Wajah Jalan Gang Warung berubah kontras di kala
akhir minggu tiba. Saat sore menutup hari, kegiatan berdagang di toko sepanjang
jalan ini mulai berhenti, berganti dengan warung-warung bertenda kecil yang
sibuk menyiapkan diri. Mereka mengenal daerah ini dengan sebutan Pasar Semawis.
Masih teringat jelas kunjungan pertama saya di
tempat ini setahun lalu, di mana atmosfir Pecinan selalu berhasil menarik minat
saya untuk berkunjung. Perasaan itu pula yang muncul saat menginjakkan kaki di
Semarang. Akulturasi budaya Tionghoa memang begitu terasa di ibukota provinsi
Jawa Tengah ini sejak ratusan tahun lalu. Terlebih sejarah mencatat bahwa
Semarang juga pernah menjadi tempat bersandarnya kapal Laksamana Ceng Ho yang
kini jangkar kapal beserta replika patung raksasanya berdiri tegap di salah
satu klenteng besar di Semarang, yaitu Sam Poo Kong. Walaupun, kabarnya, para imigran
dari Tiongkok sudah tiba di Nusantara berabad sebelum kedatangan Ceng Ho.
Mereka yang memutuskan untuk menetap di
Semarang, kemudian mendirikan tempat peribadatan untuk memenuhi kebutuhan
spiritual, dan bermukim serta mendirikan usaha di sekitarnya. Kampung-kampung
inilah yang kemudian dikenal sebagai Pecinan. Namun, sama seperti kawasan
Pecinan di Indonesia lainnya, kegiatan keagamaan dan kebudayaan di Pecinan
Semarang juga sempat mengalami mati suri karena larangan pada masa pemerintahan
Orde Baru. Tapi sekarang, seiring dengan kelonggaran aturan yang terjadi satu
dekade ini, Pecinan pun mulai hidup kembali secara perlahan.
Semenjak digelar rutin pada tahun 2005 hingga
sekarang, Pasar Semawis membuat kawasan Pecinan ini tak lagi sunyi senyap di
malam hari. Semawis memang bukan pasar yang besar dan megah. Masih kalah jauh
bila dibandingkan pasar serupa di Surabaya yang biasa dikenal dengan Kya Kya.
Namun, lebih dari itu, pasar yang begitu kental dengan nuansa Pecinan ini
ternyata mampu bertahan lebih lama daripada seniornya. Semawis tak pernah sepi
pengunjung. Apalagi pasar ini memang hanya digelar pada Jumat, Sabtu dan Minggu
pukul 6 sore hingga 11 malam saja. Semawis menjadi semacam kebutuhan tetap bagi
para peminatnya untuk menghabiskan malam di akhir pekan.
Pasar ini juga menjadi salah satu pengobat
rindu masyarakat Tionghoa atas kebudayaan dan karakter Pecinan yang lama
tenggelam. Lebih dari sekedar lokasi pertukaran uang dan penggugah selera makan,
Pasar Semawis juga menjadi lokasi bertemu dan berkumpulnya keluarga serta para
sahabat. Suasana ini jelas terlihat pada booth
karaoke jalanan yang terdapat di sela-sela warung makan. Mereka yang sudah
menua tak malu-malu bergoyang dan bernyanyi di depan para penonton yang tampak menikmati
alunan lagu-lagu berbahasa Mandarin, seakan larut dalam nostalgia kampung
halaman.
Karena terletak di kawasan Pecinan, maka
kuliner yang banyak dijual juga khas Pecinan, seperti siomay, bubur jamur,
lontong cap go meh, berbagai steamboat,
olahan daging babi dan aneka mie. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa mie adalah
makanan yang mewakili umur dan rezeki yang panjang. Tak heran jika mie lazim
dijumpai sebagai menu andalan restoran oriental, juga pada upacara atau
perayaan tertentu. Jangan lupa pula untuk mencari jajanan ringan tradisional seperti
kue bulan dan lunpia.
Tak perlu khawatir merasa bosan dengan cita
rasa oriental, karena di pasar malam ini juga terdapat beberapa warung tenda
yang menjajakan kuliner tradisional, seperti soto ayam, pisang plenet, dan lalapan. Berbagai minuman
ringan seperti wedang ronde, wedang kacang tanah dan aneka teh juga tersedia.
Menarik pula karena di sini terdapat minuman unik yang dinamakan mie jelly. Saya mencoba membelinya
semangkuk. Ternyata keunikan kuliner satu ini terletak pada cara meminumnya.
Ya, yang satu ini bukanlah makanan olahan mie dari tepung, melainkan minuman
segar berisi jelly aneka rasa buah
yang dibentuk menyerupai mie, sehingga untuk menyantapnya pun diperlukan
sepasang sumpit.
Selain penjaja kuliner, di Pasar Semawis juga
terdapat para penjual aksesori khas Tionghoa. Yang sangat mencolok di sini adalah berbagai batu-batuan giok. Ada yang
dibentuk berupa gelang, liontin kalung atau gantungan kunci. Beberapa barang
ini kabarnya ada yang diimpor langsung dari Cina. Giok termasuk batu permata
yang banyak digunakan sebagai perhiasan oleh Bangsa Timur sejak ribuan tahun
lalu. Batuan berwarna hijau ini juga dipercaya membawa ketenangan dan
kegembiraan bagi para pemakainya. Aksesori batuan giok bisa menjadi alternatif
buah tangan khas dari Pecinan Semarang.
Selesai mencoba berbagai menu kuliner dan
berbelanja aksesoris, jangan lewatkan untuk berkeliling daerah sekitar pasar
ini sembari mengunjungi beberapa klenteng yang tampak indah berpendar cahaya
merah lampion di malam hari. Masing-masing klenteng di sini memiliki keunikan
dan nilai sejarah yang tinggi.
Menjelang Tahun Baru Cina atau biasa dikenal
dengan sebutan Imlek, Pasar Semawis akan menjadi salah satu sudut yang sibuk
melakukan selebrasi. Lampion-lampion akan bertebaran di langit-langit. Berbagai
pertunjukkan kesenian khas digelar. Barongsai, Potehi (Wayang), Opera Jalanan
biasanya menjadi agenda tahunan yang digelar saat Imlek tiba. Klenteng-klenteng
yang terletak di sekitar pasar pun ramai dikunjungi para penganut Kong Hu Cu, mereka
yang memohon untuk diberi kemakmuran dan rejeki sepanjang tahun ke depan.
PS:
Versi edited dan Bahasa Inggris artikel ini bisa dibaca online atau download gratis di Bali and Beyond Magazine. Enjoy :)
seneng ya kalo punya specific interest terhadap suatu tempat atau budaya gitu. entah kenapa selalu suka baca artikel mereka yg fokus sama satu-dua hal khusus ketimbang yg grubyukan ingin menceritakan semuanya. nice article kakak.
BalasHapusMakasi, Kinkin :)
BalasHapussalam kenal mba,
BalasHapussy asli semarang tapi malah belum pernah sama sekali ke semawis, eh kalo siang sering sih ke gang baru tapi kalo malem belum hehe
nice article :)
-aditya wulandari-