“Daripada dicereweti mantu, mending datang ke sini tiap minggu,” canda Pak Lim Oo Yen, disambut gelak tawa beberapa lansia yang berkumpul di sampingnya. Tempat itu bernama Yayasan Lima Bhakti, terletak di Jalan Bunguran yang masih termasuk dalam kawasan Pecinan Surabaya. Sejak 65 tahun yang lalu, bangunan tua ini memang didedikasikan sebagai tempat pendataan dan berkumpulnya para pemegang marga Liem khususnya di Surabaya.
Memasuki ruangan demi ruangan di sini, serasa sedang melewati distrik-distrik di Beijing. Hampir semua lansia masih fasih bercakap menggunakan bahasa Mandarin. Tempat perkumpulan ini memang lebih banyak ‘dikuasai’ oleh para lansia peranakan Tionghoa di akhir pekan. Mungkin ini sebagai salah satu cara mereka untuk melepas penat, bertemu kerabat, dan bersenang-senang dengan cara mereka sendiri.
Terlihat dari bagaimana mereka dengan tekun mempelajari kesenian Shufa, atau biasa disebut Chinese Calligraphy. Menorehkan kuas bertinta hitam, mengikuti template yang sudah tersedia pada kertas-kertas latihan sebagai dasar pelajaran kaligrafi ini. Melukis huruf termasuk kegiatan bernilai tinggi dalam sejarah kesenian China. Seorang master bahkan bisa menjual ’hasil coret-coret’ itu hingga milyaran rupiah di luar sana. Namun, alih-alih mengubahnya menjadi uang, saya rasa para lansia yang saya temui di Lima Bhakti hanya berkeinginan untuk mempelajari tradisi leluhur. Sesuatu yang hampir atau sudah dilupakan oleh generasi mudanya. Saya sih maklum, lha wong memang ini bukan ’pekerjaan’ yang mudah. Selain harus gemulai bermain dengan kuas, tebal tipis huruf pun berpengaruh, dan termasuk mengerti makna dibalik goresan yang sudah dibuat.
Pemandangan yang agak berbeda bisa dilihat ketika memasuki ruangan lain. Masih seputar kuas dan tinta. Namun ruangan yang menghadap teras belakang ini lebih menekankan pada Chinese Painting. Saya sebut berbeda, karena di antara para lansia terlihat beberapa anak kecil yang tampaknya lebih menggemari kesenian ini dibandingkan melukis kaligrafi. Menurut saya pribadi, melukis pepohonan memang jauh lebih mudah daripada mempelajari pepatah klasik Cina dalam kaligrafi. :)
Dalam perkembangannya, Yayasan Lima Bhakti tidak melulu diperuntukkan bagi marga Liem saja. Siapa saja boleh mempelajari kesenian Tionghoa di sini. ”Tidak ada perbedaan bangsa ini atau bangsa itu,” ujar Pak Lim Oo Yen. Dan semuanya gratis, sodara...
Selain kesenian melukis, Lima Bhakti juga memiliki tempat karaoke yang nyaman sekali. Ber-AC dan Anda bebas berteriak-teriak seriang mungkin di sini. Tentu saja, dalam nyanyian berbahasa Mandarin. Jangan khawatir salah ucap jika Anda termasuk yang masih newbie, akan ada tentor yang ’mengawasi’ Anda dalam bernyanyi di sana. Pemandangan yang hampir sama pernah saya lihat di Semawis, Pecinan Semarang. Setiap akhir pekan, para lansia berkumpul di pinggiran jalan, bergoyang dan bertepuk tangan, melantunkan berbagai lagu-lagu Mandarin populer.
Dalam ruangan yang lebih temaram, saya mendengar seorang wanita sedang bernyanyi sambil memetik kecapi diiringi suara seruling dari pria tua yang duduk di hadapannya. Keduanya tampak 'tenggelam', memainkan nada-nada dalam partitur yang sudah lusuh. Sekarang saya berasa nonton film-film silat jaman masih SD.
Bersebelahan dengan ruangan ini, segerombolan kakek-kakek nampak asik tak terusik bermain catur gajah atau biasa disebut Xiang Qi. Mereka melangkahkan pion-pion catur sembari berteriak seru. Tentu saja dengan bahasa yang susah saya mengerti. Katanya sih, seseorang menjadi agak susah diganggu kalau sudah ’terjebak’ dalam permainan ini. Xiang Qi termasuk olahraga yang butuh konsentrasi tinggi. Pantas saja mereka tidak terpengaruh dengan banyaknya lalu lalang orang di depan meja kecil itu.
Kalau Anda pikir, para lanjut usia tidak bisa bersenang-senang, maka sebaiknya Anda berkunjung ke tempat ini di akhir pekan dan perhatikan bagaimana mereka menghabiskan hari berkutat dengan kegiatan seru yang mereka lakukan bersama para sahabat. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar