"Sudah mandi, Nak?" Pak Hajau masuk ke kamar tempat kami menginap
selama di desa Tanjung Lokang. Kamar itu begitu luas, hingga kami bertujuh
sepakat tidur bersama-sama dalam satu ruang. Bukan pengiritan, karena harga
sewa pondok ini hitungannya per kepala. Jadi ya sama saja. Mungkin kami terlalu
kekeluargaan kali ya, sampai tidurpun bareng-bareng, tapi cukuplah membuat
suasana menjadi tidak semenyeramkan yang saya kira. Mengingat malam di pondok tak
ada aliran listrik, hanya terdengar suara langkah dan lolongan anjing, sesekali
angin juga ikut bernyanyi menggerakkan daun-daun dari pepohonan raksasa di
depan kamar.
"Sudah, Pak." Mbak Anty yang
menjawab. Masih di balik dekapan sarung dan pangkuan kasur, saya melirik wanita
berkaca mata yang asik duduk di samping saya itu. Mata kami kemudian beradu
seakan berbicara sesuatu.
"Diem lu," hardik Mbak Anty,
yang lantas ikut tertawa cekikikan pelan. Saya tahu dia bohong. Kami sudah
mengira pertanyaan seperti itu akan terlontar lagi dari Pak Hajau pagi ini.
Yah, kalau bukan Pak Hajau, mungkin putranya yang hobi mbanyol, Bang Saleh,
yang ganti bertanya. Pagi dan sore, "sudah mandi atau belum" adalah
pertanyaan basa-basi favorit mereka.
Ini masih terlalu pagi untuk melakukan
ritual mandi kala liburan. Entah kebetulan atau bagaimana, setiap
pertanyaan itu muncul, kami selalu dalam kondisi belum mandi. Lama-lama malu
juga. Jadi Mbak Anty memutuskan untuk melakukan sedikit variasi jawaban pagi
ini.
Setelah pulang dari Kalimantan, saya
menyadari bahwa banyak pengalaman mandi yang begitu tak terlupakan. Mandi pada
saat perjalanan seminggu di Tanjung Lokang mungkin menjadi yang paling
berkesan. Sebenarnya sih, pengalaman beraneka cara mandi ini sudah terjadi
sejak awal perjalanan. Hari pertama menginjakkan kaki di Kalimantan Barat,
rombongan langsung capcus menuju Singkawang. Kami bermalam di rumah keluarga
Bang Bule, salah seorang pendamping Rakata yang rambutnya sepanjang model
shampoo itu.
Karena sudah malam, kala itu, saya, Mbak
Anty maupun Mas Ian, memutuskan untuk tidak mandi. Hehehe, kami cuci muka,
gosok gigi, lalu berganti pakaian seragam kebangsaan untuk tidur. Pagi
menjelang, ritual mandi pun mau tak mau datang menghadang.
Saya, adalah yang pertama menuju kamar
mandi. Letaknya tak berada di dalam rumah. Harus melewati ladang kecil terlebih
dahulu, Saya diantar oleh seorang gadis, yang ah, saya lupa namanya.
"Kamar mandi kami unik, Kak… Mohon
maklum," ujarnya.
"Ah, tak apa," jawab saya
jujur.
Kamar mandi yang dimaksud adalah sebuah
ruangan kecil, beralaskan semen, beratapkan langit biru awan putih. Ada sumur,
dua baskom besar dan empat dinding berupa bilik bambu. Ada juga sarung
tergantung di salah satu sudut. Basah dan lembab. Saya mulai menimba beberapa
ember air untuk ditadah dalam baskom. Sebenernya saya pengen ngikutin cara
orang-orang yang mandi di sungai, yaitu menggunakan sarung. Mungkin itulah guna
ada sebuah sarung coklat kotak-kotak di sana.
Oke! Begitu saya raih si sarung, ternyata
ada seekor kodok coklat besar basah yang melompat dari dalamnya. Kagetnya Masya
Allah! Saya ngga jadi pake ritual sarung-sarungan. Buru-buru mandi seperti
biasa. Ngga mau ngurusin bakal ada yang ngintip atau ngga. Keberadaan si kodok
yang masih nongkrong di dekat sarung, memicu saya untuk segera menuntaskan
mandi dan meninggalkan bilik menuju ke rumah kembali.
