Senin, 09 Januari 2012

Tasting Semawis



Wajah Jalan Gang Warung berubah kontras di kala akhir minggu tiba. Saat sore menutup hari, kegiatan berdagang di toko sepanjang jalan ini mulai berhenti, berganti dengan warung-warung bertenda kecil yang sibuk menyiapkan diri. Mereka mengenal daerah ini dengan sebutan Pasar Semawis.

Masih teringat jelas kunjungan pertama saya di tempat ini setahun lalu, di mana atmosfir Pecinan selalu berhasil menarik minat saya untuk berkunjung. Perasaan itu pula yang muncul saat menginjakkan kaki di Semarang. Akulturasi budaya Tionghoa memang begitu terasa di ibukota provinsi Jawa Tengah ini sejak ratusan tahun lalu. Terlebih sejarah mencatat bahwa Semarang juga pernah menjadi tempat bersandarnya kapal Laksamana Ceng Ho yang kini jangkar kapal beserta replika patung raksasanya berdiri tegap di salah satu klenteng besar di Semarang, yaitu Sam Poo Kong. Walaupun, kabarnya, para imigran dari Tiongkok sudah tiba di Nusantara berabad sebelum kedatangan Ceng Ho.

Mereka yang memutuskan untuk menetap di Semarang, kemudian mendirikan tempat peribadatan untuk memenuhi kebutuhan spiritual, dan bermukim serta mendirikan usaha di sekitarnya. Kampung-kampung inilah yang kemudian dikenal sebagai Pecinan. Namun, sama seperti kawasan Pecinan di Indonesia lainnya, kegiatan keagamaan dan kebudayaan di Pecinan Semarang juga sempat mengalami mati suri karena larangan pada masa pemerintahan Orde Baru. Tapi sekarang, seiring dengan kelonggaran aturan yang terjadi satu dekade ini, Pecinan pun mulai hidup kembali secara perlahan.





    

Malam itu saya kembali lagi ke Pasar Semawis. Suasananya ternyata masih sama seperti setahun lalu. Pasar ini terletak di sepanjang jalan protocol Pecinan yang pada siang hari ramai dengan berbagai kegiatan perdagangan. Rata-rata masyarakat Tionghoa setempat memang membuka usaha di tempat tinggalnya. Pada malam hari sebelum masa digelarnya Pasar Semawis, daerah ini cukup sepi dari lalu lalang. Laiknya daerah Pecinan di kota-kota besar, Semawis juga terletak pada area kota lama di mana berbagai bangunan dan model rumah tua masih tampak berjejeran. Ada yang terawat, ada pula yang terbengkalai dimakan waktu.

Semenjak digelar rutin pada tahun 2005 hingga sekarang, Pasar Semawis membuat kawasan Pecinan ini tak lagi sunyi senyap di malam hari. Semawis memang bukan pasar yang besar dan megah. Masih kalah jauh bila dibandingkan pasar serupa di Surabaya yang biasa dikenal dengan Kya Kya. Namun, lebih dari itu, pasar yang begitu kental dengan nuansa Pecinan ini ternyata mampu bertahan lebih lama daripada seniornya. Semawis tak pernah sepi pengunjung. Apalagi pasar ini memang hanya digelar pada Jumat, Sabtu dan Minggu pukul 6 sore hingga 11 malam saja. Semawis menjadi semacam kebutuhan tetap bagi para peminatnya untuk menghabiskan malam di akhir pekan.

Pasar ini juga menjadi salah satu pengobat rindu masyarakat Tionghoa atas kebudayaan dan karakter Pecinan yang lama tenggelam. Lebih dari sekedar lokasi pertukaran uang dan penggugah selera makan, Pasar Semawis juga menjadi lokasi bertemu dan berkumpulnya keluarga serta para sahabat. Suasana ini jelas terlihat pada booth karaoke jalanan yang terdapat di sela-sela warung makan. Mereka yang sudah menua tak malu-malu bergoyang dan bernyanyi di depan para penonton yang tampak menikmati alunan lagu-lagu berbahasa Mandarin, seakan larut dalam nostalgia kampung halaman.



Pasar Semawis disebut-sebut sebagai pasar kuliner terbesar di Semarang. Maka pantas saja jika para penikmat kuliner akan merasa seperti di surga melihat berbagai menu santapan sedap yang ada. Cukup datang dengan kondisi perut kosong saja dan berburulah segala yang Anda suka.

