosankan sih ya,
karena harus transit dua kali di Bandara Ngurah Rai dan Eltari. Which is
berarti ada tiga kali proses landing. Dan landing adalah bagian dari tahapan
penerbangan yang cukup membuat saya was-was.
Saya ingat, saya duduk di kursi 15F di
bahu kanan pesawat. Sebenarnya penerbangan ini bersifat 'memutar'. Kalau
dilihat di peta, Sumba sebenarnya terletak jauh sebelum Kupang, hanya belok
sedikit lah ya. Makanya saya bisa melihat gugusan bumi Marapu dengan jelas dan
dekat dari balik jendela mungil pesawat, kira-kira satu jam sebelum mendarat di
Eltari, Kupang.
Rasanya
kok ya pingin teriak ke Om Pilot, "Pak, saya turun sini! Kanan ya,
Pak!"
*
Saya melipat buklet promo wisata Sumba
Barat ketika awake cabin mengumumkan bahwa pesawat akan landing di
pemberhentian terakhir. Uyeah, finally… Lima jam di pesawat saja saya
sudah ngga betah ya, gimana mau ke Iceland coba.
Sumba menyambut saya dengan lanskap yang
sangat cocok dibuat wallpaper laptop. Uh, bayangkan ada bukit-bukit
raksasa dengan padang rumput halus yang sepertinya empuk untuk dibuat
gelundungan. Beruntung memang, saya datang saat musim hujan, di mana Sumba
terlihat sangat hijau di mana-mana. Dan sebenarnya, saya susah percaya ketika
banyak orang menyebut Sumba sebagai pulau yang terbuat dari bebatuan karang.
Saya tak sempat mengabadikannya, too bad. Well, it's not that bad sih,
saya hanya sedang belajar menjadi traveler yang tidak terlalu bergantung pada
kamera. They said that the best lens in the world is our own eyes. Ya tapi saya
tetep bawa kamera lah ya, hahahaa…
Pesawat akhirnya mendarat mulus di Bandara
Umbu Mehang Kunda. Air hujan yang merintik sejak di Kupang, tak terasa basah
lagi di tanah Marapu, hanya mendung yang menggulung di atas. Saya mengambil
seluruh tas yang berada di kabin. Bawaan saya memang tak terlalu banyak,
mengingat saya sudah dipastikan bisa melakukan aktivitas mencuci dan menyeterika
selama tinggal di sini. Hm, sebenarnya saya juga belum membeli tiket pulang ke
Jawa saat itu, jadi memang belum ada target harus membawa baju sebanyak
apa.
Saya sudah bisa melihat lelaki yang
menjemput saya berdiri di tengah kerumunan orang. Tentu saja tidak susah
menemukan makhluk setinggi tiang listrik itu. Tidak ada The Scientist-nya
Coldplay yang menjadi backsound pertemuan kami yang terakhir dilakukan
saat awal 2012 itu. Hahaha! Saya hanya meringis ketika berjalan
mendekatinya.
Sebenarnya, saya memendam keinginan untuk
ke Sumba sejak dua tahun lalu, kala melihat tayangan Pasola di Metro TV. Saya
masih ingat persis, kali itu Trinity si Naked Traveler itu juga turut menjadi
host. Setelah nonton tayangan itu, Pasola menjadi top of the list festival adat
yang ingin saya datangi.
Yah, kata orang, things happen for a
reason. Every single thing. Termasuk ketika tengah tahun lalu, saya
jadian dengan Mas Dian, lelaki asal Semarang yang sedang berdinas di Taman
Nasional Laiwangi Wanggameti Sumba Timur sejak 2010. Tuhan sepertinya menulis
di buku takdir agar saya bertemu dengan lelaki ini dulu, lalu jadian, baru
traveling ke Sumba, agar semuanya jadi lebih mudah dan menyenangkan. Another
form of 'God save the traveler'?
Ahayyyyy akhirnya kita bertemu ya puttt... Masih terbayang ketika saya menunggu di depan BRI paling besar di waikabubak..(petuha dari putri Turun di depan BRI paling besar mas)..di tengah teriknya matahari Sumba dan seabregnya barang bawaan saya..ha ha ha
BalasHapusOm Michael aaakkkk aaakkkk *jeritan groupies*
Hapusahayyyy.. dan Ratih pun ternganga aku menyebut nama Michael saat berjabat tangan ha ha
Hapusloh?sejak kapan namaku jd Dian? :p
BalasHapus