Minggu, 25 Juli 2010

Bukit Para Dewa


Dalam rangka bongkar-bongkar file, saya bertemu dengan tulisan lama ini. Sebuah dokumentasi ketika saya pulang dari Dieng februari 2010 lalu. Lebih tepatnya sih ini curahan hati di kala mendaki Bukit Sikunir, si bukit memorable, demi melihat sunrise.

Kalau ada yang belum tau dimana keberadaan Dieng, bukan berarti kalian ngga g4o3L kok... hehee... Dieng itu sebuah dataran tinggi di Wonosobo, Jawa Tengah dengan ketinggian mencapai 2100 mdpl. Berada di Dieng dua hari seakan tinggal di sebuah pedesaan di atas langit. Hehe, ini serius!! Rasanya rumah saya di Jember pun berada jauuuuh di bawah....


Menurut bahasa Sansekerta sendiri, kata Dieng ini berasal dari kata Di-Hyang. ”Di” yang berarti gunung, ”Hyang” artinya dewa. Bisa diartikan sebagai pegunungan tempat tinggal para dewa. Dan saya yakin, para dewa memang punya selera tinggi dan persyaratan ketat dalam memilih kediaman sehingga terciptalah Dieng plateu ini. Banyak padang rumput dan ilalang-ilalang cantik, bukit-bukit hijau yang menyegarkan mata, bunga-bunga berwarna yang tumbuh liar, selimut tipis kabut yang akan turun pelan jika sore menjelang. Memang cocoklah menjadi tempat tinggal favorit para dewa. Yah, pokoknya kamu akan setuju dengan saya, kalo kamu sudah berada di sana. :)

Ketika ada kesempatan traveling ke Dieng, yang ada di otak saya hanya ada dua keinginan yaitu ketemu si eksotik anak gimbal, dan apapun yang terjadi saya harus melihat sunrise dari atas bukit. Hah, kalo dipikir lagi kenapa saya harus susah-susah pergi ratusan kilometer demi melihat matahari terbit sementara saya sering kesal harus panas-panasan ketika suhu Surabaya lebih dari 40 derajat?! Yaaah... mungkin otak saya sudah ngga se-excellent dulu lagi....



Yap, travelmates saya kali ini ada tujuh orang dengan latar belakang dunia yang berbeda-beda... dunia fana, dunia maya, dunia lain, dunia dalam berita... Dua diantaranya malah baru saya kenal pas hari H.

Em, saya ngga menemukan masalah yang sangat penting untuk dipermasalahkan ketika harus traveling dengan banyak orang, sekalipun tanpa kendaraan pribadi. Saya sih yakin-yakin saja everything’s gonna be ok selama kita ngga berencana jadi maling ayam di perjalanan. Kalo nyampe tujuan ya senengnya bareng, kalo lagi sial yaaa apesnya bareng, seperti pada saat kita harus plonga-plongo dengan mata super ngantuk dan hampir desperate, di terminal Bungurasih sampai jam satu dini hari bersama ratusan penumpang yang menanti kedatangan bus menuju Jogja. Yah... kala itu memang sedang long weekend. Salah siapa coba? Salah yang ngajak... (baca: Putri)

Memakan waktu dua belas jam lebih dari Surabaya, keluar masuk terminal, naik turun bus, mendengarkan ribuan pengamen dengan lagu melayu yang mendayu-dayu sebagai sontrek perjalanan kami, betapa Dieng itu benar-benar ada di atas awan, sodara-sodara... jauhnya ngga kira-kira...


Dan betapa saya sangat bungah saat bis sempit, jelek bin panas dari Magelang itu mulai memasuki Wonosobo. Ketika jejeran kebun teh, ladang-ladang pak tani, dan kabut-kabut putih khas dataran tinggi sudah mulai terlihat plus semilir angin segar yang sudah bisa saya hirup. Saya senyam-senyum sendiri menikmati semua itu, dan semoga Setiadi yang duduk di sebelah saya ngga melihat adegan itu, kalaupun dia lihat, semoga dia ngga mikir bahwa temannya ini sudah gila karena seharian belum mandi, hanya gosok gigi. Amin.

Dengan kekuatan Irma sebagai ratu tawar-menawar berwajah melas, kami bisa istirahat di Dieng Kulon, di sebuah homestay milik Bu Siti yang sudah bersertifikat dari dinas pariwisata Jawa Tengah lengkap dengan foto host infotainment berbibir tebal, Joe Richard, di dinding kamar. Tentu saja hal paling krusial yang perlu dicek dari homestay di Dieng bukanlah foto artis yang pernah menginap disitu, tapi ketersediaan air panas untuk mandi dan selimut tebal sebanyak-banyaknya.

Dengan perjanjian akan bangun jam 3 pagi demi melihat matahari terbit dari desa berketinggian 2000 mdpl lebih ini, maka kami memutuskan untuk tidur secepatnya malam itu. Tapi sungguh ngga mudah mengeluarkan badan dari gulungan selimut tebal ketika udara dini hari semakin menusuk-nusuk kulit. Hihhh...

Saya sempet teringat Bu Siti yang berkata sambil tertawa enteng bahwa bulan Februari itu bulan hangat, coba saja datang bulang Agustus, rerumputan diluar bisa jadi batangan es, ngga perlu masuk freezer. Bahkan untuk tidur pun perlu empat lapis selimut. Hm, ya sudahlah, mari kita tidak usah membayangkan hal-hal horror macam itu.

Dengan tekad amat sangat kuat, kami semua benar-benar bangun sesuai jadwal, wiiiih delapan orang keren ini emang high quality traveler daaah... Kita bersiap-siap, bersih-bersih diri, sarapan mie rebus 10 bungkus pake lauk telur asin dari Kalisat, dan setelah sholat subuh kita langsung naik mobil sewaan menuju TKP dengan driver paling ganteng se-Dieng Kulon, Mas Eko. Tak ketinggalan kita haturkan terima kasih banyak pada Bu Siti dan suami atas selimut-selimut tebal penyelamat hidup, semoga kita berjumpa lagi.

Yap, menuju si Bukit, yang belakangan saya baru tahu bernama Bukit Sikunir itu, membutuhkan kira-kira 20 menit perjalanan dengan mobil, melewati medan yang naik turun khas jalanan di Dieng. Setelah mobil di parkir di sebuah lahan di depan telaga, entah mengapa saya merasa tertipu: ternyata bukitnya harus didaki, huhu....

Kirain turun dari mobil, langsung cling, keliatan sunrise gitu. Wah, entah kenapa bagian ini luput dari artikel-artikel yang pernah saya baca sebelum berangkat ke Dieng. Intinya, kenapa ngga ada yang ngasih tau kalo melihat sunrise harus mendaki secara CEPAT kayak ninja di bukit yang remang-remang?! Huaaaa, kaccauu.... Saya memang bukan anggota mahasiswa pecinta alam yang hobi naik turun gunung, tapi saya pikir kalaupun suatu saat nanti saya harus mendaki gunung tidak perlu pake acara buru-buru seperti ini.

Walaupun tidak sejauh ketika mendaki di Kawah Ijen, tapiiii.... waktu terus berlalu, dan matahari sudah siap bangun dari tidurnya... Oh, noo... Beberapa kali saya juga kesulitan menghirup napas dari hidung, yap ini sudah menjadi penyakit saya ketika berada di lingkungan udara yang dingin... nafas tambah berat, badan semakin capek, mata sempet ngga fokus alias nggliyeng...

Jalan setapaknya sempit, tikungan curam, dan licin bekas hujan semalam, sedangkan saya hanya pake sandal jepit Nevada yang gerigi alasnya sudah ngga kuat menahan batu-batu berlumut basah. Ketika samar-samar saya membaca papan kecil bertuliskan AWAS JURANG, huaaaa... saya jadi tambah ngga konsentrasi dan stress sendiri bingung cari pegangan takut ngglundung.

Saya sempet mikir, kali ini sepertinya saya harus ngalah sama matahari yang udah pengen terbit. Mungkin ini karena saya terlalu sering menggerutu kalo kepanasan di Surabaya. Sungguh, saya ngga perlu eskalator, saya cuman pengen Adam Sandler mau minjemin remote ajaibnya, kemudian saya klik pause, biar si matahari diem dulu di peraduannya dan saya leyeh-leyeh sebentar mengumpulkan tenaga.

Sampai saya melihat satu papan kecil lagi bertuliskan AYO, SEBENTAR LAGI SAMPAI KOK lengkap dengan icon SMILE. Hah! Sungguh tidak membantu, apalagi di saat napas saya ngos-ngosan, rasanya si icon kok malah ngetawain saya yang ngga pernah olahraga ini. Yasudahlah saya terus jalan, tapi tambah pelan, sepertinya wajah saya juga sudah memucat hahaha... Menyedihkan.

Lalu saya berpikir lama dan menganalisa ala suka-suka, bahwa ada kunci penting untuk melihat sunrise di Bukit Sikunir: pelajarilah rumus umum matematika yang sudah diajarkan sejak SD yaitu jarak yang harus di tempuh dibagi kecepatan berjalan akan menghasilkan waktu yang diperlukan untuk sampai ke tempat tujuan. Cari juga data jam berapa matahari biasa muncul, dengan begitu Anda bisa memperkirakan akan mendaki dengan santai mulai jam berapa biar tepat waktu sampai di atas bukit.

Waw, berpikir scientifically ternyata bikin saya ngga sadar kalo penderitaan ini akhirnya berakhir!!! Sippooo... saya sudah sampaaaaaiii... haaaa... Di mata saya sudah terbentang pemandangan kayak di kalender... Puncak Gunung Merapi, Gunung Sindoro, dan Gunung Sumbing terlihat dengan sangat jelas dari bukit mahadahsyat ini. Walopun mustahil, tapi saya merasa sudah mendaki tiga puncak gunung sekaligus pagi itu, wahaha... amazing pokoknya....

Biru langitnya sudah sempurna seperti yang saya inginkan. Semburat warna oranye, dan pola langit yang unik timbul ketika si matahari mulai menampakkan diri. Samar-samar terlihat hamparan awan putih seperti kapas arum manis di sekitar pegunungan itu. Hijau bukit-bukit sekitar benar-benar bikin udara di atas sana menjadi luar biasa segar... waaah... Sebenernya saya pengen komentar banyak, tapi tenggorokan kering, dan berita gembiranya sodaraaaa, yang membawa minum hanya Setiadi seorang. Kali ini saya benar-benar merasa bodoh karena ngga siap apa-apa. Oh iya, saya baru sadar ternyata telapak tangan saya kotor sekali, penuh sisa-sisa tanah basah, karena sibuk meraba-raba banyak hal dalam rangka mencari pegangan tadi. Hehe....


Melihat sunrise dari Bukit Sikunir ternyata jauh lebih leluasa dibandingkan di Penanjakan, Bromo. Ketenaran sunrise di Bromo yang sudah mendunia menyebabkan terlalu banyak bule-bule, yang notabene manusia berbadan tinggi besar, yang mampu menutupi pandangan tubuh mungil saya untuk melihat matahari. Ya, alasan ini memang sifatnya agak pribadi. Tolong jangan dijadikan acuan, haha... Bromo tetap punya gaya yang bagus tak terkira dalam menerbitkan matahari, walaupun harus diakui bahwa Bukit Sikunir yang relatif sepi ini menyebabkan kita bisa lebih puas menikmati suasana yang ada.



Meski sudah banyak googling, browsing, surfing dan sebagainya sebelum berangkat ke Dieng, tapi masalah per-sunrise-an ini bener-bener terlewat dari mata saya. Saya justru baru tahu bahwa sebenarnya ada dua macam sunrise yang layak dikejar di dataran tinggi Dieng, yaitu golden dan silver sunrise. Golden sunrise itu bisa disaksikan dari dua tempat yaitu Gardu Pandang dan Desa Sembung yang konon adalah desa tertinggi di Jawa Tengah. Di desa inilah Bukit Sikunir berada.


Seperti sebutannya, golden sunrise akan menyebabkan refleksi warna langit berupa kuning keemasan pada saat matahari mulai terbit. Nah, kalau silver sunrise itu terjadi kira-kira pukul 7 pagi setelah golden sunrise. Tempat yang tepat untuk melihat silver sunrise itu di kompleks Candi Arjuna, kira-kira setengah jam dari Bukit Sikunir. Di sini, matahari yang timbul tidak lagi menyemburatkan warna kuning lagi tetapi lebih pada keperakan. Bila didukung dengan cuaca yang baik, maka warna perak dari matahari, akan sangat serasi dikombinasikan dengan warna biru dari langit.


Tapi toh saya ngga nyesel walopun kelewatan info itu. Mau sunrise bertipe emas, perak atau perunggu, saya tetap suka dengan view yang sudah saya saksikan di atas Bukit Sikunir. Saya lega luar biasa dan sangat bersyukur, karena di saat hujan turun setiap hari di bulan Februari, saya justru diberi kesempatan menyaksikan sunrise tanpa mendung. Yaaaah, kepleset-kepleset dikit pas hiking ngga masalah lah... Buat hiburan yang ngeliat...


Well, sebenernya sih ngga perlu melakukan perjalanan sejauh dan secapek itu untuk melihat sunrise ataupun sunset. Saya malah pernah melihat matahari terbenam dengan begitu sempurnanya hanya dari balik jendela bus yang saya tumpangi. Simple.

Tapi ya begitulah, susah dijelaskan... apalagi untuk orang-orang yang sudah kecanduan Cannabis travelium (spesies ganja baru temuan saya yang bikin pemakainya gila-jalan-jalan) maka sesusah dan sejauh apapun tempatnya, semua berasa sah-sah saja untuk dilakukan, hoho... termasuk urusan kejar-kejaran sama matahari ini.
Okelah, saya sudah ngga bisa menggambarkan the beauty of Bukit Sikunir lebih panjang lagi, karena itu saya dan John Mayer hanya bisa berpesan: jangan cuman baca tulisan ini, you should have seen that sunrise with your own eyes...

Hepi hiking a la ninja!
***
NB:
Dieng ini ’jualan-nya’ banyak banget. Komplit!! Banyak kawah, banyak telaga, banyak goa-goa, banyak candi, karena konon, dahulu kala masyrakat Dieng sendiri adalah pemuja Dewa Siwa. Di kompleks candi Arjuna juga ada museum-nya. Bersih, rapi, modern. Di sini kita bisa nonton pilem tentang asal-muasal Dieng dulu, termasuk tentang mitos Anak Gimbal. Bukan mitos sih sebenernya, lah wong anak gimbal itu beneran ada. Para orang tua anak gimbal, memiliki kepercayaan yang lumayan unik, hehe. Ketika seorang anak sakit, orang tua tidak berani menyisir rambut anak-anak mereka. Mereka percaya, jika rambut mereka dipotong dan dirapikan, maka si anak ngga bisa sembuh, atau sembuh tapi ngga lama kemudian penyakit akan datang lagi. Tapi biasanya, kalo si anak beranjak gede, dia malu, dan pasti minta rambut gimbalnya dipotong.



Pada Bulan Agustus, di Dieng sendiri akan diadakan ruwatan untuk pemotongan rambut para anak gimbal. Ruwatan ini berlangsung sangat ramai dan meriah gitu gosipnya. Si anak yang diruwat berhak meminta sesuatu pada orang tuanya lhooo dan wajib dipenuhi... Asik kan?? Tapi menurut info yang saya dengar sih, pihak pemerintah setempat yang akan memberikan hadiah tersebut.

Jadi, misal si anak minta sapi. Mungkin pemerintah akan memberikan satu plastik daging sapi. Tapiiii, untuk orang tua yang benar-benar percaya mitos ini, maka biasanya siiiih, si anak beneran akan dibelikan sapi. Iya, sapi hidup. Oh... kalo saya anak gimbal, saya mo minta Lumix GF1 saja. Wkwkwkw... Ngga tau diri...






Baiklah, selamat berkunjung ke Dieng jikalau ada kesempatan. Jangan lupa bawa jaket :)


Buat Irma, Anik, Gami, Nurul, Setz, Fahmi, Tantok… God bless all great travelers :D

2 komentar:

  1. keluar masuk terminal gonta-ganti bus yang paling seru, hahaha! oya sate dieng juga mak joss, guede-guede!:D

    BalasHapus