Pernahkah pertanyaan semacam ini muncul
ketika kamu traveling ke suatu tempat yang begitu asing? Ini bukan
benar-benar umpatan atau semacam penyesalan. No. Kalau saya sendiri sih
menganggap kalimat di atas seperti perasaan heran bercampur takjub mungkin
ya...
Dulu, sekitar pertengahan 2010, saya dan
ketiga teman lelaki saya, sempat melakukan perjalanan spontan ke Pulau Sapudi,
salah satu dari 76 pulau kecil di sekitar Madura. Kami menggunakan dua motor
dari Surabaya, dan beralih moda transportasi menjadi kapal motor ketika sampai
di Sumenep. Dua motor kesayangan dinaikkan pula di atas kapal.
Pulau Sapudi seperti apa, orang lokalnya
seperti apa, saya ngga ada bayangan sama sekali. Perjalanan menggunakan kapal
motor itu mungkin masih menjadi pengalaman yang tak terlupakan seumur hidup
saya. Saya bahkan sempat menuliskannya sebagai chapter tersendiri dalam
e-book When Will You Come Home. Kapal motor tersebut bergerak bagaikan
rodeo. Penumpang muntah karena tak tahan mabuk laut, kardus yang semula
tersusun rapi jadi berhamburan diombang-ambing ombak, suara mesin mati lalu
hidup lagi, ibu-ibu gemuk meneriakkan nama Tuhan, mbak di belakang saya
menangis ketakutan. Itu adalah perjalanan 3 jam paling luama dalam hidup saya.
Penumpang masih harus menggunakan jukung
kecil untuk benar-benar sampai di daratan. Di pinggir dermaga, saya tertegun
sambil melihat motor Supra andalan saya diangkat dari kapal motor , lalu
diletakkan di atas jukung. Motor saya bersanding dengan kardus-kardus yang
berantakan tadi. Melihat pemandangan ini, saya bertanya dalam hati, "aku
ini lagi ngapain sih bisa nyampe sini?"
Kejadian berikutnya pada saat saya sedang
melaksanakan tugas yang menyenangkan sebagai salah satu petualang (amatir) Aku
Cinta Indonesia Detikcom Oktober 2011 lalu. Saya dan tim kebagian mengubek-ubek
beberapa destinasi di Kalimantan Barat. Ada dua peristiwa yang begitu
memorable.
Pertama, ketika kami turut mengejar
buntak. Saat itu kami berada di sebuah desa kecil di Kedungkang, masih dalam
wilayah Taman Nasional Danau Sentarum. Desa ini dihuni oleh masyarakat Dayak
Iban. Tak banyak sih, hanya tiga atau empat puluh kepala keluarga saja.
Kami menggunakan speed boat dari
Selimbau untuk menuju tempat ini. Saya baru tahu bahwa Danau Sentarum bentuknya
menyerupai labirin raksasa! Di tengah danau banyak tumbuh kayu-kayu putat yang
bergerombol membentuk semacam hutan kecil. Lika-liku ini menyebabkan tim kami
sempat tersesat dua kali. Desa yang kami tuju ternyata terletak di balik hutan
kayu putat yang entah di belokan mana saya juga ngga hafal! Semua tikungan
tampak sama di mata saya. Air danau yang hitam dan hutan beranting kering. Desa
tersebut begitu sepi. Sepiii sekali. Entahlah, aura di sini terasa berbeda
dibanding tempat lainnya.
Malam hari, kami diajak untuk turut
mengejar buntak oleh penduduk desa. Rupanya ladang jagung dan padi sedang
diserang buntak atau biasa saya sebut belalang. Ya, belalang cokelat sebesar
jari telunjuk orang dewasa. Penduduk sedang giat menangkap buntak-buntak yang
menghabiskan ladang mereka di malam hari. Penasaran, kami pun ikut perburuan
ini. Lagi-lagi, kami masuk ke hutan, hanya berbekal senter. Saya lupa bahwa
yang dimaksud ladang oleh orang Dayak, pastilah di atas bukit. Oh my…
Ironis, saya hanya menggunakan sandal jepit kesayangan yang telah saya pakai
sejak 2009 lalu, pasti… beralas super halus. Dan malam itu, tanah begitu licin
akibat guyuran hujan. Sempurna. Ketika saya memutuskan untuk melepas sandal, yang
ada kaki saya digigit semut api. Ahhh…. mamaaaa…
Saya ingat, saya hampir tak kuat mendaki
bukit ini. Nafas begitu tersengal-sengal. Capek perjalanan panjang sebelumnya
masih belum mereda. Cahaya-cahaya senter dari penduduk sudah tampak, tapi masih
sangat jauh. Itu adalah rombongan yang telah berangkat terlebih dahulu. Suasana
ini macam di film-film horor saja. Gelap.
Akhirnya
kaki ini sampai juga di ladang yang dimaksud. Saya berusaha berdiri dengan
seimbang mengingat ladang ini bentuknya miring karena tepat berada di lereng
bukit. Tidak ada tanah datar. Tubuh saya seketika merinding melihat ribuan
belalang cokelat asik menggigiti daun-daun jagung. Tak menyisakan apa-apa.
Buntak-buntak ini ada kalanya terbang bersamaan, menimbulkan suara yang mirip hujan.
Seram. Mual. Karena tadi saya sempat mencicip buntak goreng yang dimasak oleh
penduduk.