Perjalanan menuju Tanjung Lokang memang
menjadi highlight dalam petualangan tim kami. Sampan bergerak
dari Kedamin, Putussibau dikemudikan oleh Bang Saleh dan Pak Hajau. Mereka
adalah pasangan ayah dan anak Dayak Punan Hovongan asli Tanjung Lokang yang
sangat humoris. Tidak ada bosan-bosannya bercanda dengan Bang Saleh yang sangat
lugu ataupun Pak Hajau yang tak pernah terlihat marah. Ya, kami tak pernah bosan,
kecuali saat pertanyaan tentang mandi kerap datang.
Tanjung Lokang tidak bisa ditempuh dalam
sehari perjalanan. Kami harus menginap terlebih dahulu di Resort Nanga Bungan,
milik Taman Nasional Betung Kerihung. Kata "resort" janganlah
dibayangkan dengan resort-resort jetset yang ada di Ubud ataupun Seminyak.
Resort ini berupa rumah panggung yang sangat amat sederhana. Terletak di tepian
Nanga Bungan. Nanga dalam bahasa lokal artinya muara. Saat itu kami memang
berada di sebuah persimpangan Sungai Bungan dan Sungai Kapuas.
Saya memutuskan untuk tidak mandi malam
itu. Hanya mencuci muka, gosok gigi, lalu segera tidur. Kami menempati sebuah
kamar yang hanya berukuran 3x3 meter. Terasa sangat sempit karena kamar itu
ditempati tujuh orang sekaligus. Hahaha!
"Put, lu kok dorong-dorong gue sih
dari semalem?" kata Mbak Anty yang menggerutu ketika tubuhnya terus
merapat ke Mas Ian.
"Tuh, si Oceng nyerempet mulu!"
tuduh saya ke Bang Oceng. Kami memang hanya tidur beralaskan sleeping bag
saja. Ruangan semakin sempit ketika ransel-ransel puluhan liter juga masuk ke
dalam. Yah pokoknya, banyak keluhan datang ketika pagi menjelang.
Bang Saleh kemudian masuk kamar,
"Selamat pagi semua! Putri, Anty, sudah mandi?"
Aaarrghhh… Baru juga bangun, Bang!
14 jam terapung di atas sampan, akhirnya
kaki ini menginjak juga ke Desa Tanjung Lokang. Ini adalah desa terakhir di
sepanjang Sungai Bungan. Di ujung sana, di balik hutan belantara, adalah
wilayah Kalimantan bagian Timur. Wisatawan sering melakukan cross borneo dengan
melewati rute ini. Perlu digaris bawahi, wisatawan yang saya maksud adalah
wisatawan manca negara. Rasanya, ngga perlu saya bahas mengapa orang Indonesia
mayoritas lebih suka lintas negara di Asia Tenggara daripada masuk-masuk hutan
dan susur sungai raksasa di tanah Borneo seperti ini. Desa ini juga sering
kali didatangi oleh researcher yang kebanyakan datang dari benua Eropa. Bisa
saya lihat dari daftar tamu ketika mengisi buku tamu di rumah Bang Herman,
seorang bendahara desa.
Desa Tanjung Lokang bukanlah desa
tertinggal seperti bayangan orang-orang perkotaan pada umumnya bila melihat
sebuah kampung berada di balik belantara hutan. Boleh dikatakan, penduduk desa
ini cukup makmur dengan mata pencaharian menambang emas di sepanjang sungai.
Masing-masing rumah memiliki generator untuk mengalirkan listrik di malam
hari.
Kami menempati sebuah pondok berupa rumah
panggung yang memang sudah disediakan khusus untuk wisatawan yang datang. See,
sudah ada menejemen wisata yang cukup baik di sini. Ada sekitar 4 kamar besar
yang berjejer di sana. Ada 2 kamar mandi dengan fasilitas yang sangat modern,
yaitu toilet duduk. Ah, tapi sayang, tak ada air dan listrik yang mengalir di
pondok ini. Percuma saja ada bak mandi dan toilet duduk.
"Bang, mandinya di mana ya?"
tanya saya pada Bang Bule.
"Hm… di sungai, Mbak.. Semua penduduk
juga mandi di sungai... Kita menyatu dengan alam…," ujarnya sok puitis.
