Banyak orang yang berlalu lalang dalam hidup kita. Easy come, easy go. Sepuluh tahun lalu, kita bahkan tak ada bayangan akan menjadi seperti apa, berada dalam keadaan apa, hidup di mana, menjalin hubungan dengan siapa dan sebagainya. Pada akhirnya, perjalanan hidup seperti sebuah pertunjukan drama. Ada babak-babak tertentu yang harus dijalani lalu dilewati seberat apapun.
Menjadi anak kos di Surabaya adalah salah satu babak hidup yang tidak akan saya lupakan. Dimulai pada tengah tahun 2005 hingga berakhir di awal 2013. Yap, 8 tahun. Entah betah atau malas mengemas barang, selama kurun waktu itu saya hanya pindah kos satu kali yaitu pada saat akhir semester satu. Selepasnya, kurang lebih 7,5 tahun saya hidup di dalam kamar kos yang itu-itu saja.
Kemarin, 22 Juni 2013, salah satu sahabat baik saya, Rina Fariana, melangsungkan resepsi pernikahannya. Well, sebenarnya dia dan suaminya sudah melaksanakan akad pada Maret silam. Semua digelar serba mendadak saat (calon) ayah mertuanya meninggal dunia. Saking tiba-tibanya, saya tidak bisa datang ke Jember untuk menyaksikan akad nikahnya. Tak apalah, yang penting doa tetap mengalir.
Berteman dengan Rina, mungkin bisa menjadi sub babak tersendiri dalam kehidupan saya sebagai anak kos. Saya mengenalnya di ruang belajar yang sama saat kelas 3 SMA di Jember. Hal yang paling membekas di ingatan adalah ketika dia (dituduh) tidur di dalam kelas oleh Pak Ketut, guru Biologi, sekaligus walikelas kami. Wajah Rina memerah, malu sekaligus geram karena katanya sih dia tidak tidur, hanya menyandarkan kepala saja.
Saya tak terlalu dekat dengannya saat itu. Hingga tiba saatnya saya hijrah ke Surabaya untuk melanjutkan pendidikan di bangku perguruan tinggi. Saya dan Rina bertemu lagi di sebuah rumah kos di Jalan Karang Wismo di Surabaya. Awalnya Alycia, teman semasa SMP saya, mengajak untuk menyewa kamar kos di rumah yang sama. Kebetulan, gadis yang saat ini bekerja sebagai host di berbagai TV swasta ini, diterima menjadi mahasiswa Broadcast di Unair. Dia pun sudah memiliki calon rumah kos di Surabaya. Tak menunggu lama, saya mengabari Leny, kawan SMA saya yang juga diterima di Unair untuk ikut gabung di rumah kos tersebut. Setelah survey dan cocok dengan rumah tersebut, Leny mengajak Rina yang ternyata juga masuk sebagai mahasiswa baru Unair. Saat itu, saya sekamar dengan Alycia. Sedangkan Rina dengan Leny. Kami menempati dua kamar di lantai 3. Karena tak ada kamar lain, kami menganggap lantai 3 seperti rumah kami sendiri.
Dengan formasi ini lah kami memulai episode baru di Karang Wismo selama enam bulan. Awalnya sih, kami hanya menarget satu bulan kos di sana. Ngga kuat naik turunnya. Tapi sebagai mahasiswa baru rupanya kami terbuai dengan kesibukan-kesibukan yang belum pernah dialami sebelumnya. Hingga tak sadar, satu semester telah berlalu. Libur menjelang semester dua kami manfaatkan untuk mencari tempat baru. Rupanya memang kami ditakdirkan untuk berada di lingkungan yang sama. Kebetulan ada rumah kos baru milik Mbak Maya, anak ibu kos di Karang Wismo, yang sedang dibangun di Karang Menur. Hanya sekitar 50 meter saja jaraknya. Dan disitulah kami berlabuh. Masih dengan formasi sama namun dengan kamar yang terpisah sendiri-sendiri.
Di lantai 2, ada tiga kamar yang berjejeran diisi oleh Leny, saya dan Rina. Sedangkan Alycia memilih kamar di bawah. Kami berempat ditambah Novi, Dian Maia, Mbak Ratih, dan Elia adalah angkatan pertama di kosan yang masih bau cat itu. Pemilik rumah tak tinggal bersama kami, hanya ada mbak penjaga kos saja. Tentu hal ini menjadikan petualangan kami tambah seru (dan bandel). Yah, walaupun pada tahun 2008 akhirnya rumah itu ikut dihuni juga oleh Mbak Maya yang baru menikah.
Saya menjadi sangat dekat dengan Rina saat mulai kos di Karang Menur. Kamar kami bersebelahan dan kami punya agenda wajib yang bernama gelimbungan atau begadang curhat-curhatan sampai pagi. Leny tak terlalu suka tidur malam, sehingga dia jarang sekali ikut nggelimbung. Padahal kami terobsesi untuk gelimbungan di kamar Leny yang memang paling rapi di antara kamar atas.
Sementara kamar saya tidak rapi karena berbagai majalah, kamar Rina bagaikan Ace Hardware, penuh pekakas dari yang kecil hingga besar. Dari yang aneh hingga yang wajar. Terakhir saya tengok, dia bahkan punya tiga set kipas angin dengan berbagai model. Dia punya rice cooker super mini, dan berbagai alat untuk mengeriting rambut. Rina ini lucu, saat sebelum kuliah rambutnya memang keriting alami. Namun saat itu kan lagi ngetreng rebonding, jadilah dia ikut meluruskan rambutnya. Dua tahun belakang saat booming K-pop dan K-drama, dia kembali mengeriting rambutnya a la mbak-mbak Korea. Oh iya, dia juga punya gorden anti sengat matahari, terus ada vacuum cleaner, alat A, lalu berganti B, kemudian ada yang C dan sebagainya.