Hujan pelan-pelan merintik. Saya dan tiga
teman saya dipersilahkan untuk naik ke sebuah pondok panggung, tempat para
petani beristirahat. Sementara penduduk lain tetap memburu buntak. Kegiatan,
yang menurut saya, percuma. Kasihan, gara-gara buntak, panen tahun ini pasti
kacau. Di dalam pondok yang tampak ringkih itu saya hanya bisa tertegun dan
lagi-lagi bertanya, "saya ini lagi ngapain sih?"
Kenapa saya ngga tidur aja di kosan
Surabaya? Haha!
Kejadian kedua adalah bermalam di Data
Opet, seperti yang sudah saya sebutkan di postingan super panjang tentang "Mandi". Data Opet bukanlah nama
desa. Data Opet adalah sebuah dataran di tengah hutan, di pinggiran Sungai
Bulit. Konon, dulunya nenek moyang masyarakat Dayak Punan Hovongan pernah
tinggal di sana sebelum bermigrasi ke Tanjung Lokang. Makanya, masih banyak goa
(liang) dan situs yang dikeramatkan di sekitaran Data Opet ini. Kami berniat
mengunjungi beberapa di antaranya.
Perjalanan dari Tanjung Lokang ke Data
Opet memakan waktu 3 jam menggunakan sampan bermesin tempel. Jangan tanyakan
soal riam. Itu adalah makanan kami sehari-hari selama di sungai. Adegan sampan
ditarik menggunakan tali demi melewati riam? Itu wajib hukumnya! Ya, karena
memang ngga ada cara lain. Rombongan kami cukup banyak, karena memang
dibutuhkan banyak tenaga untuk melewati riam-riam sungai ini.
Di sini, di Data Opet, di tengah hutan
adalah pertama kalinya saya merasakan berkemah. Ya, jaman sekolah dulu saya memang
ngga pernah ikut persami dan kawan-kawannya. Pengalaman pertama selalu
mendebarkan, begitu pula acara camping ini.
Saya dan Mbak Anty, travelmate satu
tim ACI, menempati sebuah tenda dome. Sayangnya ada satu tenda dome lain yang
tertinggal di Tanjung Lokang. Jadilah Mas Ian, travelmate saya juga,
tidur di atas dan di bawah alas terpal bersama bapak-bapak penduduk Tanjung
Lokang yang menjadi motoris. Apes memang, terlebih hari itu cukup dingin.
Jujur, saya tidak pernah berada di hutan
pada malam hari. Ya iyalah, mau ngapain juga gitu ya? Saya sih bukan termasuk
orang yang takut gelap. Tapi hutan punya atmosfer lain ya. Gelapnya itu
maksimal banget. Bahkan bayangan pohon saja, hanya terlihat samar.
Hujan mengguyur begitu derasnya, ketika
saya hendak terlelap. Mbak Anty sudah tidur. Tapi saya masih terjaga di
sampingnya. Hujan ini terasa nikmat. Suara ribut tetesan air yang menghantam
bagian atas tenda terdengar menyenangkan. Di balik punggung, saya bahkan bisa
merasakan derasnya air yang mengalir. Sebegitu dekatnya tubuh saya dengan hujan
ini.
Ya ampun, what the hell am I doing
here? Orang rumah sedang apa ya? Ibu saya ngeri ngga ya kalau tau saya di
hutan antah berantah, hanya berlindung di dalam sebuah tenda kecil berwarna
biru, tanpa sinyal handphone, tanpa listrik, ngga mandi pula…
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memang
sering datang secara mendadak. Ketika pada suatu momen, saya terdiam dan mereka
ulang apa yang sudah dilalui. Terlebih saat bayangan orang-orang yang jauh
tiba-tiba terlintas. Mungkin homesick. Mungkin juga terpana atas apa
yang sedang menimpa. Kadang perjalanan memang selalu memiliki bumbu-bumbu yang
mengejutkan. Entah itu menyenangkan, atau menyebalkan. Nikmati saja…
Hahaha. samaa.
BalasHapusSaya pernah mengalaminya Ketika berkemah pada saat malam waktu sedang slusupan sendirian mendaki masuk keluar hutan.
Bermalam di tenda yang dididiran di pinggir sungai pada sebuah lembahan di tengah hutan.
Tidur hanya ditemenin parang di sebelah kiri dan senter di sebelah kanan serta headlamp yang nempel di kepala.
Di luar rasanya sepi sekali, dingin kabut serasa masuk sampai ke tenda. Tidak berani bergerak, karena takut bisa mengundang makhluk lain yang ngga saya kenal.
Sambil merapal ayat kursi, berharap tidak ada wewegombel, macan, atau pemberontak bersenjata laras panjang tiba-tiba datang
"what the hell am i doing here." gumam saya sampai subuh. :))
Tulisan yg bagus, Put :D
Makasi, Mas Ipung!
HapusAku tergelitik membaca ini:
"Sambil merapal ayat kursi, berharap tidak ada wewegombel, macan, atau pemberontak bersenjata laras panjang tiba-tiba datang.."
Beruntung aku lupa, bahwa di hutan banyak makhluk2 seperti itu, jadi ga sempat kepikiran... hahaa... *sujud syukur*
Perjalanan yang tentu melelahkan. Selebihnya mengasyikkan.hehe
BalasHapusYes, couldn't agree more! :)
HapusKadan "What The Hell Am I Doing Here?" itumerupakan awal perjalanan yang seru plus menarik , mungkin yang terseru di hidup kita :D
BalasHapus