Kadang guyonannya garing sih. :p
Setiap kali sampai di sebuah destinasi,
hal pertama yang biasa saya lakukan adalah mandi. Tapi mandi kali ini rupanya
agak spesial, sehingga membuat saya bingung karena harus melakukan berbagai
persiapan.
Saya dan Mbak Anty akhirnya memutuskan
untuk mandi di sebuah sungai kecil di belakang pondok. Sedangkan Mas Ian
melangkah ke sungai yang lebih besar di dekat tempat bersandarnya sampan. Hanya
ada kami berdua di sana. Sungai ini agak menjorok ke bawah, tertutup sebuah
bukit gundul yang disulap menjadi ladang oleh penduduk setempat.
Ini mungkin menjadi proses mandi paling
lama yang pernah saya lakukan. Pertama, kami ngga mau melepas baju begitu saja
seperti gadis-gadis di sini pada umumnya. Mungkin harusnya kami pinjam sarung
untuk dipakai kemben. Ah, tapi toh saya masih tetap akan risih.
"Yaudahlah, pake baju lengkap
aja!" ujar saya akhirnya. Hanya ada satu gayung saat itu. Entah Bang Abdi
nemu dimana. Kejernihan air sungai memang ngga perlu diragukan lagi. Tapi
mungkin karena tidak terbiasa, saya dan Mbak Anty sangat kerepotan dalam hal
ini.
"Eh, Put, lu minggir dulu, deh.. Gua
mau pipis.. Lu jangan kesono ya…"
"Eh, kalau pup di mana ya?"
"Ada ikan kecil! Lucu..
Berdua-duaan.."
"Ya ampun, shampoonya hanyuuut,
Mbaaak.."
"Aku mo nyuci baju di mana, ya?"
"Nyuci baju di sini aja, Put, kayak
di film-film, digeprok-geprok di batu…"
"Eh, sandal gueee..."
"Ada ranjau, Mbaaaak!" Dan kami
pun buyar berhamburan ketika 'ranjau' tadi numpang lewat.
"Sial, siapa sih yang lagi boker di
sono! Pasti Oceng tuh!" Saya terbahak melihat tingkah laku kami berdua
yang sangat katrok abis. Tak seperti teman-teman lelaki kami yang dengan sangat
gampang mandi di manapun pada medan seperti apapun.
Entahlah, bersih atau tidak, adegan mandi
rempong seperti itu. Saya tidak terlalu puas sih sebenarnya. Tapi yah sudahlah,
yang penting sudah ganti baju kering dan bersih. Sementara baju yang kami buat
untuk mandi-mandian tadi dijemur di depan pondok. Oh iya, perjalanan di Tanjung
Lokang ini juga menjadi rekor dalam hal membawa pakaian ganti. 7 hari di
Tanjung Lokang, saya hanya membawa dua kaos bersih, satu celana kain untuk
tidur, satu celana kargo untuk jalan, dan sarung. Sarung adalah benda wajib,
karena sesungguhnya saya susah tidur tanpa belaian selimut. Semua dipakai
bergantian. Kotor, cuci, jemur, pakai, kotor, cuci, jemur, begitu seterusnya.
Heheehe, dan saya sangat menikmati proses ini. :D
Dari Tanjung Lokang, kami bergerak
menyusur Sungai Bulit lebih dalam. Tak ada desa atau pemukiman lagi. Kami
berencana menuju Data Opet, sebuah dataran di tengah hutan yang dulunya adalah
kampung nenek moyang penduduk Tanjung Lokang. Selain itu, kami dijadwalkan
untuk mengunjungi dua liang (goa) yang begitu dikeramatkan oleh masyarakat
Dayak Punan Hovongan. Perjalanan ditempuh menggunakan sampan selama 3
jam.
Kami berencana menginap semalam di sini.
Yak! Pemirsa! Ini adalah camping pertama seumur hidup saya. Langsung di tengah
hutan, di pinggir derasnya arus Sungai Bulit. Tentu saja, duet rempong ini,
saya dan Mbak Anty plus Mas Ian, memutuskan untuk ngga mandi selama di Data
Opet. Pertama sih, saya males mandi di sungai yang sudah berhasil menghanyutkan
wajan kami beberapa meter itu. Untungnya kami tidak kehilangan penggorengan
andalan saat masak ketika si wajan tersangkut batu. Yak! Sungai Bulit arusnya
sangat deras dan warna airnya keruh. Eh tapi toh saya minum air dari di sini
juga sih! Hahaha… Ah sudahlah, airnya kan dimasak dulu ya! Iya kan?