Karena terletak di kawasan Pecinan, maka kuliner yang banyak dijual juga khas Pecinan, seperti siomay, bubur jamur, lontong cap go meh, berbagai steamboat, olahan daging babi dan aneka mie. Masyarakat Tionghoa percaya bahwa mie adalah makanan yang mewakili umur dan rezeki yang panjang. Tak heran jika mie lazim dijumpai sebagai menu andalan restoran oriental, juga pada upacara atau perayaan tertentu. Jangan lupa pula untuk mencari jajanan ringan tradisional seperti kue bulan dan lunpia.

Tak perlu khawatir merasa bosan dengan cita rasa oriental, karena di pasar malam ini juga terdapat beberapa warung tenda yang menjajakan kuliner tradisional, seperti soto ayam, pisang plenet, dan lalapan. Berbagai minuman ringan seperti wedang ronde, wedang kacang tanah dan aneka teh juga tersedia. Menarik pula karena di sini terdapat minuman unik yang dinamakan mie jelly. Saya mencoba membelinya semangkuk. Ternyata keunikan kuliner satu ini terletak pada cara meminumnya. Ya, yang satu ini bukanlah makanan olahan mie dari tepung, melainkan minuman segar berisi jelly aneka rasa buah yang dibentuk menyerupai mie, sehingga untuk menyantapnya pun diperlukan sepasang sumpit.

Selain penjaja kuliner, di Pasar Semawis juga terdapat para penjual aksesori khas Tionghoa. Yang sangat mencolok di sini  adalah berbagai batu-batuan giok. Ada yang dibentuk berupa gelang, liontin kalung atau gantungan kunci. Beberapa barang ini kabarnya ada yang diimpor langsung dari Cina. Giok termasuk batu permata yang banyak digunakan sebagai perhiasan oleh Bangsa Timur sejak ribuan tahun lalu. Batuan berwarna hijau ini juga dipercaya membawa ketenangan dan kegembiraan bagi para pemakainya. Aksesori batuan giok bisa menjadi alternatif buah tangan khas dari Pecinan Semarang.

Selesai mencoba berbagai menu kuliner dan berbelanja aksesoris, jangan lewatkan untuk berkeliling daerah sekitar pasar ini sembari mengunjungi beberapa klenteng yang tampak indah berpendar cahaya merah lampion di malam hari. Masing-masing klenteng di sini memiliki keunikan dan nilai sejarah yang tinggi.

Menjelang Tahun Baru Cina atau biasa dikenal dengan sebutan Imlek, Pasar Semawis akan menjadi salah satu sudut yang sibuk melakukan selebrasi. Lampion-lampion akan bertebaran di langit-langit. Berbagai pertunjukkan kesenian khas digelar. Barongsai, Potehi (Wayang), Opera Jalanan biasanya menjadi agenda tahunan yang digelar saat Imlek tiba. Klenteng-klenteng yang terletak di sekitar pasar pun ramai dikunjungi para penganut Kong Hu Cu, mereka yang memohon untuk diberi kemakmuran dan rejeki sepanjang tahun ke depan.



Keberadaan Pasar Semawis di daerah Pecinan Semarang memang bertujuan khusus. Ini adalah salah satu usaha pemerintah kota dan masyarakat sekitar untuk menghidupkan dan membenahi kawasan Pecinan dan menjadikannya sebuah ikon wisata budaya baru di Semarang. Dari segi pariwisata, suasana dan kuliner Pecinan di Pasar Semawis bisa menjadi alternatif kunjungan malam bagi wisatawan dalam dan luar negeri. Karena memang terbukti bahwa penikmat pasar ini bukan kalangan etnis tertentu saja. Selebihnya, Pasar Semawis laiknya warisan budaya, sebuah identitas dan karakter masyarakat Tionghoa yang berusaha dipertahankan dan dihidupkan kembali.[]


PS:
Versi edited dan Bahasa Inggris artikel ini bisa dibaca online atau download gratis di Bali and Beyond Magazine. Enjoy :)

3 komentar:

  1. seneng ya kalo punya specific interest terhadap suatu tempat atau budaya gitu. entah kenapa selalu suka baca artikel mereka yg fokus sama satu-dua hal khusus ketimbang yg grubyukan ingin menceritakan semuanya. nice article kakak.

    BalasHapus
  2. salam kenal mba,
    sy asli semarang tapi malah belum pernah sama sekali ke semawis, eh kalo siang sering sih ke gang baru tapi kalo malem belum hehe

    nice article :)

    -aditya wulandari-

    BalasHapus