Minggu, 03 Februari 2013

Tasyakuran a la Pak Ridwan

Pada Februari 2012 lalu, saya sempat menyambangi si pacar di Sumba, Nusa Tenggara Timur. Waktu itu saya menggunakan satu-satunya maskapai yang melayani rute Surabaya - Waingapu (Sumba Timur) yaitu Batavia Air. Sayang, beberapa hari lalu maskapai kenangan yang kabarnya menyandang predikat zero accident ini harus berhenti beroperasi karena pailit.

Saya sudah ngidam pingin ke Sumba semenjak sekitar 2010. Tapi percayalah yang namanya mestakung. Saya baru bener-bener ke Sumba saat akhirnya pacaran dengan salah satu pegawai Taman Nasional Laiwangi Wanggameti.

Selama di pulau tersebut, saya sempat lintas kabupaten bersama dua orang travelmate dari Jakarta dan Yogya. Si pacar tidak masuk itungan karena dia kan harus kerja ya. Tapi bohong kalo saya ga pingin jalan-jalan sama dia. Let him describe all about Waingapu to me. So, khususon regional Sumba Timur, saya misah dari dua travelmate tadi. Kebetulan kami juga memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Salah satu hendak menuju Flores dan yang lain sedang menggarap dokumenter di Sumba Barat.

Yasudah, saya habiskan sisa hari sebelum kembali ke Surabaya buat pacaran di Waingapu. Kalo pas si pacar kerja, saya naik ojek sendirian ke Kampung Raja Prailiu. Pulangnya dijemput pacar di sana. Macam ngejemput ibu-ibu baru pulang PKK saja ya... :3

Sebelum berangkat kerja atau sore menjelang senja biasanya kami jalan-jalan dulu pake motor pinjeman ke dermaga lama. To do nothing. Palingan mampir Cinta Karya, toko kelontong paling lengkap di Waingapu, buat beli dua kaleng susu kedele produksi Negeri Jiran merk Naraya terus ya udah deh duduk-duduk sambil dengerin iPod atau motret apa aja yang lewat di dermaga. Bukan tempat yang terlalu fotografis tapi justru itu yang saya suka di sini. 

But nothing last forever ya, saya pun harus balik ke Surabaya. Hari terakhir di sana, Pak Ridwan, pemilik kos tempat pacar tinggal, bilang bahwa beliau sudah menyiapkan tasyakuran kecil-kecilan untuk saya sebelum pulang. Wah saya seneng dong ada keramahtamahan seperti ini. Pak Ridwan dan Mamak, istrinya, memang sering nimbrung saat saya di sana. Mostly sih mereka ngegodain kapan kita nikah dan sebagainya. 

Sore itu kami kembali diingatkan untuk tak perlu membeli makan malam di luar. Si pacar denger bocoran bahwa Pak Ridwan juga mengundang beberapa teman kerja pacar.  Keluarga ini rupanya sangat dekat dengan para perantauan di Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, meskipun yang resmi ngekos di tempat Pak Ridwan dari TNLW hanya dua orang saja. 

Lho ya mendengar berita itu, saya mendadak nervous gini. Berasa mau diospek. Saat malam tiba, beberapa motor mulai terparkir di garasi. Teman-teman pacar benar-benar datang. Rupanya, kemampuan masak Mamak yang sudah terkenal, menjadi godaan utama mereka kemari. Fiuh, mendengar modus itu dari pacar, saya lega hehe...

Karena pacar harus beli Kopi Flores titipan kawan saya terlebih dahulu, otomatis kami datang sebagai undangan terakhir. Lokasi tasyakuran itu ada di sebuah gubuk terbuka beratap ilalang di halaman rumah Pak Ridwan. Hehe, tidak jauh, hanya lima meter dari tempat kos. Ada sekitar 10-12 orang yang berkumpul di tempat itu. Begitu kami melangkah masuk, terdengar beberapa siulan, lalu yang lain menyeletuk tentang penghulu atau apalah, hal-hal yang menimbulkan reaksi tepok jidat lainnya. 

Pak Ridwan yang juga menjabat sebagai ketua RT setempat ini, sempat memberikan sedikit kata sambutan *hya ampun* yang intinya juga turut mendoakan hubungan saya dan pacar segera diresmikan. Saya dan pacar cuman bisa meringis-ringis saat semua mata tertuju pada kami. Malu, cyin... XD

Rupanya penonton sudah lapar, sodara-sodara. Kelar menggojlok kami, hidangan pun diantarkan oleh Mamak. Semua bersorak riang. Modus itu rupanya benar. Hahaha... Mamak  mengatakan bahwa masakan bernama sayur sepat ini adalah menu tradisional di kampung halamannya, Bima. 

Penampakan sayur sepat ini sepintas mirip tom yum. Bening gitu kuahnya. Ada potongan tomat dan terong di dalamnya. Daun-daun kemangi juga tampak berenang-renang di permukaan. Seharusnya pun ada ikan bakar yang disembunyikan di dalam kuah sebagai hidden paradise. Tapi saat itu, karena tak terlalu banyak ikan di pasar, maka Mamak memilih membakar beberapa ikan dan dipotong-potong di atas piring lain agar semua kebagian. Saya ngga tahu gimana cara masak ikan bakar di sini, tapi kulit ikannya tampak bersih seperti ngga kena arang. Malah seperti masih mentah, tapi anehnya daging ikan sudah matang sempurna. Hal serupa juga saya temukan saat berada di Jailolo. 

Saya mengamini jika ada yang mengatakan bahwa Mamak jago masak. Kuah sayur sepat yang ternyata mengandung perasan jeruk nipis ini begitu segar di lidah. Kombinasi yang aneh sebenarnya antara ikan bakar dan siraman sayur. Tapi masakan ini sangat lezat. Apalagi mengingat susah menemukan menu tradisional Sumba selama saya di pulau tersebut. Karena gengsi, saya ngambil sayur sepat cuman sedikit doang. Ih. Padahal saya masih mau ngegadoin semua ikannya sampe tinggal duri. :9

Saya sempat berdiskusi sama si pacar tentang masakan tersebut sembari makan. Saya tak berhenti-hentinya berbisik, "ini enak banget sih...". Lalu beberapa menit kemudian kami diberondong "ciye... ciye..." dari semua orang di gubuk yang rupanya merhatiin gerak-gerik saya dan pacar. +_+

Meski selama beberapa jam menjadi bulan-bulanan Pak Ridwan ditambah teman-teman kerja pacar, tapi masakan Mamak adalah satu hal yang saya syukuri malam itu. Kelak kalau ada kesempatan ke sana lagi, saya mau belajar ah cara bikin sayur sepat. Ntar bagi-bagi resep di blog biar kalian semua bisa nyoba. *sok iya banget*

:))

1 komentar:

  1. Waaahh sayang sekali, harusnya kamu kursus bikin sayurnya, trus buka rumah makan sumba di surabaya. Nanti saya mampir deh...

    BalasHapus