Alasan kedua, gila kali ya, di sungai kecil
yang arusnya santai-santai aja, kita mandi dengan kerepotan maksimal, apalagi
di sungai yang gedenya macem kayak gini. Syukur kalo abis mandi, ngga ada pacet
iseng nemplok di kaki. Ah, mending ngga usa mandi deh!
Malam itu, kami berganti pakaian seragam
wajib tidur.Ternyata, hutan di malam hari begitu gelap ya... Saya nyaris tidak
bisa melihat apa-apa kecuali bayangan pohon. Tenda dome hanya diisi oleh
saya dan mbak Anty. Apes, tenda dome satunya tertinggal di Tanjung
Lokang. Jadilah Mas Ian tidur bersama bapak-bapak penduduk yang menjadi motoris
kami. Mereka tidur hanya beratapkan terpal. Lebih apes lagi, malam itu hujan
mengguyur begitu derasnya. Pasti amat dingin di luar sana.
Saya tidak langsung tidur. Mbak Anty sudah
terlelap. Di dalam tenda dome saya begitu menikmati suara siraman air hujan
yang bertabrakan dengan kain tenda. Saya bisa merasakan air mengalir dengan
deras dari balik punggung saya. Krucuk... krucuk.... Tapi entahlah, saya merasa
hujan ini sebenarnya tidak menambah efek seram. Saya justru sangat menikmati.
Dan ah, saya rindu mandi, kawan. Pada detik itu pula saya bergumam dalam hati,
"what the hell am I doing here?"
Hehehe...
"Mas, kalo orang TN, mandinya di
mana?" Keesokan harinya saya iseng bertanya pada Mas Fajar, seorang
pegawai Taman Nasional Betung Kerihun yang ikut mengawal perjalanan tim kami.
"Ya, sama, Mbak, di sungai…,"
ujar lelaki asli Yogyakarta ini.
Hmf… Saya manyun lagi. Saya begitu
merindukan mandi yang biasa saya lakukan. Ngga lega mandi di sungai meski
airnya jutaan liter lebih banyak daripada sebuah bak di kamar mandi.
"Itu, Bang Herman punya kamar mandi,
Mbak…," sambung Mas Fajar kemudian. Mata saya langsung berbinar seperti
habis menerima honor tulisan, segera saya menghampiri Bang Herman untuk
melakukan konfirmasi.
"Bang Herman, boleh tak, aku dan Mbak
Anty numpang mandi di rumah Abang nanti sepulang dari Data Opet?"
"Boleh saja, silahkan…"
Ah, Bang Herman baik! Saya langsung
berkoar-koar pada Mas Ian, pamer bahwa akhirnya saya dan Mbak Anty bisa mandi
dengan leluasa lagi. Hoyeee!! Oh iya, beruntung kami hanya semalam saja di Data
Opet. Saya mendadak menderita flu yang cukup berat. Dan kaki saya juga sempet
ketempelan pacet. Pacet itu begitu gemuk, asik menyedot darah saya di
pergelangan kaki. Seandainya kamu penyedot lemat, Cet, aku biarkan kamu
nongkrong di situ. Tsah!
Kami tiba di Tanjung Lokang tepat setelah
senja rampung. Saya tak sabar ingin segera ke rumah Bang Herman dan mandi di
sana. Meskipun harus gelap-gelapan menyusur jalan kampung danmenyeberang sungai
kecil, ah tak apaaaa… Yang penting malam ini saya mandi di kamar mandi!!!
Mbak Anty mendapat giliran pertama untuk
mandi. Saya menunggu di serambi depan bersama Bang Herman. Generator mulai
dinyalakan, listrik menerangi rumah panggung ini seketika. Kak Kristina, istri
Bang Herman baru datang dari sungai di belakang rumah. Pasti habis mandi. Tubuhnya
masih dibalut handuk besar putih. Dua anak Bang Herman menonton TV layar datar
di ruang tamu. Mereka menyaksikan acara lagu-lagu milik stasiun TV negara
tetangga. Tak heran. Semua yang berkaitan dengan negara tetangga memang tampak
lebih eksis di tempat ini.
