Semarang Pesona Asia.
Saya membaca tulisan itu ketika sedang sarapan bubur ayam di Simpang Lima hari Minggu pagi dengan sahabat saya yang datang dari Jogja, Sulih. Kami berdua merasa geli sendiri membacanya. Maaf saja, tapi saya pribadi memang merasa sebutan itu terlalu berlebihan.
Begini ceritanya, pagi-pagi buta kami berdua keluar dari kosan untuk keluyuran ke Kota Lama di Johar yang nama kerennya adalah Outstadt itu. Yap, saya sengaja berangkat setelah subuhan, karena saya sudah pernah ke Johar jam 11 siang, dan hasilnya, saya jadi emosian karena matahari panasnya minta ampun, lalu lintas rame banget, bikin saya ngga nyaman menikmati kota tua.
Yah tentu saja, dengan berpagi-pagi datang ke jalanan berpaving yang konon mirip Little Holland itu, saya bisa bebas jalan kesana kemari. Ngga kepanasan, dan bisa leluasa foto-foto karena lalu lintas masih sepi, terutama di gang sabung ayam! Hahaaa... Sebulan yang lalu saya ke gang itu juga, dan mendadak saya merasa salah masuk. Dimana-mana orang pada sibuk nyabung ayam, hooo... saya jalan secepatnya, karena takut dimasukin kandang juga. Haha... Tapi minggu pagi ini, sabung ayam belum dimulai, mungkin si ayam masih sarapaaan... hihiiihiii sippooo....
Lalu kenapa saya bilang sebutan Semarang Pesona Asia itu berlebihan? Padahal hari itu saya hepi berhasil jalan-jalan di Outstadt tanpa esmosi. Yaaah... Look at this picture!
Salah satu gang di kota lama, dan gang-gang lainnya yang bernasib sama, tergenang rob. Rob adalah banjir yang diakibatkan naiknya air laut. Ketika berdiri di depan rob, kami ditegur oleh seorang ibu dan anak kecil yang melintasi rob dengan memakai sepatu boat. Waw... Amazing... Sepertinya sepatu itu termasuk kebutuhan primer penduduk daerah sini.
“Mbak, jangan lewat situ, licin... nanti kepleset...,” ujar beliau melihat usaha kami mencoba melintasi rob. Maka kami berdua mencoba alternatif gang lain, yang ujung-ujungnya bernasib sama, bahkan lebih parah. Akhirnya kami kembali ke gang awal, dan memilih melintasi rob dengan berjalan timik-timik di pinggiran jalan yang masih bisa terselamatkan dari genangan air. Pake acara manjat-manjat tempat sampah segala, waseeeklaaah... Semoga ngga ada yang liat... Berakhir dengan teriakan ‘hore’ yang jayus ketika kami mendarat di seberang lautan dengan selamat dan alas sandal penuh lumpur. Tolong ngga usah dipertanyakan, kenapa kami harus repot-repot ngelewatin rob yang sungguh kotor itu, karena kami juga ngga tau harus menjawab apa, haha... Ide itu mengalir begitu saja, tanpa ada yang protes, hoho...
Setelah berjalan ngga tau arah sampai kaki gempor, tiba-tiba kami mendengar ‘klakson’ kereta api. Tenaaaang, kami tidak sedang berdiri di tengah rel dan menunggu diseruduk kereta, hoho... Melanjutkan lagi berjalan beberapa meter, saya sudah bisa melihat sebuah polder besar. Yap, ternyata memang kami sudah di dekat Stasiun Tawang. Kami memang ada rencana ke stasiun, untuk melihat jadwal kereta menuju Jogja.
Setelah itu kami duduk santai sambil makan kue leker di depan polder Tawang. Setau saya polder itu dibangun untuk menampung air ketika laut sedang pasang. Walopun gosipnya, stasiun Tawang masih tetap saja sering kebanjiran. Polder ini dilengkapi dengan taman, jogging track, berbagai ayunan, dan pohon-pohon palm serta jejeran lampu-lampu cantik agar polder ini tampak ciamik. Sepertinya juga polder itu dimanfaatkan dengan baik oleh para pencari kutu air. Yah, saya ngga tau sebenernya hewan apa kutu air itu. Saya taunya kutu air itu penyakit jamur di kulit kaki kalau kita sering berada di tempat lembab. Tapi si Bapak bilang, kutu air itu digunakan sebagai makanan ikan cupang. Waktu saya tengok isi baskomnya, saya menemukan jutaan hewan sebesar pasir sibuk berenang-renang membentuk koloni menjadikan isi baskom berpola dan berwarna merah tua dan hijau.
Tipikal kegiatan hari Minggu pagi, banyak anak-anak kecil main bola, ada yang jogging dan bersepeda mengelilingi tepian polder. Dan untuk ukuran hari Minggu, polder ini ngga terlalu ramai layaknya Simpang Lima atau Alun-Alun di Jember. Jadi masih asik lah kalau cuman pengen santai sambil ngeliatin bapak-bapak nyari kutu air.
Nah, sayangnya, saya dan Sulih harus menyaksikan pemandangan super nggilani, yang bikin saya ilfil berat, dan miris ketika membaca spanduk-spanduk promosi wisata bertuliskan Semarang Pesona Asia tadi. Owmaigaaaat, kami berdua ‘terpaksa’ harus menyaksikan orang lagi asik BAB di pojokan polder. Astagaaannagaaa, ya kok ngga sungkaaan gitu??? Banyak orang olah raga, banyak anak kecil main, dan yang terpenting, kenapa pas ada saya dan Sulih?!! Kenapa ngga nanti sore atau besok saja??? Lagian ini tuh polder, bukan kali, bukan WC umum.... Haduuuh.... Mendadak stress, kami berdua langsung cabut jauh-jauh dari sana.