Sebagai tetangga kamar kos, dan partner gelimbungan, saya mungkin sangat tahu persis seluk-beluk percintaannya. Tak semua memang berjalan mulus. Saya masih ingat bagaimana dia begitu linglung saat hubungan yang sudah dijalin selama 3 tahun itu mendadak berakhir. Saya terkejut saat dua minggu lalu, saya membongkar isi hardisk dan ternyata masih menyimpan foto-foto wajah Rina dengan mata sembab dan bengkak. Malam itu Rina baru beberapa hari putus. Saya dan Novi menghiburnya dengan berbagai macam hal (yang sebenarnya tak membantu).
Bagi saya, Rina itu perempuan yang gigih sekaligus rapuh. Ada beberapa hal dimana saya bisa tahu persis bahwa dia sedang ngotot dan yakin pada pendiriannya. Sesepele mencari alamat di dalam peta. Namun ada kalanya saya bertemu dengan Rina yang tidak sanggup mengucap 'tidak', yang terlampau menurut, yang terlalu baik kepada orang lain yang jelas-jelas memanfaatkannya. Sampai saya geregetan. Eh, atau saya yang terlalu berprasangka buruk pada orang lain ya? Hahaha…
Hal yang paling nempel ketika membicarakan Rina adalah tahi lalat di wajahnya. Buanyak bo! Ada kejadian yang saya ingat, saat Pak Fatah, Bapak si Rina datang ke kos membawa gulungan kertas. Ketika dibuka, rupanya gulungan itu adalah banner raksasa yang memajang foto Rina mengenakan toga wisuda. Yang bikin kami ngakak lagi, tahi lalatnya Rina diilangin pake fotosop, bro! Dan ini adalah ide spektakuler Pak Fatah sendiri. Luar biasa…
Tapi saya lumayan percaya ketika dibilang bahwa orang yang banyak tahi lalat diwajah itu banyak rejeki. Salah satunya ya pengalaman-pengalaman Rina. Rejeki kan bukan cuma duit ya. Kalau masalah duit doang sih buat Pak Fatah tuh urusan sepele. Hehehe… Ya mungkin itu efek kebaikan dan kegigihan Rina. Orang baik Insya Allah ngga jauh-jauh dari kebaikan juga. Dan disitulah rejeki.
Nyebut Pak Fatah jadi ngerasa salah gini. Saya pernah mengajak Rina ke Karimun Jawa tanpa pamitan ke Pak Fatah. Bilang cuman mau ke Jepara doang. Udah gitu kapal ferry yang kami tumpangi sempat dihantam angin besar sampai hampir miring. Penumpang histeris. Terjadi keributan saat berebut rompi pelampung. Rina langsung tercekat pucat. Sepertinya dia kapok jalan sama saya lagi... :p Kecuali jalan ke mall tentu saja.
Well, tetapi kawan saya ini bukan copycat malaikat juga sih. Dia tetap manusia biasa yang lemot, ngerepotin, manja, cengeng, hobi bangun siang dan ngga pernah sisiran kecuali habis keramas. Suatu hari dia pernah tiba-tiba memeluk saya sambil menangis sejadi-jadinya. Lalu terbata dia menceritakan kesalahan besar yang diperbuat pada (mantan) pacarnya, yang notabene adalah sahabat masa kecil saya.
Pada akhir curhatan dia bertanya, "Min, masih mau jadi temenku?"
Hingga saat ini saya tidak pernah menyalahkannya, karena Alhamdulillah sih, dia sudah sadar sendiri bahwa dia salah. Saya tahu persis bahwa Rina tidak pandai menyembunyikan kebohongan. Ah ya pokoknya Mbaksis dan Masbro, cinta memang masalah yang rumit. Ada hal-hal yang tidak bisa diterima, ada juga masanya kita menjadi maklum, lalu lupa, terakhir sih biasanya jadi lucu sendiri kalau diinget-inget. Yang penting, belajar dari kesalahan saja ya.
Kok jadi macam blog motivator gini…
Oh iya, saya dan Rina punya nama khusus yaitu "Min". Jadi kami memang sailing memanggil dengan sebutan itu. Entah itu diplesetkan jadi Mintok, Minul, Mina, dan sebagainya. I don't even know what the meaning of 'Min'. Lupa juga udah mulai kapan manggil kayak gini.
Kalau ngomongin detil-detil babak ini, rasanya bisa bikin novel ya. Tapi palingan males mau nulisnya. Hahaha… Sudahlah. Well, selamat menempuh hidup baru, Min. Senang bisa berbagi kepercayaan sama manusia kayak kamu. Kita udah kayak orang pacaran sih ya, complete each other. Hehehe...
Terima kasih sudah pernah memanjatkan doa buat saya dan Mas Dian (yang waktu itu statusnya masih calon suami) di Jabal Rahmah. Dan akhirnya tahun ini kita sama-sama jadi sarjana anak kos untuk masuk ke babak baru kehidupan. Be a wife! What a journey :)
Ri(han)na Fariana - Umbrella ela ela ela - Ratu Boko DIY - Over years ago
suasana kos memang selalu memiliki kesan khusus, selain lepas dari kenyamanan rumah, juga bertemu dengan orang-orang yang senasib. dengan seiring waktu bisa menjadi sahabat baik atau malah musuh. membaca tulisan ini membuat saya tersenyum sendiri. Mungkin, klo chrisye hidup di zaman kita, mungkin lagunya ganti jadi masa-masa paling indah ya di kuliah.
BalasHapus