Tak lama setelah Mbak Anty mandi, giliran
saya masuk ke kamar mandi. Well, perasaan saya susah digambarkan. Memang
berlebihan, tapi rasanya destinasi terindah saat itu adalah kamar mandi.
Hahaha… Byar byur byar byur!
Setelah mandi, kami tidak langsung pulang,
karena Kak Kristina menyuguhkan kopi hitam dan donat dengan meses warna-warni.
Huaaa… Rasanya sudah lama saya ngga makan donat! Ah, sudahlah. Puas ngobrol
tentang berbagai hal, kami berpamitan meninggalkan rumah ditemani Bang Saleh
karena jalan di sini begitu gelap gulita, yah apalagi harus ada adegan nyebrang
sungai segala.
Di dalam kamar pondok, Mbak Anty lalu
berujar, "Put, lu mandi berapa gayung tadi?"
"Hm, banyaklah, Mbak…"
"Haduh, itu airnya uda kotor, Put!
Gua cuman mandi tiga gayung kayaknya. Lu ngga ngebau apa-apa tadi di kamar
mandi?"
"Nggak.. Aku kan pilek..."
"Oh iya deng! Duh, itu kan air sungai
yang disedot ke atas, nah kayaknya udah beberapa hari ngga pernah diutak-atik.
Tadi pompa airnya juga ngga nyala, jadi ngga bisa nampung air sungai
baru. Air sungai kan isinya macem-macem, Put.. itu tadi baunya kayak air
basi… Udah besok kita mandi di sungai belakang aja."
Oke mendengar berbagai penjelasan itu,
saya bersyukur sedang flu. Membayangkan banyak bakteri dalam air tadi, seketika
saya langsung mengambil obat gosok andalan yaitu minyak kayu putih dan
mengusapnya secara random. Bagi saya, minyak kayu putih lebih ajaib daripada
antibiotik. :D
Acara mandi selanjut-selanjutnya pun
dilakukan di sungai belakang pondok kami tercinta. Lama-lama kami cukup
terlatih kok mandi dan buang air di sungai. Di sungai pun kami sering
membicarakan banyak hal. Pernah saat itu, jam delapan pagi, kami sudah berada
di sungai kesayangan. Sambil santai duduk di bebatuan saya mencuci muka dengan
malas. Pagi di sini rasanya terberkati, suara gemericik kali dan curahan
oksigen segar yang tak terkontaminasi.
"Jam segini, temen-temen gue lagi
kejebak macet nih di Jakarta..."
Mbak Anty terbahak. Saya juga.
Seekor anjing mendekat, mengendus-endus tanah di tepi sungai, bermain-main di sana. Ikan
belang oranye-hitam masih berdua-duaan di dekat bebatuan. Di bawah langit yang
sama, di atas tanah Indonesia yang sama. Tanjung Lokang dan Jakarta. Ah,
rasanya tak usah dibanding-bandingkan. :)
Ketika hari kepulangan meninggalkan
Tanjung Lokang tiba, tak henti-hentinya saya berharap untuk segera sampai di
Resort Nanga Bungan TN Betung Kerihun. Kamar mandi sudah pasti menjadi sasaran
saya. Kami memang harus mampir dan bermalam di sana, untuk beristirahan dari perjalanan
di atas sampan yang sangat panjang dan melelahkan.
Dan benar saja, sesampainya di Resort
Nanga Bungan, air dari bukit yang dialirkan ke kamar mandi begitu tumpah ruah.
Bahkan kran pun kadang tidak dimatikan, dan dibiarkan saja air alami itu terbuang
ke sungai kembali. Saya mandi dengan penuh penghayatan. Tak pernah seumur-umur
saya begitu mencintai ritual mandi ini. Rasanya ingin berlama-lama di kamar
mandi mengguyur tubuh dengan air yang begitu segar itu.
Sejak saat itu, di destinasi lain di Kalimantan
Barat, saya menjadi orang yang paling rajin mandi. Beberapa hari setelah
kembali ke Jawa, Mas Ian dan Mbak Anty sempet bilang bahwa mereka sangat
merindukan saat-saat saya ngomel ketika mereka berdua malas mandi. Hehe!
Bagaimana pun, setiap perjalanan selalu membawa pelajaran. Bisa mandi dua kali
sehari dengan air bersih melimpah plus tembok tertutup adalah aktivitas
sederhana yang harus dinikmati dan disyukuri.
:)