Masalah rob mungkin masih bisa dimaklumi sebagai jalan takdir kota ini yang memang bersebelahan dengan laut, tapi kejadian di polder bener-bener ngga masuk akal dan sangat disayangkan. Yaaaah... semoga ini pertanda kami berdua akan segera mendapatkan rejeki (?) dan semoga Semarang masih bisa membuat semua orang Asia ‘benar-benar terpesona’ tanpa suguhan macam tadi.
Lalu kenapa saya bilang sebutan Semarang Pesona Asia itu berlebihan? Padahal hari itu saya hepi berhasil jalan-jalan di Outstadt tanpa esmosi. Yaaah... Look at this picture!
Salah satu gang di kota lama, dan gang-gang lainnya yang bernasib sama, tergenang rob. Rob adalah banjir yang diakibatkan naiknya air laut. Ketika berdiri di depan rob, kami ditegur oleh seorang ibu dan anak kecil yang melintasi rob dengan memakai sepatu boat. Waw... Amazing... Sepertinya sepatu itu termasuk kebutuhan primer penduduk daerah sini.
“Mbak, jangan lewat situ, licin... nanti kepleset...,” ujar beliau melihat usaha kami mencoba melintasi rob. Maka kami berdua mencoba alternatif gang lain, yang ujung-ujungnya bernasib sama, bahkan lebih parah. Akhirnya kami kembali ke gang awal, dan memilih melintasi rob dengan berjalan timik-timik di pinggiran jalan yang masih bisa terselamatkan dari genangan air. Pake acara manjat-manjat tempat sampah segala, waseeeklaaah... Semoga ngga ada yang liat... Berakhir dengan teriakan ‘hore’ yang jayus ketika kami mendarat di seberang lautan dengan selamat dan alas sandal penuh lumpur. Tolong ngga usah dipertanyakan, kenapa kami harus repot-repot ngelewatin rob yang sungguh kotor itu, karena kami juga ngga tau harus menjawab apa, haha... Ide itu mengalir begitu saja, tanpa ada yang protes, hoho...
Setelah berjalan ngga tau arah sampai kaki gempor, tiba-tiba kami mendengar ‘klakson’ kereta api. Tenaaaang, kami tidak sedang berdiri di tengah rel dan menunggu diseruduk kereta, hoho... Melanjutkan lagi berjalan beberapa meter, saya sudah bisa melihat sebuah polder besar. Yap, ternyata memang kami sudah di dekat Stasiun Tawang. Kami memang ada rencana ke stasiun, untuk melihat jadwal kereta menuju Jogja.
Setelah itu kami duduk santai sambil makan kue leker di depan polder Tawang. Setau saya polder itu dibangun untuk menampung air ketika laut sedang pasang. Walopun gosipnya, stasiun Tawang masih tetap saja sering kebanjiran. Polder ini dilengkapi dengan taman, jogging track, berbagai ayunan, dan pohon-pohon palm serta jejeran lampu-lampu cantik agar polder ini tampak ciamik. Sepertinya juga polder itu dimanfaatkan dengan baik oleh para pencari kutu air. Yah, saya ngga tau sebenernya hewan apa kutu air itu. Saya taunya kutu air itu penyakit jamur di kulit kaki kalau kita sering berada di tempat lembab. Tapi si Bapak bilang, kutu air itu digunakan sebagai makanan ikan cupang. Waktu saya tengok isi baskomnya, saya menemukan jutaan hewan sebesar pasir sibuk berenang-renang membentuk koloni menjadikan isi baskom berpola dan berwarna merah tua dan hijau.
Tipikal kegiatan hari Minggu pagi, banyak anak-anak kecil main bola, ada yang jogging dan bersepeda mengelilingi tepian polder. Dan untuk ukuran hari Minggu, polder ini ngga terlalu ramai layaknya Simpang Lima atau Alun-Alun di Jember. Jadi masih asik lah kalau cuman pengen santai sambil ngeliatin bapak-bapak nyari kutu air.
Nah, sayangnya, saya dan Sulih harus menyaksikan pemandangan super nggilani, yang bikin saya ilfil berat, dan miris ketika membaca spanduk-spanduk promosi wisata bertuliskan Semarang Pesona Asia tadi. Owmaigaaaat, kami berdua ‘terpaksa’ harus menyaksikan orang lagi asik BAB di pojokan polder. Astagaaannagaaa, ya kok ngga sungkaaan gitu??? Banyak orang olah raga, banyak anak kecil main, dan yang terpenting, kenapa pas ada saya dan Sulih?!! Kenapa ngga nanti sore atau besok saja??? Lagian ini tuh polder, bukan kali, bukan WC umum.... Haduuuh.... Mendadak stress, kami berdua langsung cabut jauh-jauh dari sana.
Masalah rob mungkin masih bisa dimaklumi sebagai jalan takdir kota ini yang memang bersebelahan dengan laut, tapi kejadian di polder bener-bener ngga masuk akal dan sangat disayangkan. Yaaaah... semoga ini pertanda kami berdua akan segera mendapatkan rejeki (?) dan semoga Semarang masih bisa membuat semua orang Asia ‘benar-benar terpesona’ tanpa suguhan macam tadi.
semua bisa terjadi Put, nek jenenge kelebet pub, mumpung ada air mengalir ayuk ajah,,hehehe
BalasHapushoho, kenapa nggak kamu jorokin ajah tuh orang beol ke polder.
BalasHapuseh btw, foto kutu airmu jurnalistik bgt.
ya peyot...... pasti orang itu lagi jalan-jalan trus tiba-tiba dia mules dadakan...... jadilah akhirnya.......
BalasHapus